Showing posts with label Kegelisahan. Show all posts
Showing posts with label Kegelisahan. Show all posts

Monday, April 4, 2022

Berbasis Data: Antara Fakta dan Data?

--Rin Surtantini

 


Sebuah kesadaran

Mengikuti sebuah ToT mengenai isu profil pendidikan selama tiga hari baru-baru ini, membuat saya sedikit terpancing untuk “berpikir”. Sudah sering saya dengan kesadaran penuh tidak tertarik atau meminta ijin mundur dari kegiatan-kegiatan yang secara keyakinan atau prinsip bagi saya adalah kegiatan yang akan membuat saya tertekan, gelisah, merasa menjadi sangat bodoh, menjadi tidak logis, tidak punya dasar atau pegangan, bingung, kuatir, tidak mampu, malu, dan jenis-jenis perasaan negatif lain yang tidak produktif semacam ini. Dengan memutuskan tidak terlibat dalam kegiatan-kegiatan semacam itu, saya justru sering merasakan bahwa perasaan negatif tidak menyerang hati kecil saya, dan saya jadi bisa fokus kepada hal-hal yang menggembirakan diri karena itu berdampak baik bagi mereka yang membutuhkan.

 Kali ini atas dasar surat tugas, dan atas rasa ingin tahu yang muncul karena tidak paham, saya dengan senang hati mengikuti ToT tentang profil pendidikan tersebut. Saya sadar bahwa saya tidak bisa fokus ketika mengikutinya, karena pada saat yang sama saya juga sedang bekerja tentang hal lain secara online, independen, harus fokus, dan mendekati deadline. Saya sadar ini tidak baik: melakukan kegiatan online yang berkaitan dengan nasib orang lain seraya “menyambi” dengan kegiatan yang menyangkut kualitas diri saya sendiri. Tapi hal tidak baik ini tetap saya lakukan juga, dan akibatnya, saya tidak paham sepenuhnya dengan materi ToT yang saya terima….

***

Memahami apa itu data vs. fakta

Rasa ketidakpahaman saya itu memicu saya untuk “berpikir”. Mungkin ini baik bagi saya untuk memahamkan diri sendiri mengenai apapun hal yang dikatakan berbasis data. Kata berbasis “data” itu sendiri justru mengingatkan saya mengenai pemahaman saya tentang apa itu “data” ketika saya sekolah dulu. Data ada yang berjenis kualitatif, ada yang berjenis kuantitatif. Itulah sebabnya ada penelitian kualitatif, dan ada penelitian kuantitatif, sehingga metode atau cara pengumpulan datanya akan berbeda. Demikian pula analisis data dari kedua jenis data ini juga berbeda, sebelum akhirnya dimunculkan kesimpulan dari kedua penelitian tersebut.

Kita sering sulit untuk dapat membedakan antara apa itu “data” dengan apa itu fakta”. Fakta adalah pernyataan tentang sebuah realita, atau tentang sebuah kenyataan. Orang yang menceriterakan suatu kejadian adalah orang yang sedang mengemukakan fakta-fakta, yaitu pernyataan-pernyataan dari dirinya tentang suatu kenyataan atau realita. Misalkan, ada sebuah institusi meraih sertifikat wilayah bebas korupsi, itu adalah sebuah kenyataan. Prestasi ini kemudian dibicarakan oleh banyak orang. Coba perhatikan: pernyataan tentang kenyataan yang sama ini, yaitu peraihan sertifikat wilayah bebas korupsi, dikemukakan atau dihasilkan oleh setiap orang lewat sudut pandangnya masing-masing. Kenyataannya sama, tetapi komentar, pernyataan, ulasan, atau berita yang dihasilkan mengenai fakta yang sama ini sifatnya subyektif“, karena sebuah kenyataan atau realita yang sama dapat saja dikemukakan dengan cara-cara yang berbeda. Dalam konteks ini, wacana yang dihasilkan oleh setiap orang yang memberitakan peraihan sertifikat wilayah bebas korupsi ini tidak akan pernah bisa persis sama. A mengemukakan begitu, B menyatakan begini, dan C mengemukakan begitu dan begini.

Di sisi lain, benarkah “fakta” itu hanya bersifat subyektif? Tentu tidak. Fakta juga dapat disebut “obyektif” ketika pernyataan tentang fakta ini didasarkan pada kenyataan atau realita tertentu. Jika ada pernyataan yang tidak didasarkan pada suatu realita atau kenyataan, maka pernyataan tersebut lemah dan tidak dapat dikatakan sebagai fakta. Pernyataan lemah dan bukan fakta semacam inilah yang kita sebut sebagai sebuah kebohongan, karangan, isapan jempol, hasil imajinasi, khayalan, atau dapat juga sebuah fitnah. Semua pernyataan manusia, baik itu verbal yang bersifat lisan maupun tulis, merupakan tindak tutur. Tindak tutur adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dalam berkomunikasi menggunakan bahasa verbal. Tindak tutur ini terdiri dari tiga aspek, yaitu perangkat kebahasaan yang digunakan untuk menyatakan sesuatu, tindakan atau makna yang terdapat di balik perangkat kebahasaan tersebut, dan hasil atau efek dari pernyataan tersebut. Menarik untuk diselidiki ketika seseorang bertindak tutur. Akan diketahui bagaimana ia menyatakan suatu isu secara verbal, apa makna di balik pernyataan tersebut, dan apa efek, hasil, atau pengaruh dari pernyataannya tersebut. Namun, tulisan saya ini tidak akan membahas hal ini.

Kembali ke “data” dan “fakta”. “Fakta” dari uraian di atas dapat dikatakan bersifat subyektif dan sekaligus juga obyektif. Sehubungan dengan ini, pertanyaannya adalah, apakah “fakta” itu adalah “data”? Fakta dapat menjadi data, akan tetapi ingat bahwa “tidak semua fakta dapat menjadi data”. Mengapa? Karena data adalah fakta-fakta yang relevan, yang secara logis berkaitan dengan masalah yang dipersoalkan untuk dijawab. Jadi data harus merupakan fakta-fakta yang telah dipilih atau diseleksi berdasarkan azas relevansi terhadap persoalan atau masalah yang ingin dijawab atau ditemukan solusinya.

 #Tribute saya untuk Prof. Heddy Shri-Ahimsa Putra, guru saya di Fakultas Ilmu Budaya UGM untuk pemberian pemahaman yang kuat mengenai isu “fakta” dan “data” dalam melakukan penelitian.

 

***

 Isu mengenai kegiatan berbasis data

Maka, ketika minggu lalu saya mengikuti ToT penjaminan mutu melalui perencanaan berbasis data, yang berkaitan dengan rapor sekolah dan profil pendidikan, saya merasa bahwa sebagai peserta ToT, saya tidak dapat menjelaskan esensi dari apa yang dimaksud dengan “berbasis data”. Apa yang dimaksud dengan “data” dalam hal ini? Data yang bagaimanakah yang diperoleh dari instrumen pengumpulan data (yang tentunya ada)? Bagaimanakah bentuk instrumennya sehingga kita tahu komponen atau aspek-aspek apa sajakah yang dipakai sebagai alat ukur dalam pemetaan mutu sekolah? Jika dikatakan bahwa data diperoleh dari sekian sumber data yang sangat luas, bagaimanakah pengelolaan data ini pada saat analisisnya, sehingga satuan pendidikan harus menerima saja hasilnya berupa rapor satuan pendidikan?

Dikatakan, bahwa rapor sekolah dan profil pendidikan tersebut valid digunakan sebagai bahan untuk perencanaan karena telah melalui proses simulasi, uji coba, disusun oleh berbagai pakar pendidikan, dan dihasilkan dari pelaksanaan Asesmen Nasional yang sangat masif dan melibatkan seluruh elemen pendidikan yang ada, seperti sekian ratus ribu sekolah, sekian juta guru, dan sekian juta siswa. Asesmen Nasional adalah evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah untuk pemetaan mutu sistem pendidikan pada satuan tingkatan pendidikan dasar dan menengah. Evaluasi tersebut menggunakan instrumen AKM (asesmen kompetensi minimum, survei karakter, dan survei lingkungan belajar).

Sekolah, dalam hal ini, mau tidak mau, suka atau tidak suka, harus menerima “data-data” pada rapor sekolahnya, dan tak punya ruang untuk menyanggah, apapun itu, meskipun ingin sekali menyanggah. Di sini saya berpikir, jangan-jangan ketika sekolah sebetulnya menolak “data-data” yang ditampilkan pada rapor sekolahnya, inilah makna dari bedanya “data” dengan “fakta” yang saya tulis di atas. Misalkan, faktanya benar, bahwa guru menjawab “tidak terlibat” ketika ada indikator pada instrumen yang menanyakan apakah ia terlibat dalam kegiatan tertentu, maka itu akan berpengaruh terhadap nilai pada item tersebut. Sementara, fakta lain yang terjadi di sekolah tersebut adalah bahwa sesungguhnya banyak guru yang terlibat pada kegiatan yang ditanyakan di instrumen, tetapi guru-guru tersebut kebetulan tidak mengisi instrumen. Dan sekian contoh lain mengenai makna “data” dan “fakta” ini, yang secara tidak langsung diungkapkan oleh penerima rapor sekolah tersebut.

Dari sisi peserta ToT seperti saya, yah… kita sebagai peserta ToT pun hanya menelaah rapor sekolah yang “given” tersebut. Peserta ToT ini (katanya) nanti diproyeksikan akan membantu dan mendampingi sekolah dalam merencanakan perbaikan mutu sekolah berdasarkan data rapor sekolah tersebut. Selanjutnya, pendamping membantu sekolah mengidentifikasi akar masalah, memberikan alternatif solusi, memilih alternatif solusi, dan menyusun perencanaan kegiatan peningkatan mutu sekolah. Sementara berdasarkan simulasi yang dilakukan pada ToT untuk kegiatan pendampingan ini, saya (pribadi) merasa sangat sulit dalam membaca “data-data” pada rapor sekolah… dan saya juga menemukan bahwa data tertentu pada rapor tersebut tidak sinkron dengan data lainnya yang berkaitan.

