Showing posts with label WfH. Show all posts
Showing posts with label WfH. Show all posts

Thursday, January 28, 2021

“Entropi”: Menelisik Realitanya di Tempat Kerja

 --Rin Surtantini

  


Tulisan tentang “entropi” pada Vidyasana, Jumat, 22 Januari 2021 lalu oleh seorang teman, mas Rohmat Sulistya yang latar belakang pendidikannya adalah teknik kimia, cukup menarik. Membahasnya dari definisi dan pemahaman kata “entropi” sebagai hukum kedua termodinamika ini, penulisnya kemudian mengoneksikannya dengan bagaimana makna dari kata “entropi” ini berkorespondensi dengan realitas dalam kehidupan umat manusia, makhluk hidup dan benda-benda, bumi, alam semesta, dan jagad kehidupan. Inilah yang menarik untuk dibahas.

 Memahami hukum termodinamika kedua dalam kehidupan sehari-hari, segala sesuatu di jagad semesta akan mengalami dan merasakan hadirnya “waktu” yang bergerak menuju satu arah, yaitu ke depan. Kecenderungan yang selalu terjadi dengan hadirnya waktu adalah bahwa segala sesuatu itu akan menuju kepada ketidakteraturan. Buah-buahan dan sayur-sayuran akan membusuk, lalu lama kelamaan akan menghilang dari pandangan kita. Lima tahun yang lalu rumah kita masih baru, tetapi saat ini pintunya mungkin rusak, atapnya bocor, pemanas air panasnya tak berfungsi lagi, temboknya retak, dan sebagainya. Bangunan-bangunan tempat kita bekerja mulai rusak di sana-sini, kendaraan yang dimiliki mulai rewel, manusia menua dengan bertambah umurnya. Semua yang tadinya utuh dan teratur akan berubah pasti seiring berjalannya jarum waktu.

 Peristiwa-peristiwa di atas merupakan bagian dari apa yang dinamakan “entropi”. Entropi menyadarkan manusia bahwa waktu terus berjalan maju. Entropi mengacu kepada kondisi ketika sebuah sistem dalam kondisi normal cenderung berproses menjadi tidak teratur, rusak, hancur. Jika sebuah sistem semakin tidak teratur, maka entropinya meningkat, atau menjadi tinggi.

 Di luar konteks termodinamika, kata “entropy” dalam kamus-kamus Bahasa Inggris memiliki arti chaos, randomness, disorganization, lack of order, gradual decline into disorder, confusion, lack of pattern. Jadi entropi mengacu kepada kondisi kekacauan, kondisi acak, tidak terorganisir, kurangnya tatanan, penurunan secara perlahan menjadi ketidakteraturan, kebingungan, kurangnya pola-pola, dan kondisi-kondisi serupa atau semacam ini. Entropi dalam aspek kehidupan akan terus meningkat dan itu dapat diamati setiap saat di dalam jagad raya semesta ini.

 John Demma (2012) menjelaskan, ketika sebutir telur jatuh dari atas meja dan pecahan telur itu mengotori lantai, kita tidak pernah dapat melihat lagi bahwa pecahan telur itu secara spontan akan membentuk sebutir telur yang utuh lagi seperti semula. Kondisi telur sebelumnya di atas meja utuh; tetapi ketika jatuh, telur itu di atas lantai berubah menjadi kepingan-kepingan pecahan kulit dan tumpahan isinya. Jika pecahan, tumpahan, dan kepingan kulit telur itu dikumpulkan, maka partikel-partikel itu tak mungkin dapat membentuk kembali telur utuh seperti semula. Logika yang diperoleh adalah, semakin banyak kepingan pecahan telur, semakin tinggi nilai entropinya.

***

Entropi dalam perbincangan budaya kerja sesungguhnya juga mengadopsi dari entropi dalam hukum termodinamika. Sebuah mesin menghasilkan energi yang jumlahnya sama dengan jumlah energi yang dimasukkan ke dalamnya. Tetapi jika di dalam mesin tersebut terjadi kerusakan pada salah satu komponennya, maka sebagian energi yang dimiliki oleh mesin akan digunakan untuk mengatasi kerusakan komponen ini. Dengan begitu, mesin itu tidak akan berfungsi optimal dalam menghasilkan energi seperti yang diharapkan, karena sebagian energi yang seharusnya mengoptimalkan fungsi mesin sudah terambil untuk mengatasi kerusakan komponen yang terjadi pada mesin. Dalam kondisi ini, entropi pun terjadi.

 Di dalam lingkup kerja, entropi dapat setiap saat terjadi jika orang-orang yang bekerja di dalamnya mengalami misalnya konflik, rasa tidak percaya, kecewa, putus asa, persaingan tidak sehat, friksi, kecurigaan, kebencian, ketidakadilan, dan emosi-emosi serupa ini. Beranalogi dengan kerja mesin yang menurun karena ada kerusakan pada salah satu komponen di dalamnya, maka energi yang dimiliki oleh para karyawan di suatu lingkup kerja yang seharusnya digunakan untuk pekerjaan-pekerjaan yang produktif, akan beralih dan digunakan oleh mereka untuk mengatasi berbagai emosi, sikap, dan rasa negatif yang muncul di lingkungan kerja mereka. Akibatnya, jumlah energi mereka menjadi minimum, mereka tidak menghasilkan pekerjaan-pekerjaan yang produktif. Mengapa? Karena energi yang dilibatkan karyawan untuk mengatasi entropi di lingkungan kerja mereka adalah energi yang seharusnya tersedia untuk pekerjaan produktif mereka, namun energi itu sudah terambil.

 Apabila dilakukan pengukuran secara valid dan sahih terhadap kondisi di atas, maka skor dari entropi budaya kerja akan menunjukkan berapa banyak energi yang dikonsumsi oleh para karyawan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sama sekali tidak produktif dan tidak perlu, bahkan yang sama sekali tidak mendukung nilai positif lembaga tempatnya bekerja! Skor yang dilakukan melalui pengukuran atau alat ukur yang benar juga akan memperlihatkan tingkat dari disfungsi yang terjadi di dalam lembaga. Bukan hanya itu saja, disfungsi dan penyebab entropi di dalam lingkup kerja pun akan dapat ditelisik, dan dijadikan pijakan untuk evaluasi (jika sadar dan mau!).

 Ketika skor entropi meningkat, energi karyawan menjadi minimum; maka produktivitas dan nilai positif lembaga pun otomatis menurun (kecuali ada usaha-usaha rekayasa untuk menyelubunginya). Waktu bekerja dirasa menjadi panjang, membosankan, dan ini harus dibunuh oleh karyawan dengan membuatnya cepat berlalu. Apa yang dilakukan oleh mereka? Tak perlu jawaban, karena mungkin, atau jangan-jangan kita juga sudah berada dalam entropi di tempat kita bekerja! Mari periksa bersama…

 Maka tulisan ini juga mungkin pertanda bahwa entropi sudah melilitkan akar-akarnya di tubuh suatu entitas tempat kita selalu mengatakan bahwa kita berintegritas.

 

 Masa WfH -- Yogyakarta, 28 Januari 2021.

Monday, January 25, 2021

Buang Telur dan Pesan Sesungguhnya yang Tak Terbaca

 

--Eko Santosa


 

Hari ini, (25/01/21), seorang kawan membagikan unggahan video dari IG dan FB tentang aksi seorang peternak membuang hasil panen telurnya ke sawah. Hal ini ia lakukan karena biaya pakan ternak yang tinggi sehingga hasilnya tak sebanding dengan panen telur yang diperoleh. Atas aksi tersebut komentarpun berhamburan. Seperti umumnya media sosial, komentar selalu bersifat kulit, emosional, dan subjektif. Hampir semua komentar menyesalkan tindakan peternak tersebut. Sebagian besar menganggapnya mubadzir dan tidak memikirkan bahwa banyak orang lain yang sedang kesusahan, bisa makan telur sehari 1 saja sudah syukur. Intinya, 90 persen komentar bernada menyalahkan bahkan menghujat sang peternak.

Ya, semua orang pasti akan berkomentar seperti itu jika hanya melihat sekilas apa yang dilakukan sang peternak. Saya pun juga, kira-kira, akan berkomentar sama. Tetapi jika dilihat lebih mendalam, melihat video dari awal sampai akhir tanpa komentar dan kalau perlu diulang, mungkin peternak tersebut ingin menyampaikan maksud lain dari sekedar selisih harga pakan dan telur yang tak sebanding sehingga melahirkan kerugian. Mungkin ia ingin bertanya keras, mengapa harga pakan bisa naik sedangkan harga telur merosot? Apa yang menyebabkan harga pakan naik dan harga telur merosot? Siapa yang bisa menentukan kenaikan dan penurunan harga barang? Dan mungkin pertanyaan-pertanyaan lain. Tetapi karena ia tidak menemukan orang atau lembaga yang tepat untuk ditanyai, atau pernah bertanya tetapi selalu tidak menemukan jawaban yang tepat, maka aksi buang telur itu ia lakukan, divideo, diunggah ke medsos, agar viral dan agar pesan berupa pertanyaan itu segara tersampai pada orang atau lembaga yang tepat menangani perkara harga pakan dan telur. Mungkin demikian maksudnya.

