Showing posts with label Inspirasi. Show all posts
Showing posts with label Inspirasi. Show all posts

Sunday, January 30, 2022

ENTERTAINER SEJATI ITU TELAH PERGI


 ---F. Dhanang Guritno

 

Mengenang 40 hari  Mas Kari Hartaya dipanggil Tuhan

  

Bertahun-tahun bergulat dengan penyakit diabetes, dua tahun yang lalu terkena serangan stroke, dan akhirnya perjalanan hidup di dunia ini harus berakhir di ujung tahun 2021.

 24 Desember 2021 pagi saat aku bangun tidur kubuka ponsel, betapa terkejutnya aku ketika berbagai grup WhatsApp mengabarkan berita duka meninggalnya saudara, teman, dan sahabat tercinta Mas Kari Hartaya. Sekitar pukul 2.30an dini hari ternyata sebenarnya HPku beberapa kali berdering saat kerabat berusaha menghubungiku untuk mengabarkan berita itu. Namun karena tertidur lelap sedari sekitar pukul 24.00 aku tidak mendengarnya. Setelah bangun barulah aku tersadar bahwa Mas Kari telah dipanggil Tuhan.  Antara percaya dan tidak, hari kemarin masih beraktifitas seperti biasa masuk kantor dan sore hingga malam latihan mempersiapkan misa Natal. Memang penyakit diabetes itu sudah disandangnya bertahun-tahun, dan dua tahun yang lalu terserang stroke. Tapi kondisi terakhir itu sepertinya tidak sedang drop.

Saat itu pikiranku langsung mengingat-ingat hari-hari akhir bersamanya. Sepertinya waktu itu tidak ada hal yang aneh pada dirinya. Kuingat betul sehari sebelumnya kami masih makan siang bersama di sebuah warung daerah Gentan Jalan Kaliurang beliau nampak biasa-biasa saja, hanya saat itu sebenarnya aku agak sedikit heran dengan tingkahnya. Ketika aku belum selesai minum dia sudah mengajak cepat-cepat pergi dari situ seperti orang terburu-buru sambil berbicara dalam bahasa jawa “aku saiki ngapa-ngapa ora jenak (Aku sekarang apa-apa selalu tidak betah).  

Saya ingat juga ketika awal Desember ikut kegiatan pemberdayaan SDM BBPPMPV Senbud ke Bandung, ternyata ada sedikit hal yang aneh darinya. Dengan semangat dia tampak antusias mengikuti kegiatan itu. Ketika perjalanan pulang rombongan berhenti di toko oleh-oleh, dengan semangat pula dia memborong oleh-oleh. Aneka makanan banyak dibelinya. Antri berjubel membeli peuyem dilakukannya. Padahal setahuku hal-hal sepeti itu dulu tidak begitu suka melakukan. Namun apakah itu suatu firasat atau bukan hingga saat ini akupun tidak pernah tahu.

 Mas Kari dari sudut pandangku…

Terlahir 56 tahun yang lalu, kami mempunyai banyak kesamaan. Kami sama-sama lahir pada tahun 1965, hanya berbeda bulan.  Tinggal di kota yang sama Bantul. Masih ada hubungan keluarga (ayah beliau adalah kakak dari ibuku), dalam bahasa Jawa sering disebut nak-sanak, tunggal simbah, atau sepupu. Menurut cerita orang tuaku dulu, ayahnya memberi nama Kari karena saat itu Presiden Soekarno sedang giat mencanangkan gerakan hidup “Berdikari” singkatan dari “berdiri di atas kaki sendiri”.

Dengan beberapa kesamaan kami tumbuh dari kecil dengan melalui berbagai jalan hidup. Kami berminat pada hal yang sama, yakni bermain musik. Kebetulan keluarga besar kami mulai dari simbah, pakde-pakde, om-om sebagaian besar mempunyai  hoby bermain musik. Sampai pada akhirnya di tahun 1983/1984 kami menempuh kuliah pada jurusan yang sama yakni Pendidikan Seni  Musik IKIP Yogyakarta.

Liku-liku perjalanan menekuni dunia musik banyak kami lalui bersama. Mulai dari bermain band keluarga, band teman-teman sebaya, keroncong dan musik-musik gereja. Kami sering berdiskusi tentang berbagai hal yang berhubungan dengan musik dan kondisi kehidupan kami yang bukan berasal dari keluarga berada. Berdiskusi bagaimana kita bisa mencari penghasilan dari bermain musik. Masih kuingat betul kami selalu membicarakan bagaimana kita berupaya untuk dapat mencari uang dari bermain musik pada saat kita kuliah dulu.

