Showing posts with label Puisi. Show all posts
Showing posts with label Puisi. Show all posts

Sunday, March 14, 2021

Di Balik Dinding Sekolah

  

--Rin Surtantini

 


 Pada suatu hari pada tahun 2014, seorang teman yang menjadi pengurus komite sekolah pada sebuah sekolah dasar tempat anaknya bersekolah, meminta kepada saya untuk membantunya menuliskan sebuah puisi. Dia ingin membacakannya pada acara perpisahan murid-murid kelas enam di sekolah itu, yang dihadiri tidak hanya oleh murid-murid, tetapi juga oleh para orangtua atau wali murid. Bagi saya ini sebuah permintaan khusus, karena saya tidak tahu mengapa hal ini menjadi penting baginya. Lagipula, saya tidak atau belum pernah menulis puisi karena permintaan orang lain yang ingin menyampaikan sebuah pesan atau sesuatu, sesuai dengan gagasan atau maksud darinya. Bukankah apa yang ada di benak setiap orang berbeda-beda dalam hal memberi dan mencipta makna? Maka, ini menjadi permintaan yang agak sulit bagi saya saat itu.

 Saya harus bertemu dengan teman ini. Percakapan melalui pertemuan singkat dengannya membantu saya untuk memahami mengapa ia ingin membacakan pesan melalui puisi itu pada acara perpisahan murid-murid di sekolah anaknya, dan apa pesan yang ingin dimunculkannya pada puisi itu. Menulis puisi tidaklah mudah bagi saya, meski saya sangat menyukai kegiatan ini sebagai dorongan hati. Akan tetapi, rasa ingin membantu teman ini pun tak bisa dipungkiri. Saya perlu sejenak berdiam untuk dapat menuliskannya.

 Alhasil, tulisan itu berwujud, entah itu puisi atau bukan, saya harus segera mengirimkannya kepada teman ini, dengan catatan saya tidak yakin apakah betul itu isi yang diinginkannya. Saya tak begitu peduli apakah puisi itu jadi dibacakan olehnya pada acara perpisahan itu atau tidak. Yang paling utama adalah akhirnya isi puisi itu malah mewakili pikiran saya dan beberapa fenomena yang saya rasa dan alami. Karena dituliskan pada tujuh tahun yang lalu, mungkin ada yang tidak relevan dengan konteks sekarang, misalnya pada istilah atau frasa “dinding sekolah” sehingga pada masa ini harus dimaknai sebagai makna metaforis.

 Setelah tahun 2014 itu, pada beberapa kesempatan semisal pelatihan kepala sekolah, pengawas, atau guru-guru, puisi itu menjadi bagian dari kegiatan refleksi yang saya lakukan pada akhir pelatihan. Saya membacakannya. Melalui puisi itu, saya bermaksud mengajak para pendidik yang sekaligus juga para orangtua, kita semua, untuk melakukan “redefinisi” terhadap makna dari pencapaian murid-murid yang sekaligus juga anak-anak kita melalui pendidikan. Baru-baru ini, puisi itu kembali saya bacakan sebagai closing statement pada acara Kolase Inovasi dengan topik "Pendekatan Pembelajaran Arts Integration", yang disiarkan secara live streaming melalui channel Youtube milik Radio Edukasi pada hari Kamis, 11 Maret 2021 lalu.

Atas ijin dari Radio Edukasi, bagian akhir dari video yang berisi pembacaan puisi ini diedit dan diunggah ulang oleh saya, sehingga dapat dilihat pada Youtube channel pada link https://youtu.be/JAJhx42vvg0.

Banyak terima kasih saya sampaikan kepada mas Dhanang, yang telah membuatkan backsound dalam bentuk piano cover lagu "The Way We were" atas permintaan khusus saya, sehingga menambah warna untuk pembacaan puisi ini pada video Youtube yang saya edit. Puisi ini ditulis dan dibacakan untuk kita semua, untuk pendidik, untuk para orangtua.

 

Di Balik Dinding Sekolah

(Juli 2014)

 

Ruang kelas adalah dunia yang diciptakan bersama

oleh guru dan murid-muridnya

melalui hari-hari yang terbentang panjang

dengan aneka goresan dan coretan yang penuh warna.

 

Di dalam dunia itu kepada guru

kita titipkan anak-anak kita

dengan sejuta pesan dan kata

yang mewakili gundukan keinginan dan tujuan kita.

 

Kepada guru kita mintakan anak-anak kita

menjadi pandai dengan angka yang cemerlang,

menjadi maju dengan langkah yang panjang,

menjadi hebat dengan prestasi yang gemilang,

menjadi cerdas dengan pengetahuan yang luas,

menjadi terampil dengan kemampuan yang tangkas,

menjadi juara dengan piala di almari kaca yang menghias,

menjadi terkenal karena aneka kesuksesannya.

 

Di dalam dunia yang bernama sekolah itu

kita tak segan meminta para guru

mendengarkan semua pesan dan permintaan kita

yang kita bukukan dan jilid dengan seksama

dengan judul “Cinta Kami kepada Anak-Anak Kami”.

 

Kita sangat mengingat judul buku itu,

karena kita tulis dengan semangat cinta kepada anak-anak kita,

tetapi kita lupa dan mungkin abaikan isinya:

 

Jika kita minta anak kita pandai dengan angka yang cemerlang,

mungkin ia tidak peduli bahwa setiap angka memiliki makna.

 

Jika kita minta anak kita maju dengan langkah yang panjang,

mungkin ia tak sadar telah menginjak kaki temannya.

 

Jika kita minta anak kita menjadi hebat dengan prestasi yang gemilang,

mungkin ia akan lupa bagaimana memperolehnya.

