Showing posts with label Humaniora. Show all posts
Showing posts with label Humaniora. Show all posts

Monday, February 10, 2025

Earthenware



Rohmat Sulistya


Ini adalah bagian ke-0 dari embrio sebuah buku. Saya memberi judul buku ini dengan Earthenware. Mungkin banyak orang yang tidak memahami atau baru pertama kali mengenal istilah earthenware. Tapi bagi Sebagian orang yang lain, istilah ini cukup akrab.

Dua puluh tahun yang lalu, ketika saya masuk kerja untuk pertama kali, bisa dikatakan, saya memiliki modal pengetahuan di bidang keramik yang sangat minim. Seperti orang awam kebanyakan, keramik, dalam benak saya adalah alas rumah yang kita injak. "Tukang sedang memasang keramik untuk kamar tamu". Atau saya sering membaca iklan toko bangunan yang menawarkan beli 2 dus keramik gratis 1 dus untuk keramik yang diobral. Tetapi dengan berjalannya waktu, saya mulai membaca buku-buku yang ada di kantor baru saya, dan mulai terbuka wawasan saya tentang keramik.

Dan salah satu bagian dalam sebuah buku keramik yang saya baca, ada bagian yang menjelaskan tentang klasifikasi tanah liat atau badan tanah liat. Membaca istilah badan yang diterjemahkan dari kata 'body' dalam Bahasa Inggris, cukup membuat saya mengernyitkan dahi untuk tau makna dari badan itu sendiri. Walaupun saya tidak menemukan penjelasan secara eksplisit tentang 'badan' tetapi saya menjadi mengerti secara konteks; kalau badan adalah substansi baik bahan tunggal atapun campuran. Dalam konteks keramik, badan tanah liat (clay body) merujuk pada substansi tanah liat tunggal maupun campuran yang digunakan untuk membuat benda keramik. Walaupun tunggal, tapi sejatinya tidak ada tanah liat tunggal. Tanah liat murni dari Sukabumi atau Godean adalah campuran mineral tanah liat dan silika, kapur, sodium oksida, dan magnesium oksida, besi oksida dan banyak komponen yang lain. Campuran berbagai komponen tersebut menjadikan sebuah sistem yang ajaib sehingga substansi lembek, liat, dan plastis akan berubah menjadi substansi yang keras dan kuat. Saya jadi membayangkan betapa kompleksnya sebuah benda keramik terwujud. Tidak sesederhana yang mugkin kita bayangkan, seonggok tanah dibentuk, dibakar, dan jadilah ia keras.

Kembali kepada istilah earthenware. Dalam bagian buku yang saya baca tadi ada pengelompokkan badan tanah liat yang dikenal orang sekarang ini, yaitu earthenware, stoneware, dan porcelain. Secara hafiah bisa kita terjemahkan benda tanah, benda batu, dan porselen. Pasti kita akan senyum-senyum sendiri membaca terjemahan kasar ini. Sehingga tidak banyak yang menerjemahkan ke istilah Bahasa Indonesia secara leterlek. Bila Anda suatu saat berjalan-jalan ke Yogyakarta dan menyempatkan diri mengunjungi Kasongan maka Anda akan dimanjakan pemandangan berderet-deret toko atau galeri yang memajang produk-produk tembikar atau gerabah. Biasanya kita akan mendapati guci-guci, pot bunga, dan aneka perangkat makan minum yang berwarna abu kecoklatan. Itulah produk gerabah atau dalam istilah klasifikasi badan keramik masuk pada golongan earthenware. Produk gerabah seakan menjadi produk asli Indonesia. Meskipun kenyataannya tidak demikian, karena tembikar ditemukan dalam tahapan pekermbangan peradaban di beberapa negara.