Penjuangan mengabdikan diri pada dunia musik

Di tahun 1984 - 1990an, pada saat kuliah, kami mencari celah-celah pekerjaan free lance dengan menjadi pemain musik untuk rekaman. Diantaranya kami mencoba bekerja sama dengan TVRI lokal Jogja dan dengan Komisi Sosial Keuskupan Agung Semarang yang berada di Gereja Katolik Bintaran waktu itu yang memproduksi lagu-lagu rohani.

Di TVRI stasiun Yogyakarta kami berjuang merintis menjadi pengisi acara dan menjadi musisi pengiring penyanyi pada beberapa acara. Yang masih kuingat acara yang pernah kami iringi antara lain progam hiburan musik: Hiburan Senja, Visirama, Lagu Pop Daerah dan lain-lain. Sedangkan di KOMSOS kami mengerjakan iringan musik lagu-lagu rohani yang diproduksi secara komersial dalam bentuk pita kaset. Kerja keras yang kami lakukan bersama mas Kari pada waktu itu sedikit membawa hasil. Setidaknya kami tidak terlalu bergantung pada orang tua untuk sekedar uang jajan dan membeli BBM.

Seiiring berjalannya waktu sekitar tahun 1989 mas Kari mencoba terobosan baru yakni bermain live music di café/restaurant dan bar hotel. Suatu hal yang sebenarnya sangat asing bagi kami. Biasanya kami melakukan rekaman di studio, kali ini mencoba peruntungan untuk menjadi seorang Entertainer  untuk menghibur para pengunjung cafe. Pada saat itu di Jogja memang sedang marak berbagai café dan restauran serta bar di hotel yang dilengkapi dengan live music. Berbagai café, restaurant dan bar di hotel-hotel saat itu seperti wajib memiliki hiburan music secara live. Berbagai tempat itu menyajikan berbagai format musik yang berbeda-beda. Jika besar seperti hotel-hotel menampilkan band, namun jika kecil untuk menghemat berbagai hal maka ditampilkan elekton dengan singer, atau yang sekarang biasa disebut organ tunggal.

Berawal dari situlah dia sukses menjalani profesi barunya. Jadwal bermainnya sebagai pemain keyboard/solo piano maupun bermain dalam band setiap malam hampir seluruh café, hotel restaurant di Jogja ini, ada. Sebagai orang yang dekat dengan beliau akhirnya aku pun dengan segala kekuranganku belajar mengikuti jejaknya. Dan pada tahun-tahun 1990an aku melakoni hal yang sama. Tentu jika aku tidak dekat secara personal hal itu tidak akan terjadi. Berbagai motivasi dan dorongan dia lakukan dengan memberikan  materi-materi bermain musik, repertoar lagu yang belum kukenal, dia dengan sabar mengajariku. Berbagai hal dilakukan dengan tak jemu-jemunya membujukku terus untuk mau mengikuti jejaknya. Barangkali tanpa peran serta yang luar biasa darinya aku tak akan bisa melakukannya.

Mas Kari adalah seorang  Entertainer sejati. Dia telah sukses melakukan pekerjaannya menghibur orang melalui permainan musiknya. Dia begitu sukses mengiringi orang menyanyi dari berbagai macam kalangan. Mulai dari orang awam, penyanyi lokal hingga artis papan atas merasa nyaman ketika menyanyi diiringi permainan musiknya. Bahkan dia pun menjadi penghibur teman-teman dalam satu panggung ketika ada yang tidak siap mengiringi suatu lagu. Dengan segenap kemampuannya dia bisa menggerakkan timnya untuk sukses menjalani pekerjaannya bermain musik. Sungguh Leadership yang luar biasa.

 


Perjalanan kami sebagai pemain musik tidak hanya berhenti dari café ke café, bar ke bar, hotel ke hotel sebagai pemain musik reguler(terjadwal). Kami berjuang juga sebagai pemain musik by order pada berbagai event. Artinya kami menjadi pengisi acara pada event tertentu misalnya Wedding party, gathering perusahaan dan lain-lain.

Ketika berbagai event di Yogyakarta sekitar tahun 2000 banyak diisi pertunjukan keyboard tunggal atau band, saat itu mas Kari mempunyai ide yang cukup brilliant. Dia mengajak aku dan beberapa teman mencoba terobosan baru yang berbeda yakni format ansambel. Ansambel dan mini orchestra yang melibatkan juga musisi akademis (bukan otodidak). Mulailah kami membentuk “Java Ansambel” Format ini berbeda dengan grup lain, yakni memasukkan unsur orkestra. Ternyata format ini banyak diminati klien untuk pengisi acaranya seperti pesta pernikahan. Dan hingga saat ini masih eksis, dan pada hari-hari terkhirnyapun Mas Kari masih sibuk mempersiapkan job wedding yang sedianya dilakukan tanggal 1 Januari 2022. 