 

Jika kita minta anak kita menjadi cerdas dengan pengetahuan yang luas,

mungkin ia lupa untuk berbagi dengan temannya.

 

Jika kita minta anak kita menjadi terampil dengan kemampuan yang tangkas,

mungkin ia abai untuk membantu temannya.

 

Jika kita minta anak kita menjadi juara dengan berbagai piala di almari kaca,

mungkin ia tak peduli sekitar dan ingin untuk selalu berada di atas.

 

Jika kita minta anak kita menjadi terkenal karena kesuksesannya,

mungkin ia akan tumbuh dengan rasa bangga yang berlebih.

 

Banyak catatan yang kita titip dan mintakan

kepada guru bagi anak-anak kita

atas nama "cinta" kepada mereka.

Tetapi kita terkadang lupa

untuk menitipkan “nilai-nilai” dan bukan sekedar “angka”:

bahwa anak-anak kita harus tumbuh dan belajar

menjadi anak-anak yang berempati, menghargai,

menghormati, jujur, rendah hati, adil, dan toleran;

bahwa kita terkadang abai

jika anak-anak kita tumbuhkan hanya dengan angka-angka,

maka nilai-nilai menjadi tak lagi bermakna,

dan cinta tidaklah lagi dapat berbicara.

 

 

 


Terima kasih telah membaca catatan ini, atau telah melihat pembacaannya melalui Youtube channel.


Salam sukacita untuk semua!

 

Yogyakarta, 15 Maret 2021.

Thursday, April 2, 2020

WfH Puisi: Inikah bumi yang kaupilih untuk singgah

--Rin Surtantini

Seketika

Maret beringsut tua saat kaki-kaki hujan masih sesekali melangkah
pada bentangan bumimu dan bumiku, bumi kita, yang serta-merta senyap
Angin semua musim dari segala penjuru datang pergi tak kenal waktu
pada kelam malam dengan sayapnya yang membentang lebar
pada binar siang dengan kelepaknya yang terkembang luas
pada gelepar hatiku dengan degupnya yang berdetak keras

Tiba-tiba saja semuanya menggigilkan sunyi
ditingkah detik demi detik dari detak jarum jam

Benarkah ini bumi yang kaupilih untuk singgah
tanpa pernah kutahu adakah tenggat kembaramu

Pergilah dalam gigilku, Tuhan menjaga sunyi kami.

(Yogya, 31 Maret 2020)


Puisi di atas dituliskan pada hari kesekian sejak COVID-19 akhirnya mengguncang bumi Indonesia, membuat perhatian dan fokus siapa pun tertuju kepada virus korona. Corona is the one who makes the top of the world’s news at the moment! 

Banyak cerita dikisahkan, banyak duka diberitakan, banyak diskursus diciptakan. Tiba-tiba saja semuanya berubah. Sebuah tulisan yang beredar di Whatsapp, mengatakan:

Tiba-tiba kita tidur di dunia yang satu dan bangun di dunia yang lain.
Tiba-tiba pelukan dan ciuman menjadi senjata-senjata yang berbahaya.
Tiba-tiba berpegangan tangan dan berjalan-jalan di taman melanggar peraturan.
Tiba-tiba tidak mengunjungi orangtua justru menjadi bentuk tanda cinta kita.
Tiba-tiba kita sadar bahwa kekuasaan dan kekuatan adalah bersama dengan Tuhan.
Tiba-tiba uang pun tak ada nilainya ketika bahkan tak dapat dipakai untuk membeli tisu toilet.
Tiba-tiba kita disadarkan betapa mudahnya manusia dihancurkan oleh mikroba yang sangat berkuasa.
Tiba-tiba kita tidak menjadi siapa-siapa……

Dan banyak lagi “tiba-tiba” yang dapat kita rasakan, alami, dan saksikan, seperti sepenggal kisah seorang sahabat saya ini. Kembali ke kotanya dalam kondisi duka yang dalam karena kehilangan anak menantunya yang menjadi salah satu korban yang terenggut nyawanya akibat kehebatan korona di ibukota, ia harus menghadapi sikap manusia di lingkungan tempat tinggalnya yang “tiba-tiba” menjadi manusia-manusia yang berbeda dari yang dikenalnya selama ini…

Curiga, paranoid, cemas, takut, tega, kejam, tidak percaya, menjauhi, menjadi sikap “tiba-tiba” yang muncul dan diperlihatkan oleh orang-orang tersebut. Tidak tanggung-tanggung, dalam kondisi lelah, susah, sedih, kecewa, gelisah, sahabat saya ini masih harus memeriksakan diri di lab di rumah sakit untuk mendapatkan kepastian mengenai kesehatannya berkaitan dengan paparan virus korona. Hasilnya, negatif. Akan tetapi, manusia-manusia sekitar yang dilanda sikap “tiba-tiba” tadi, melalui pengurus kampung menuntut agar ia memperlihatkan hasil lab-nya kepada warga di lingkungannya. Mereka tidak percaya jika tidak melihat hasil lab yang negatif tersebut. Dengan kelelahan dan kepedihan yang masih melingkupi diri, sahabat ini pun kembali ke rumah sakit untuk meminta salinan hasil lab atas pemeriksaan kesehatannya. Singkat cerita, demi memenuhi permintaan warga, demi menghadapi sikap “tiba-tiba” tadi, demi meredakan rasa curiga, paranoid, cemas, takut, tega, kejam, tidak percaya, yang tumbuh “tiba-tiba” dalam diri warga tadi terhadap dirinya, ia pun harus memotret hasil lab tersebut dan mengirimkannya ke grup Whatsapp warga kampung. “Tiba-tiba” ia menjadi makhluk asing di lingkungan tempat tinggalnya sendiri…

Sampai di sini, saya merasakan tragedi kemanusiaan yang dialami olehnya: inikah bumi yang dipilih oleh korona untuk singgah, yang dipilihnya untuk “tiba-tiba” saja mengubah sikap, perilaku, tindakan manusia? From empathy to hatred?