Oh, my God. Apa yang terjadi sesungguhnya pada perencanaan berbasis data ini? Saya berusaha memahamkan diri, bersama beberapa teman sesama peserta. Untuk tidak menyalahkan siapa-siapa, saya hanya dapat mengatakan pada diri saya sendiri, bahwa saya sadar saya telah melakukan kesalahan, yaitu tidak fokus mengikuti ToT karena saya “menyambi” dengan pekerjaan online, yaitu menilai essay yang menuntut saya untuk berkonsentrasi penuh. Akibatnya, saya menjadi tidak paham sama sekali esensi dari ToT ini, karena saya telah mendua dan bercabang!

 

Yogyakarta, 3 April 2022.

(Renungan personal pada awal Ramadhan)

Thursday, July 15, 2021

Refleksi Diri: My Last Sharing-Experience

 ---Irene Nusanti


Hadiah ulang tahun dari saya utk teman2 semua...

Sesaat sebelum lepas landas dari landasan pacu seni dan budaya, ijinkan saya untuk membagi pengalaman up and  down selama bekerja, dikemas dalam sajian berikut.

Refleksi 1:

Angkringan 'Blind Spot"

Refleksi 2:

A Blind Spot


Friday, April 30, 2021

Metafora Kursi

 

--Rin Surtantini


Sudah setahun lebih ini ritme bekerja di kantor atau di rumah terbentuk secara alami atas kondisi yang muncul karena pandemi. Barangkali ini yang tahun lalu dikatakan sebagai terbentuknya kenormalan baru. Barangkali pola-pola kebiasaan baru yang muncul sebagai ritme dalam berpikir, berlaku, bersikap, atau berkata adalah bentuk-bentuk kenormalan baru. Ada ritme yang masih sama untuk dipertahankan dengan kondisi sebelum pandemi, ada juga yang ditinggalkan, ada yang disesuaikan. Entah juga. Jika hidup adalah sebuah pertunjukan, maka
the show must go on.


***

Webinar muncul sebagai contoh sebuah penyesuaian pada masa pandemi. Penyesuaian ini bahkan menunjukkan bahwa ia menjadi perhelatan yang dipilih banyak orang dari berbagai bidang, kalangan, maupun berbagai topik (Baca kembali tulisan tentang perhelatan webinar pada bulan Juni tahun lalu melalui link https://www.vidyasana.com/2020/06/perhelatan-webinar.html). Berjalannya waktu bahkan pernah membentuk gelombang euforia terhadap perhelatan webinar, baik bagi penyelenggara, penyaji, maupun pesertanya. Banyak topik menjadi hal baik untuk didiskusikan dan dibagi secara luas dan terbuka. Semakin ke sini, gelombang euforia ini mulai menunjukkan kenormalan baru. Ia tak lagi sesuatu yang sangat istimewa. Masyarakat pun mulai selektif terhadap konten yang disajikan dalam berbagai perhelatan webinar ini.

Kemarin jadwal saya WfH. Beberapa hari sebelumnya saya telah mendaftar sebuah kelas menulis berbayar secara online, tanpa sertifikat. Jadi karena kelas ini dimulai pukul 15 sampai pukul 17, maka itu tidak menjadi masalah bagi saya karena itu hari WfH saya. Lagipula, itu menjadi kegiatan yang menyenangkan, karena waktu untuk menunggu berbuka puasa menjadi pendek. Alasan lain mengapa saya mau ikut kelas itu adalah karena kontennya tentang menulis, dan yang berbagi ilmu adalah Joko Pinurbo, penulis yang puisi-puisinya memiliki gaya dan warna yang khas, bersifat naratif, ironis, tetapi juga humoris. Ia cakap dalam mengolah citraan dan menggunakan objek serta peristiwa sehari-hari dengan bahasa yang tajam tetapi juga cair. Melalui tulisan-tulisannya yang berbentuk puisi, ia melakukan refleksi, perenungan, yang dipicu oleh absurditas keseharian yang ada di sekitar kita. Ia mempermainkan dan mengolah kata-kata dalam bahasa Indonesia secara sederhana tetapi memiliki visi dan perspektif yang kuat terhadap tema atau pesan yang ingin disampaikannya.

Banyak yang dibagi olehnya melalui kelas menulis itu, dan salah satu dari sekian hal yang menarik, adalah ketika ia berbicara mengenai objek “kursi” sebagai citraan atau metafora. Semua yang ada di sekitar kita dapat bermetafora. Apa yang ada dalam benak kita terhadap kata “kursi”? Secara fisik, kursi adalah sebuah tempat untuk kita duduk. Duduk itu sendiri mengistirahatkan tubuh kita dari posisi berdiri, dari kegiatan berjalan, dari rasa lelah, dari rasa sakit, atau dari rasa bosan, dari keinginan untuk bersantai, dan berbagai kebutuhan tubuh lainnya. Maka desain kursi pun sangat beraneka ragam untuk memenuhi segala kebutuhan manusia, termasuk bahan dan teknologi dalam mengkreasi kursi itu sendiri.

Jika orang sudah lama duduk di kursi, dan kursi itu cocok baginya, sesuai dengan yang ia butuhkan atau inginkan, maka dirasakannya kursi itu menjadi enak dan nyaman. Sambil membaca, minum kopi, mendengarkan musik, menonton pertunjukan, ngobrol, memeramkan mata, berkhayal, bermimpi, ah nikmatnya……, dunia dan kehidupan adalah enak dan nyaman dirasa. Malas atau enggan rasanya untuk beranjak dan bangkit, atau berpindah, kecuali ada kursi yang jauh lebih nyaman untuk menikmati dunia dan kehidupan ini. Itulah kursi, objek fisik yang difungsikan oleh manusia untuk kebutuhannya.

Metafora apa yang dimunculkan sebagai citraan terhadap “kursi”? Ini menarik dan kita semua mengalami, merasakan, atau menyaksikan dalam keseharian kita. Jabatan, kedudukan, posisi, adalah citraan dari “kursi”. Perhatikan, adakah kenyamanan, kesenangan, kenikmatan, euforia, prestise, kehormatan tinggi, peningkatan derajad, gengsi, dan status sosial, kesejahteraan, privilege, kewenangan mutlak di sana, sehingga kursi adalah tempat yang melenakan? Segala citraan kursi, ternyata sulit untuk tidak dinikmati dalam lupa!

 Yogyakarta, 30 April 2021. 

Saturday, March 27, 2021

Money Talks: Sebuah Kejadian yang Diceritakan


--Rin Surtantini





Kemarin sore ketika menunggu maghrib tiba, denting di sebuah grup Whatsapp terdengar. Seorang teman mengirimkan kopi tulisan tentang sebuah kejadian kecil yang diceritakan oleh Winston Churchill, perdana Menteri Inggris jaman dulu. Entah dari mana asalnya teman ini mendapat kopian tulisan dalam bahasa Inggris itu, yang jika diterjemahkan kira-kira begini…

Perdana Menteri United Kingdom masa dulu, Winston Churchill, menceritakan sebuah kejadian menarik yang dialaminya sendiri. Ia naik taksi pada suatu hari ke kantor BBC untuk sebuah interview. Ketika sampai di tujuan, ia meminta kepada supir taksi untuk menunggunya sekitar 40 menit di sana, karena ia ingin pulang dengan menumpang taksi itu lagi. Tetapi supir taksi meminta maaf dan berkata, “Saya tidak bisa, pak, karena saya harus pulang ke rumah untuk mendengarkan pidato Winston Churchill di rumah.”

Pernyataan supir taksi itu sungguh mengagetkan Churcill. Ia sangat kagum dan sangat senang dengan niat supir taksi itu untuk mendengarkan pidatonya di radio! Bahkan supir taksi itu ingin segera pulang ke rumah demi keinginannya itu, dan tidak mau menunggu Churchill untuk menumpang taksinya lagi. Karena rasa bahagia dan kagumnya, Churchill pun mengeluarkan £20 dari dompetnya yang pada masa itu bernilai sangat besar. Diberikannya uang itu kepada supir taksi tanpa memberitahu siapa sebetulnya dirinya. Ketika supir taksi itu menerima uang sebanyak itu dari Churchill, ia mengatakan, “Pak, saya akan menunggumu sampai berapa lama pun bapak akan kembali! Dan membiarkan Churchill go to hell….”

Dari kejadian itu, Churchill mengatakan, bahwa kita dapat melihat bagaimana “prinsip-prinsip” sudah dimodifikasi demi uang; bangsa dijual untuk uang; kehormatan dijual karena uang; keluarga tercerai berai demi uang; teman-teman berpisah karena uang; orang-orang terbunuh untuk tujuan uang; dan orang-orang dibuat menjadi budak karena uang. Kejadian ini sungguh menarik baginya; maka ia pun memutuskan untuk membagi cerita ini, dan berharap kita dapat belajar sesuatu dari kejadian ini.

***

Sesungguhnya ini kejadian yang bukan luar biasa dan sangat banyak kita saksikan dalam lingkungan kita, di tempat kerja, di komunitas kecil sekali pun, di lingkungan sosial, di kompleks tempat tinggal, di mana pun, kapan pun di segala masa atau zaman, dan di dalam konteks apapun tetapi dengan pesan yang sama... Bukan hanya menyaksikan, tetapi mengalaminya. Dan yang justru membuat ngeri adalah… jangan-jangan, kita justru salah satu dari sekian juta manusia serupa supir taksi yang diceritakan oleh Churchill di atas, tetapi tidak menyadarinya, bahkan malah sibuk menuding bahwa sekitar kitalah yang melakukan itu!

Oh, my God. Suara adzan dari masjid pun sayup mengalun, menghentikan lamunan ini.

Money talks, money rules, money acts, money wins, money kills, money …

Silakan ditambahkan lagi sesuai dengan pengalaman masing-masing.


Yogyakarta, akhir pekan, 27 Maret 2021.

Monday, March 8, 2021

Percakapan yang Membelajarkan

 

  --Rin Surtantini

 


Suatu hari menjelang akhir bulan Desember tahun lalu, saya melakukan percakapan di Whatsapp dengan seorang kolega sekaligus sahabat yang mengajar di sebuah perguruan tinggi negeri. Ia mengelola jurnal terakreditasi nasional berbahasa Inggris yang kebetulan saya menjadi salah satu reviewer (mitra bestari atau penelaah) di dalamnya. Percakapan kami berdua cukup panjang, mengenai tradisi ilmiah dalam menulis dan menelaah artikel yang dikirim ke jurnal yang dikelolanya. Biasanya kami tidak pernah melakukan percakapan untuk artikel-artikel yang kebetulan saya diminta untuk menelaah sesuai dengan bidang keilmuan saya, karena jurnal itu dikelola menggunakan Open Journal System (OJS)yaitu aplikasi perangkat lunak sumber terbuka untuk mengelola dan menerbitkan jurnal ilmiah secara daring dengan penelaahan sejawat. Dengan OJS, sirkulasi pengiriman artikel, penyuntingan, review, dan seterusnya dilakukan secara online. Selain itu, biasanya artikel yang ditelaah itu tidak memiliki identitas penulisnya, sehingga para penelaah merupakan blind reviewers.