Walakin, yang ia dapatkan justru komentar-komentar menyalahkan atas aksi yang dilakukannya. Artinya, pesan sesungguhnya yang hendak ia sampaikan tak terbaca. Sama sekali tak terbaca. Bahkan, tak lama kemudian, aksi dan pesan peternak tersebut bakal berlalu dengan video viral lain yang diunggah orang lain dengan perkara yang lain. Mungkin, orang pintar akan berkata bahwa, kalau peternak tersebut hendak protes (bertanya), semestinya menggunakan saluran yang benar, bukan dengan aksi buang-buang hasil panen semacam itu. Mungkin orang pintar juga akan berkomentar bahwa, semestinya ada manajemen baik yang diterapkan sehingga perhitungan antara pakan, lama waktu pemeliharaan, dan panen tidak negatif. Banyak kemungkinan memang, namun bandul timbangan tetap lebih besar pada kesalahan tindakan sang peternak.

Ya, memang yang terjadi seperti itu. Dalam kehidupan yang serba cepat dan informasi serba kilat ini, sulit sekali menyeret perhatian publik untuk mendalami sebuah persoalan secara menyeluruh. Sebagian besar orang pasti akan melihat fisik dari tindakan saja. Mereka tidak mau bersusah payah mendalami persoalan karena itu jelas bukan urusan mereka dan tidak ada keuntungan bagi mereka. Padahal, kalau ditinjau sedikit lebih dalam, apa yang dilakukan peternak tersebut sebetulnya juga tidak merugikan mereka. Tetapi, siapa pula yang mau meninjau lebih dalam? Kondisi semacam ini hanya akan melingkar-lingkar dan berada di luar persoalan sesungguhnya.

Jadi, sangat kecil sekali kemungkinan adanya jawaban bagi peternak tersebut tentang mengapa harga pakan bisa naik dan harga telur bisa turun serta siapa atau apa yang mengendalikannya? (**)

 

WFH, 25/01/21

Sunday, January 24, 2021

Bisa Membaca: Paham yang Dibaca?

  

--Rin Surtantini

 


 Terusik oleh diskusi di Whatsapp pribadi dengan salah seorang teman tentang kegiatan membaca yang hampir setiap saat dilakukan oleh siapapun, membuat saya mengenang kembali salah satu materi yang saya pelajari di Regional English Language Center (RELC) di Singapura, sekira lima tahun yang lalu. Saat itu saya bersyukur, terseleksi sebagai salah satu dari sekian banyak pendaftar untuk mendapatkan beasiswa mengikuti Professional Enhancement Program in Pedagogy and Principles of Teaching for Indonesian Master Trainers of English, karena itu sungguh bermanfaat! Dua bulan tinggal dan belajar dengan jadwal padat setiap hari Senin sampai Jumat dari pukul 09.00 sampai 16.00 di negeri singa pada tahun 2015 ini, salah satu materi yang sampai saat ini masih berkesan adalah yang berkaitan dengan literasi “membaca”.

 Ya, setiap orang yang bersekolah pasti bisa membaca (dalam bahasa yang digunakannya). Setiap orang mengalami bagaimana ia belajar membaca, mulai dari mengenal huruf, suku kata dan kata, sampai menjadi frasa atau kelompok kata, kalimat yang utuh, mengeja, merangkai, dan mengucapkannya dari sebuah teks tulis yang tersedia. Saya juga ingat, bagaimana dulu keponakan saya yang saya kunjungi di Surabaya, ketika ia berusia lima tahun, selalu berusaha membaca keras setiap tulisan yang dilihatnya di pinggir jalan, di baliho, di spanduk, di papan iklan, di toko-toko, di sepanjang perjalanan kami di atas mobil. Sungguh menarik, dia secara alami dan spontan mempraktikkan kepandaiannya bahwa dia sudah bisa membaca.

 Peristiwa yang juga masih saya ingat adalah ketika di Sekolah Dasar berpuluh tahun silam, ibu dan bapak guru di kelas satu dan dua selalu meminta murid-muridnya secara bergiliran untuk membaca nyaring (reading aloud) bahan bacaan yang ada di buku pelajaran Bahasa Indonesia. Nanti, akan terlihat siapa yang lancar, lantang, intonasinya baik, tidak salah ucap. Yang masih belum lancar, suaranya pelan, intonasinya kurang baik, ucapannya masih salah, akan diminta oleh ibu atau bapak guru untuk mengulangi. Begitulah, pelajaran membaca menjadi salah satu persyaratan di sekolah untuk dapat memahami pelajaran-pelajaran lainnya.

 ***

Kembali ke diskusi saya dengan teman di atas tadi, yang kami perbincangkan adalah: setiap orang bisa membaca, tetapi apakah setiap orang paham apa yang dibacanya? Diskusi ini muncul karena dalam sebuah forum komunikasi, sempat terlihat ketidakpahaman seseorang terhadap apa yang dibacanya, sehingga responnya terhadap topik pembicaraan menjadi tidak pas, menggok. Ingatan saya tentang “apa itu membaca” dalam konteks literasi baca tulis tiba-tiba muncul. Kita banyak membaca apapun, mulai dari yang ringan sampai yang serius, tetapi mungkin pernah suatu saat kita sendiri mengalami, atau kita menyaksikan orang lain, bahwa “bisa membaca” belum tentu “paham apa yang dibaca”! Jika memperhatikan dengan cermat, indikasi ketidakpahaman seseorang akan apa yang dibaca dapat terlihat pada forum komunikasi yang terjadi, baik komunikasi lisan maupun tulis.

 Kita tentu ingat bahwa beberapa tahun silam, “literasi” sempat menjadi salah satu materi umum yang wajib diberikan pada diklat-diklat bagi guru, kepala sekolah, dan pengawas di negeri ini. Di dalam bahan tayang yang wajib disampaikan oleh widyaiswara pada diklat-diklat ini, terdapat sekian jenis literasi, bukan hanya literasi baca tulis saja. Sementara itu, yang paling banyak bisa dicontohkan adalah yang berkaitan dengan literasi baca tulis. Contoh-contoh literasi baca tulis itu ditampilkan dengan misalnya membuat pojok baca di sekolah yang didekorasi sedemikian rupa untuk menumbuhkan minat baca, membaca tentang sebuah topik selama lima belas menit pada pagi hari di dalam kelas, memperbanyak jumlah buku di perpustakaan sekolah, dan berbagai teori lainnya, ditambah lagi dengan sekian banyak panduan teknis bagi para guru untuk melaksanakannya di sekolah, sampai ke lembar evaluasi apakah usaha meningkatkan literasi sudah dilakukan.

 Seiring dengan perubahan kebijakan dan lain sebagainya, materi literasi dan hal-hal yang berkaitan dengan itu sudah berlalu dan tidak lagi menjadi “trend” sebagai materi diklat saat ini. Saya teringat tulisan almarhum Prof. Winarno Surakhmad, guru besar Universitas Negeri Jakarta dalam buku Pendidikan Nasional: Strategi dan Tragedi (2009). Dituliskannya, menerapkan pendidikan tanpa menghiraukan landasan filosofinya, atau mendalami filosofi pendidikan sebagai pengetahuan tanpa menghiraukan penerapannya, berarti memilih yang tidak benar. Menurutnya, secara hakiki, tidak ada aktivitas atau praktik pendidikan yang dapat berlangsung tanpa dasar filosofi yang sedikitnya terkait dengan makna kehidupan dan nilai-nilai kemanusiaan; demikian pula sebaliknya, tidak ada filosofi yang dapat mendalami problematik pendidikan tanpa menjiwai praktik pendidikan. Filosofi pendidikan yang tidak berkelanjutan ke dalam penerapannya dalam kehidupan nyata, menjadi mubazir dan tidak layak disebut filosofi pendidikan.

 ***

Kegiatan paling awal yang dilakukan oleh pengajar di RELC Singapura pada materi “Reading” yang saya alami adalah menumbuhkan kesadaran terhadap apa itu keterampilan membaca atau reading skills. Dengan survei yang dilakukannya terhadap peserta program pelatihan ini, sesuatu yang menggelitik pun muncul: apakah yang dimaksud dengan membaca nyaring (reading aloud) versus membaca untuk memahami (reading comprehension)? Membaca nyaring sesungguhnya bukan termasuk keterampilan membaca, melainkan speaking skills (keterampilan berbicara), karena dalam membaca nyaring, yang ingin dicapai adalah pengucapan yang benar dan jelas, intonasi yang tepat, kelancaran dalam mengucapkan, dan nada suara yang sesuai. Inilah yang dilatihkan dan diajarkan ketika guru-guru meminta muridnya untuk membaca nyaring (reading aloud), jadi tujuannya adalah bukan untuk memahami apa yang dibaca. Ini mengingatkan saya ketika mendapat giliran membaca keras ketika di Sekolah Dasar dahulu.

Pelajaran membaca yang sesungguhnya adalah reading comprehension (membaca untuk memahami). Membaca dalam konteks memahami adalah ketika seseorang melihat teks dan “memberi makna” kepada simbol tertulis (teks) tersebut. Membaca adalah mengonstruksi makna melalui interaksi dinamis antara tiga hal, yaitu pengetahuan yang dimiliki seseorang sebagai pembaca, informasi yang diberikan oleh teks, dan konteks yang tersedia. Jadi, untuk tujuan ini, maka pelajaran “membaca” bukanlah read aloud, tetapi think aloud.