Menurut yang saya pahami, orang awam yang memaksa untuk meminta hasil lab terhadap pemeriksaan kesehatan seseorang adalah perbuatan melanggar kode etik, melanggar sumpah kedokteran, tidak etis dalam konteks hubungan sosial, dan melanggar hak personal seseorang (pasien). Permintaan orang awam itu sama sekali tidak ada kepentingannya dengan status mereka, karena itu hanya untuk memenuhi keinginan manusia yang egois, yang sama sekali jauh dari rasa empati, logika, dan pemikiran yang didasarkan pada akal sehat manusiawi. Maka, saya bersedih atas peristiwa ini. Peristiwa COVID-19  memicu semua hal menjadi “tiba-tiba” …

Benarkah ini bumi yang kaupilih untuk singgah
tanpa pernah kutahu adakah tenggat kembaramu

Pergilah dalam gigilku, Tuhan menjaga sunyi kami.



Ditulis pada masa WfH
di Pandega Mandala 3F, pada 1 April 2020.

Saturday, March 28, 2020

WfH Puisi: Ketika Itu

--Rohmat Sulistya

tetes air hujan meluncur pelan
menjatuhkan diri dalam pangkuan daun
menabuh lembut, mengukir lambaian
dalam harmoni musik alam

daun selalu ingin berbagi
mengalirkan tetesan, memancar percikan
terlepas terhempas, menyerah diri pada bumi
seruakkan wangi tanah oleh basah

aku 'benci' saat seperti ini
saat hati merasa halu pada ketika itu
saat wangi tanah basah pernah pula bicara
pada dua hati yang sama-sama tidak tahu

tapi aku juga merindui waktu-waktu itu
saat gelora hati penuh tanya
dengan selembar kertas kusut kita saling bicara
untuk mencari tau, adakah ruangan di sebalik pintu hati

tetes hujan selalu alunkan musik rindu
wangi tanah basah selalu hadirkan makna memori
pada saat ketika kamu dan aku
memulai semuanya, menyusuri jalan takdir yang tak lama.

suatu sore28March2020

Thursday, March 26, 2020

WfH Series: Mengupas makna kata-kata seputar COVID-19



Pada senyapnya hari “Bekerja dari Rumah”:
Mengupas makna kata-kata seputar COVID-19

--Rin Surtantini

Kesunyian semoga menyembuhkan kita.
Keheningan pun semoga mendamaikan negeri.
Dalam hening ada cahaya.
Dalam senyap ada Yang Kuasa.
Semoga segera kita temukan harmoni itu.


Pada senyapnya hari
Telah seminggu saya bekerja dari rumah. Ya, bekerja dari rumah menjadi keputusan terbaik yang dalam kondisi saat ini wajib saya patuhi, sebagaimana semua orang yang masih aktif bekerja di sektor formal melakukan hal yang sama juga. Akan ada deretan hari ke depan yang tak pasti menyangkut kapan bekerja dari rumah ini akan terus dilakukan. Maka, berbagai kegiatan pun harus menjadi deretan rencana yang dituliskan --selain kewajiban utama untuk melakukan presensi online sebagai tanda masuk bekerja, proses pelaksanaan tugas, dan pulang bekerja. Bekerja dari rumah atau di kantor, keduanya bagi saya bernilai sama, karena baik di kantor maupun di rumah, yang paling utama bagi saya adalah bahwa saya menyukai senyapnya hari dalam menjalaninya …

Di luar pekerjaan kantor, deretan rencana saat bekerja dari rumah pastilah menyangkut beberapa hobi dan aktualisasi diri… yang acap nyaris tak dilakukan selama ini karena sedikitnya waktu pada siang hari untuk berada di rumah…  Apa sajakah deretan rencana saya itu? Satu, memasak untuk keluarga; dua, beramah-tamah dengan tanaman-tanaman di halaman belakang dan depan rumah; tiga, menelaah kembali puluhan puisi yang pernah saya tuliskan; empat, mengatur perabot, dekorasi, yang ada di dalam rumah; lima, menangkap obyek apapun yang menarik hati pada kamera dan mengolahnya; enam, membaca artikel-artikel pada koran Kompas langganan saya; tujuh, menata kembali buku-buku pada ruang perpustakaan pribadi; delapan, menggambar; sembilan, menyanyi; sepuluh, mengorganisasikan file-file di laptop dan mobile phone. Alangkah banyak dan menyenangkan nampaknya semua rencana itu bagi saya!  


Gagasan yang tumbuh pada kesunyian hari
Betul, saya sangat menyukai senyapnya hari-hari bekerja dari rumah, entah itu siang atau malam hari. Pada suatu malam yang hujan, saya tuliskan ini di sebuah status whatsapp, “on such a quiet rainy evening, work has its own luxury…”.  Mengapa? Karena saya mempelajari dan mengerjakan sesuatu yang menyenangkan, walau mungkin itu remeh-temeh dan tak menarik bagi orang lain. Apa itu? Dari salah satu rencana saya untuk selalu menyempatkan membaca artikel-artikel pada koran Kompas setiap hari selama masa bekerja dari rumah, saya mendapati bahwa salah satu wilayah yang merupakan interest saya sejak dahulu, yaitu pragmatics, atau language in use, menemukan jendelanya pada koran yang saya baca.  Dan dalam wilayah inilah saya mengamati dan mempelajari sesuatu, seiring dengan keyakinan saya bahwa bahasa adalah sebuah organisme yang hidup.