 Mengapa kali ini kami melakukan percakapan tentang artikel yang selesai saya telaah itu, karena melalui OJS, saya menyatakan bahwa artikel tersebut harus mengalami major revision yang harus dilakukan oleh penulisnya. Berhari-hari saya menelaah artikel tersebut dan merasa agak bersalah jika harus merekomendasikan ke pengelola jurnal bahwa artikel tersebut “ditolak” (decline) atau dikirim saja oleh penulisnya ke jurnal yang lain (submit elsewhere). Tentu tidak dengan tanpa alasan saya harus merekomendasikan itu, karena mengacu kepada profesionalisme serta standar substansi, teori, metode dan analisis penelitian, serta kebahasaan, artikel tersebut banyak sekali memiliki keterbatasan dan kekurangan. Mengapa saya kemudian merasa bersalah, adalah karena secara tidak sengaja saya mengetahui bahwa penulis artikel tersebut ternyata rekan sejawat kami berdua juga, teman sekolah pada saat kami sama-sama menempuh pendidikan tertinggi. Dalam artikelnya itu, ia menyematkan beberapa foto yang ada dirinya ketika melakukan penelitian yang ditulisnya!

 Saya tidak jadi menolak artikel tersebut, sehingga saya merekomendasikan revisi mayor alias perlu ditulis ulang dengan comments yang sangat banyak di bagian badan artikel. Ini akan sangat berat baginya. Rasa bersalah itu pun muncul di antara keinginan menegakkan standar serta kualitas dan membiarkan artikel itu lolos apa adanya….  Maka dari sinilah percakapan antara saya dengan kolega, sahabat saya sebagai pengelola jurnal itu terjadi.

 ***

 Oleh kolega saya ini, artikel hasil telaah saya tersebut dikembalikan ke penulisnya melalui OJS, dengan pilihan resubmit for review after revision as suggested within two weeks (silakan dikirim kembali agar bisa dilakukan telaah kembali oleh reviewer setelah penulis melakukan revisi sebagaimana disarankan dalam waktu dua minggu). Baiklah, ini merupakan sebuah tantangan yang berat bagi penulisnya, menurut saya, karena saya membayangkan kondisi artikel dengan revisi mayor tersebut akan sangat sulit untuk direvisi hanya dalam waktu dua minggu.

 Satu hal yang saya pelajari di sini: kolega saya sebagai pengelola jurnal mengatakan, “Dalam tradisi ilmiah, ditolak oleh jurnal itu adalah hal yang biasa, karena saya juga ngalami kok…hahaha…”

Saya menyetujui itu, karena tradisi ilmiah membuat kita banyak belajar untuk menerima fakta dan berbesar hati jika yang kita rasa sudah memenuhi kaidah ilmiah, ternyata belum bagi orang lain. Itulah manfaatnya penelaahan sejawat, yang membuka kesempatan bagi kita sebagai penulis artikel jurnal untuk memasuki dan belajar mengenai pandangan orang lain.

 Berikutnya kolega saya ini mengatakan, “Hal-hal inilah yang mengukuhkan agar pengelola jurnal harus selalu berusaha objektif. Jadi menolak naskah atau artikel itu sama sekali tidak apa-apa…”, demikian lanjutnya. “Apalagi kita sudah mendapat gelar akademik tertinggi. Ini menjadi tanggung jawab moral yang melekat pada hal-hal yang sifatnya objektif sebagai bagian dari membangun tradisi ilmiah. Itu yang harus selalu kita perjuangkan.”

 “Saya dan tim belajar step-by-step dalam perjalanan mengelola jurnal ini. Pada saat awal-awal mengajukan akreditasi dulu, editorial boards harus melakukan make up artikel yang gak nyambung biar jadi nyambung, yang morat-marit biar jadi tertata. Tetapi sekarang, kalau gak sesuai ya langsung kami decline (tolak)…,” lanjutnya.

 “Saya dulu menginisiasi jurnal ini untuk punya mimpi, yaitu punya tradisi ilmiah yang baik. Sudah sepuluh tahun masih merangkak. Semua melewati proses dengan terus memegang teguh tradisi ini. Kita harus menguatkan tradisi ilmiah yang jujur dan kredibel. Kita jauhkan diri dari kepentingan pribadi. Contoh konkritnya adalah sebagai editor in chief, adalah tidak etis jika mendominasi tulisannya sendiri di jurnal yang dikelolanya. Makanya saya sendiri jarang untuk melakukan ini, walaupun bisa dengan mudah saya lakukan itu… Saya harus berusaha menulis di tempat lain,” demikian lanjutnya.

 “Semoga kita dimudahkan oleh-Nya di jalan-Nya. Ini cara kita mengembangkan keilmuan di ranah yang kita kuasai sebagai hasil dari pendidikan yang kita peroleh.”

 Saya mengamini doanya. Terdiam. Yang tiba-tiba melintas dalam benak saya saat itu adalah membandingkan dengan yang saya alami dan yang terjadi di lingkungan saya. Saya tersentak ketika ia melanjutkan lagi…

 “Ini hari ibu. Sepertinya saat baik untuk merenungkan keberadaan kita di bidang akademik dan pendidikan”. Saya melihat kalender meja di dekat laptop. Ah iya, tanggal 22 Desember. Bagi saya ini sebuah kebetulan saja. Yang lebih penting bagi saya adalah pada hari ini terjadi sebuah momen percakapan yang fruitful, bermanfaat dan membelajarkan.

 “….Saya berjuang untuk semua yang saya katakan tadi, walaupun juga ada rongrongan-rongrongan pragmatis…. Tetapi kalau saya masih menjadi leader dalam tugas ini, saya percaya Tuhan tetap memberikan kekuatan bagi saya untuk istiqomah. Jadi akhirnya kita akan dibiarkan untuk memegang prinsip dan memertahankan idealisme yang kita miliki,” lanjutnya lagi.

 Maka saya pun memotong, “Saya sangat berterima kasih karena diberi kesempatan untuk belajar banyak dari proses dan tugas saya menjadi reviewer.”

 Belum sempat saya melanjutkan lagi, ia mengatakan, “Sama-sama, sahabatku. Saya mewakili tim kami, yang harus menyampaikan banyak terima kasih, dan permohonan maaf karena tidak bisa memberikan apresiasi yang layak. Di dalam sistem, kami telah mengikrarkan untuk free of charge, jadi tidak ada dana untuk pengelolaan jurnal ini. Hanya Allah yang membalas amal solehmu, sahabat. Berapa waktu dan pikiran yang dimanfaatkan untuk me-review itu tak ternilai harganya… Mohon maaf, yang kami bisa lakukan hanya menyampaikan SK Rektor dan sertifikat sebagai reviewer. Matur nuwun, sahabat, atas ketulusan dan komitmennya. Iringan doa kami kirimkan, agar engkau tetap sehat, bahagia, dan sukses dunia akherat. Aamiin.”

 Maka saya pun mengucapkan ini, “To me, this is something that makes me proud and feel contented. Sesuatu yang lebih tinggi nilainya secara intangible. Semua itu menjadi urusan Allah, karena saya yakin Tuhan tidak pernah lalai terhadap makhluk yang diciptakan-Nya. Doa yang sama saya kirimkan untukmu.”

 Matahari pun semakin tinggi hari itu. Saya seperti berada dalam dunia yang baru, meski dengan matahari yang tetap sama……. Bagi saya, apa yang saya lakukan selama beberapa tahun terakhir ini pada jurnal yang dikelola oleh kolega dan sahabat saya itu adalah sebuah pengalaman dan contoh nyata berada dalam lingkungan budaya ilmiah yang terpelihara. Tiba-tiba saya ragu, dapatkah ini saya ceritakan dan lakukan dalam sebuah lingkungan yang sarat dengan muatan pragmatis dan politis? Keraguan ini kembali menggedor-gedor pintu hati saya pada malam yang semakin tua, malam setelah saya menerima tugas yang sama dalam bentuk SK yang berbeda!

  

Yogyakarta, 8 Maret 2021.

Monday, February 8, 2021

VIRTUAL TAK SEMUANYA

 

--Eko Santosa 


Sekumpulan mahasiswa sedang memperbincangkan dosen mereka ketika menunggu jadwal kuliah berlangsung. Dosen tesebut terkenal dan sering menjadi perbincangan karena ketakmauannya menggunakan teknologi informasi dalam mengajar, terutama penggunaan gawai. Paling banter, ia hanya menggunakan alat presentasi untuk menjelaskan keterangan lisan berbasis buku yang masih kurang dipahami. Selebihnya, ia akan langsung turun ke lapangan membimbing para mahasiswa berpraktik. Menurut para mahasiswa, sementara banyak dosen telah menggunakan teknologi informasi dan komunikasi sampai taraf virtual reality, dosen mereka yang satu ini terhitung sangat ketinggalan zaman. Meskipun komunikasi verbal yang dibangun di kelas berjalan lancar tetapi menurut para mahasiswa hal tersebut dianggap kurang cukup menopang performansi ideal seorang dosen di zaman modern.

Di tengah perbincangan yang sedikit riuh cenderung kasak-kusuk tersebut, sang dosen datang, berjalan santai dan langsung masuk ke kelas. Semua mahasiswa segera mengikutinya dan duduk dengan rapi. “Kelas hari ini akan saya mulai dengan pendekatan baru”, kata sang dosen. “Oleh karenanya, silakan keluarkan smartphone masing-masing.”  Mendengar itu, sontak kelas riuh. Semua mahasiswa gembira karena merasa ada kemajuan dari sang dosen. “Nah, sekarang, carilah gambar atau foto apel melalui gawai kalian. Bebas, apel jenis apapun yang disukai!” Tak beberapa lama para mahasiswa sudah siap dengan gambar masing-masing. “Sekarang angkat dan tunjukkan gambar apel itu dan saling perlihatkan!” Semuanya mengikuti arahan sang dosen. “Nah, kalian semua telah punya apel. Saya juga punya sebuah apel”, lanjut dosen tersebut sambil mengambil apel dari tasnya.