 Kegiatan berikutnya yang dilakukan oleh pengajar di RELC Singapura pada materi “Reading” ini adalah melakukan survei terhadap peserta pelatihan, yang antara lain menanyakan apa yang dilakukan oleh guru dalam pelajaran membaca? Mengajarkan membaca (teaching reading), ataukah memberikan tes membaca (testing reading)?  Pertanyaan ini menggelitik, karena faktanya adalah guru lebih cenderung melakukan “tes membaca” terhadap murid-muridnya daripada mengajarkan “strategi membaca” untuk memperoleh makna atau memahami bacaan. Hal ini akan terlihat dari kegiatan klasik yang dilakukan oleh guru setelah murid-murid membaca, yaitu meminta mereka untuk menjawab pertanyaan bacaan. Jika murid dapat menjawab pertanyaan sesuai dengan yang “tersurat” pada bacaan, maka disimpulkan bahwa murid memahami isi bacaan. Benarkah demikian? Ini sangat berkaitan dengan konstruksi pertanyaan yang dibuat oleh guru terhadap bacaan yang diberikan kepada murid-murid. Apakah pertanyaan bacaan itu hanya mengecek “ingatan”, ataukah sampai kepada level yang lebih tinggi? Setelah tiga tahun kemudian di Indonesia, hal ini saya temukan mirip pada materi HOTS (higher order thinking skills) yang menjadi “hot issues” atau materi wajib pada diklat-diklat guru di negeri ini, bersamaan dengan materi literasi.

 Selanjutnya, pengajar RELC Singapura meminta peserta pelatihan untuk melakukan evaluasi terhadap bahan-bahan bacaan dalam buku-buku pelajaran Bahasa Inggris yang diterbitkan oleh penerbit-penerbit di Indonesia, mulai dari Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas.

Fokus yang harus kami lakukan saat itu adalah mengevaluasi konstruksi pertanyaan-pertanyaan yang ada pada bahan bacaan pada buku-buku pelajaran terbitan Indonesia tersebut. Evaluasi dilakukan menggunakan taksonomi pada keterampilan membaca. Hasilnya? Sungguh menggugah. Evaluasi yang dilakukan menunjukkan bahwa sebagian besar pertanyaan yang diberikan untuk mengecek reading comprehension (pemahaman terhadap bacaan) setelah murid membaca bahan-bahan bacaan pada sebagian besar buku penerbit Indonesia, ada pada level literal comprehension, yang jika disetarakan dengan taksonomi Bloom, ada pada level LOTS (lower order thinking skills), atau C1 (mengingat). Level literal comprehension merupakan salah satu level rendah yang ada pada taksonomi membaca. Sangat sedikit ditemukan pertanyaan yang dibuat untuk membuat murid berlatih menganalisis, mengevaluasi, mengapresiasi, atau melakukan inferensi dan variannya.

 Dari fakta di atas, maka selain “apa yang dibaca” (what to read), mengajarkan “bagaimana membaca” (how to read) menjadi strategi membaca yang perlu dikuasai dan diajarkan oleh guru, pendidik, pengajar, sebagai bagian dari penguasaan literasi baca tulis dalam segala bidang ilmu. Mengajarkan strategi membaca (teaching reading) ini menjadi isu penting dalam pengalaman literasi baca tulis, bukan sekedar mengetes membaca (testing reading). Akhirnya, pengecekan terhadap pemahaman membaca (reading comprehension) juga menjadi bagian penting dalam belajar membaca. Pengecekan ini dilakukan melalui konstruksi pertanyaan yang tidak hanya melibatkan ingatan murid terhadap yang tersurat, tetapi juga melibatkan kebiasaan pada level-level berpikir tingkat tinggi, seperti melakukan inferensi, mengevaluasi, menganalisis, mengapresiasi, dan berbagai variannya.

 ***

 Bisa membaca dan paham apa yang dibaca, menjadi dua persoalan penting dalam meningkatkan “literasi” (baca tulis) sebagai salah satu kecakapan abad 21 dalam pembelajaran. Dalam konteks yang lebih luas, literasi baca tulis tentu harus terjadi dalam pembelajaran pada segala bidang ilmu dan pengetahuan, bukan hanya pada pelajaran bahasa. Literasi baca tulis pun tidak hanya terjadi pada pembelajaran di sekolah, tetapi juga dalam segala konteks kehidupan, dalam bersosialisasi, dalam berkomunikasi, dalam bekerja, dengan mengoneksikan landasan filosofis dan praktik. Selamat berliterasi!

 

 Yogyakarta, 24 Januari 2021.

Thursday, December 31, 2020

Dan Desember pun Kembali Datang

 ---Rin Surtantini




Desember datang. Seperti Desember-Desember lain sebelumnya, hujan mulai rajin menyirami bumi, meski dengan frekuensi yang masih belum teratur. Masih seperti biasanya pula, harapan-harapan manusia akan datangnya pergantian tahun yang lebih baik mulai bermunculan di berbagai media sosial dalam berbagai ungkapannya. Sama seperti yang selalu terjadi pada setiap Desember pula, retorika tentang pentingnya refleksi diri mulai banyak ditampilkan para warganet.

Desember seperti sebuah pintu rumah yang segera ditutup setelah selalu terbuka sepanjang tahun. Desember serupa bab terakhir dari sebuah buku yang selesai dibaca. Desember seakan stasiun terakhir yang menunggu kereta api datang dan berhenti. Desember seolah ujian terbuka pada puncak studi seorang mahasiswa S3. Desember bagaikan ombak membuih yang bergerak melepas gelombang air laut di pantai yang menantinya.

 Metafora Desember itu menarik untuk disimak. Jika ia pintu rumah, maka tutuplah karena malam telah tiba. Jika ia sebuah buku, maka berhentilah membaca karena semua bab sudah habis terbaca. Jika ia stasiun, maka turunlah karena kereta telah berhenti. Jika ia ujian terbuka, maka terimalah ijazah karena telah dinyatakan lulus. Jika ia ombak, maka rasakan pecahan deburnya di pantai.

 Desember memang telah datang, sesuai pakem yang ada pada kalender yang digantung di dinding, atau yang diletakkan di atas meja kerja. Hujan memang telah turun pula pada bulan Desember, dan ada kalanya gugurannya begitu memutihkan bumi.  Ia menyaput semua debu yang menempel di daun dan pohon, mengalirkan sampah-sampah di jalan, menjernihkan udara yang penuh asap dan polusi. Tetapi, benarkah sesungguhnya ungkapan yang manis ini, “Let the rain wash away all the pain of yesterday…” (Biarkan hujan menghapus semua kedukaan kemarin) dapat tercipta dengan mudah dalam mental dan hati atau perasaan seseorang? Mungkin jawabnya adalah, “Time will heal…” (Waktulah yang akan menyembuhkan).

 Ya, kunci dari “the rain washes away all the pain of yesterday” adalah waktu. Seberapa lamakah, tergantung kepada bagaimana seorang individu mengelolanya. Dan bagaimanakah, tergantung kepada cara individu itu merespon “the pain of yesterday”. Belum lagi jika itu merupakan “the pain(s)” (kedukaan yang banyak), tentu pengelolaannya akan tergantung kepada mana yang paling membuncahkan pikiran seorang manusia yang mengalaminya.

Dan pada Desember tahun ini, seorang Tan mengalami “the pain(s) of yesterday”. Sesungguhnya kebuncahan pikirannya tentang ini sudah terjadi sejak Januari pada awal tahun ini, tetapi ia masih merawat harapannya, karena bukankah pintu tahun 2020 baru saja dibuka. Jadi pikirnya, biarkanlah pintu terus terbuka sepanjang tahun sebelum ia mungkin akhirnya memadamkan harapan-harapan itu. Tak dinyana, pandemi Covid-19 menghampiri bumi Indonesia pada bulan kedua-ketiga tahun ini. Tan tetap memelihara harapan-harapan yang dibangunnya sendiri dengan banyaknya tantangan baru yang harus dihadapi. Kegagapan teknologi yang harus diatasi, pemeliharaan semangat kerja dengan tetap produktif di rumah, pemaknaan ulang terhadap integritas sebagai seorang karyawan yang harus bekerja dari dan tinggal di rumah, penumbuhan akan rasa empati, atau “compassion” terhadap mereka yang kurang beruntung, kepatuhan terhadap prinsip keselamatan diri sendiri, lingkungan, sesama, melalui protokol kesehatan yang disarankan, dan masih banyak lagi.

 Tan menjalani itu semua dengan caranya sendiri sampai tak terasa Desember pun akhirnya tiba, merangkak menuju hari terakhir. Akan tetapi, ia tak bisa menghindar dari kebuncahan ini: mengapa “the pains of yesterday” tidak sama dengan daun dan pohon yang bersih dari debu, sampah-sampah yang mengalir, udara yang segar dan jernih karena guyuran hujan yang deras? Mengapa justru setiap saat hujan turun dan bumi basah olehnya, hati Tan semakin dirundung kepedihan, kegelisahan, keprihatinan, dan kekuatiran?