Pada hampir setiap lembar koran yang saya baca setiap hari, terdapat sejumlah kata yang berulang muncul berkaitan dengan isu seputar COVID-19. Tiba-tiba saja, muncul gagasan bahwa koran menyediakan sumber data alami yang kaya terhadap interest saya, yaitu data language in use. Ia merupakan corpus, koleksi dari teks tulis atau bahasa verbal, mengenai berbagai bidang yang kita pikirkan dan geluti dalam kehidupan kita. Dari perspektif kognitif, bahasa membentuk cara kita berpikir, dan menentukan apa yang dapat kita pikirkan.

Saya lalu memutuskan untuk membuat brainstorming melalui mindmap, apa saja yang bisa dilakukan dengan tersedianya data language in use yang sangat banyak itu. Saya harus memproduksi pikiran. Ini akan sangat membuat hari-hari senyap yang saya sukai pada masa bekerja dari rumah itu akan menjadi semakin meaningful dan menarik. Dari sekian alternatif yang disediakan oleh hasil brainstorming itu, salah satunya adalah “mengupas makna kata-kata”, dan isu yang saya pilih adalah seputar COVID-19.


Mengupas makna kata seputar COVID-19
Media massa merekam dan mempopulerkan sejumlah kata seputar COVID-19 dalam bahasa Inggris yang langsung digunakan dalam teks-teks tulis maupun lisan oleh orang-orang di Indonesia. Dalam Kompas hari Selasa, 24 Maret 2020, pada kolom Bahasa halaman 5, Simanungkalit menuliskan bahwa peristiwa COVID-19 merasuk bahasa juga. Katanya, meskipun tak sekalang-kabut pemerintah dan penatalaksana kesehatan, aktivis bahasa (Indonesia) pun buncah dibuatnya. Ditambahkannya, istilah Inggris berkenaan dengan COVID-19 hampir sama dengan kecepatan masuk virus itu ke berbagai negara, yang disambut tanpa hambatan oleh media konvensional maupun media sosial.

Saya mungkin termasuk yang membuncah pikirannya dengan istilah-istilah ini. Bukan karena tidak setuju dengan penggunaan istilah-istilah Inggris tersebut, tapi saya lebih tertarik untuk mengelupasnya, memaknainya dengan bagaimana cara saya memahami dan menjalaninya. Dalam hal ini, bahasa memang organisme yang hidup. Ia bisa membongkar pikiran kita dan memaksa kita untuk memberi makna kepadanya dan memeroleh pengetahuan darinya. Tiga istilah yang akan saya maknai kali ini hanya tiga saja, yaitu Work from Home (WfH), social distancing vs. physical distancing, dan… covidiot, istilah baru yang diluncurkan baru-baru ini oleh Urban Dictionary pada laman https://www.urbandictionary.com/

(1)
Work from Home (WfH), bahasa Indonesianya adalah “bekerja dari rumah”, jadi bukan “bekerja di rumah”. Jika bekerja di rumah, maka apa yang kita kerjakan bukan atau belum tentu merupakan pekerjaan kantor kita yang dialihkan ke rumah untuk dilakukan di rumah. Bukankah demikian? Padahal, ketika “bekerja dari rumah” tentu yang dimaksudkan adalah kita bekerja untuk kepentingan, urusan, atau tugas kantor dari rumah kita. Sedangkan jika “bekerja di rumah”, kita bisa melakukan hal-hal lain atau apa saja yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan pekerjaan, urusan, tugas, atau kepentingan kantor (seperti contohnya adalah sepuluh daftar rencana kegiatan di rumah yang saya buat di awal tulisan ini). Singkatnya, meskipun sama-sama merupakan kata depan, “di” dan “dari” akan memberi makna yang berbeda dalam penggunaannya, dan yang tak kalah penting, tentu berbeda dalam praktiknya.

WfH dalam pemaknaan saya pribadi, selain Work from Home, adalah juga Work from Heart, “bekerja dari hati”.  Bagi saya, work from heart terjadi ketika saya mencintai pekerjaan yang saya lakukan. Maka, apa yang saya pilih untuk saya lakukan adalah karena saya menyukainya, mencintainya, membuat saya dapat melakukan suatu aktualisasi diri, sehingga dengan pekerjaan itu saya bahagia, dan ada orang lain yang dapat ikut merasakan rasa positif melalui manfaat yang tercipta, betapa pun kecilnya. Dengan demikian, work from home and work from heart yang saya lakukan harus memiliki nilai-nilai tersebut.

(2)
Social distancing, memberi makna sebagai “praktik menjaga jarak” yang konteksnya adalah di ruang publik selama terjadi wabah penyakit menular untuk meminimalkan paparan virus atau transmisi dari infeksi virus atau kuman tersebut. Pada peristiwa COVID-19 saat ini, praktik ini harus dilakukan. Seiring dengan pemaknaan ini, kata physical distancing saat ini menjadi pilihan baru yang tepat untuk digunakan dalam konteks membantu masyarakat memahami apa yang perlu mereka lakukan dalam mencegah transmisi virus corona. Mengapa? Karena yang dimaksud dengan praktik menjaga jarak itu sebetulnya memang menjaga jarak secara fisik, sedangkan secara sosial kita tetap dapat dekat melalui cara-cara virtual. Kita tetap dapat memelihara hubungan sosial, dan hubungan sosial ini tetap penting pada saat-saat ini, tetapi dapat dilakukan melalui cara virtual, misalnya dengan program Skype, Zoom, Whatsapp video call, dan banyak lagi, yang membantu keluarga, sahabat, dan handai taulan tetap terkoneksi satu sama lain dan saling mendukung.