“Sekarang, mari kita makan bersama apel tersebut, silakan!”, dengan tenang sang dosen memakan apelnya, sementara para mahasiswa saling menatap bingung satu sama lain. “Ada yang nggak enak apelnya?”, tanya sang dosen. Para mahasiswa kembali bingung dan sang dosen dengan lahapnya memakan apel tersebut. Begitu mau selesai, ia lanjut berkata, “Nah, sebagai orang yang berbudaya, kita harus membuang sampah di tempatnya”, seraya mengambil kantong hitam dan membuang sisa apel yang ia makan ke kantong tersebut. “Jika kalian sudah selesai makan apelnya, silakan buang sisanya ke kantong hitam ini ya, dan tolong nanti kantong hitam ini dibuang ke bak sampah”. Kemudian dengan tenang dosen itu berdiri dan berkata, “Sekian pelajaran untuk hari ini, dan sebagai penutup, kita mesti mampu menyediakan kebutuhan makan, tidak hanya untuk diri kita sendiri, tetapi juga bagi banyak orang, itulah tujuan utama kita belajar pertanian dan perkebunan. Selamat siang dan terimakasih.” Dengan tenang, dosen itu meninggalkan kelas, meninggalkan para mahasiswa yang saling melongo atau senyum kecut antara satu dengan yang lain.

Selepas kelas, para mahasiswa kembali riuh dalam kasak-kusuk. Ada yang memahami pesan yang hendak disampaikan sang dosen, ada yang tetap bingung, dan ada yang terkesima. Tiba-tiba ada seorang mahasiswa berkata, “Kemarin bapak itu menjelaskan teori Bronislaw Malinowski bahwa untuk menilai ataupun merasakan sesuatu kita mesti mengalaminya secara langsung.” “Ya, tapi apa kaitannya dengan apel?”, tanya yang lain. “Makanan kan harus kita sediakan secara benar-benar nyata apa adanya, kita makan secara nyata, termasuk rasa kenyang itu harus nyata, tidak semuanya bisa diwakili secara virtual”, sela yang lain. Mendengar itu semuanya diam. Lepas benar atau salah kesimpulan itu, namun kelas menjadi diam, semuanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. (**)

 

Eko Santosa

WFH/O, 080221

Thursday, January 28, 2021

“Entropi”: Menelisik Realitanya di Tempat Kerja

 --Rin Surtantini

  


Tulisan tentang “entropi” pada Vidyasana, Jumat, 22 Januari 2021 lalu oleh seorang teman, mas Rohmat Sulistya yang latar belakang pendidikannya adalah teknik kimia, cukup menarik. Membahasnya dari definisi dan pemahaman kata “entropi” sebagai hukum kedua termodinamika ini, penulisnya kemudian mengoneksikannya dengan bagaimana makna dari kata “entropi” ini berkorespondensi dengan realitas dalam kehidupan umat manusia, makhluk hidup dan benda-benda, bumi, alam semesta, dan jagad kehidupan. Inilah yang menarik untuk dibahas.

 Memahami hukum termodinamika kedua dalam kehidupan sehari-hari, segala sesuatu di jagad semesta akan mengalami dan merasakan hadirnya “waktu” yang bergerak menuju satu arah, yaitu ke depan. Kecenderungan yang selalu terjadi dengan hadirnya waktu adalah bahwa segala sesuatu itu akan menuju kepada ketidakteraturan. Buah-buahan dan sayur-sayuran akan membusuk, lalu lama kelamaan akan menghilang dari pandangan kita. Lima tahun yang lalu rumah kita masih baru, tetapi saat ini pintunya mungkin rusak, atapnya bocor, pemanas air panasnya tak berfungsi lagi, temboknya retak, dan sebagainya. Bangunan-bangunan tempat kita bekerja mulai rusak di sana-sini, kendaraan yang dimiliki mulai rewel, manusia menua dengan bertambah umurnya. Semua yang tadinya utuh dan teratur akan berubah pasti seiring berjalannya jarum waktu.

 Peristiwa-peristiwa di atas merupakan bagian dari apa yang dinamakan “entropi”. Entropi menyadarkan manusia bahwa waktu terus berjalan maju. Entropi mengacu kepada kondisi ketika sebuah sistem dalam kondisi normal cenderung berproses menjadi tidak teratur, rusak, hancur. Jika sebuah sistem semakin tidak teratur, maka entropinya meningkat, atau menjadi tinggi.

 Di luar konteks termodinamika, kata “entropy” dalam kamus-kamus Bahasa Inggris memiliki arti chaos, randomness, disorganization, lack of order, gradual decline into disorder, confusion, lack of pattern. Jadi entropi mengacu kepada kondisi kekacauan, kondisi acak, tidak terorganisir, kurangnya tatanan, penurunan secara perlahan menjadi ketidakteraturan, kebingungan, kurangnya pola-pola, dan kondisi-kondisi serupa atau semacam ini. Entropi dalam aspek kehidupan akan terus meningkat dan itu dapat diamati setiap saat di dalam jagad raya semesta ini.

 John Demma (2012) menjelaskan, ketika sebutir telur jatuh dari atas meja dan pecahan telur itu mengotori lantai, kita tidak pernah dapat melihat lagi bahwa pecahan telur itu secara spontan akan membentuk sebutir telur yang utuh lagi seperti semula. Kondisi telur sebelumnya di atas meja utuh; tetapi ketika jatuh, telur itu di atas lantai berubah menjadi kepingan-kepingan pecahan kulit dan tumpahan isinya. Jika pecahan, tumpahan, dan kepingan kulit telur itu dikumpulkan, maka partikel-partikel itu tak mungkin dapat membentuk kembali telur utuh seperti semula. Logika yang diperoleh adalah, semakin banyak kepingan pecahan telur, semakin tinggi nilai entropinya.

***

Entropi dalam perbincangan budaya kerja sesungguhnya juga mengadopsi dari entropi dalam hukum termodinamika. Sebuah mesin menghasilkan energi yang jumlahnya sama dengan jumlah energi yang dimasukkan ke dalamnya. Tetapi jika di dalam mesin tersebut terjadi kerusakan pada salah satu komponennya, maka sebagian energi yang dimiliki oleh mesin akan digunakan untuk mengatasi kerusakan komponen ini. Dengan begitu, mesin itu tidak akan berfungsi optimal dalam menghasilkan energi seperti yang diharapkan, karena sebagian energi yang seharusnya mengoptimalkan fungsi mesin sudah terambil untuk mengatasi kerusakan komponen yang terjadi pada mesin. Dalam kondisi ini, entropi pun terjadi.

 Di dalam lingkup kerja, entropi dapat setiap saat terjadi jika orang-orang yang bekerja di dalamnya mengalami misalnya konflik, rasa tidak percaya, kecewa, putus asa, persaingan tidak sehat, friksi, kecurigaan, kebencian, ketidakadilan, dan emosi-emosi serupa ini. Beranalogi dengan kerja mesin yang menurun karena ada kerusakan pada salah satu komponen di dalamnya, maka energi yang dimiliki oleh para karyawan di suatu lingkup kerja yang seharusnya digunakan untuk pekerjaan-pekerjaan yang produktif, akan beralih dan digunakan oleh mereka untuk mengatasi berbagai emosi, sikap, dan rasa negatif yang muncul di lingkungan kerja mereka. Akibatnya, jumlah energi mereka menjadi minimum, mereka tidak menghasilkan pekerjaan-pekerjaan yang produktif. Mengapa? Karena energi yang dilibatkan karyawan untuk mengatasi entropi di lingkungan kerja mereka adalah energi yang seharusnya tersedia untuk pekerjaan produktif mereka, namun energi itu sudah terambil.

 Apabila dilakukan pengukuran secara valid dan sahih terhadap kondisi di atas, maka skor dari entropi budaya kerja akan menunjukkan berapa banyak energi yang dikonsumsi oleh para karyawan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sama sekali tidak produktif dan tidak perlu, bahkan yang sama sekali tidak mendukung nilai positif lembaga tempatnya bekerja! Skor yang dilakukan melalui pengukuran atau alat ukur yang benar juga akan memperlihatkan tingkat dari disfungsi yang terjadi di dalam lembaga. Bukan hanya itu saja, disfungsi dan penyebab entropi di dalam lingkup kerja pun akan dapat ditelisik, dan dijadikan pijakan untuk evaluasi (jika sadar dan mau!).

 Ketika skor entropi meningkat, energi karyawan menjadi minimum; maka produktivitas dan nilai positif lembaga pun otomatis menurun (kecuali ada usaha-usaha rekayasa untuk menyelubunginya). Waktu bekerja dirasa menjadi panjang, membosankan, dan ini harus dibunuh oleh karyawan dengan membuatnya cepat berlalu. Apa yang dilakukan oleh mereka? Tak perlu jawaban, karena mungkin, atau jangan-jangan kita juga sudah berada dalam entropi di tempat kita bekerja! Mari periksa bersama…

 Maka tulisan ini juga mungkin pertanda bahwa entropi sudah melilitkan akar-akarnya di tubuh suatu entitas tempat kita selalu mengatakan bahwa kita berintegritas.

 

 Masa WfH -- Yogyakarta, 28 Januari 2021.

Monday, January 25, 2021

Buang Telur dan Pesan Sesungguhnya yang Tak Terbaca

 

--Eko Santosa


 

Hari ini, (25/01/21), seorang kawan membagikan unggahan video dari IG dan FB tentang aksi seorang peternak membuang hasil panen telurnya ke sawah. Hal ini ia lakukan karena biaya pakan ternak yang tinggi sehingga hasilnya tak sebanding dengan panen telur yang diperoleh. Atas aksi tersebut komentarpun berhamburan. Seperti umumnya media sosial, komentar selalu bersifat kulit, emosional, dan subjektif. Hampir semua komentar menyesalkan tindakan peternak tersebut. Sebagian besar menganggapnya mubadzir dan tidak memikirkan bahwa banyak orang lain yang sedang kesusahan, bisa makan telur sehari 1 saja sudah syukur. Intinya, 90 persen komentar bernada menyalahkan bahkan menghujat sang peternak.