Di luar bermain musik saat mengajar berbagai macam diklat dan bergaul dengan orang, dia juga sukses menjadi entertainer/penghibur yang sejati. Hampir semua orang yang mengenal dia secara personal selalu mengatakan dia adalah orang yang supel, sumeh, dan menghargai orang lain dalam setiap pembicaraan. Pada berbagai kegiatan pembelajaran mas Kari selalu tampil mengajar dengan sabar, telaten bukan sekedar memberikan ilmu, namun juga selalu membuat kelas menjadi hidup dan setiap peserta merasa mendapatkan sesuatu yang baru dan menghibur. Itulah makanya dalam tulisan ini saya sebut dia adalah entertainer atau penghibur sejati.

 

Demikian sekilas perjalanan kebersamaan kami bermusik dengan almarhum Mas Kari. Apapun yang telah beliau lakukan adalah sesuatu yang terbaik bagi kehidupannya dan membawa berkah bagi orang lain. Hingga saat ini saya mempunyai kesimpulan dia adalah orang yang konsisten pada pengabdian hidup yang telah dipilihnya yakni musik. Tanpa peran serta beliau, mungkin saya tidak akan bergulat juga dalam bidang musik ini. Dialah saudara, teman, sahabat dan guru terbaikku. Dia sangat berjasa bagi perjalanan panjang hidup dan kehidupanku.

“Selamat jalan Mas Kari, berbahagaialah dan bermusiklah dengan para kudus di Surga…..Amin”.

 



Tuesday, January 4, 2022

Pada Jumat Siang yang Hangat: Tentang dan Bersama Seorang Rekan Sejawat

---Rin Surtantini



Siang itu, Jumat hari terakhir perjalanan panjang pada tahun 2021, diadakan a farewell party untuk dua rekan sejawat di lingkungan korps widyaiswara BBPPMPV Seni dan Budaya. Pertemuan serupa ini bukanlah yang pertama, karena ini merupakan sebuah acara kekeluargaan yang diwariskan dari masa ke masa pada ruang bersama para widyaiswara sejak angkatan pertama tahun 1992, dengan nuansa yang bervariasi, yang sampai saat ini dan hendaknya di masa depan akan selalu dipelihara sebagai bagian dari life lessons yang mengajak kita semua memiliki catatan terhadap nilai-nilai baik dari orang lain atau dari para pendahulu kita. Seiring menggelindingnya waktu, satu persatu para senior, pendahulu, memasuki akhir masa baktinya sebagai widyaiswara. Maka pada tanggal 31 Desember siang itupun, a farewell party bagi dua rekan sejawat, mbak Irene Nusanti dan mbak Wiwin Suhastari, diselenggarakan secara sederhana dan hangat di Warung Pak Lanjar di Bantaran Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman.

Seperti yang diungkapkan oleh Mas Aristono sebagai pembawa acara, di sela-sela waktu yang mengikat para widyaiswara ini dengan aktivitas yang luar biasa pada paruh akhir tahun 2021, the farewell party bagi kedua rekan sejawat ini dipersiapkan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Artinya, jika terdapat hal-hal yang kurang pas di sana-sini, itu diharapkan menjadi sebuah “permakluman” dari semua yang hadir saat itu. Yang perlu dicatat adalah bahwa ini bukanlah acara kelembagaan yang dilakukan secara formal, melainkan sebuah acara kekeluargaan yang turun temurun di lingkungan widyaiswara, dalam suasana relaxed, hangat, akrab, cair, menyatu, tiada batas yang memagari setiap yang hadir secara hierarkis. Acara itu adalah dari kita, untuk kita, dan oleh kita.

Yang secara mendadak menjadi gagasan beberapa teman widyaiswara pada pagi itu adalah kita sebaiknya juga mengundang tiga senior widyaiswara yang tahun 2020 memasuki masa purna baktinya tetapi tidak dapat dilakukan farewell party bagi ketiganya seperti biasanya karena pandemi yang datang tak terduga, meskipun acara untuk itu telah dipersiapkan secara matang pada saat itu di Warung Pak Lanjar juga. Pandemi yang berkepanjangan menjadikan acara bagi ketiganya tertunda setahun kemudian, awal 2021, tetapi dilakukan di auditorium kantor secara terbatas, separuh luring dan separuh lainnya daring. Maka, ketiga senior ini, mas Bambang Setyacipta, mbak Tri Suerni, dan pak Sri Karyono pun diundang untuk datang, bergabung dengan farewell party bagi mbak Irene Nusanti dan mbak Wiwin Suhastari.