WHO merekomendasikan frasa physical distancing untuk digunakan sebagai pengganti istilah social distancing, sebagaimana dikutip dari laman https://www.sciencealert.com/. Idenya adalah untuk mengklarifikasi bahwa instruksi untuk tinggal di rumah selama wabah virus corona adalah bukan berarti memutuskan hubungan dengan teman-teman dan keluarga, tetapi lebih kepada menjaga jarak fisik untuk memastikan penyakit itu tidak menyebar. Dalam bahasa Indonesia, ada “calon” istilah yang dibumikan untuk menjaga jarak ini, salah satunya adalah “pen-jarak-an badan”, sebagaimana dituliskan oleh Simanungkalit pada kolom Bahasa (Kompas hari Selasa, 24 Maret 2020). Istilah “pen-jarak-an” pada “penjarakan badan” dalam hal ini memiliki kata dasar “jarak”. Harap diingat, jangan disalahartikan dengan “penjara-kan badan” yang berasal dari kata dasar “penjara”, yang berarti memenjarakan badan.

(3)
Covidiot, istilah yang baru saja dimunculkan oleh Urban Dictionary berkaitan dengan kelakuan, sikap, atau perbuatan seseorang yang tidak baik dalam peristiwa COVID-19. Istilah baru ini belum muncul di media massa Indonesia, akan tetapi tidak ada salahnya kita tahu artinya. Covidiot adalah orang yang mengabaikan peringatan-peringatan yang berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan dari COVID-19. Secara spesifik, covidiot adalah orang bodoh yang keras kepala mengabaikan protokol dari social distancing, sehingga ia kemudian menyebarkan COVID-19. Covidiot juga mengacu kepada orang bodoh yang menimbun barang-barang dengan membelinya dalam jumlah banyak.
Istilah covidiot mengingatkan kita akan adanya kelompok orang yang seperti ini di sekitar kita dalam persitiwa COVID-19 saat ini, yang bisa jadi kita pun melakukannya (?).


Pada akhirnya
Tulisan ini merupakan kegiatan memproduksi pikiran yang awalnya merupakan rencana kegiatan non-kantor, yaitu menyempatkan diri membaca koran Kompas yang setiap hari diantar oleh loper koran langganan. Akan tetapi, saya pikir juga bisa menjadi isian dalam rencana SKP saya setiap bulan, yaitu menulis, yang dilakukan juga bersama dengan proses membaca dan memaknainya. Maka, work from home juga menjadi work from heart.

Akhirnya, seiring dengan work from home and work from heart, semoga saya dapat ikut membantu meredakan penyebaran COVID-19 dengan mematuhi praktik physical distancing namun tetap menjaga hubungan sosial secara virtual, dan tidak menjadi salah satu dari para covidiots.


Yogyakarta, diselesaikan pada hari Nyepi, 25/03/2020.







Thursday, February 21, 2019

Selesailah

In memoriam: RY

Ketika sebuah Jumat pagi bulan September
mengirimkan anginnya di sela guguran bisik iba,
siapakah yang dapat menunda pastinya perjalananmu
di balik bongkahan terlanjurnya banyak peristiwa?
Semua terkubur dalam gundukan lengkung tanda tanya.

Di angkasa awan menggelantung putih menguapkan
panasnya bumi yang tak tertahan atas segala bentuk kedukaan,
kegundahan, kegelisahan, kepasrahan yang merambat.
Tubuhmu membujur sunyi dalam bayangan yang tak lagi
sempat meluapkan cerita yang berdiam dalam hatimu.

Oh betapa banyak yang harus kau rajut dalam kegaduhan.
Tahun-tahun yang berlalu, benang-benang yang kau urai.
Selesailah sudah, selesailah semua, setidaknya untukmu.
Bawalah seikat bunga doa yang kubisikkan perlahan.
Dalam diammu kini, kuharap pembebasan dapat kau genggam.

Yogyakarta, 29 September 2017.

Friday, February 15, 2019

Sajak-sajak



---Rin Surtantini

(1)
Menerbangkan Daun-Daun

telah tiba saatnya aku menerbangkan daun-daun itu
ke langit luas yang kutanamkan sebagai masa depan

dulu kupelihara setiap helainya sejak berwarna hijau
sebab di setiap garis tulangnya terbaca mantra-mantra
yang tanpa lelah kau guratkan tajam menjelang terang
juga pada sederetan malam yang selalu kita hidupkan
hingga pohon-pohon makin subur tumbuh dan rindang

daun-daun itu memang lamban terbang ke angkasa
semua mantra yang ada perlahan mengeras tak terbaca
patah pada tulang-tulang daun yang menguning kering

maka hidup adalah cara memandang yang kita miliki
jika itu tumpukan kenangan, langit bukanlah tujuan

telah tiba saatnya kulepaskan rajah yang pernah tertulis
seiring ikhlasmu menyaput ingatan menjaring bintang

(Yogyakarta, 2018)



(2)
Pertaruhan

Rin Surtantini

di atas pentas kulepaskan segenap baris-baris kata
berselubung nukilan ujaran, mantra dan tulisan
mengukuhkan kebenaran dalam alam pahamku

basah tubuhku seirama rintik hujan bulan Februari
mestikah aku berpayung pada yang tak diyakininya
ratusan pandang adalah rahasia tak dapat kukira

di atas panggung kupertaruhkan kehendak abadi
atas kata yang tak berdusta pada segenap makna
atas kata yang tak berlindung di lembar selubung

(Bandung, 2018)



(3)
Perempuan Pembakar Seteru

aku tahu kau sangat ingin sekali melipat lidahku
di hadapan mereka kaulah yang harus dapat tereja

seorang perempuan kau rasakan membakar seteru
tak beri kau waktu untuk melumat dan mencerna

secangkir teh tak bergula kuhirup tanpa rasa kelu
memerdekakanku dari yang tiada pernah kau rela

(Yogyakarta, 2018)

Thursday, February 7, 2019

Gerimis

---Digna Sjamsiar

“Nikmat manalagi yang akan engkau dustakan?" 