Ya, semua orang pasti akan berkomentar seperti itu jika hanya melihat sekilas apa yang dilakukan sang peternak. Saya pun juga, kira-kira, akan berkomentar sama. Tetapi jika dilihat lebih mendalam, melihat video dari awal sampai akhir tanpa komentar dan kalau perlu diulang, mungkin peternak tersebut ingin menyampaikan maksud lain dari sekedar selisih harga pakan dan telur yang tak sebanding sehingga melahirkan kerugian. Mungkin ia ingin bertanya keras, mengapa harga pakan bisa naik sedangkan harga telur merosot? Apa yang menyebabkan harga pakan naik dan harga telur merosot? Siapa yang bisa menentukan kenaikan dan penurunan harga barang? Dan mungkin pertanyaan-pertanyaan lain. Tetapi karena ia tidak menemukan orang atau lembaga yang tepat untuk ditanyai, atau pernah bertanya tetapi selalu tidak menemukan jawaban yang tepat, maka aksi buang telur itu ia lakukan, divideo, diunggah ke medsos, agar viral dan agar pesan berupa pertanyaan itu segara tersampai pada orang atau lembaga yang tepat menangani perkara harga pakan dan telur. Mungkin demikian maksudnya.

Walakin, yang ia dapatkan justru komentar-komentar menyalahkan atas aksi yang dilakukannya. Artinya, pesan sesungguhnya yang hendak ia sampaikan tak terbaca. Sama sekali tak terbaca. Bahkan, tak lama kemudian, aksi dan pesan peternak tersebut bakal berlalu dengan video viral lain yang diunggah orang lain dengan perkara yang lain. Mungkin, orang pintar akan berkata bahwa, kalau peternak tersebut hendak protes (bertanya), semestinya menggunakan saluran yang benar, bukan dengan aksi buang-buang hasil panen semacam itu. Mungkin orang pintar juga akan berkomentar bahwa, semestinya ada manajemen baik yang diterapkan sehingga perhitungan antara pakan, lama waktu pemeliharaan, dan panen tidak negatif. Banyak kemungkinan memang, namun bandul timbangan tetap lebih besar pada kesalahan tindakan sang peternak.

Ya, memang yang terjadi seperti itu. Dalam kehidupan yang serba cepat dan informasi serba kilat ini, sulit sekali menyeret perhatian publik untuk mendalami sebuah persoalan secara menyeluruh. Sebagian besar orang pasti akan melihat fisik dari tindakan saja. Mereka tidak mau bersusah payah mendalami persoalan karena itu jelas bukan urusan mereka dan tidak ada keuntungan bagi mereka. Padahal, kalau ditinjau sedikit lebih dalam, apa yang dilakukan peternak tersebut sebetulnya juga tidak merugikan mereka. Tetapi, siapa pula yang mau meninjau lebih dalam? Kondisi semacam ini hanya akan melingkar-lingkar dan berada di luar persoalan sesungguhnya.

Jadi, sangat kecil sekali kemungkinan adanya jawaban bagi peternak tersebut tentang mengapa harga pakan bisa naik dan harga telur bisa turun serta siapa atau apa yang mengendalikannya? (**)

 

WFH, 25/01/21

Sunday, January 24, 2021

Bisa Membaca: Paham yang Dibaca?

  

--Rin Surtantini

 


 Terusik oleh diskusi di Whatsapp pribadi dengan salah seorang teman tentang kegiatan membaca yang hampir setiap saat dilakukan oleh siapapun, membuat saya mengenang kembali salah satu materi yang saya pelajari di Regional English Language Center (RELC) di Singapura, sekira lima tahun yang lalu. Saat itu saya bersyukur, terseleksi sebagai salah satu dari sekian banyak pendaftar untuk mendapatkan beasiswa mengikuti Professional Enhancement Program in Pedagogy and Principles of Teaching for Indonesian Master Trainers of English, karena itu sungguh bermanfaat! Dua bulan tinggal dan belajar dengan jadwal padat setiap hari Senin sampai Jumat dari pukul 09.00 sampai 16.00 di negeri singa pada tahun 2015 ini, salah satu materi yang sampai saat ini masih berkesan adalah yang berkaitan dengan literasi “membaca”.

 Ya, setiap orang yang bersekolah pasti bisa membaca (dalam bahasa yang digunakannya). Setiap orang mengalami bagaimana ia belajar membaca, mulai dari mengenal huruf, suku kata dan kata, sampai menjadi frasa atau kelompok kata, kalimat yang utuh, mengeja, merangkai, dan mengucapkannya dari sebuah teks tulis yang tersedia. Saya juga ingat, bagaimana dulu keponakan saya yang saya kunjungi di Surabaya, ketika ia berusia lima tahun, selalu berusaha membaca keras setiap tulisan yang dilihatnya di pinggir jalan, di baliho, di spanduk, di papan iklan, di toko-toko, di sepanjang perjalanan kami di atas mobil. Sungguh menarik, dia secara alami dan spontan mempraktikkan kepandaiannya bahwa dia sudah bisa membaca.

 Peristiwa yang juga masih saya ingat adalah ketika di Sekolah Dasar berpuluh tahun silam, ibu dan bapak guru di kelas satu dan dua selalu meminta murid-muridnya secara bergiliran untuk membaca nyaring (reading aloud) bahan bacaan yang ada di buku pelajaran Bahasa Indonesia. Nanti, akan terlihat siapa yang lancar, lantang, intonasinya baik, tidak salah ucap. Yang masih belum lancar, suaranya pelan, intonasinya kurang baik, ucapannya masih salah, akan diminta oleh ibu atau bapak guru untuk mengulangi. Begitulah, pelajaran membaca menjadi salah satu persyaratan di sekolah untuk dapat memahami pelajaran-pelajaran lainnya.

 ***

Kembali ke diskusi saya dengan teman di atas tadi, yang kami perbincangkan adalah: setiap orang bisa membaca, tetapi apakah setiap orang paham apa yang dibacanya? Diskusi ini muncul karena dalam sebuah forum komunikasi, sempat terlihat ketidakpahaman seseorang terhadap apa yang dibacanya, sehingga responnya terhadap topik pembicaraan menjadi tidak pas, menggok. Ingatan saya tentang “apa itu membaca” dalam konteks literasi baca tulis tiba-tiba muncul. Kita banyak membaca apapun, mulai dari yang ringan sampai yang serius, tetapi mungkin pernah suatu saat kita sendiri mengalami, atau kita menyaksikan orang lain, bahwa “bisa membaca” belum tentu “paham apa yang dibaca”! Jika memperhatikan dengan cermat, indikasi ketidakpahaman seseorang akan apa yang dibaca dapat terlihat pada forum komunikasi yang terjadi, baik komunikasi lisan maupun tulis.

 Kita tentu ingat bahwa beberapa tahun silam, “literasi” sempat menjadi salah satu materi umum yang wajib diberikan pada diklat-diklat bagi guru, kepala sekolah, dan pengawas di negeri ini. Di dalam bahan tayang yang wajib disampaikan oleh widyaiswara pada diklat-diklat ini, terdapat sekian jenis literasi, bukan hanya literasi baca tulis saja. Sementara itu, yang paling banyak bisa dicontohkan adalah yang berkaitan dengan literasi baca tulis. Contoh-contoh literasi baca tulis itu ditampilkan dengan misalnya membuat pojok baca di sekolah yang didekorasi sedemikian rupa untuk menumbuhkan minat baca, membaca tentang sebuah topik selama lima belas menit pada pagi hari di dalam kelas, memperbanyak jumlah buku di perpustakaan sekolah, dan berbagai teori lainnya, ditambah lagi dengan sekian banyak panduan teknis bagi para guru untuk melaksanakannya di sekolah, sampai ke lembar evaluasi apakah usaha meningkatkan literasi sudah dilakukan.

 Seiring dengan perubahan kebijakan dan lain sebagainya, materi literasi dan hal-hal yang berkaitan dengan itu sudah berlalu dan tidak lagi menjadi “trend” sebagai materi diklat saat ini. Saya teringat tulisan almarhum Prof. Winarno Surakhmad, guru besar Universitas Negeri Jakarta dalam buku Pendidikan Nasional: Strategi dan Tragedi (2009). Dituliskannya, menerapkan pendidikan tanpa menghiraukan landasan filosofinya, atau mendalami filosofi pendidikan sebagai pengetahuan tanpa menghiraukan penerapannya, berarti memilih yang tidak benar. Menurutnya, secara hakiki, tidak ada aktivitas atau praktik pendidikan yang dapat berlangsung tanpa dasar filosofi yang sedikitnya terkait dengan makna kehidupan dan nilai-nilai kemanusiaan; demikian pula sebaliknya, tidak ada filosofi yang dapat mendalami problematik pendidikan tanpa menjiwai praktik pendidikan. Filosofi pendidikan yang tidak berkelanjutan ke dalam penerapannya dalam kehidupan nyata, menjadi mubazir dan tidak layak disebut filosofi pendidikan.

 ***

Kegiatan paling awal yang dilakukan oleh pengajar di RELC Singapura pada materi “Reading” yang saya alami adalah menumbuhkan kesadaran terhadap apa itu keterampilan membaca atau reading skills. Dengan survei yang dilakukannya terhadap peserta program pelatihan ini, sesuatu yang menggelitik pun muncul: apakah yang dimaksud dengan membaca nyaring (reading aloud) versus membaca untuk memahami (reading comprehension)? Membaca nyaring sesungguhnya bukan termasuk keterampilan membaca, melainkan speaking skills (keterampilan berbicara), karena dalam membaca nyaring, yang ingin dicapai adalah pengucapan yang benar dan jelas, intonasi yang tepat, kelancaran dalam mengucapkan, dan nada suara yang sesuai. Inilah yang dilatihkan dan diajarkan ketika guru-guru meminta muridnya untuk membaca nyaring (reading aloud), jadi tujuannya adalah bukan untuk memahami apa yang dibaca. Ini mengingatkan saya ketika mendapat giliran membaca keras ketika di Sekolah Dasar dahulu.

Pelajaran membaca yang sesungguhnya adalah reading comprehension (membaca untuk memahami). Membaca dalam konteks memahami adalah ketika seseorang melihat teks dan “memberi makna” kepada simbol tertulis (teks) tersebut. Membaca adalah mengonstruksi makna melalui interaksi dinamis antara tiga hal, yaitu pengetahuan yang dimiliki seseorang sebagai pembaca, informasi yang diberikan oleh teks, dan konteks yang tersedia. Jadi, untuk tujuan ini, maka pelajaran “membaca” bukanlah read aloud, tetapi think aloud.