Ketika saya kecil dan hidup di pedesaan, saya akrab dengan berbagai macam peralatan masak dari earthenware. Ibu mengulek bumbu dengan layah, memasak sayur nangka di kuali gerabah, di atas keren. Ketika ingin makan agak mewah, kami membeli sate atau bakmi jawa yang dimasak atas bara api dalam anglo. Layah, kuali, keren, anglo semuanya dibuat oleh pengrajin gerabah. Waktu kecil permainan-permainan yang saya mainkan bersama teman-teman sebaya juga banyak berbahan gerabah. Mulai dari peluit berbentuk burung, alat masak-masakan, sampai kendang. Dan waktu itu kami bermain dengan gembira bersama-sama. Bukan permainan individu tapi permainan yang mewujudkan kebersamaan. Di mana mereka membuat produk itu?. Saya yang berasal dari Yogyakarta sebenarnya belum lama mengetahui di mana benda-benda itu dibuat. Awalnya saya agak heran kenapa gerabah-gerabah yang dipajang di pinggir jalan lebih mengarah kepada benda seni untuk pajangan? Ternyata benda-benda gerabah yang lekat dengan kehidupan saya saat kecil dibuat di kampung bagian dalam, tidak dipinggir jalan. Simbah-simbah yang nampak sepuh -entah generasi pertama, kedua, atau ketiga- masih setia membuat aneka produk untuk keperluan memasak dengan model benda yang dapat dikatakan tidak berubah dari tahun ke tahun. Layah, kuali, keren, anglo ya seperti itu. Saya pribadi tidak menganggapnya sebagai sebuah stagnasi tapi justru sebaliknya. Ini adalah symbol keuletan, konsistensi, dan ketangguhan (resiliensi). Bisa jadi beberpa dari kita menganggapnya sebagai kegagalan berkreasi atau tidak mampu beradaptasi dengan perubahan. Itu sah-sah saja. (Bersambung)

Sunday, July 18, 2021

Pada Suatu Malam Yang Lengang


--Rin Surtantini

 


In memoriam: Mas Daryanto

Sudah hampir tiga minggu saya terkunci di sebuah kota untuk sebuah kepentingan personal yang sangat berarti bagi saya, selain secara kebetulan pula, terjadi pelaksanaan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) oleh pemerintah di seluruh wilayah pulau Jawa dan Bali. Karena dekat dengan Jakarta dan merupakan kota besar yang menjadi pintu gerbang ke wilayah lain, kota tempat saya terkunci ini pun tak luput dari kebijakan PPKM. New normal yang setahun lalu masih menjadi bayangan, kini dengan segera telah menjadi sebuah pilihan yang harus kita terima dan alami dengan melakukan berbagai adaptasi untuk tetap survive.

 Seorang teman tetangga saya di Yogya mengirim pesan singkat kepada saya, apakah kota tempat saya sekarang terkunci itu aman? Saya tertawa, dan menjawab, tidak ada tempat di manapun saat ini yang aman. Virus yang ganas itu ada di mana-mana, tidak peduli siapa saja, karena siapa pun memiliki potensi untuk dihampirinya. Yang harus kita jaga sekarang adalah ‘mobilitas’ dan ‘imunitas’. Teman tetangga ini adalah salah satu dari 37 orang yang sampai hari ini terpapar covid di kompleks rumah saya, satu di antaranya berpulang ke hadirat-Nya. Saya sampaikan rasa prihatin dan simpati saya, mengingat semakin ke sini, virus itu terasa semakin dekat dengan kita… Dalam pikiran saya, hampir setiap hari, di grup-grup Whatsapp yang saya ikuti, ada berita mengenai kepergian orang-orang yang dekat dengan kita, yang kita kenal, yang kita tahu, yang kita kasihi, dan sebagian besar kepergian mereka adalah karena virus yang mematikan ini. Sungguh mengiris hati!

Apa yang melintas dalam pikiran saya ini tiba-tiba muncul di grup Whatsapp widyaiswara pada hari Kamis dinihari, 8 Juli 2021 yang lalu. Jantung saya berdesir, dan doa saya panjatkan dalam kesunyian pagi itu, bagi kesembuhan mas Daryanto, yang sempat mengirimkan pesan singkat dan sebuah gambar yang kabur, yang menandai bahwa ia dan istrinya saat itu terpapar virus yang saya takuti itu. Empat hari kemudian, Senin selepas magrib, 12 Juli 2021, kembali berita mengenai mas Daryanto dikirimkan di grup Whatsapp widyaiswara. Kondisi mas Daryanto yang tidak lebih baik, muncul dari berita itu, diiringi doa teman-teman yang mengalir … dan mendapat respon dari akun mas Daryanto, “Trimakasih doanya.” Ada teman yang mengomentari dengan senang, “Syukur mbah Argo isa WA-nan…”  Seandainya memang itu respon dari mas Daryanto, saya pun ikut bersukahati, berharap mas Daryanto dapat segera pulih dan keluar dari rumah sakit.