 Tan mengenang kembali, sebulan yang lalu jantungnya berdegup dan pedih ketika mendengar berita kepergian seorang rekan kerja seprofesinya yang jauh lebih muda darinya, terdeteksi terinfeksi virus yang bekerja dalam senyap itu. Tan mengingat kembali, dengan keyakinan bahwa Covid-19 ada di mana-mana, di kantor, di kendaraan umum, di hotel, di tempat wisata, di keramaian, bahkan di rumah sendiri, maka kesadaran untuk berhati-hati, menjaga diri sendiri , keluarga, dan orang lain, menjadi alangkah pentingnya untuk diterapkan! Tan memikirkan, bahwa keputusannya untuk tidak mengikuti sebuah kegiatan di lingkungan tempat kerjanya yang berpotensi menciptakan mata rantai-mata rantai yang bersambung, adalah sebuah keputusan personal yang selayaknya dihormati, bukan dipertentangkan atau dinilai sebagai wujud disintegritas seorang karyawan, atau dipertanggung jawabkan sebagai sikap atau perilaku yang melanggar komitmen sebagai seorang karyawan. Tan berkata pada diri sendiri, ia tak boleh terlalu percaya diri, apalagi jemawa, merasa pasti akan dapat terhindar dari sapaan virus ini terhadap dirinya, terhadap orang-orang yang dikenalnya.

 Tan membaca situasi, Covid-19 semakin nyata ada di mana-mana, dan semakin dekat dengan dirinya, apalagi ketika rekan-rekan kerjanya mulai ada yang terinfeksi, sehingga tracing menjadi semakin meluas. Kenyataan ini sekaligus juga menimbulkan “paranoid” terhadap diri sendiri dan terhadap rekan-rekan kerja yang dianggap telah berkontak langsung dengan rekan kerja lain yang terpapar. Tan hanya bisa sedih memikirkan, bagaimana seorang rekan kerja yang selama ini memiliki integritas, juga terdampak dengan pembentukan mata rantai virus ini. Ia tak dapat berbuat atau membantu apa-apa, kecuali mengirimkan doa akan kesembuhannya, dan agar anggota keluarganya dapat terlindungi, yaitu ibu yang tinggal bersamanya yang tentu tidak lagi muda, anak yang masih belia, dan istri yang setiap hari bersama dalam masa isolasi mandirinya. Tan berharap, “compassion” terhadap dampak-dampak dari pembentukan mata rantai virus ini tumbuh sebagai social awareness di kalangan manusia.

 Tan mengenang, bahwa angka-angka pencapaian yang diklaim sebagai keberhasilan yang bersifat administratif dan kuantitatif sering tidak seirama dengan kondisi-kondisi yang bersifat kualitatif. Tan menyaksikan, perayaan dan perhelatan terhadap perubahan yang bersifat kuantitatif sangat mewarnai kehidupan lingkungannya, dan bertanya pada dirinya sendiri, apakah ia pun harus sependapat bahwa perayaan menjadi sebuah kewajiban dan satu-satunya bentuk integritas jika ia adalah seorang karyawan di sebuah institusi? Tan berdiskusi dengan hatinya sendiri mengenai berbagai kebuncahan yang menyergapnya (dalam kesendirian). Tan membuat catatan-catatan itu dalam folder pribadinya, menyimpannya sendiri, dan membacanya sendiri juga sambil mendengarkan guguran air hujan yang semakin deras pada suatu malam di akhir Desember ini.

 Begitulah. Ia hanya seorang Tan. Ia hanya bisa menciptakan metafora tentang Desember dalam pikirannya sendiri. Jika pintu rumah memang harus ditutup karena malam telah tiba, bukankah esok pintu itu harus dibuka kembali dengan berharap ada perubahan dari gelap menjadi benderang? Jika sebuah buku selesai dibaca sampai bab terakhir, apa pelajaran yang diperoleh darinya? Jika kereta api telah berhenti pada stasiun terakhir, apa selanjutnya yang akan dilakukan penumpang begitu turun dari kereta? Jika ujian terbuka selesai dilalui, apakah ijazah dan gelar akademik hanya akan menjadi sebuah dokumen yang tersimpan rapi dalam map khusus? Jika ombak lepas di pantai, bukankah ia akan kembali lagi ke laut lepas untuk membentuk gelombang berikutnya?

 

 Yogyakarta, 31 Desember 2020.


Sunday, August 2, 2020

WfH Series: PERUBAHAN


---Purwadi



Ketika saya masih PTP, pernah ditugaskan untuk menjadi pengajar K13, padahal kami (PTP) belum pernah mendapatkan pembekalan mengajar K13. Oleh koordinator PTP kami mengadakan pembekalan mandiri, dan yang menjadi pengajar yaitu Pak Gede Oka Subagya, dan Pak Totok Sugiarto. Dari keduanya kami mendapatkan teknik untuk mengajarkan K13, baik cara membuka kelas, cara menyampaikan materinya, cara memberikan tugas, cara-cara membuat kelompok, cara-cara permainan, dan lain sebagainya. Banyak sekali ilmu cara mengajar yang kami dapatkan dari beliau berdua. Pokoknya sangat berkesan dan bermanfaat sekali bagi kami, yang belum pernah mengajar. Dengan apa yang disampaikan Pak Gede dan Pak Totok, saya catat urutan-urutannya sebagai modal untuk tugas yang akan kami laksanakan.

Silahkan bapak ibu menyiapkan selembar kertas dan bolpoint. Kalau sudah, silahkan membuat lima tanda tangan. Nanti saya akan menebak karakter sifat-sifat dari bapak Ibu. Kemudian semua mengerjakan sesuai dengan instruksi Pak Totok waktu itu. Setelah semua selesai membuat lima tanda tangan, kemudian Pak Totok menginstruksikan kembali. Sekarang, silahkan bapak ibu membuat lima tanda tangan lagi, tetapi dengan menggunakan tangan kiri, atau tangan yang berbeda dari sebelumnya. Kelas jadi ramai, gemuruh, riuh. Namun semua mengerjakan apa yang disampaikan Pak Totok. Pak Totok melihat hasilnya satu persatu. Bagus….. kata Pak Totok.

Setelah meneliti hasil tanda tangan yang kami kerjakan, Pak Totok menuju ke papan tulis. Apa komentar dan kesan bapak ibu, setelah membuat tanda tangan dengan tangan kiri. Silahkan beri komentar, akan saya tuliskan di papan tulis ini. Kemudian pesertapun tunjuk jari dan berkomentar, Pak Totok menulis di papan tulis:

1. Kaku

2. Sulit

3. Susah

4. Pegel

5. Hasil jelek

6. Tidak memuaskan

7. Nyerah pak

8. Tidak seperti yang diharapkan

9. Parah pak

10. Hasil berbeda pak

Setelah menulis komentar peserta di papan Tulis, Pak Totok menjelaskan. Bapak ibu, mari kita lihat satu persatu komentar bapak ibu yang sudah saya tulis ini. Nomer 1 kaku, ini negatif atau positif? Negatif Pak, semua perserta menjawab. Kemudian nomor 2? Negatif pak. Dan ternyata Bapak Ibu, dari nomor satu sampai nomor sepuluh semua komen dan kesannya adalah Negatif, tidak ada yang komen positif. Inilah yang dirasakan oleh bapak ibu. Betul? Betul Pak, semua menjawab.

Bapak Ibu…. Pak Totok melanjutkan… biasanya bapak ibu menulis dengan tangan kanan, dan kemudian ganti menulis dengan tangan kiri, ternyata yang dirasakan oleh bapak ibu adalah hal-hal yang negatif. Ini biasa terjadi apabila ada suatu perubahan. Apapun itu perubahan, biasanya komentarnya negatif, apakah itu ada perubahan menteri, perubahan kebijakan, perubahan adat-istiadat, perubahan kurikulum, dan perubahan-perubahan lainnya. biasanya orang selalu berprasangka buruk. Mengapa tadi tidak ada yang berkomentar positif, misalnya sangat tertantang pak, berusaha lebih bagus pak. Itu bukti bahwa setiap ada perubahan, biasanya kita berprasangka buruk. Oleh karena itu Bapak Ibu, janganlah kita berprasangka buruk dahulu jika ada suatu perubahan, sebelum kita mengetahui maksud dari perubahan itu. Apapun perubahan itu, kita cari segi positifnya. Pasti ada.

Itulah kenanganku belajar dengan Pak Totok dan Pak Gede. Dan setiap saya ditugaskan untuk mengajar K13 dulu, selalu saya sampaikan kepada peserta tentang membuat tanda tangan dengan tangan kanan dan tangan kiri, dan hasilnya sama, komentarnya banyak yang negatif. Saat itu baru terjadi perubahan kurikulum menjadi Kurikulum 13.

Kita, kantor kita telah terjadi berubahan, perubahan nama dari PPPPTK-SB menjadi BBPPMPV-SB, apakah kita akan berprasangka buruk, atau berprasangka positif?



Pokoh,

Sabtu, 1 Agustus 2020


Monday, July 27, 2020

WfH Series: EKSTRA KURIKULER YANG TERCECER, Sharing Pengalaman Pendampingan Anak Belajar di Rumah



Drs. F. Dhanang Guritno, M.Sn

Pada masa pandemi akibat mewabahnya virus corona ini dalam berbagai bidang mengalami kendala dalam melaksanakan kegiatannya disebabkan adanya protokol kesehatan yang harus diikuti berkaitan dengan social distancing.  Hal itu terjadi juga pada dunia pendidikan atau anak sekolah. Ketika semua kegiatan mengumpulkan orang harus dihentikan termasuk anak sekolah, praktis tidak ada kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan dengan cara tatap muka.  Semua sekolah melaksanakan pembelajaran dengan moda daring atau pembelajaran jarak jauh secara online. Disadari atau tidak sebenarnya moda ini hanya cocok digunakan untuk pembelajaran yang sifatnya teori. Namun hanya dengan cara inilah yang bisa ditempuh oleh sekolah dalam melaksanakan proses belajar mengajar.