 Kegiatan berikutnya yang dilakukan oleh pengajar di RELC Singapura pada materi “Reading” ini adalah melakukan survei terhadap peserta pelatihan, yang antara lain menanyakan apa yang dilakukan oleh guru dalam pelajaran membaca? Mengajarkan membaca (teaching reading), ataukah memberikan tes membaca (testing reading)?  Pertanyaan ini menggelitik, karena faktanya adalah guru lebih cenderung melakukan “tes membaca” terhadap murid-muridnya daripada mengajarkan “strategi membaca” untuk memperoleh makna atau memahami bacaan. Hal ini akan terlihat dari kegiatan klasik yang dilakukan oleh guru setelah murid-murid membaca, yaitu meminta mereka untuk menjawab pertanyaan bacaan. Jika murid dapat menjawab pertanyaan sesuai dengan yang “tersurat” pada bacaan, maka disimpulkan bahwa murid memahami isi bacaan. Benarkah demikian? Ini sangat berkaitan dengan konstruksi pertanyaan yang dibuat oleh guru terhadap bacaan yang diberikan kepada murid-murid. Apakah pertanyaan bacaan itu hanya mengecek “ingatan”, ataukah sampai kepada level yang lebih tinggi? Setelah tiga tahun kemudian di Indonesia, hal ini saya temukan mirip pada materi HOTS (higher order thinking skills) yang menjadi “hot issues” atau materi wajib pada diklat-diklat guru di negeri ini, bersamaan dengan materi literasi.

 Selanjutnya, pengajar RELC Singapura meminta peserta pelatihan untuk melakukan evaluasi terhadap bahan-bahan bacaan dalam buku-buku pelajaran Bahasa Inggris yang diterbitkan oleh penerbit-penerbit di Indonesia, mulai dari Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas.

Fokus yang harus kami lakukan saat itu adalah mengevaluasi konstruksi pertanyaan-pertanyaan yang ada pada bahan bacaan pada buku-buku pelajaran terbitan Indonesia tersebut. Evaluasi dilakukan menggunakan taksonomi pada keterampilan membaca. Hasilnya? Sungguh menggugah. Evaluasi yang dilakukan menunjukkan bahwa sebagian besar pertanyaan yang diberikan untuk mengecek reading comprehension (pemahaman terhadap bacaan) setelah murid membaca bahan-bahan bacaan pada sebagian besar buku penerbit Indonesia, ada pada level literal comprehension, yang jika disetarakan dengan taksonomi Bloom, ada pada level LOTS (lower order thinking skills), atau C1 (mengingat). Level literal comprehension merupakan salah satu level rendah yang ada pada taksonomi membaca. Sangat sedikit ditemukan pertanyaan yang dibuat untuk membuat murid berlatih menganalisis, mengevaluasi, mengapresiasi, atau melakukan inferensi dan variannya.

 Dari fakta di atas, maka selain “apa yang dibaca” (what to read), mengajarkan “bagaimana membaca” (how to read) menjadi strategi membaca yang perlu dikuasai dan diajarkan oleh guru, pendidik, pengajar, sebagai bagian dari penguasaan literasi baca tulis dalam segala bidang ilmu. Mengajarkan strategi membaca (teaching reading) ini menjadi isu penting dalam pengalaman literasi baca tulis, bukan sekedar mengetes membaca (testing reading). Akhirnya, pengecekan terhadap pemahaman membaca (reading comprehension) juga menjadi bagian penting dalam belajar membaca. Pengecekan ini dilakukan melalui konstruksi pertanyaan yang tidak hanya melibatkan ingatan murid terhadap yang tersurat, tetapi juga melibatkan kebiasaan pada level-level berpikir tingkat tinggi, seperti melakukan inferensi, mengevaluasi, menganalisis, mengapresiasi, dan berbagai variannya.

 ***

 Bisa membaca dan paham apa yang dibaca, menjadi dua persoalan penting dalam meningkatkan “literasi” (baca tulis) sebagai salah satu kecakapan abad 21 dalam pembelajaran. Dalam konteks yang lebih luas, literasi baca tulis tentu harus terjadi dalam pembelajaran pada segala bidang ilmu dan pengetahuan, bukan hanya pada pelajaran bahasa. Literasi baca tulis pun tidak hanya terjadi pada pembelajaran di sekolah, tetapi juga dalam segala konteks kehidupan, dalam bersosialisasi, dalam berkomunikasi, dalam bekerja, dengan mengoneksikan landasan filosofis dan praktik. Selamat berliterasi!

 

 Yogyakarta, 24 Januari 2021.

Friday, January 22, 2021

ENTROPI

 

--Rohmat Sulistya

 


Beberapa hari lalu, saya secara iseng menonton kanal YouTube Gita Wirjawan, seorang pengusaha dan mantan Menteri perdagangan di era Soesilo Bambang Yudhoyono. Saya mendapatkan kanal ini tentu saja atas kecanggihan teknologi saat ini, dimana feed dan suggestion pada laman akun Youtube saya dan beberapa akun media social lainnya, tercipta karena perilaku dan minat saya pada topik-topik tertentu. Termasuk kemudian tercatat juga menjadi suggestion dalam belanjaan saya di Bukalapak dan Shopee. Inilah era dimana minat terlusur kita pada suatu topik akan terekam secara otomatis sebagai data yang berharga dan akan digunakan oleh raksasa-raksasa teknologi untuk mengarahkan “kehidupan” kita.

Dalam kanal tersebut, Gita Wiryawan sebagai host mewawancari seorang tamu wanita lulusan ITB dan MIT yang sangat smart. Sayangnya wanita itu sudah bersuami 😊. Topik yang dibicarakan cukup luas: dari wabah covid, metabolism manusia indonesia dan eropa, PCR, biodiversifikasi, AI, ide pengkodean genetic 270 juta manusia Indonesia, dan banyak topik berat lainnya yang saya sendiri banyak gak ngerti. Tapi benang merahnya adalah sustainability, keberlangsungan hidup manusia dalam puluhan, ratusan tahun ke depan bahkan saat kita harus berdampingan dengan robot yang dinyawai oleh artificial intelegent. Saat robot, pada saatnya nanti, bisa mengerjakan semua urusan manusia; lalu bagaimana mereka hidup berdampingan dan tidak saling mematikan. Wisdom atau kebijaksanaan adalah kuncinya.

Banyak kata-kata penting dan ilmiah adalah perbincangan tersebut. Tetapi ada satu kata yang dulu sangat akrab saat kuliah dan sampai saat inipun saya kurang berhasil memahaminya. Kata tersebut adalah entropi. Ini adalah peristilahan dalam kimia yang berhubungan dengan panas; yang bagi saya sendiri adalah ilmu yang sulit.



Berikut ini adalah definisi entropi dari Wikipedia yang tetap bikin pusing.

Entropi adalah salah satu besaran termodinamika yang mengukur energi dalam sistem per satuan temperatur yang tak dapat digunakan untuk melakukan usaha. Mungkin manifestasi yang paling umum dari entropi adalah (mengikuti hukum termodinamika), entropi dari sebuah sistem tertutup selalu naik dan pada kondisi transfer panas, energi panas berpindah dari komponen yang bersuhu lebih tinggi ke komponen yang bersuhu lebih rendah. Pada suatu sistem yang panasnya terisolasi, entropi hanya berjalan satu arah (bukan proses reversibel/bolak-balik). Entropi suatu sistem perlu diukur untuk menentukan bahwa energi tidak dapat dipakai untuk melakukan usaha pada proses-proses termodinamika. Proses-proses ini hanya bisa dilakukan oleh energi yang sudah diubah bentuknya, dan ketika energi diubah menjadi kerja/usaha, maka secara teoretis mempunyai efisiensi maksimum tertentu. Selama kerja/usaha tersebut, entropi akan terkumpul pada sistem, yang lalu terdisipasi dalam bentuk panas buangan.

Duhhh....

Belakangan istilah entropi ini mengarah kepada kata umum (dari kata khusus yang hanya membahas panas dalam termodinamika). Entropi sering diungkapkan sebagai derajat ketidakteraturan, kekacauan, atau derajat ke-chaos-an. Entropi itu selalu naik, dengan demikian ketidakteraturan ini semakin tinggi juga. Dan ini sebuah keniscayaan, kealamiahan, atau sunatullah. Bumi, manusia, alam raya, universe entropinya akan naik. Dengan kata lain bumi dan seisinya ini akan semakin chaos dari waktu ke waktu. Apakah kechaiosan ini akan menuju kesetimbangan yang baru atau malah menuju kehancuran total, wallahu a’lam.

Yang jelas, kita mungkin sepakat, keadaan hari ini makin lama makin membuat kita bingung. Pandemi virus 2019/2020 bukanlah pandemi yang pertama yang menimpa umat manusia. Paling tidak, dijaman yang sudah tercatat dalam sejarah modern, dari 10 pademi, 4 diantaranya adalah wabah influenza (medcom.id). Jadi menjadi 5 dengan wabah covid-19 saat ini yang juga varian influenza. Bahkan pandemi flu tahun 1918-1920 menewaskan 20-50 juta manusia di seluruh dunia.

Bertatap muka, saling berkunjung, berkumpul, bersalaman, semua dibatasi. Muka kita hanya nampak dari mata. Kita hanya bisa menebak seseorang cantik atau cool hanya dari matanya. 

Kalau dari kacamata agama, inilah waktu kita semakin menundukkan pandangan.

Bukankah ini keadaan yang aneh, yang membuat segalanya menjadi semakin tidak teratur dan kacau. Boleh jadi dalam beberapa tahun ke depan gedung-gedung megah mewah semakin unutilized karena minim digunakan. Belajar online juga tidak serta merta menggantikan belajar dengan berhadap-hadapan guru dan murid. Sebuah ritual belajar yang sudah dijalani ribuan tahun. Tetapi iniah realitasnya, dan sangat mungkin ini adalah sebuah ketidakteraturan yang naik.

Sangat mungkin, semuanya itu menuju ke kesetimbangan baru -yang sifatnya adalah sementara- menuju ke derajat kekacauan yang lebih parah dalam ratusan tahun ke depan. Siapa tahu?. Yang jelas kehancuran total alam raya pasti akan datang pada masanya. Mungkin ratusan atau ribuan tahun ke depan.

Haruskah berpikir sejauh itu. Ya gak papa, berpikir membuat kita hidup.

Bagaimana kita secara individu akan bertahan dalam kondisi ketidakteraturan ini, yang minim dukungan (support) dan panduan (guidance) secara sistemik. Program kerja kurang jelas, apa yang harus dikerjakan belum nampak. Mungkin inilah chaos kecil di dunia kerja kita.