Malam itu selepas membaca berita terakhir mengenai kondisi mas Daryanto, saya pun mengenangnya. Ia saya kenal ketika pertama kali saya masuk di kantor yang sama, tahun 1992. Mas Daryanto sudah lebih dulu masuk, mungkin satu atau dua tahun sebelum saya. Hampir tiga puluh tahun bersama di kantor ini, jatuh bangun, in our good and bad times, up and down, semua tentu terekam dalam catatan milik Tuhan yang tak terbatas. Tetapi malam itu, yang saya ingat, yang selalu ada dan terekam dalam keterbatasan pikiran saya adalah mas Daryanto pada tahun-tahun 1990an, ketika ia sering menjadi pembaca Pembukaan UUD 1945 pada kesempatan upacara bendera setiap tanggal 17 pada setiap bulan. Pada masa-masa itu, saya sangat suka jika pembacanya adalah mas Daryanto. Saya suka dengan caranya membaca, dengan kualitas suaranya yang menggelegar, menghayati, jelas, dengan artikulasi dan intonasi yang menggugah, dan dengan penuh gelora semangat dalam melantunkan setiap kata dan kalimat pada teks Pembukaan UUD 1945. Menurut saya, ia membacanya dengan hati! Ia mampu mengalirkan semangat dari makna dan isi teks itu kepada yang hadir pada upacara bendera tersebut.

Saya pun terlelap dalam ingatan terbayang itu. Dan seketika, denting Whatsapp yang muncul dari grup widyaiswara kurang lebih lima jam kemudian, pukul 23.26 WIB, membangunkan saya, dan menggedor-gedor hati saya. Seorang teman dari Studio Tari mengabarkan sebuah kepastian ini: mas Daryanto telah pergi meninggalkan kita semua sebagai teman-temannya di korps widyaiswara….. Ia pergi pada pukul 20.42 WIB, dua jam setelah ada respon dari akunnya di grup terhadap aliran doa dari teman-teman. Pada malam kepergian almarhum itu, kembali saya mengingatkan diri saya sendiri, bahwa betapa virus itu semakin dekat dengan kita, karena ia sekarang menghampiri orang-orang yang kita kenal, kita tahu, dan kita kasihi….

Satu lagi malam yang lengang terlewati dengan kedukaan: Senin malam, 12 Juli 2021.

Mas Daryanto telah menyelesaikan perjalananannya dengan segala irama dan gelombang kehidupan dunia yang tiada kekal. Untuk itu, saya bisikkan pada sukmanya, beristirahatlah dalam tenang dan keabadian yang membahagiakan, mas Daryanto!

 

Bandar Lampung, 18 Juli 2021.

 

 

Saturday, March 27, 2021

Money Talks: Sebuah Kejadian yang Diceritakan


--Rin Surtantini





Kemarin sore ketika menunggu maghrib tiba, denting di sebuah grup Whatsapp terdengar. Seorang teman mengirimkan kopi tulisan tentang sebuah kejadian kecil yang diceritakan oleh Winston Churchill, perdana Menteri Inggris jaman dulu. Entah dari mana asalnya teman ini mendapat kopian tulisan dalam bahasa Inggris itu, yang jika diterjemahkan kira-kira begini…

Perdana Menteri United Kingdom masa dulu, Winston Churchill, menceritakan sebuah kejadian menarik yang dialaminya sendiri. Ia naik taksi pada suatu hari ke kantor BBC untuk sebuah interview. Ketika sampai di tujuan, ia meminta kepada supir taksi untuk menunggunya sekitar 40 menit di sana, karena ia ingin pulang dengan menumpang taksi itu lagi. Tetapi supir taksi meminta maaf dan berkata, “Saya tidak bisa, pak, karena saya harus pulang ke rumah untuk mendengarkan pidato Winston Churchill di rumah.”