Secara intensional, pada acara itu, melalui pesan mbak Digna Sjamsiar sebelumnya, saya diminta untuk mewakili teman-teman widyaiswara menyampaikan impresi tentang mbak Irene, berbagi dengan mbak Sumiyarsih yang menyampaikan impresi tentang mbak Wiwin. Ini hanya salah satu acara dari sekian rangkaian acara yang diurai oleh mas Aristono siang itu. Saya tidak bisa dan tidak biasa untuk menyampaikan pesan tanpa harus saya tuliskan terlebih dahulu. Ya, saya harus menuliskan apa-apa yang ingin saya sampaikan, karena kelemahan saya adalah bahwa saya selalu dilanda kekuatiran jika penyampaian saya tidak tertata secara logis, terstruktur, dan memberikan makna. Menurut kekuatiran saya ini, kasihan nanti pendengarnya jika hal-hal yang tertata ini tidak saya lakukan ketika saya berbicara …….

Tulisan ini adalah impresi yang saya sampaikan pada saat itu, yang perlu saya bagikan.

***

Saya yakin, setiap teman widyaiswara yang mengenal dan pernah bersama-sama, bekerja bersama, bergaul, dan berkomunikasi dengan mbak Irene Nusanti tentu akan memiliki kenangan maupun impresinya masing-masing, baik yang bersifat personal maupun publik. Hal ini terjadi dalam diri saya sendiri, yang dipertemukan pertama kali dengannya pada bulan Agustus 1992, kira-kira 29 tahun silam, di ruang laboratorium bahasa, gedung multimedia di kampus kita. Bagi kami berdua, tentu itu bukanlah waktu yang singkat dalam nilai sebuah persahabatan maupun teman sejawat, karena sejak saat itu kami berdua menjalin persahabatan dan persaudaraan yang sungguh bermakna secara personal. Akan tetapi, karena kali ini saya dimintai untuk mewakili teman-teman widyaiswara dari berbagai expertise dalam memberikan kesan dan pesan, maka saya akan berupaya untuk mengungkapkan ini secara lebih general, dan semoga semua teman sepakat dengan apa yang akan saya sampaikan, meskipun ini tetap tak bisa lepas dari pengalaman pribadi dan persepsi saya. (Perlu saya sampaikan, bahwa bidang Pengajaran Umum sendiri sudah mengadakan a particular farewell party pada bulan Agustus 2021 lalu untuk kedua teman sejawat ini yang kebetulan tergabung dalam unit yang sama).


Mbak Irene Nusanti adalah widyaiswara angkatan pertama di tempat kita yang terakhir memasuki masa purna tugasnya. Mengapa? Itu karena mbak Irene adalah yang termuda di antara para widyaiswara angkatan pertama tahun 1992, yang merupakan senior-senior yang membangun lembaga kita ketika masih berlokasi di Alun-Alun Kidul, Yogyakarta. Diangkat pertama kali sebagai PNS dengan status guru di SMKI Yogyakarta, kalau tidak salah tahun 1986, tetapi ditempatkan di PPPG Kesenian, mbak Irene kemudian menempuh pendidikan S2 dalam bidang interdisciplinary studies di University of Idaho, USA pada tahun 1987 sampai dengan 1989. Mbak Irene adalah satu di antara sekian orang yang membabat alas lembaga kita ini, termasuk salah satunya adalah bersama pak Sardi, mantan kepala pusat kita yang purna tugas tahun 2014 lalu. Dengan masa kerja yang cukup lama, kurang lebih 35 tahun, tentu mbak Irene dapat menjadi narasumber bagi kita para junior-nya dalam menyaksikan dan mengalami ups and downs yang terjadi di lembaga kita, baik itu secara kelembagaan maupun secara human to human interaction, sejak lembaga ini masih sebagai projek sebelumnya, juga sejak diresmikan sebagai UPT pada tahun 1992 dengan kepala pusat yang pertama (almarhum bapak Harsono) dengan nama PPPG Kesenian, yang kemudian berganti menjadi PPPPTK Seni dan Budaya, BBPPMPV Seni dan Budaya, sampai dengan kepala balai yang menjabat saat ini (yang seluruhnya sudah delapan kepala).