Akhirnya kita akan kembali kepada sebuah hal saat kemungkinan hubungan manusia dan robot cerdas semakin nyata dimasa depan: wisdom atau kebijaksanaan. Kita tetap harus menjadi manusia yang bijaksana dalam segala keadaan. Menuntut ilmu adalah kewajiban abadi setiap manusia, dalam pandangan agama maupun rasio manusia. 

Jadi, kita akan lebih banyak belajar dalam hal apapun dalam menghadapi tahun-tahun ke depan; terlebih lagi perjalanan kita dalam ribuan tahun ke depan.

Salam sehat.

Sunday, August 2, 2020

WfH Series: PERUBAHAN


---Purwadi



Ketika saya masih PTP, pernah ditugaskan untuk menjadi pengajar K13, padahal kami (PTP) belum pernah mendapatkan pembekalan mengajar K13. Oleh koordinator PTP kami mengadakan pembekalan mandiri, dan yang menjadi pengajar yaitu Pak Gede Oka Subagya, dan Pak Totok Sugiarto. Dari keduanya kami mendapatkan teknik untuk mengajarkan K13, baik cara membuka kelas, cara menyampaikan materinya, cara memberikan tugas, cara-cara membuat kelompok, cara-cara permainan, dan lain sebagainya. Banyak sekali ilmu cara mengajar yang kami dapatkan dari beliau berdua. Pokoknya sangat berkesan dan bermanfaat sekali bagi kami, yang belum pernah mengajar. Dengan apa yang disampaikan Pak Gede dan Pak Totok, saya catat urutan-urutannya sebagai modal untuk tugas yang akan kami laksanakan.

Silahkan bapak ibu menyiapkan selembar kertas dan bolpoint. Kalau sudah, silahkan membuat lima tanda tangan. Nanti saya akan menebak karakter sifat-sifat dari bapak Ibu. Kemudian semua mengerjakan sesuai dengan instruksi Pak Totok waktu itu. Setelah semua selesai membuat lima tanda tangan, kemudian Pak Totok menginstruksikan kembali. Sekarang, silahkan bapak ibu membuat lima tanda tangan lagi, tetapi dengan menggunakan tangan kiri, atau tangan yang berbeda dari sebelumnya. Kelas jadi ramai, gemuruh, riuh. Namun semua mengerjakan apa yang disampaikan Pak Totok. Pak Totok melihat hasilnya satu persatu. Bagus….. kata Pak Totok.

Setelah meneliti hasil tanda tangan yang kami kerjakan, Pak Totok menuju ke papan tulis. Apa komentar dan kesan bapak ibu, setelah membuat tanda tangan dengan tangan kiri. Silahkan beri komentar, akan saya tuliskan di papan tulis ini. Kemudian pesertapun tunjuk jari dan berkomentar, Pak Totok menulis di papan tulis:

1. Kaku

2. Sulit

3. Susah

4. Pegel

5. Hasil jelek

6. Tidak memuaskan

7. Nyerah pak

8. Tidak seperti yang diharapkan

9. Parah pak

10. Hasil berbeda pak

Setelah menulis komentar peserta di papan Tulis, Pak Totok menjelaskan. Bapak ibu, mari kita lihat satu persatu komentar bapak ibu yang sudah saya tulis ini. Nomer 1 kaku, ini negatif atau positif? Negatif Pak, semua perserta menjawab. Kemudian nomor 2? Negatif pak. Dan ternyata Bapak Ibu, dari nomor satu sampai nomor sepuluh semua komen dan kesannya adalah Negatif, tidak ada yang komen positif. Inilah yang dirasakan oleh bapak ibu. Betul? Betul Pak, semua menjawab.

Bapak Ibu…. Pak Totok melanjutkan… biasanya bapak ibu menulis dengan tangan kanan, dan kemudian ganti menulis dengan tangan kiri, ternyata yang dirasakan oleh bapak ibu adalah hal-hal yang negatif. Ini biasa terjadi apabila ada suatu perubahan. Apapun itu perubahan, biasanya komentarnya negatif, apakah itu ada perubahan menteri, perubahan kebijakan, perubahan adat-istiadat, perubahan kurikulum, dan perubahan-perubahan lainnya. biasanya orang selalu berprasangka buruk. Mengapa tadi tidak ada yang berkomentar positif, misalnya sangat tertantang pak, berusaha lebih bagus pak. Itu bukti bahwa setiap ada perubahan, biasanya kita berprasangka buruk. Oleh karena itu Bapak Ibu, janganlah kita berprasangka buruk dahulu jika ada suatu perubahan, sebelum kita mengetahui maksud dari perubahan itu. Apapun perubahan itu, kita cari segi positifnya. Pasti ada.

Itulah kenanganku belajar dengan Pak Totok dan Pak Gede. Dan setiap saya ditugaskan untuk mengajar K13 dulu, selalu saya sampaikan kepada peserta tentang membuat tanda tangan dengan tangan kanan dan tangan kiri, dan hasilnya sama, komentarnya banyak yang negatif. Saat itu baru terjadi perubahan kurikulum menjadi Kurikulum 13.

Kita, kantor kita telah terjadi berubahan, perubahan nama dari PPPPTK-SB menjadi BBPPMPV-SB, apakah kita akan berprasangka buruk, atau berprasangka positif?



Pokoh,

Sabtu, 1 Agustus 2020


Sunday, May 10, 2020

WfH Series: Murid, Guru, Orangtua, dan Widyaiswara


--Rin Surtantini





“Tofu is not cheese”, tahu bukanlah keju. 
Demikian dikatakan oleh Prof. Yong Zhao kepada sekelompok pendidik ESF Quarry Bay Primary School (QBS), sebuah sekolah di Hong Kong, yang memutuskan untuk mengubah krisis Covid-19 menjadi sebuah kesempatan untuk menata kembali pendidikan. 


Tofu is not cheese” oleh Iwan Pranoto, pengajar Matematika pada Institut Teknologi Bandung, dikatakan sebagai kiasan dari Yong Zhao yang mengingatkan kita bahwa sekolah dan praktik pendidikan konvensional sudah terhenti pada saat pandemi COVID-19 ini, sehingga jangan menganggap seolah-seolah sekolah masih normal. Yang paling utama menurutnya adalah bagaimana pelajar dan guru dapat mengorkestra proses belajar-mengajar sebaik-baiknya di tengah krisis ini [kompas.id, 2 Mei 2020]. Diilustrasikan olehnya, kemewahan bangunan sekolah seperti tak penting lagi saat ini. Wabah kali ini justru mengingatkan pada pendidik untuk fokus kembali pada isu utama, yakni mutu belajar.
***
Wacana yang berkembang di seputar dunia pendidikan saat pandemi COVID-19 saat ini lebih banyak tertuju kepada guru, murid, dan juga orangtua yang menggantikan peran guru sebelumnya di sekolah, karena sekarang proses belajar anak-anaknya beralih untuk dilakukan di rumah. Rumah telah menjadi sekolah bagi murid-murid. Dengan begitu, banyak yang harus dinegosiasikan antara guru, murid, dan orangtua sejalan dengan situasi dan kondisi yang dirasakan oleh semua pihak sebagai “tidak normal” ini. Negosiasi ini menjadi bagian dari kolaborasi antara ketiga pihak ini yang menghasilkan kesepakatan atas dasar azas kesetaraan.

Kesetaraan? Ya, tentu saja, karena murid-murid, para guru dan para orangtua sama-sama memasuki situasi dan kondisi yang “tidak normal” yang datang sekonyong-konyong pada saat yang sama. Ketiganya berangkat bersama menghadapi ketiba-tibaan ini. Murid-murid tiba-tiba harus belajar di rumah melalui akses informasi digital, secara mandiri, tanpa guru yang setiap saat mendampingi atau mengawasinya seperti di sekolah. Mereka harus mampu mengelola proses belajarnya sendiri dengan perangkat teknologi informasi digital yang belum tentu dimilikinya, atau dimiliki seadanya. Dengan kata lain, sebagai murid, mereka pun menjadi guru bagi dirinya sendiri, yang menentukan apakah mereka mau belajar atau tidak.

Demikian pula dengan guru. Mereka dibebani tanggung jawab moril untuk harus bertanggung-jawab terhadap peningkatan pengetahuan dan keterampilan murid-muridnya. Tiba-tiba mereka harus menyiapkan konten pembelajaran yang harus disampaikan melalui teknologi pembelajaran digital berbasis internet. Kegagapan teknologi pembelajaran yang selama ini mungkin tidak begitu dirisaukan oleh guru karena hanya difungsikan sebagai “sekedar” ada media pembelajaran atau alat bantu mengajar dalam rencana program pembelajarannya, sekarang menjadi kebutuhan yang sekonyong-konyong datang dan harus dipenuhi.

Orangtua pun tak kalah dipaksa untuk bertanggung-jawab tanpa perlu ada surat perintah atau surat tugas dari sekolah anak-anaknya. Murid-murid yang dikembalikan ke rumah untuk belajar telah mendorong orangtua untuk menyediakan keperluan anak-anaknya mulai dari misalnya akses internet, gawai atau perangkat teknologi informasi, serta “waktu” dan “kesabaran” serta “keikhlasan” untuk menjadi guru bagi anak-anaknya. Komunikasi dengan guru-guru pun menjadi hal penting yang kadang harus dilakukan karena keterbatasan orangtua dalam mengelola proses belajar mengajar bagi anak-anaknya.

Pada situasi di atas, murid, orangtua, dan guru berada pada kesetaraan dampak “ketiba-tibaan” yang terjadi. Banyak solusi ditawarkan, melalui program-program belajar online, paket-paket media pembelajaran melalui misalnya youtube, program televisi, slides, rekaman audio, seminar online, referensi-referensi seperti download e-book gratis, dan lain sebagainya. Murid, orangtua, dan guru, bersama-sama mengakses semua solusi yang ditawarkan tersebut. Artinya, ketiganya sama-sama berperan sebagai orang yang belajar, sama-sama belajar, sama-sama saling mengajarkan, baik teknologinya dalam mengakses informasi, maupun konten dari yang diakses.