Pernyataan supir taksi itu sungguh mengagetkan Churcill. Ia sangat kagum dan sangat senang dengan niat supir taksi itu untuk mendengarkan pidatonya di radio! Bahkan supir taksi itu ingin segera pulang ke rumah demi keinginannya itu, dan tidak mau menunggu Churchill untuk menumpang taksinya lagi. Karena rasa bahagia dan kagumnya, Churchill pun mengeluarkan £20 dari dompetnya yang pada masa itu bernilai sangat besar. Diberikannya uang itu kepada supir taksi tanpa memberitahu siapa sebetulnya dirinya. Ketika supir taksi itu menerima uang sebanyak itu dari Churchill, ia mengatakan, “Pak, saya akan menunggumu sampai berapa lama pun bapak akan kembali! Dan membiarkan Churchill go to hell….”

Dari kejadian itu, Churchill mengatakan, bahwa kita dapat melihat bagaimana “prinsip-prinsip” sudah dimodifikasi demi uang; bangsa dijual untuk uang; kehormatan dijual karena uang; keluarga tercerai berai demi uang; teman-teman berpisah karena uang; orang-orang terbunuh untuk tujuan uang; dan orang-orang dibuat menjadi budak karena uang. Kejadian ini sungguh menarik baginya; maka ia pun memutuskan untuk membagi cerita ini, dan berharap kita dapat belajar sesuatu dari kejadian ini.

***

Sesungguhnya ini kejadian yang bukan luar biasa dan sangat banyak kita saksikan dalam lingkungan kita, di tempat kerja, di komunitas kecil sekali pun, di lingkungan sosial, di kompleks tempat tinggal, di mana pun, kapan pun di segala masa atau zaman, dan di dalam konteks apapun tetapi dengan pesan yang sama... Bukan hanya menyaksikan, tetapi mengalaminya. Dan yang justru membuat ngeri adalah… jangan-jangan, kita justru salah satu dari sekian juta manusia serupa supir taksi yang diceritakan oleh Churchill di atas, tetapi tidak menyadarinya, bahkan malah sibuk menuding bahwa sekitar kitalah yang melakukan itu!

Oh, my God. Suara adzan dari masjid pun sayup mengalun, menghentikan lamunan ini.

Money talks, money rules, money acts, money wins, money kills, money …

Silakan ditambahkan lagi sesuai dengan pengalaman masing-masing.


Yogyakarta, akhir pekan, 27 Maret 2021.

Friday, March 26, 2021

Tentang Paradigma: Teropong-Teropong dalam Berkegiatan Ilmiah

  

--Rin Surtantini

 



Beberapa hari lalu saya mengikuti sebuah diskusi ilmiah dengan komunitas ketika saya sekolah dulu. Topik yang didiskusikan adalah seputar paradigma atau model dalam teori ilmu pengetahuan atau kerangka berpikir. Diskusi ini menarik karena bagi para peserta diskusi, topik yang didiskusikan ini menguatkan apa yang selama ini diamati, diketahui, dilakukan, atau bahkan tidak diketahui dan tidak dilakukan, oleh para peserta diskusi, kaitannya dengan kegiatan ilmiah yang dilakukan oleh mereka seperti melakukan kajian, penelitian, atau penulisan di ranah akademik atau ilmiah.

Diskusi itu, dengan seorang narasumber yang memantik topik “paradigma” ini, menyoroti “teropong-teropong” yang digunakan oleh para peneliti atau pengkaji di ranah budaya ketika membedah sebuah masalah atau isu penelitian dan kajiannya. Yang menarik adalah narasumber ini dapat mengkategorikan dan menamakan apa saja teropong-teropong pembedah itu berdasarkan pengamatannya terhadap penelitian atau kajian yang dilakukan oleh para peneliti atau pengkaji yang tergabung dalam komunitas itu. Maka, para peserta diskusi pun kemudian disadarkan akan adanya teropong-teropong itu, tetapi tidak menyadari selama ini bahwa mereka telah menggunakan salah satu di antara teropong-teropong tersebut dalam meneliti, mengkaji, atau menuliskan hasil penelitian dan kajiannya. Begitu pentingnya peran teropong yang digunakan atau dipilih dalam menyoroti sebuah masalah, sehingga ketika paradigma atau kerangka berpikir tidak dipahami oleh peneliti, pengkaji atau penulis, maka arah penelitian, pengkajian atau pengungkapannya dalam tulisan akan menjadi tidak jelas dan kabur.