Kalimat itu selalu kuhadirkan dalam ingatanku,sebagai "alarm" bahwa sudah banyak nikmat yang Engkau berikan dalam kehidupanku.

Seperti biasa, pagiku kuawali dengan  membuka jendela kamar dan Engkau memberi  nikmat yang paling kusuka..gerimis. 

Tetesan-tetesan air yang Engkau jatuhkan dari langit, mengalir..membasahi daun-daun tanaman yang tumbuh di halaman rumah. 
Senyumku mengembang tatkala melihat bunga anggrekku yang mungil dan cantik Engkau sapa dengan gerimisMU...

Aku berjanji untuk selalu menjaga salah satu ciptaanMU itu..
Selamat pagi...💞

Surat Cinta Untuk Kekasih

---Cahya Yuana

Kekasih hari ini kita masih selalu bersama memadu kasih bersenang ria
Bercanda, bernyanyi bersama penuh suka gembira, Dunia bagaikan milik kita berdua
Suka dan duka kita jalani bersama seakan tidak ada yang mampu memisahkan kita
Ketika engkau sedih dan menangis aku akan akan datang penghibur lara
Kasihku tapi kadang kita lupa bahwa dunia ini fana yang nanti akan binasa
Kadang kita lupa bahwa azal akan mendatangi kita bersama atau entah berbeda
Ketika azal telah tiba kita akan berpisah, gelak dan tawa bersama akan terlupa
Kamu akan menangis tapi aku tak mampu menghibur karena aku terbujur kaku
Kasihku tiba waktunya kamu akan menyusul, tubuh kaku akan kamu rasa
Meski begitu kita belum bertemu, karena alam kubur kita tidak satu
Tiba saatnya sangkakala berbunyi sebagai tanda akhir dunia
Tiupan pertama membinasakan dunia, tiupan kedua mematikan kita,
Tiupan ketiga membangkitkan kita, sebagai tanda masuk surga atau neraka
Kasihku akhirnya kita punya kesempatan bersama ketika kita bisa masuk surga
Tawa dan canda akan kita ulangi di halaman surga bersama-sama
Ya Kasihku di surgalah kita akan senantias bersama tanpa ada yang menghentikan kita
Akan tetapi kasihku aku akan merasa sedih ketika engkau bukan penghuni surga
Tawa dan canda tidak akan kita lakukan bersama, Suasana beda akan kita rasa
Gelimangan kenikmatan surga yang aku rasakan tidak akan engkau rasakan
Aku akan bercanda disaat engkau menangis nestapa
Untuk itu ya kasihku marilah kita punya cita, agar kita bisa ke surga bersama-sama
Itu semua akan bisa, bila di dunia kita saling bersama menjalani perintahNya

Monday, February 4, 2019

DAN FEBRUARI PUN MENGULURKAN TANGAN WAKTUNYA: Lalu siapa dan bagaimanakah kita?

---Rin Surtantini


Bermula pada alunan suara pesan singkat

Ternyata tahun 2019 sudah menyelesaikan bulan pertamanya ketika Februari menjulurkan tangan waktunya perlahan. Alunan suara pesan singkat, short message service, yang berasal dari telepon genggam di meja kamar mengabarkan datangnya Februari: oh, itu sebuah pesan dari bank Mandiri: sejumlah uang masuk ke rekening bank saya, yang saya terima untuk melakukan kewajiban dan tanggungjawab saya sebagai pegawai selama satu bulan ke depan. Pengingat juga bagi saya: harus segera mengisi realisasi Sasaran Kerja Pegawai (SKP) pada bulan Januari kemarin, juga log harian yang terlantarkan, masih bolong-bolong, belum semuanya terisi. Ya, ternyata Januari telah rapat-rapat menutup pintunya dan saya hanya dapat mengandalkan ingatan tentangnya melalui lembar kalender yang tergeletak di atas meja.

Seketika saya ingat, tadi malam sebelum tertidur, saya membaca artikel “Permainan Makna” yang ditulis oleh Sapardi Djoko Damono (2009) pada buku Proses Kreatif dengan editor Pamusuk Eneste. Dalam tulisannya, Sapardi menyelipkan sebuah puisi tentang waktu:


Tangan Waktu


selalu terulur ia lewat jendela


yang panjang dan menakutkan

selagi engkau bekerja, atau mimpi pun

tanpa berkata suatu apa



bila saja kautanya: mau apa

berarti terlalu jauh kau sudah terbawa

sebelum sungguh menjadi sadar

bahwa sudah terlanjur terlantar


………………………………..

……………………………….

(dan seterusnya).