Hal menarik yang dikatakan oleh Iwan Pranoto melalui artikel “Revolusi Pendidikan” itu [kompas.id, 2 Mei 2020) adalah belajar akan lebih efektif sekaligus mengasyikkan jika anak bersama dengan orangtuanya mempelajari pengetahuan dan keterampilan secara berkolaborasi; demikian pula guru dan murid, ke depannya harus duduk sama tinggi untuk berkolaborasi belajar bersama. Dengan kata lain, situasi dan kondisi yang saat ini dianggap “tidak normal” karena terjadi secara mendadak, harus dihadapi sedemikan rupa bersama-sama untuk dapat menciptakan kembali “kenormalan” yang “baru” dengan adaptasi-adaptasi yang harus dilakukan. Maka, setelah pandemi berakhir, semua akan menjadi “terbiasa” dengan “kenormalan baru” itu, kenormalan sebagai hasil dari memeroleh solusi bersama untuk meningkat ke level proses belajar mengajar yang lebih baik.

Prof. Yong Zhao mengatakan bahwa online education memang tidak dapat menggantikan semua fungsi yang dilakukan oleh sekolah, tetapi online education juga dapat melakukan banyak hal yang lebih daripada versi face-to-face schooling. Masa ini, menurutnya, merupakan kesempatan besar bagi para guru untuk mengajarkan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang kita harapkan dapat kita ajarkan atau bagikan selama ini, tetapi tidak pernah mendapatkan ruang atau waktu di dalam kurikulum. Kompetensi global dan digital adalah dua contoh dalam hal ini.
***
Lalu, apa yang terjadi dengan “widyaiswara”? Siapakah dan bagaimanakah widyaiswara serta lembaga-lembaga diklat bagi guru dalam situasi pandemi COVID-19 ini? Sangat sedikit atau bahkan hampir tidak ada wacana yang membicarakan widyaiswara (teacher educator, teacher trainer) dan lembaga-lembaga diklat ketika hiruk-pikuk tiba-tiba terjadi sehubungan dengan kebutuhan yang sekonyong-konyong mencuat seperti literasi digital, akses terhadap informasi digital, sistem pengelolaan belajar berbasis digital atau online. Fokus perhatian ada pada murid-murid, guru-guru, dan para orangtua, karena ketiga unsur inilah yang memang secara nyata terlihat sebagai pelaku utama dan langsung dalam praktik belajar mengajar. Widyaiswara menjadi self-determined person, silakan menentukan sendiri apa yang harus dilakukannya.

Maka, kutipan-kutipan tulisan Iwan Pranoto [kompas.id, 2 Mei 2020) berikut ini menjadi menarik untuk direnungkan oleh para widyaiswara dan lembaga-lembaga diklat bagi guru:

“Krisis ini menunjukkan usangnya cara berpikir berurutan dalam strategi pelatihan guru, yaitu membenahi pendidikan dengan meningkatkan kecakapan mengajar guru, baru kemudian guru akan meningkatkan proses membelajarkan ke siswa. Cara berpikir sequential atau antrean ini lamban sekaligus mahal.”


“Peningkatan kecakapan guru sekaligus penyediaan pembelajaran bermutu bagi siswa harus dilakukan secara bersamaan dan lewat satu medium.”

“Program pelatihan guru konvensional yang dilaksanakan dengan guru harus meninggalkan sekolah merugikan murid. Cara lama itu harus ditinggalkan”.

Pendapat kritis di atas dapat menjadi pertanyaan reflektif terhadap diri sendiri sebagai seorang widyaiswara: apakah saat ini, dalam situasi murid belajar dari rumah, maka posisi kemampuan atau kecakapan widyaiswara adalah masih tetap lebih tinggi daripada para guru, murid, dan orangtua? Guru, murid, dan orangtua saat ini, dalam situasi tidak normal ini, ada pada kesetaraan dalam belajar secara online, dalam memperoleh informasi secara digital, dalam mengelola proses belajar mengajar secara mandiri, dalam menggunakan dan memanfaatkan perangkat teknologi informasi digital. Mereka belajar bersama dan berkolaborasi untuk mengatasi masalah bersama seperti misalnya memeroleh kecakapan literasi digital dan konten materi yang dibungkus secara digital.

Not to return to the same education after we return to the same school
seems to be a widely shared desire among the innovative (Yong Zhao).

Pernyataan Yong Zhao di atas kira-kira diterjemahkan begini: Para inovator dalam konteks pendidikan saat ini menginginkan untuk tidak kembali lagi ke pola dan sistem pendidikan yang sama (baca: “lama”) setelah pandemi COVID-19 nanti berakhir, meskipun secara fisik kita akan kembali lagi ke gedung sekolah yang sama.

Ini mengimplikasikan akan adanya “kenormalan baru” yang akan tercipta, yaitu kenormalan sistem pembelajaran yang sudah terbiasa dilakukan selama masa pandemi COVID-19 oleh guru-guru, murid-murid, dan para orangtua. Kenormalan baru itu adalah kenormalan digital, kenormalan teknologi informasi, kenormalan learning management system… kenormalan yang awalnya harus dihadapi dengan kegagapan teknologi dan kebingungan dalam menghadapinya secara tiba-tiba, tetapi seiring dengan the show must go on, maka ketiga unsur pelaku proses pembelajaran ini akan terbiasa dan menjadi “bisa”. Maka, proses ini akan menunjukkan adanya perubahan kultural dalam kehidupan manusia, dan itu secara konektivitas akan terjadi dalam tujuh cultural universals yang dikemukakan oleh George Murdock, Claude Levi-Strauss, Donald Brown, yang mencakup bahasa, sistem teknologi, sistem pengetahuan, sistem mata pencarian hidup, organisasi sosial, religi, dan kesenian dalam berbagai praktik dan aplikasinya.

Jadi, apakah widyaiswara dan lembaga-lembaga diklat bagi guru akan tetap berada di puncak menara gadingnya, atau bersedia untuk turun dan lebur, cair bersama dengan para guru, murid, dan orangtua pada proses belajar yang sama, menuju terciptanya “kenormalan” era baru? Menjadi seorang profesional yang setidaknya setara atau bahkan satu level lebih tinggi dari para guru dan murid, sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya?

Ditulis pada masa Work from Home,
[ketika menjadi peserta diklat online untuk merancang pembelajaran online]

Yogyakarta, 9 Mei 2020.

Wednesday, April 15, 2020

WfH Series: MENYOAL EVALUASI PELAKSANAAN WFH


---Cahya Yuana


Salah satu berita yang diangkat oleh harian Kompas pada tanggal 13 April 2020 adalah persoalan efektivitas pelaksanaan Work From Home (WFH). Berita dengan judul “Jaga Pelayanan Meski Kerja dari Rumah” ini membahas laporan publik yang masuk di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Berdasar laporan tersebut pada periode 17 Maret hingga 9 April tak sedikit masyarakat yang mengeluh terkait dengan pelayanan publik. Keluhan terbanyak pada sektor layanan administratif Kependudukan. Hampir separoh laporan yang masuk ke Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi adalah laporan terkait layanan administratif Kependudukan. Setelah itu disusun layanan kelistrikan dan perpajakan.

Berbicara tidak optimalnya WFH adalah suatu hal yang wajar. Jauh sebelum virus corona masuk, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi sudah mewacanakan ASN bisa bekerja dari rumah. Kompas online pada tanggal 26 Nopember 2019 misalnya mengangkat satu berita dengan judul “Soal Wacana PNS Kerja dari Rumah di 2020, Ini Penjelasan KemenPAN-RB” (https://www.kompas.com/tren/read/2019/11/26/114506265/soal-wacana-pns-kerja-dari-rumah-di-2020-ini-penjelasan-kemenpan-rb). Sebelumnya Liputan6 online mengangakat headline dengan judul “Wacana PNS bisa kerja dari rumah, Manjakan Aparatur Negara? (https://www.liputan6.com/bisnis/read/4037924/headline-wacana-pns-boleh-kerja-dari-rumah-manjakan-aparatur-sipil-negara).

Berita tersebut menyebutkan uji coba PNS kerja di rumah akan dimulai per 1 Januari 2020. Uji coba dilakukan di Bapenas dengan melibatkan 1.000 PNS. Untuk kementerian lain menunggu hasil kajian dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Kajian ini nanti akan menentukan PNS mana yang bisa melakukan pekerjaan dari rumah dan mana PNS yang pekerjaan harus diselesaikan di Kantor. Masalah kesiapan infrastruktur juga menjadi pertimbangan pelaksanaan bekerja dari rumah pada saat itu. Belum semua instansi pemerintah membuat sistem bekerja secara online. Beberapa instansi yang sudah mengembangkan sistem online juga masih mengharuskan karyawan bekerja di kantor. Sistem online yang dibangun belum bisa mengcover semua pekerjaan. Permasalahan tersebut yang menjadikan pemerintah memutuskan bekerja dari rumah belum bisa diterapkan secara optimal pada saat itu.

Covid-19 mengubah semua rencana tersebut. Covid-19 memaksa pemerintah membuat keputusan PNS melakukan pekerjaan dari rumah meski masih ada kendala terkait keterbatasan infrastruktur. Tentunya dalam waktu yang sempit kendala tersebut belum dapat diselesaikan. Membangun sistem online tentu bukan perkara mudah. Selain membutuhkan waktu dan tenaga, budaya kerja online juga belum tertanam pada semua ASN. Masih banyak PNS yang lebih suka bekerja secara offline dengan datang dikantor. Keterbatasan dan permasalahan ini tentu sudah diketahui oleh pemerintah.

Sehubungan dengan itu mengukur tentang efektivitas program bekerja dari rumah pada saat ini tidak bisa hanya didasarkan pada penurunan kualitas layanan. Keputusan pelaksanaan program bekerja dari rumah pada saat ini lebih didasarkan kepada upaya memutuskan atau mengurangi rantai penyebaran Covid-19. Tolok ukur evaluasi tentunya lebih diutamakan kepada sejauhmana efektivitas program bekerja dari rumah dalam hal memutus rantai penyebaran Covid-19. Tentu tidak berarti penurunan layanan ini dibiarkan. Proses perbaikan layanan tetap harus dilakukan, sambil PNS tetap melakukan pekerjaan dari rumah.

Program bekerja dari rumah justru bisa dijadikan sebagai uji coba kebijakan, seperti apa pola bekerja bagi PNS apabila nantinya Covid-19 sudah musnah, dan pemerintah masih memprogramkan bisanya seorang PNS bekerja dari rumah. Sisi positif dan negatif sekaligus kendala perlu dicatat, dan nantinya menjadi dasar untuk melakukan perbaikan.