Kemarin saya dan beberapa rekan sejawat juga melakukan diskusi kecil terkait dengan kegiatan ilmiah ini. Berangkat dari latihan melakukan penilaian terhadap tulisan-tulisan hasil penelitian atau kajian, kegiatan ini dimaksudkan untuk mempelajari lebih dalam tentang komponen-komponen umum yang penting dalam menuliskan sebuah hasil penelitian atau kajian. Komponen-komponen yang disoroti adalah substansi tulisan, kebaruan yang ditawarkan, manfaat yang diberikan, gaya dan format penulisan, penggunaan bahasa, logika berpikir, metode kajian atau penelitian, cara mengkaji atau menganalisis, serta sumber bacaan atau referensi. Kami mencoba untuk memberikan penilaian terhadap tulisan-tulisan menggunakan komponen-komponen ini.

Hal menarik yang diperoleh dari kegiatan bersama rekan sejawat ini adalah adanya keragaman yang dimiliki oleh setiap orang. Keragaman terjadi karena adanya perbedaan-perbedaan di antara kami, yaitu perbedaan dalam menyoroti sebuah masalah atau isu, karena teropong-teropong yang kami miliki juga berbeda-beda. Perbedaan itu menyangkut misalnya perbedaan latar belakang, minat, fokus, standar, sudut pandang, paradigma, yang dipegang dan dimiliki oleh masing-masing dari kami. Bagi saya, inilah sebuah forum yang membebaskan individu, yaitu ketika setiap peserta diskusi yang hadir memiliki ruang untuk mengemukakan teropong yang digunakannya, dan dapat memberikan alasan atau logika dari penggunaan teropong itu sebagai wujud kerangka berpikirnya. Ini juga sebuah forum yang melatih seseorang untuk belajar dari yang lain tentang hal-hal yang tidak diketahui atau dipahaminya, dan membelajarkan yang lain tentang hal-hal yang belum dimiliki atau dipahami oleh rekan lain. Ini juga sebuah forum untuk bersosialisasi melalui kegiatan yang menyehatkan akal budi, ketika setiap orang memiliki ruang untuk menyuarakan concern-nya dengan terbuka, dan bersedia untuk mendengarkan yang lain agar dapat menyerap maksud yang ada dalam concern dan alur pikir seseorang. Ini juga sebuah forum yang membuat seseorang harus bertanggung jawab terhadap pendapatnya dengan berlatih mengembangkan argumentasi yang kuat dan logis serta kredibel.

Akhirnya, yang lebih menarik lagi adalah setelah semua concern rekan sejawat ini diutarakan dalam bentuk-bentuk keragaman dan perbedaannya, diperoleh kesamaan cara pandang yang menyatukan. Sebuah proses sintesis terjadi, yang mengerucut menjadi sebuah kesimpulan dan keputusan bersama, yang mewadahi aneka teropong, sudut pandang, dan concern. Saya berpendapat, alangkah menyenangkan jika hal-hal kecil semacam ini menjadi spirit dari culture of knowledge sharing yang berkembang dan dipelihara di lingkungan tempat kita bekerja, bukan hanya sekedar atau selalu meneriakkan slogan-slogan tetapi kehilangan ruh dan maknanya.


Yogyakarta, 26 Maret 2021.


[Salam dan terima kasih saya untuk mbak Feti, mas Bagus, pak Gede, mas Haryadi, mas Fajar, mas Rohmat, mas Cahyo, mas Eko & mbak Diah, yang kemarin berdiskusi dan menginspirasi saya untuk menuliskan ini].

 

 

Friday, March 12, 2021

Bernostalgia Sejenak

 

---Digna Sjamsiar




Tiga hari belakangan ini anakku yang pertama sibuk mencari tahu keberadaan kakak perempuan ayahku yang tinggal di Belanda, dimulai dari dia menanyai opanya tentang nama berikut nama familinya (marga), tahun berapa terakhir kali berkunjung ke Situbondo, Jawa Timur dan nama anaknya yang ikut berkunjung.