Saya berharap kita semua yang mengenal mbak Irene setuju dengan saya bahwa mbak Irene adalah seorang teman sejawat sekaligus senior tempat kita bisa bertanya, belajar, berbagi, dan terutama memperoleh support atau motivasi, serta bekerja bersama dalam situasi “ups and downs” di kantor kita, dalam segala musim, jaman, dan situasi. Secara pribadi, saya yang kebetulan hampir selalu berada dan bersama dalam ruang lingkup bidang pekerjaan dan minat yang sama, merasa sangat bersyukur memperoleh ruang waktu yang diberikan oleh Tuhan kepada kami berdua. Sejak tahun itu, sampai dengan saat ini saya tetap merasakan hal yang sama dengan 29 tahun yang lalu. Semoga teman-teman sepakat juga dengan saya, bahwa mbak Irene tetaplah senior kita yang selalu menyediakan waktu dan “hati”nya ketika kita bertanya, ingin belajar, berbagi, dan bekerja bersama, serta ketika kita memerlukan dukungan dan motivasi atas hal-hal yang kita rasa ragu dan merasa tidak mampu.

Secara pribadi lagi, yang paling saya syukuri adalah saya “pro”, sejalan, dan sejiwa dalam banyak hal dengan mbak Irene dalam hal mempertahankan “values” atau nilai-nilai “konsistensi” dan “prinsip” dalam berpikir, berlaku, dan bersikap. Inilah yang menjadikan mbak Irene itu di mata saya dan saya yakin di mata kita semua, adalah seseorang yang memiliki kepribadian unik, teguh, konsisten, tegas, kuat, dapat dipercaya, disiplin, tidak plin-plan dan tidak mudah terpengaruh, yang semuanya itu dilandasi oleh prinsip-prinsip yang dipegang teguh. Apa yang dapat kita pelajari darinya adalah bahwa kita harus memiliki “jatidiri” yang berlandaskan prinsip-prinsip, values atau tata nilai yang dapat dipertanggungjawabkan, tidak menjadi seorang copy cat hanya untuk kepentingan diri sendiri atau sebuah popularitas. Dalam konteks lembaga, siapapun kepala pusatnya, atau di manapun kita ditempatkan, kita harus tetap menjadi diri kita sendiri, berprinsip, teguh, tidak terpengaruh oleh hingar-bingar untuk menjadi pemenang lomba dalam percaturan pekerjaan, atau berkompetisi dengan teman sejawat karena ambisi menjadi pemenang dan paling hebat daripada yang lainnya. Kita tidak boleh mengubah kualitas personal yang kita miliki hanya karena kuatir tidak mengikuti hal-hal yang populer dan dilakukan oleh banyak orang di lingkungan kita, apalagi hanya karena kepentingan pribadi yang kadang atau sering tidak kita sadari! Hal-hal yang tidak populer tetapi bermakna, menjadi personal room yang membahagiakan bagi seorang Irene Nusanti.

Mengenal mbak Irene sejak dahulu, kita tentu masih ingat expertise yang dimilikinya, yang tentu menggoreskan jejak-jejak perjalanan lembaga kita, antara lain pembelajaran bahasa Inggris, baik bagi teman-teman sejawat, mahasiswa Politeknik Seni, maupun guru-guru bahasa Inggris SMK Seni Budaya melalui program diklat rutin setiap tahun sampai dengan tahun 2012, pembelajaran bahasa dan budaya Indonesia kepada murid-murid darmasiswa, kemudian desain instruksional dan pengembangan bahan ajar termasuk modul dengan segala dinamikanya, pengembangan kerjasama dan hubungan luar negeri, keterlibatan dalam rancangan acara pada FSI setiap dua tahun sekali sampai dengan tahun 2016, dan capacity building yang diwujudkan antara lain oleh tulisan-tulisannya tentang hal ini sampai dengan saat ini. Dan yang tak boleh dilewatkan adalah kegemaran dan minatnya dalam menyanyi dan bermain musik yang kini makin ditekuninya. Oleh karena itu, tentu kita tak ingin melewatkan kesempatan untuk mendengarkan mbak Irene menyanyikan sebuah lagu indah dan memainkan keyboard-nya pada acara siang ini.