Sebagai orang tua yang mempunyai anak belajar di SMA dan Perguruan Tinggi, saya menyaksikan juga bagaimana anak-anak dan satu orang keponakan yang ikut tinggal di rumah selama pandemi berlangsung melaksanakan kewajibannya sekolah dengan mengikuti pembelajaran jarak jauh. Mereka tiap hari bergelut dengan laptop masing-masing menyimak seluruh instruksi dan petunjuk gurunya melalui aplikasi yang dipakai. Mereka memakai  Zoom cloud meeting, atau aplilkasi yang sejenis. Beruntung keluarga kami dari sebelum pandemi memang sudah berlangganan jaringan wifi dari salah satu perusahaan penyedia jaringan milik pemerintah. Sejauh ini koneksinya aman-aman saja. Namun di luar itu kami sering mendengar cerita dari keluarga-keluarga yang tidak mempunyai akses wifi,  ternyata para orang tua mengeluh betapa besarnya pengeluaran ekstra untuk membeli kuota data agar anaknya bisa ikut mengikuti pelajaran. Belum lagi terbatasnya sarana yang dimiliki oleh keluarga tersebut belum tentu setiap anak mempunyai gadget sendiri.

Diskusi dan perbincangan mengenai sekolah pada masa pandemi yang dilakukan di media-media cetak maupun elektronik selalu mengatakan tidak bisa sekolah dituntut melaksanakan kurikulum secara ideal seperti kondisi normal pada masa pandemi. Sekolah menyelenggarakan proses belajar jarak jauh memang  tidak akan dituntut melaksanakan pembelajaran secara ideal sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Para pakar mengatakan idealnya ada kurukulum yang sifatnya darurat yang berbeda dengan pada kondisi normal.

Terlepas dari itu semua, ada satu hal yang menggelitik pikiran saya setidaknya pada kegiatan pembelajaran sekolah anak-anak saya. Mungkin sekolah yang lain terjadi juga. Dari semua pembelajaran yang dilaksanakan bisa saya pastikan semua adalah pelajaran intrakurikuler yang diusahakan semaksimal mungkin supaya berjalan dengan sebaik-baiknya. Tiap hari anak dihadapkan pada jadwal pelajaran seperti ketika mereka sekolah secara offline.

Pertanyaan yang timbul pada benak saya adalah cukupkah anak-anak sekolah hanya belajar dengan materi-materi pelajaran intrakurikuler? Tidak pentingkah kegiatan ekstrakurikuler bagi perkembangan anak didik? Memang kita sedang dihadapkan pada situasi yang tidak normal, mungkin bagi pihak sekolah berpendapat jangankan ekstrakurilkuler, intrakurikuler saja masih banyak pelajaran yang belum dapat terlaksana dengan baik.


Menurut Permendikbud No. 81A Tahun 2013, salah satu jenis kegiatan ekstrakurikuler adalah latihan/olah bakat/prestasi. Pengembangan bakat olahraga, seni dan budaya, cinta alam, jurnalistik, teater, keagamaan, dan lainnya. Disamping itu masih ada krida (kepramukaan) dan karya ilmiah. Dari berbagai jenis kegiatan ekstrakurikuler itulah saya melihat pada saat pembelajaran jarak jauh atau pandemi ini barangkali sulit dilakukan oleh sekolah.

Melihat kenyataan tersebut saya menyadari penuh bahwa tidak mungkin lagi kita berharap pada sekolah yang saat ini sedang sibuk melakukan pembelajaran jarak jauh akan melaksanakan kegiatan secara utuh baik intra maupun ekstrakurikulernya. Jangankan ekstra yang intra saja barangkali masih harus bekerja keras untuk dapat terselenggara dengan baik. Oleh karena itu diperlukan peran serta orang tua memikirkan bagaimana menyediakan pengganti kegiatan ekstrakurikuler ini.

Saya berfikir tidak ingin kegiatan ekstra kurikuler anak-anak terhambat, tetap harus ada. Dengan sekuat tenaga dan kemampuan, kami sekeluarga berusaha semaksimal mungkin menyediakan kegiatan setara sebagai pengganti kegiatan ekskul tersebut. Tidak perlu jauh-jauh dari kemampuan yang kita miliki, karena bidang saya musik saya sedikit “memaksa” anak-anak untuk saya ajak latihan bermain ansambel musik sebagai pengganti kegiatan ekskul mereka yang hilang. Secara rutin latihan atau semacam pembelajaran ekskul kami selenggarakan di rumah. Kami sepakat membuat jadwal latihan setiap hari Minggu. Kami tidak punya target yang tinggi, hanya setiap kali latihan kami dokumentasikan dalam bentuk video.

Suasana latihan di rumah

Dengan diadakannya latihan rutin tersebut ternyata berdampak menjadikan anak-anak lebih bersemangat dalam menghadapi rutinitas mereka belajar secara online. Barangkali menjadi semacam variasi mengusir kebosanan yang harus mereka hadapi. Waktu berjalan terus, suatu ketika ada sebuah pengumuman festival keluarga berdendang, yakni semacam lomba membuat video bernyanyi dan bermain musik yang dilakukan oleh keluarga. Karena kami punya dokumentasi video setiap kali latihan, kami bersepakat untuk mengikuti festival tersebut dengan mengambil salah satu video kemudian sedikit diedit dan diikutkan pada festival tersebut. Tanpa diduga video kami masuk sebagai salah satu pememang pada fesival tersebut maka bersukacitalah kami sekeluarga.


Dengan peristiwa kegembiraan itu saya menjadi punya harapan bahwa kegiatan ekstrakurikuler penyalur minat dan bakat siswa yang tercecer alias tidak terpikirkan lagi, ternyata bisa kami sediakan penggantinya. Tugas ini memang menambah beban berat orang tua siswa tetapi jika berbuah manis tidak ada yang berat untuk dilakukan. Mudah-mudah sharing pengalaman ini bisa menjadi inspirasi para pembaca sekalian sesuai dengan bidang kita masing-masing untuk memikirkan pendidikan anak-anak kita menjadi semakin lengkap dan baik meski belum bisa sempurna.



Bantul, 27 Juli 2020

Tuesday, July 21, 2020

WfH Series - Tentang Menulis: Merawat Ingatan



--Rin Surtantini



Sebuah notifikasi yang muncul di akun saya di kompas.id dan adanya pengumuman di harian Kompas cetak cukup menarik: Kompas Institute pada hari Sabtu, 11 Juli 2020, pukul 10 pagi sampai dengan 13 siang akan menyelenggarakan webinar berbayar melalui aplikasi Zoom dengan tema “Merawat Ingatan lewat Cerita”. Judul webinar ini menggerakkan hati saya untuk mendaftar menjadi pesertanya. Bukan karena saya ingin menjadi penulis cerita, tapi ada beberapa alasan mengapa saya tertarik untuk ikut…..

Pertama, karena penyajinya adalah Putu Fajar Arcana, yang tak asing lagi sebagai seorang penyair, penulis cerpen dan novel, wartawan Kompas senior, dan kurator cerpen Kompas. Bli Can, demikian panggilan akrabnya, akan menyajikan materi webinar ini bersama dengan Mohammad Hilmi Faiq, yang juga wartawan Kompas dan kurator cerpen Kompas. Alasan kedua, tema ini merupakan salah satu tema yang dekat dengan salah satu bidang ketertarikan saya, yaitu menulis, bidang sastra, bidang bahasa, dan dengan studi-studi saya selama ini. Ketiga, saya ingin mendapatkan sesuatu dan lain hal dari webinar ini bagi diri saya sendiri, dan yang juga nantinya suatu saat mungkin akan dapat saya manfaatkan atau bagikan kepada orang-orang lain, jika tiba saatnya dan jika diperlukan. Keempat, saya ingin menyaksikan webinar yang memberikan pembelajaran berupa sesuatu yang spesifik yang memang saya perlukan, jadi yang kontennya bukanlah sebagai forum pemberian informasi semacam kebijakan, peraturan-peraturan normatif, atau informasi tentang hal-hal yang sudah umum diketahui saat ini. Lalu, bagaimana dengan alasan berikutnya, alasan kelima, yaitu sertifikat? Itu konsekuensi logis dari mengikuti sebuah seminar. Begitu saja.