Setiap orang tentu bebas untuk memberikan makna atas puisi di atas. Saya tidak mengajak siapa pun untuk berdiskusi memaknainya --yang (mungkin) bisa saja akan menarik bagi yang memiliki minat di bidang ini. Tetapi yang ingin saya katakan adalah, puisi Sapardi itu membuat saya berpikir bahwa “waktu” adalah entitas abstrak yang hidup karena dia bergerak dan meninggalkan jejak pada diri kita, setidaknya pada ingatan dan pikiran kita. Dialah yang mengajak kita, kadang berlari, kadang berjalan, kadang berhenti, dan … tiba-tiba saja ketika kita terlalu cepat dan tak bisa memintanya untuk kembali atau mengulanginya, kita tersadar bahwa kita telah “menelantarkannya”, menelantarkan waktu (seperti tertulis pada baris terakhir bait kedua puisi Sapardi di atas).


Jadi, apa yang akan saya tuliskan pada beberapa log harian bulan Januari yang masih kosong ini? Saya harus membongkar ingatan saya tentang waktu. Dan ketika ingatan itu muncul dengan bantuan lembar kalender yang diam di meja, saya menyadari bahwa dalam kurun tigapuluh satu hari lalu itu, ada jejak waktu yang mengatakan bahwa sehari dua hari, saya pernah menelantarkannya. Tetapi jejak waktu itu juga merekam bahwa ada hari di saat mana saya memeliharanya. Pada jejak ini tercatat bahwa saya berencana untuk melanjutkan apa yang saya lakukan saat itu. Ini menarik, setidaknya tangan waktu yang terulur panjang pada bulan Februari nanti semoga menjadikan saya lebih baik daripada jejak yang saya tinggalkan sebelumnya.


Berlanjut pada perkara kata “profesional”

Bagi sebagian dari kita, makna tahun baru adalah ketika Januari datang. Bagi sebagian lainnya, makna tahun baru adalah ketika surat tugas terbit kembali untuk mengajar atau pergi ke luar kota. Sebagian lagi memaknainya dengan membuat rencana dan strategi untuk melakukan kegiatan istimewa atau khusus dengan semangat baru. Sementara sebagian lainnya mungkin, dengan kesadaran bahwa pernah menelantarkan tangan waktu yang selalu terulur, berencana untuk “memelihara” waktu. Kesadaran ini dalam konteks pekerjaan di kantor, ada yang tumbuh sebagai individual awareness (kesadaran individu), tetapi juga ada yang berupa shared atau collective awareness (kesadaran kolektif atau kesadaran bersama).

Selesai mengisi log harian dan realisasi “kerja” pegawai, terbersit dalam pikiran saya, ada yang tak pernah dapat dituliskan dalam log dan format realisasi kerja pegawai itu. Sesuatu yang real, yang nyata dilakukan, tetapi tidak dapat dikategorikan secara deksriptif sebagai “pekerjaan” dalam format SKP yang terstandar. Mengapa? Karena “sesuatu” yang saya maksudkan ini abstrak sifatnya, yaitu kata “profesional”. Kata ini merupakan kata benda dan juga kata sifat. Sebagai kata benda, kata “profesional” menunjuk kepada orang yang memiliki “kualifikasi” dan “pengalaman tertentu” sesuai dengan bidangnya; sedangkan sebagai kata sifat, kata “profesional” menunjuk kepada “kualitas” yang dimiliki dan diperlihatkan oleh orang tersebut sesuai dengan profesi yang ditekuninya. Ini yang saya pahami dari Oxford Advanced Learner’s Dictionary terbitan tahun 1989.

Merujuk kepada kedua makna dan kelas kata “profesional” di atas, kata “profesional” bagi tenaga fungsional (dalam konteks ini, widyaiswara) menunjuk kepada pegawai yang memiliki kualifikasi dan pengalaman tertentu sesuai dengan bidangnya, dan pegawai yang memiliki dan memperlihatkan kualitas sesuai dengan profesi yang ditekuninya. Pertanyaan yang dapat kita ajukan kepada diri sendiri kemudian adalah: (1) apakah widyaiswara itu seorang profesional, dan (2) apakah kita adalah widyaiswara yang profesional? Pertanyaan ini mengingatkan saya akan beberapa istilah yang diajukan oleh Penny Ur melalui tulisannya pada tahun 2002. Ia membandingkan makna dari kata “profesional” dengan makna dari kata “orang awam”, “amatir”, dan “teknisi”. Saya akan mengaitkannya dengan kedua pertanyaan di atas sesuai dengan konteks widyaiswara, sebagai bahan refleksi diri.

Profesional vs. orang awam
Sebagai seorang profesional, widyaiswara berbeda dengan “orang awam” dalam arti widyaiswara memiliki keterampilan, pengetahuan, dan konvensi tertentu yang dimiliki oleh kelompok atau komunitas profesi ini. Komunitas profesional widyaiswara ini melakukan atau menyelenggarakan pendidikan, pengajaran, pelatihan dan pertemuan ilmiah, serta tukar menukar ide dan pengalaman, di samping melakukan publikasi ilmiah mengenai temuan-temuannya dalam bidangnya masing-masing.