Kita tak bisa melawan waktu yang merupakan milik Yang Maha Kuasa. Dalam konteks masa kerja, kita harus berpisah, tetapi harapan kita adalah kenangan bersama yang pernah kita rasa dan alami baik secara pribadi maupun secara kelembagaan, akan tetap menjadi bagian dari perjalanan hidup kita bersama, yang selamanya indah untuk dikenang. Secara pribadi, saya mungkin merasa sebagai orang yang paling kehilangan atas kebersamaan selama ini dengan mbak Irene, yang terutama lebih saya rasakan secara mental dan batin, karena banyaknya kesamaan yang kami miliki. Meskipun demikian, masing-masing dari kami tetaplah menjadi diri kami sendiri, yang dapat saling memahami dan menghargai satu sama lain. Dengan cara yang berbeda, teman-teman widyaiswara tentu juga merasakan kehilangan seorang sosok senior yang istimewa, yang sulit tergantikan.

Terima kasih tak terperi, mbak Irene, untuk semua hal yang tak mungkin dapat saya ungkapkan di sini.  Bersama mbak Wiwin, selamat memasuki masa purna tugas yang semoga selalu membahagiakan. Doa kami, tetaplah dalam rahmat Tuhan yang tak pernah putus. Aamiin.

Sebagai ungkapan terima kasih, saya mengakhiri impresi ini by singing a song prepared specially for you, accompanied by mas Dhanang. (Thank you so much, mas Dhanang, untuk musiknya, juga mas Heri yang awalnya menjadi teman berembug untuk ini). Untuk menemani saya menyanyikan lagu ini, saya minta mas Sito, yang dengan sukacita juga sudah menyiapkan untuk menyanyikan lagu ini. Meskipun expertise mas Sito adalah bahasa Jawa, kali ini saya memintanya untuk menyanyi bersama saya dalam bahasa Inggris, The Wedding….  Mas Aris, kami langsung menyambung, dan terima kasih telah memberikan kesempatan ini. Akhir kata, untuk semuanya yang hadir, wassalamu’allaikum wr.wb.

 

Yogyakarta, 31 Desember 2021.



Thursday, July 15, 2021

Refleksi Diri: My Last Sharing-Experience

 ---Irene Nusanti


Hadiah ulang tahun dari saya utk teman2 semua...

Sesaat sebelum lepas landas dari landasan pacu seni dan budaya, ijinkan saya untuk membagi pengalaman up and  down selama bekerja, dikemas dalam sajian berikut.

Refleksi 1:

Angkringan 'Blind Spot"

Refleksi 2:

A Blind Spot


Monday, April 19, 2021

Rasa dan Hati

 

---Kartiman


Seni dan berkesenian merupakan dua kata yang saling mendukung dan menguatkan. Seni merupakan media ekspresi jiwa manusia, dan berkesenian merupakan salah satu ekspresi proses kebudayaan manusia. Melalui ekspresi tubuh, manusia akan menampilkan kehendak hatinya. Pikiran, rasa, energi disatukan sebagai dasar untuk melakukan aktivitas sesuai hasrat berkeseniannya.

Berkesenian sama dengan berpakaian, artinya tidak hanya memikirkan fungsinya sebagai penutup badan saja, melainkan harus juga memikirkan mode yang sesuai dengan bentuk tubuh atau mode yang baru trend yang banyak bermunculan di masyarakat, sehingga bisa menyatu dan tidak ketinggalan. Bahkan tidak sedikit yang lebih mengedepankan trend daripada fungsinya. Begitu juga dalam seni “berkesenian” tidak hanya berbicara pada satu aspek saja, melainkan aspek lain sebagai penyedap rasa harus dipikirkan dan ditampilkan.

Perpaduan antara beberapa aspek dalam berkarya akan semakin mendekatkan hasil karya dengan masyarakat penikmatnya. Ekspresi seni sebagai perwujudan jiwa manusia dapat dijadikan salah satu ekspresi proses kebudayaan yang berkaitan erat dengan pandangan masyarakat dimana ia hidup dan berkehidupan. Keberagaman kehidupan masyarakat sebagai individu atau kelompok akan memunculkan rasa yang berbeda terhadap suatu karya seni.

Rasa adalah milik pribadi yang secara sadar atau tidak sadar sebagai bagian dari identitas atau kebutuhan yang tersembunyi. Kehadiran rasa akan mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap sesuatu. Dalam kehidupan sangat mungkin terjadi kesatuan rasa, atau perbedaan rasa. Begitu juga dalam menghayati suatu karya seni. Penikmat satu dengan lainnya sangat mungkin terjadi perbedaan rasa terhadap satu obyek “karya seni”. Rasa dan hati merupakan saudara kembar yang saling membutuhkan. Masyarakat Jawa sering mengatakan bahwa “rasa gumantung ono sajroning ati”. Dari hati akan muncul banyak rasa, dari hati akan muncul rasa cinta, rasa sayang, rasa benci, rasa ingin memiliki dan sebagainya. Ibarat kembang gula, hatilah yang membuat rasa menjadi “nano-nano”.