Disela-sela kegiatanku mengikuti Pelatihan Google Master Trainer, aku berusaha menjawab pertanyaan anakku yang lumayan membutuhkan ingatan luar biasa karena waktu itu umurku 9 tahun, dan pada tahun 2015 aku pernah meminta tolong pada rekan kerjaku yang sedang melanjutkan studi S2 di Belanda untuk melacak alamat yang dimiliki oleh orangtuaku, tetapi sayang, suratku kembali karena tanteku sudah tidak tinggal di alamat tersebut.

Sejujurnya yang mendasari anakku untuk mencari tahu keberadaan tanteku adalah dia sangat penasaran dengan perjalanan hidup opa dan omaku. Sedikit aku bercerita disini, papi dari papaku harus kembali ke Belanda disaat usia papaku 2 tahun, mami dari papaku menolak untuk ikut karena ibunya juga tidak bersedia, bisa dimaklumi mereka semua lahir dan berumah tangga di Indonesia sehingga mereka kuatir sulit untuk beradaptasi. Anakku berusaha terus melacaknya dengan masuk ke website komunitas Quora dan Twitter, salah satu anggota komunitas tersebut memberikan saran untuk mengecek suatu website yang berisi data kepulangan warga Belanda dari Asia Tenggara dan Australia dari tahun 1945 – 1966 (disebut repatriasi). Tetapi sayang, usahanya tidak berhasil karena papaku tidak tahu kapan papinya terakhir bekerja di perusahaan/pabrik gula di Indonesia, ditambah lagi papi dari papaku juga tidak mempunyai keturunan selain papaku.

Kemudian anakku kembali fokus berusaha mencari nama lengkap sepupuku yang kuceritakan sebelumnya melalui Facebook dan Instagram. Anakku menelepon papaku dan mencatat jawaban-jawabannya, kemudian anakku via internet memasukkan alamat dan nama tersebut, akhirnya usahanya berhasil, dia menemukan akun IG dan Facebooknya. Kemudian baik anakku maupun aku menambah pertemanan. Alhamdulillah..permintaan berteman kami diterima. Yang paling menggembirakan setelah dua hari pertemanan kami,  sepupuku membalas chat anakku via FB. Mengingat budaya kita yang berbeda, anakku mengirim foto tanteku sewaktu masih gadis, sepupuku membenarkan jika foto tersebut adalah foto mominya, dia senang sekali, dan dia bercerita bahwa mominya masih menyimpan foto-foto ketika mereka berkunjung ke Situbondo tahun 1977. Dia mampu mengingat kenangan-kenangan manis saat di Situbondo sekalipun saat itu dia masih berumur 6 tahun. Chatku di FB juga dia balas, senang sekali rasanya. Akhirnya anakku dan sepupuku mengatur jadwal untuk melakukan video call secara bersama Sabtu sore besok yaitu papaku, kedua kakakku dan keluarganya dan aku sendiri. Satu keberuntungan lagi, sepupuku fasih berbahasa Inggris karena dia bekerja sebagai manajer hotel, sehingga komunikasi via chat di Facebook berjalan lancar, begitu juga jika besok diadakan pertemuan secara virtual, karena kami tidak bisa berbahasa Belanda, papaku juga sudah banyak lupa dengan kosa kata bahasa Belanda.

Hal ini tak luput dari kecanggihan teknologi saat ini dimana teknologi dapat membantu kita dalam berkomunikasi dan memperoleh informasi yang dibutuhkan. Saat ini di WA grup kami yang terdiri dari papaku berikut anak, menantu dan cucu ramai membicarakan temuan anakku ini. Papaku gembira sekaligus terharu karena akan mengobrol lagi dengan kakak perempuannya walau hanya secara virtual, dan saat ini kami bernostalgia di grup WA, mengingat saat sepupuku yang ngotot pingin main di sungai, kebetulan rumah nenekku dan rumah orang tuaku dekat dengan sungai, dan cerita lucu lainnya….jadi tak sabar menunggu besok jam 16.00 waktu Indonesia bagian barat….hehehehe


Yogyakarta, 12 Maret 2020

Catatan sore setelah menyelesaikan tugas Pelatihan Google Master Trainer

Digna Sjamsiar