Maka, saya pun segera mendaftar. Setelah melakukan transfer investasi, saya segera menerima email yang memberitahukan link Zoom untuk bisa masuk ke acara tersebut pada tanggal mainnya. Melalui tulisan ini, saya titipkan beberapa  catatan yang saya dapatkan dari webinar tersebut tentang kegiatan menulis. Tentu saja menurut pemahaman saya yang sudah saya kembangkan sendiri lagi. Tulisan ini pun saya buat dengan maksud agar ingatan saya tidak tercecer.
***


Merawat ingatan lewat tulisan
Frasa ini menjadi judul dari webinar, yang seperti menitipkan pesan, bahwa tulisan dapat menjadi sarana untuk menyimpan peristiwa, yang dengan demikian membantu memelihara ingatan manusia yang terbatas. Maka dikatakan, rajin-rajinlah “menabung peristiwa” atau melakukan kurasi terhadap peristiwa, sehingga peristiwa-peristiwa itu akan menjadi “tabungan” yang dapat kita buka sewaktu-waktu kita memerlukannya. Ibarat pada masa pandemi ini, banyak dari kita secara finansial terpaksa tidak mendapatkan pemasukan atau tambahan, maka tabungan yang dimiliki, berapapun itu, meski dengan terpaksa, akan menjadi sangat bermanfaat dan bernilai untuk digunakan. Demikian juga dengan “tabungan peristiwa”, yang wujudnya mungkin berupa coretan-coretan, kerangka, mindmap, draft, sketsa, poin-poin, atau hanya sebuah kalimat sebagai judul, semuanya itu adalah tabungan peristiwa, yang dapat dimanfaatkan sewaktu-waktu diperlukan dalam bentuk tulisan utuh.
Tulisan, dengan begitu, akan menjadi dokumentasi dari berbagai peristiwa, dan ia akan menjadikan ingatan kita terawat. Artinya, ketika tulisan itu dibaca pada suatu masa di depan, ia akan menghidupkan ingatan manusia, bahkan bisa jadi ia akan merawat harapan-harapan manusia dalam kehidupannya ke depan, dalam pengambilan keputusan ke depan yang lebih bijak, dalam belajar dan berkaca dari yang pernah dilakukan atau dialami, dalam bertindak, dan sebagainya.


Menabung peristiwa
Meskipun webinar ini sesungguhnya berfokus pada menulis “cerita”, khususnya “cerita pendek” sebagai bentuk tulisan, bagi saya beberapa prinsip atau nilai-nilai yang dikemukakan di dalamnya dapat dicatat atau diambil sebagai pelajaran atau pengetahuan. Tabungan peristiwa akan berfungsi sebagai sumber ide bagi sebuah tulisan. Peristiwa selalu terjadi setiap saat, berseliweran dalam tangkapan pancaindera manusia, dalam hati atau perasaan manusia. Peristiwa-peristiwa itu menyediakan sumber ide tulisan yang luar biasa jika dipelihara.
Nalar, sensitivitas, naluri, nurani, bekerja bersama-sama dalam diri manusia untuk menangkap banyak peristiwa. Akan tetapi, tabungan peristiwa setiap manusia berbeda-beda. Peristiwa streaming pembukaan sebuah diklat online misalnya, akan dicerna secara berbeda-beda antara satu penonton dengan penonton lainnya meski peristiwa itu dialami secara bersama-sama oleh mereka pada waktu yang sama pula. Kegiatan diklat online yang diikuti oleh sekian puluh peserta secara bersama-sama, juga akan dimaknai secara bervariasi antara peserta satu dengan peserta lainnya.
Bagaimanakah sebuah peristiwa itu potensial menjadi ide tulisan, atau dapat dijadikan tabungan ide? Bagaimanakah cara mendapatkan ide tulisan itu?

  1. Memiliki kedekatan dengan kita, artinya kita sendiri mungkin pernah mengalami persitiwa itu, kita tahu persis kejadiannya, kita nyata menghadapinya.
  2. Mengandung daya tarik yang kuat, artinya jika ide atau peristiwa itu dituliskan, akan mengundang rasa tertarik bagi orang lain karena hal-hal menarik diungkap di dalamnya.
  3.  Memiliki sisi-sisi yang unik, artinya ide atau peristiwa tersebut menjadi khas dan spesifik untuk diketahui banyak orang, belum ada atau tidak pernah ada sebelumnya.
  4. Mengandung perhatian, artinya ide atau peristiwa itu menonjol di antara ide-ide atau peristiwa-peristiwa lainnya, sehingga mendorong orang untuk ingin mengetahui.
  5. Bersifat otentik, artinya ide itu memang murni, bukan merupakan duplikasi dari sebuah peristiwa atau ide yang pernah dikemukakan, dialami, atau dipaparkan oleh orang lain.
  6. Bersifat dapat dikembangkan, artinya ide atau peristiwa tersebut memiliki banyak sisi atau aspek yang dapat meluas, bertumbuh menjadi gagasan baru.

Pertanyaan berikutnya, haruskah mengumpulkan tabungan ide atau mencari ide di tempat sepi?
Menulis: kerja soliter dengan berbagai manifestasi
Meskipun menulis itu lebih merupakan kerja soliter, seorang diri bergelut dengan pikiran, perasaan, pancaindera, naluri, nurani milik sendiri, bukan berarti ide harus dicari di tempat yang sepi.  Soliter dalam konteks ini adalah bagaimana seseorang mengupayakan pengayaan ide terhadap proses kreatif yang dilakukannya, seperti berdiskusi, membaca, melakukan riset, menonton, melakukan pengamatan, mendengarkan, mengolah pikiran kritisnya. Ia harus menjadi pengamat yang teliti, seorang yang skeptis (tidak mudah yakin terhadap sesuatu, terus menerus mempertanyakan sesuatu yang menjadi kegelisahannya) sehingga idenya dapat terus berkembang. Dalam konteks penelitian kualitatif, ketelitian dan sikap skeptis ini sangat membantu diperolehnya data secara detil, mendalam, dan komprehensif.

Soliter dalam konteks menulis ini juga terkoneksi dengan ide yang otentik, yang biasanya juga lahir dari suatu peristiwa atau pengalaman yang “personalized”, bersifat personal, sehingga ia memenuhi syarat terciptanya sisi unik dan daya tarik tersendiri. Walau misalnya peristiwanya mirip dengan yang dialami oleh orang lain, detilnya dapat berbeda antara orang satu dengan lainnya. Mengangkat peristiwa personal yang detil menjadi salah satu kekuatan sebuah tulisan.

Manifestasi soliter adalah juga bagaimana seseorang menyambung serpih-serpih ide yang berhasil dirawatnya dalam pergumulannya mengumpulkan tabungan ide atau peristiwa. Menyambung atau mengoneksikan sebuah fenomena dengan fenomena lain menjadi kekuatan yang dilakukan seseorang atas upayanya mengembangkan cara berpikir kritis dan pola pikir yang open-minded atau terbuka. Dengan pola pikir yang sempit atau narrow-minded, akan sulit bagi seseorang untuk menerima berbagai kemungkinan atau alternatif di jagad alam raya ini, akan sulit juga baginya untuk berhasil menemukan koneksi atau sambungan peristiwa satu dengan peristiwa lainnya. Proses berpikir dan hasilnya menjadi pendek-pendek, tertutup, dan tidak berkembang. Sambungan serpih-serpih ide atau peristiwa yang berhasil dijalin oleh penulis, juga akan menjadi cara untuk membawa orang lain sebagai pembaca pada perenungan, proses refleksi, sehingga orang lain pun menjadi kaya. Orang lain mendapatkan “gizi” dari tulisan itu.

Kerja soliter dalam menulis adalah juga bagaimana menitipkan pesan kepada pembaca atau penikmat tulisan tersebut. Pesan adalah sesuatu yang lagi-lagi personalized, dapat mencerminkan pikiran, sikap, perilaku, cara pandang penulisnya. Pesan juga merupakan “nilai-nilai” atau values yang disampaikan penulis. Nilai-nilai ini juga menjadi kekuatan seseorang dalam tulisannya. Dalam konteks ini, kembali otentisitas seseorang dalam menulis akan terlihat kuat apabila itu memang lahir dari pengalaman personalnya, bukan dengan mencuri ide atau gagasan orang lain, atau meniru gaya yang dimiliki oleh orang lain.

Menyusuri jalan sendiri
Menulis memang mungkin tak bisa diajarkan, oleh karena itu dikatakan, silakan menyusuri jalan sendiri. Jangan meniru, temukan cara mengekspresikan karya sendiri, dan ini akan menentukan otentisitas karya seseorang serta menyelamatkannya dari praktik menjadi seorang plagiat, atau praktik yang sekedar mencomot sana mencomot sini tanpa menerapkan etika publikasi. Ini juga akan merefleksikan “wajah” seseorang secara jelas dan khas. Oleh karena itu, sesuatu yang bersumber dari peristiwa atau pengalaman personal menjadi sebuah kekuatan dalam mengembangkan ide. Selanjutnya, bagaimana membawa sesuatu yang bersifat personal ini menjadi milik publik melalui tulisan juga menjadi kekuatan lain dalam menulis. Tulisan mencerminkan juga bagaimana seseorang melakukan komunikasi publik dan menerapkan etikanya.
Ini semua mengingatkan saya akan jenis-jenis tulisan yang dihasilkan di lingkungan pengajar selama ini, seperti bahan ajar, modul, handout, artikel jurnal hasil penelitian, artikel majalah, artikel seminar dalam prosiding, buku, dan lain sebagainya. Menulis itu, pada tingkat kepentingan dan keperluan atau tujuan tertentu, ternyata juga dapat merupakan peristiwa terjadinya pengabaian terhadap nilai-nilai yang seyogyanya muncul dalam hasil tulisan….  Selamat menulis!

Yogyakarta, 20 Juli 2020.


Gambar: https://cdn0-production-images-kly.akamaized.net/jlF-AyOy3g13hBKOBu16IRU23H8=/1280x720/smart/filters:quality(75):strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/1553188/original/072338900_1490964765-writing.jpg

Tuesday, July 7, 2020

Catatan Pengalaman dari Balik Ruang Kelas Zoom: Mengikuti “Online Training”


--Rin Surtantini

 



Pembelajaran secara online dipahami sebagai sebuah proses belajar yang dijalani oleh seseorang sesuai dengan waktu yang dimilikinya dan dari lokasi tempatnya berada. Kelas yang diikuti bukan kelas yang secara fisik ada, karena pembelajaran tidak dilakukan secara tatap muka langsung atau secara fisik. Pada moda pembelajaran online terdapat fleksibilitas, sehingga seseorang dapat belajar tentang sesuatu sesuai dengan kebutuhannya, kapanpun dan dari manapun ia berada dengan menggunakan jaringan internet.