 

Saturday, March 27, 2021

Money Talks: Sebuah Kejadian yang Diceritakan


--Rin Surtantini





Kemarin sore ketika menunggu maghrib tiba, denting di sebuah grup Whatsapp terdengar. Seorang teman mengirimkan kopi tulisan tentang sebuah kejadian kecil yang diceritakan oleh Winston Churchill, perdana Menteri Inggris jaman dulu. Entah dari mana asalnya teman ini mendapat kopian tulisan dalam bahasa Inggris itu, yang jika diterjemahkan kira-kira begini…

Perdana Menteri United Kingdom masa dulu, Winston Churchill, menceritakan sebuah kejadian menarik yang dialaminya sendiri. Ia naik taksi pada suatu hari ke kantor BBC untuk sebuah interview. Ketika sampai di tujuan, ia meminta kepada supir taksi untuk menunggunya sekitar 40 menit di sana, karena ia ingin pulang dengan menumpang taksi itu lagi. Tetapi supir taksi meminta maaf dan berkata, “Saya tidak bisa, pak, karena saya harus pulang ke rumah untuk mendengarkan pidato Winston Churchill di rumah.”

Pernyataan supir taksi itu sungguh mengagetkan Churcill. Ia sangat kagum dan sangat senang dengan niat supir taksi itu untuk mendengarkan pidatonya di radio! Bahkan supir taksi itu ingin segera pulang ke rumah demi keinginannya itu, dan tidak mau menunggu Churchill untuk menumpang taksinya lagi. Karena rasa bahagia dan kagumnya, Churchill pun mengeluarkan £20 dari dompetnya yang pada masa itu bernilai sangat besar. Diberikannya uang itu kepada supir taksi tanpa memberitahu siapa sebetulnya dirinya. Ketika supir taksi itu menerima uang sebanyak itu dari Churchill, ia mengatakan, “Pak, saya akan menunggumu sampai berapa lama pun bapak akan kembali! Dan membiarkan Churchill go to hell….”

Dari kejadian itu, Churchill mengatakan, bahwa kita dapat melihat bagaimana “prinsip-prinsip” sudah dimodifikasi demi uang; bangsa dijual untuk uang; kehormatan dijual karena uang; keluarga tercerai berai demi uang; teman-teman berpisah karena uang; orang-orang terbunuh untuk tujuan uang; dan orang-orang dibuat menjadi budak karena uang. Kejadian ini sungguh menarik baginya; maka ia pun memutuskan untuk membagi cerita ini, dan berharap kita dapat belajar sesuatu dari kejadian ini.

***

Sesungguhnya ini kejadian yang bukan luar biasa dan sangat banyak kita saksikan dalam lingkungan kita, di tempat kerja, di komunitas kecil sekali pun, di lingkungan sosial, di kompleks tempat tinggal, di mana pun, kapan pun di segala masa atau zaman, dan di dalam konteks apapun tetapi dengan pesan yang sama... Bukan hanya menyaksikan, tetapi mengalaminya. Dan yang justru membuat ngeri adalah… jangan-jangan, kita justru salah satu dari sekian juta manusia serupa supir taksi yang diceritakan oleh Churchill di atas, tetapi tidak menyadarinya, bahkan malah sibuk menuding bahwa sekitar kitalah yang melakukan itu!

Oh, my God. Suara adzan dari masjid pun sayup mengalun, menghentikan lamunan ini.

Money talks, money rules, money acts, money wins, money kills, money …

Silakan ditambahkan lagi sesuai dengan pengalaman masing-masing.


Yogyakarta, akhir pekan, 27 Maret 2021.

Friday, March 26, 2021

Tentang Paradigma: Teropong-Teropong dalam Berkegiatan Ilmiah

  

--Rin Surtantini

 



Beberapa hari lalu saya mengikuti sebuah diskusi ilmiah dengan komunitas ketika saya sekolah dulu. Topik yang didiskusikan adalah seputar paradigma atau model dalam teori ilmu pengetahuan atau kerangka berpikir. Diskusi ini menarik karena bagi para peserta diskusi, topik yang didiskusikan ini menguatkan apa yang selama ini diamati, diketahui, dilakukan, atau bahkan tidak diketahui dan tidak dilakukan, oleh para peserta diskusi, kaitannya dengan kegiatan ilmiah yang dilakukan oleh mereka seperti melakukan kajian, penelitian, atau penulisan di ranah akademik atau ilmiah.