Profesional vs. amatir
Sebagai seorang profesional, widyaiswara juga berbeda dengan seorang “amatir”. Seorang amatir melakukan sesuatu lebih banyak untuk kesenangan, tanpa perlu pelatihan atau komitmen tertentu, sehingga ia akan melakukan sesuatu dengan kemungkinan bahwa hasilnya bisa baik, tetapi bisa juga kurang baik. Hasil itu tidak penting baginya. Sementara itu seorang profesional akan menjaga kualitasnya dalam hal misalnya kompetensi keahliannya, persiapan mengajarnya, belajarnya yang terus menerus, nilai-nilai yang dianutnya, standar-standar yang dipegangnya, serta komitmennya. Dengan demikian, tenaga fungsional yang profesional tidak akan membiarkan dirinya bekerja asal-asalan atau melakukan tugasnya di bidang pembelajaran dengan cara asal berjalan saja. Profesionalisme dalam konteks ini diperoleh melalui proses belajar, bukan instan, misalnya melalui pelatihan, refleksi terhadap pengalamannya, membaca, menulis, melakukan observasi, berdiskusi, meneliti, dsb. Profesional semacam ini sangat menjaga standar dirinya yang meliputi pengetahuan tentang materi yang diajarkannya dan metodologinya, dedikasi dan kerja kerasnya, perilaku dan hubungannya dengan klien (guru-guru) dan dengan tenaga profesional lainnya. Banyak tenaga fungsional yang hebat memulai kehebatannya justru dari menjadi seorang amatir, yang seiring dengan berjalannya waktu, mengembangkan dirinya menjadi seorang profesional.

Profesional vs. teknisi
Seorang “teknisi” melakukan kegiatan tertentu dengan keterampilan yang dimilikinya dan ia akan menjadi lebih dan semakin terampil sejalan dengan waktu yang berlalu melalui praktik. Sebagai bandingannya dengan tenaga profesional, widyaiswara yang profesional tidak hanya memeroleh keterampilan tertentu, tetapi juga mampu melakukan serangkaian kegiatan yang didasarkan pada pengetahuan dan pemikirannya, yang akan membedakannya dengan sekedar menjalankan sebuah rutinitas secara mekanis saja. Dia harus memahami prinsip-prinsip yang menjadi latar dari tindakannya, mampu mengartikulasikannya, menghubungkannya dengan hal lain, melakukan koneksi antardata, dan melakukan inovasi. Apabila tenaga fungsional hanya melakukan tugas rutin secara mekanis dan hapalan saja, ia tidak lebih dari seorang teknisi, atau sebuah robot. Seorang tenaga fungsional yang profesional dapat menjelaskan mengapa suatu hal dilakukan olehnya, atau mengapa hal itu terjadi (why something works the way it does). Seorang profesional tidak hanya melaksanakan tugas atau instruksi dari para ahli atau atasan dan seniornya saja, lalu mengadopsinya tanpa berpikir. Seorang profesional adalah seorang ahli di bidangnya, meskipun dia tetap harus mau mendengarkan pendapat orang lain.

Profesional vs. akademisi
Sampai di sini, Ur kemudian memunculkan istilah lainnya, yaitu “akademisi”. Seorang ‘akademisi’ dapat didefinisikan sebagai seorang peneliti, pengajar, penulis, yang biasanya ada di universitas atau di lembaga penelitian. Akademisi tentu saja juga seorang profesional. Tetapi adakah perbedaan antara akademisi dan profesional? Seorang profesional memprioritaskan tindakan yang nyata, ia adalah pembawa perubahan langsung (an immediate agent of real-world change). Meskipun demikian, seorang profesional tetap “berpikir” untuk memperbaiki tindakan-tindakannya. Sementara itu, akademisi memprioritaskan pemikiran dan penelitian, ia bukan merupakan agen perubahan langsung. Meskipun demikian, seorang akademisi pun tetap bertindak untuk mengembangkan pemikiran dan temuannya. Jadi perbedaan antara profesional dan akademisi hanya terletak pada penekanan dan prioritas, bukan pada substansi. Persamaan antara keduanya adalah bahwa mereka dapat dievaluasi (dalam jangka panjang) berdasarkan pengaruh mereka terhadap pemikiran dan tindakan para akademisi dan profesional serta masyarakat lainnya. Apapun yang dilakukan oleh keduanya dapat dinilai dari bagaimana mereka memberikan kontribusi di dalam bidang mereka terhadap generasi berikutnya. Meskipun akademisi dan profesional berbeda dalam prioritasnya, keduanya saling memberikan manfaat dan kontribusi, sehingga keduanya harus dihargai secara seimbang.

Catatan REFLEKTIF bagi widyaiswara: siapa dan bagaimanakah kita?
Ketika mulai mengisi log harian pada hari pertama bulan Februari, pikiran saya masih dipenuhi oleh tulisan Ur tentang kata “profesional” yang dibandingkan dengan makna “orang biasa”, “amatir”, “teknisi”, dan “akademisi”, dengan keinginan bulat saya untuk meminimalkan tindakan menelantarkan waktu seperti yang diungkap pada kutipan baris puisi Sapardi di bagian awal di atas. Tapi pikiran dan keinginan saya ini tak mungkin terekam dalam log harian, juga tidak dalam realisasi kerja sebagai pegawai pada akhir Februari nanti: Ia akan terekam dalam tangan waktu. Tidak apa-apa.

Maka kutitipkan pada waktu, pertanyaan-pertanyaan berikut ini, agar ia mau selalu mengingatkanku, selagi bekerja dan bermimpi, untuk selalu menjadi sadar: tidak menelantarkannya:

· Apakah saya menjadi bagian dari komunitas profesional yang saling berinteraksi dan bertukar ide dan pemikiran?

· Apakah saya merupakan komunitas belajar yang selalu tertarik untuk memeroleh pengetahuan baru dan bereksperimen dengan ide-ide baru?

· Apakah saya memiliki komitmen untuk mencapai standar tertentu di dalam profesi saya?

· Apakah saya memiliki kebebasan untuk merancang standar profesionalisme sehingga saya akan mendorong adanya komitmen, bahwa hanya mereka yang memenuhi standar tersebutlah yang dapat berpartisipasi dalam melakukan pemberdayaan bagi guru-guru?

Mari lakukan refleksi!



Yogyakarta, 3 Februari 2019.

***