***

Seminggu setelah mendaftar pada sebuah program tim seleksi yang ditawarkan oleh Kemendikud, saya menerima undangan untuk mengikuti pelatihan. Pelatihan ini merupakan bagian dari program tim seleksi nasional, yang mensyaratkan bahwa seorang asesor dalam tim seleksi harus dinyatakan “certified” atau disertifikasi. “Certified” ini diberikan apabila calon tim seleksi mengikuti pelatihan secara penuh, sehingga selama proses pelatihan, peserta diharapkan dapat mencapai penguasaan kompetensi-kompetensi sebagai tim seleksi sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh lembaga penyedia pelatihan dan Kemendikbud. Kompetensi-kompetensi yang harus dikuasai tersebut dilatihkan kepada peserta pelatihan melalui konsep-konsep seleksi dan skills practice untuk setiap kompetensi.

Tulisan ini merupakan refleksi yang berupa catatan pengalaman belajar saya melalui pelatihan online yang saya ikuti selama lima hari pada minggu lalu melalui aplikasi Zoom.

 ***

Asumsi personal terhadap pembelajaran “online”

Tiga hari sebelum pelaksanaan pelatihan “Targeted Selection Interview” –demikian judul pelatihan yang saya ikuti ini— semua peserta mengikuti briefing yang diadakan oleh Kemendikbud bekerjasama dengan sebuah lembaga profesional pada bidang pengembangan sumber daya manusia yang akan menjadi pelaksana pelatihan. Lembaga pelaksana pelatihan ini merupakan perwakilan resmi dari pusatnya yang berada di Amerika Serikat. Artinya, materi pelatihan dan standar-standar yang ditetapkan pada pelatihan ini memiliki copyright sebagai properti intelektual.

 Dalam briefing diberikan gambaran awal bahwa pelatihan ini akan dilakukan secara online sinkronous (full video conference) menggunakan aplikasi Zoom (yang tentu versi berbayar), non-stop selama lima hari dari pukul 08.00 pagi sampai dengan pukul 14, atau pukul 15, 16, dan pukul 18 pada hari terakhir. Apa yang harus disiapkan oleh peserta? Tentu saja jaringan internet yang stabil dan kuota internet yang cukup setiap hari selama mengikuti pelatihan, perangkat laptop yang memadai, tidak adanya gangguan atau hambatan yang dapat membuyarkan konsentrasi, mental dan fisik yang tangguh, ketahanan dalam menggunakan headset sepanjang mengikuti pelatihan dengan video yang harus on terus,  tidak melakukan multi-tasks atau banyak pekerjaan lain di luar pelatihan, serta amunisi berupa makanan, makan siang, dan minuman yang cukup dan siap tersedia di dekat peserta agar tetap fit dan ada ketika dibutuhkan.

 Semua yang harus disiapkan ini menimbulkan kecemasan tersendiri yang muncul karena asumsi-asumsi berdasarkan pengalaman, seperti misalnya: jaringan internet melalui wifi sewaktu-waktu tidak stabil, dan akan sangat merepotkan jika listrik juga tiba-tiba mati; atau ada kejadian-kejadian yang tiba-tiba mengganggu konsentrasi; atau kondisi mental dan tubuh yang kadang tidak fit; atau telinga yang akan sakit jika menggunakan headset terus menerus; atau gerakan dan sikap tubuh yang harus selalu ditata karena master trainer (pelatih) dan peserta lain akan bisa mengawasi atau melihat semua gerak-gerik melalui video yang harus dihidupkan terus; adanya pekerjaan lain di luar pelatihan yang harus diselesaikan dan tidak bisa dihindari; pelatihan ini akan sangat melelahkan dengan tugas-tugas (LK yang banyak) sesuai dengan kebutuhan pengajar (bukan kebutuhan peserta), sehingga ilmu, pengetahuan, atau keterampilan yang diperoleh tidak jelas; dan sebagainya.

 Stereotip yang gugur

Semua asumsi berdasarkan stereotip di atas karena beberapa pengalaman masa lalu memenuhi pikiran dan perasaan saya, sebelum akhirnya gugur ketika hari pelatihan itu datang, dan berjalan selama lima hari. Apa yang saya rasakan dan alami? Model pembelajaran yang dilakukan mengingatkan saya akan pelatihan-pelatihan yang pernah diikuti di luar negeri, di negara-negara maju, atau ketika di dalam negeri dengan pengajar atau pelatih yang berasal dari negara-negara maju tersebut. Catatan hasil refleksi berikut ini menggugurkan asumsi-asumsi personal berdasarkan stereotip yang terbangun dalam pikiran dan perasaan saya sebelumnya.

 

1.    Pelatihan berbasis kompetensi

Target kompetensi yang harus dikuasai oleh peserta jelas dan terukur, sehingga kompetensi-kompetensi itulah yang dikenalkan dan dilatihkan melalui konsep-konsep pada sesi pemberian materi, dan dipraktikkan melalui skills practice selama pelatihan berlangsung. Pelatihan fokus pada apa yang peserta harus dapat tunjukkan dan lakukan melalui skills practice pada situasi tertentu (what an individual can really do in a given situation) untuk kompetensi-kompetensi yang harus dicapai. Ketercapaian kompetensi-kompetensi ini dilihat melalui evidence atau bukti-bukti, sehingga seseorang dinyatakan “certified” apabila ia memenuhi pencapaian penguasaan kompetensi-kompetensi tersebut. Seseorang juga dapat diberikan status “deferred” atau sertifikasinya ditunda karena harus mengulang, menambah jam pelatihannya, atau mengikuti lagi pelatihan untuk mencapai status “certified”. Seseorang juga dapat berstatus “not certified” apabila tidak memenuhi pencapaian kompetensi yang distandarkan. Semua evidence ini diperoleh dari unjuk kerja peserta pada skills practice yang dicatat secara cermat melalui observasi, dan diberikan sebagai laporan kepada peserta setelah pelatihan berakhir.

 

2.    Penilaian berdasarkan kriteria (criterion-referenced assessment)

Penilaian dilakukan selama proses berlangsung, terutama pada saat peserta melakukan skills practice secara kelompok. Karena tujuan dari praktik keterampilan ini adalah untuk menerapkan konsep dan pengetahuan yang telah diberikan, peserta tidak menyadari bahwa pada saat itu penilaian per-individu sesungguhnya dilakukan oleh co-trainer. Berbeda dengan penilaian berdasarkan norma (“norm-referenced assessment”), pelatihan ini menerapkan penilaian berdasarkan kriteria (“criterion-referenced assessment”), yang tidak membandingkan pencapaian atau skor satu peserta dengan peserta lain, tapi melihat bagaimana pencapaian individu terhadap semua kompetensi yang harus dikuasainya.  Jadi setiap individu tidak bersaing terhadap individu lainnya, melainkan berupaya bagaimana dirinya sendiri dapat mencapai target kompetensi yang ditetapkan sebagai tim seleksi. Maka, hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip dari pelatihan berbasis kompetensi yang pernah saya pelajari dan alami ketika berkesempatan belajar mengenai technical and vocational education selama setahun di negeri kanguru beberapa puluh tahun silam.

 

3.    Belajar dalam kelas kecil

Kelebihan yang dialami dengan kelas yang kecil adalah terpeliharanya perhatian yang intense dari master trainer (pelatih utama) terhadap pesertanya. Master trainer pada satu jam pertama pada hari pertama sudah hapal dengan nama-nama peserta (meskipun ini juga terbantu oleh nama yang tertulis pada setiap layar video peserta). Jadi nama pada layar video peserta itu sebenarnya name tag pada kelas virtual.

 

Kelas kecil juga memberi kemudahan pada pelatih dalam mengelola kelas. Fokus tercipta. Hanya ada 12 (duabelas) peserta pada setiap kelas pada ruang Zoom itu, yang diampu oleh seorang master trainer dan dibantu oleh empat co-trainers, dan seorang staf yang menangani administrasi virtual serta masalah teknis pada bidang IT. Masing-masing bertanggung jawab sesuai dengan tugasnya dan melakukannya secara profesional, penuh perhatian, dan dengan keramahan, senang hati, sehingga semua kebutuhan dan permasalahan peserta terpenuhi dan dapat dikelola dengan cermat dan cepat.

 

Belajar dalam kelas kecil ini juga membuat terciptanya suasana hangat, akrab, dan nyaman antarpeserta dan pelatih serta staf yang terlibat, meskipun pertemuan secara fisik tidak terjadi. Ini artinya, suasana kelas fisik dapat diciptakan pada kelas virtual. Dengan suasana seperti ini, belajar dan berbagi di kelas virtual seperti pada kelas fisik pun menjadi menyenangkan. Peserta dalam satu kelas terdiri dari enam orang widyaiswara dari tiga PPPPTK yang berbeda, dan enam orang guru yang berasal dan mengajar di sekolah-sekolah internasional di beberapa kota, yang merupakan sekolah-sekolah yang bekerjasama dengan JIS (Jakarta Intercultural School). Kombinasi peserta dalam kelas kecil seperti ini memungkinkan terjadinya saling belajar atas dasar perbedaan pengalaman dan tugas masing-masing.

 

 

4.    Adopsi kelas fisik ke dalam kelas virtual yang well-prepared

Aplikasi Zoom yang digunakan sepanjang hari dari pagi sampai sore selama lima hari melalui video conference adalah ibarat sebuah upaya mengadopsi kelas fisik tatap muka langsung ke dalam kelas virtual. Itulah sebabnya, saya menduga, mengapa pelatihan ini tidak menggunakan atau memanfaatkan LMS (Learning Management System), seperti misalnya Google Classroom, Moodle, ATutor, Schoology, Edmodo, dan sebagainya. Meskipun ada keterbatasan di mana kelas virtual tidak dapat menyerupai persis seperti kelas fisik, pelatihan yang saya ikuti ini mencoba untuk menciptakan beberapa kegiatan seperti terjadi dalam kelas fisik.

 

Ketika master trainer memberikan materi berupa konsep dan contoh-contoh penerapannya, keduabelas peserta berada bersama di main room dari Zoom. Ketika peserta berlatih mempraktikkan kompetensi-kompetensinya, mereka akan dipecah menjadi grup-grup yang lebih kecil, terdiri dari tiga orang per-grup, dengan seorang co-trainer untuk setiap grup kecil ini, yang akan menjadi pembimbing dan sekaligus pengamat bagi setiap individu. Empat grup kecil ini dikirim dan bergabung ke breakout room masing-masing yang berbeda. Praktik, diskusi, argumentasi yang lebih intensif terjadi di sini pada waktu yang ditentukan secara ketat, sebelum akhirnya semua kembali lagi ke main room untuk melaporkan dan membahas hasil praktik dan diskusi kelompok. Grouping semacam ini akan selalu berubah anggotanya, sehingga peserta berkesempatan untuk saling bertemu, mengenal, dan bekerja dengan peserta lain yang berbeda.

 

Agar apa yang dilakukan dalam kelas fisik juga teradopsi di kelas virtual ini, setiap peserta harus paham dan menggunakan fitur-fitur, atau fasilitas dan fungsi dari Zoom, misalnya ketika ia ingin bertanya atau mengemukakan pendapat, ketika ia harus pindah ke breakout room, ketika menggunakan papan tulis sewaktu mencatat hasil diskusi, ketika memberikan respon, ketika ijin keluar dalam beberapa menit, dan sebagainya, yang sebetulnya mudah untuk dilakukan, hanya perlu pembiasaan saja.

 

Sebagaimana halnya dengan kelas fisik, master trainer menggunakan bahan tayang atau resource book yang dibagi di layar pada saat menjelaskan. Dua hari sebelum pelatihan, peserta juga sudah mendapatkan resource book dan practice book dalam bentuk elektronik. Semua peserta atas inisiatif sendiri mencetak kedua buku tersebut untuk memudahkan dalam membaca dibandingkan membuka dalam bentuk e-book. Semua materi, baik konsep maupun praktik disampaikan oleh master trainer dengan sangat efektif, detil, dan jelas, meskipun padat. Efektivitas penyampaian materi yang padat sangat terbantu dengan pemutaran video yang memang dirancang untuk tatap muka virtual, bukan untuk ditonton secara mandiri oleh peserta. Video itu menayangkan bagaimana keterampilan dan kompetensi tertentu dinilai secara detil melalui pemeranan aktual dari tim seleksi dan pelamar dalam sebuah seleksi. Pada setiap bagian video sudah dirancang kapan master trainer menghentikan video, dan menggunakan waktu untuk mendiskusikannya dengan peserta.

 

Pada setiap pagi di awal sesi, master trainer selalu membawa peserta untuk memecah kebekuan atau mengawali hari dengan semangat yang terpelihara, sebagaimana terjadi di kelas-kelas fisik. Contoh yang dilakukan adalah, setiap peserta secara bergiliran mengatakan pengalaman apa yang pernah dilakukannya yang mirip dengan tugas sebagai tim seleksi, setiap peserta diminta untuk menyebutkan perasaannya pada pagi itu, setiap peserta menceritakan secara singkat apa yang membuatnya merasa berhasil pada pagi hari itu, atau setiap peserta diminta untuk mengatakan apa kekuatan atau kelebihan yang dimilikinya yang membuatnya layak menjadi tim seleksi.

 

Demikian juga pada akhir kelas, master trainer meminta setiap peserta misalnya menyebutkan kesannya dalam satu kata tentang pelatihan pada hari itu, atau seperti layaknya orang beli makan di restoran, maka apa take-away pengalaman yang bisa dibawa oleh peserta pada sore itu, atau peserta menyebutkan tiga kata yang mewakili gambaran mengenai pelatihan pada hari itu. Peserta serius mengikuti, tetapi tetap bisa relaks dan tidak tegang.  Terlihat juga bahwa pengajar atau pelatih memiliki tanggung jawab besar dan berkomitmen untuk dapat membuat setiap pesertanya paham dan dapat menguasai kompetensi yang ditetapkan.

 

 

5.    Properti intelektual dan profesionalisme

Copyright sebagai properti intelektual pada resource book dan practice book menjadi hal yang harus dihormati. Sejak briefing sampai selama pelatihan, peserta diingatkan untuk hal ini, artinya semua itu hanya digunakan untuk personal use peserta yang mengikuti pelatihan.  Poin atau nilai-nilai penting yang diajarkan secara tidak langsung kepada peserta adalah bahwa siapapun dalam bidang akademis harus melakukan kegiatan akademisnya secara jujur, dan dapat dipertanggung jawabkan secara pribadi. Seseorang yang ingin berada pada level sukses harus mencapainya dengan cara-cara yang benar, bukan cara-cara short cut yang palsu, misalnya praktik-praktik mendapatkan bocoran soal untuk tujuan lulus suatu tes, atau untuk tujuan menjadi the best, mengalahkan yang lain dengan cara-cara yang tidak jujur.

 

Yang seyogyanya menjadi kepedulian peserta ketika mengikuti pelatihan adalah ilmu, pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai (values) apa yang diperolehnya dari pelatihan tersebut, yang dapat diterapkannya pada tugas yang menjadi tanggung jawabnya, sehingga ketika ia dinyatakan “certified”, ia memang memenuhi kompetensi yang menjadi target dari pelatihan tersebut. Ketika target kompetensi pelatihan dirumuskan dengan jelas, disiapkan dengan baik secara konten maupun teknis, dan dilatihkan secara profesional oleh pengajar atau pelatihnya, serta dijalani oleh pesertanya dengan penuh komitmen, maka sudah selayaknya jika dikatakan pelatihan itu memiliki nilai-nilai positif yang berarti.

 

6.    Komunikasi dan pola pembelajaran yang membangun hubungan dan iklim kelas

Tanpa disadari dan tanpa terasa, lima hari berlalu, dilewati. Konsentrasi dan fokus peserta terbangun, semua permasalahan teknis yang dialami peserta selalu dengan sigap dapat dibantu diatasi oleh staf administrasi yang merangkap IT, semangat peserta terjaga, esensi pelatihan tersampaikan … yes, I’ve got the points!  Tidak ada beban LK-LK yang berjubel, monoton, membosankan, dikerjakan secara lembur, ditagih-tagih sebagai syarat penilaian dan kelulusan, dikerjakan secara copy-paste, dikerjakan dengan berat hati tanpa tahu esensi dan kontennya, dilakukan peserta untuk mengurangi beban pengajar dan bukan untuk memenuhi kebutuhan peserta. Tidak pula ada pre-post test yang item tesnya tidak semuanya dibuat untuk mengukur ketercapaian kompetensi peserta.

 

Lima hari pun menjadi waktu yang singkat tetapi full of essence and values. Kemampuan pengajar dalam strategi berkomunikasi dengan peserta menjadi salah satu aspek penting yang mendukung iklim kelas yang positif. Dalam pelatihan kelas virtual full video conference ini, kondisi iklim kelas positif ini terjadi dan terjaga.  Seorang pengajar yang terpanggil, seyogyanya selalu bertanya kepada dirinya melalui refleksi, “Apakah saya telah memberikan sesuatu yang meaningful kepada peserta pelatihan?”  “Apakah mereka memeroleh sesuatu dari saya?”  “Apakah mereka memeroleh yang mereka butuhkan?” dan berbagai pertanyaan serupa yang akan terus membelajarkannya.

 

***

Ketika pelatihan ini berakhir, satu persatu peserta dipanggil oleh master trainer ke breakout room, untuk memeroleh feedback dari master trainer dan co-trainer berupa area kekuatan yang dimiliki individu serta area pengembangan yang masih perlu diperbaiki atau ditingkatkan. Feedback lisan ini dikrimkan juga ke setiap email individu dalam bentuk laporan tertulis. Bagi saya, ini sebuah pengalaman mengikuti pelatihan secara online dengan full video conference, yang mengungkap sisi lain bahwa pelatihan online semacam ini meski tidak terdapat fleksibilitas dalam jadwal atau waktu pelaksanaannya, dapat tetap memberikan rasa senang, termotivasi, nyaman, dan fulfilled bagi pesertanya. Ini dapat tercapai jika terdapat atau dipenuhinya semua aspek yang menggugurkan asumsi-asumsi awal yang diuraikan di atas.

 

 

Yogyakarta, 7 Juli 2020.