Diskusi itu, dengan seorang narasumber yang memantik topik “paradigma” ini, menyoroti “teropong-teropong” yang digunakan oleh para peneliti atau pengkaji di ranah budaya ketika membedah sebuah masalah atau isu penelitian dan kajiannya. Yang menarik adalah narasumber ini dapat mengkategorikan dan menamakan apa saja teropong-teropong pembedah itu berdasarkan pengamatannya terhadap penelitian atau kajian yang dilakukan oleh para peneliti atau pengkaji yang tergabung dalam komunitas itu. Maka, para peserta diskusi pun kemudian disadarkan akan adanya teropong-teropong itu, tetapi tidak menyadari selama ini bahwa mereka telah menggunakan salah satu di antara teropong-teropong tersebut dalam meneliti, mengkaji, atau menuliskan hasil penelitian dan kajiannya. Begitu pentingnya peran teropong yang digunakan atau dipilih dalam menyoroti sebuah masalah, sehingga ketika paradigma atau kerangka berpikir tidak dipahami oleh peneliti, pengkaji atau penulis, maka arah penelitian, pengkajian atau pengungkapannya dalam tulisan akan menjadi tidak jelas dan kabur.

Kemarin saya dan beberapa rekan sejawat juga melakukan diskusi kecil terkait dengan kegiatan ilmiah ini. Berangkat dari latihan melakukan penilaian terhadap tulisan-tulisan hasil penelitian atau kajian, kegiatan ini dimaksudkan untuk mempelajari lebih dalam tentang komponen-komponen umum yang penting dalam menuliskan sebuah hasil penelitian atau kajian. Komponen-komponen yang disoroti adalah substansi tulisan, kebaruan yang ditawarkan, manfaat yang diberikan, gaya dan format penulisan, penggunaan bahasa, logika berpikir, metode kajian atau penelitian, cara mengkaji atau menganalisis, serta sumber bacaan atau referensi. Kami mencoba untuk memberikan penilaian terhadap tulisan-tulisan menggunakan komponen-komponen ini.

Hal menarik yang diperoleh dari kegiatan bersama rekan sejawat ini adalah adanya keragaman yang dimiliki oleh setiap orang. Keragaman terjadi karena adanya perbedaan-perbedaan di antara kami, yaitu perbedaan dalam menyoroti sebuah masalah atau isu, karena teropong-teropong yang kami miliki juga berbeda-beda. Perbedaan itu menyangkut misalnya perbedaan latar belakang, minat, fokus, standar, sudut pandang, paradigma, yang dipegang dan dimiliki oleh masing-masing dari kami. Bagi saya, inilah sebuah forum yang membebaskan individu, yaitu ketika setiap peserta diskusi yang hadir memiliki ruang untuk mengemukakan teropong yang digunakannya, dan dapat memberikan alasan atau logika dari penggunaan teropong itu sebagai wujud kerangka berpikirnya. Ini juga sebuah forum yang melatih seseorang untuk belajar dari yang lain tentang hal-hal yang tidak diketahui atau dipahaminya, dan membelajarkan yang lain tentang hal-hal yang belum dimiliki atau dipahami oleh rekan lain. Ini juga sebuah forum untuk bersosialisasi melalui kegiatan yang menyehatkan akal budi, ketika setiap orang memiliki ruang untuk menyuarakan concern-nya dengan terbuka, dan bersedia untuk mendengarkan yang lain agar dapat menyerap maksud yang ada dalam concern dan alur pikir seseorang. Ini juga sebuah forum yang membuat seseorang harus bertanggung jawab terhadap pendapatnya dengan berlatih mengembangkan argumentasi yang kuat dan logis serta kredibel.

Akhirnya, yang lebih menarik lagi adalah setelah semua concern rekan sejawat ini diutarakan dalam bentuk-bentuk keragaman dan perbedaannya, diperoleh kesamaan cara pandang yang menyatukan. Sebuah proses sintesis terjadi, yang mengerucut menjadi sebuah kesimpulan dan keputusan bersama, yang mewadahi aneka teropong, sudut pandang, dan concern. Saya berpendapat, alangkah menyenangkan jika hal-hal kecil semacam ini menjadi spirit dari culture of knowledge sharing yang berkembang dan dipelihara di lingkungan tempat kita bekerja, bukan hanya sekedar atau selalu meneriakkan slogan-slogan tetapi kehilangan ruh dan maknanya.


Yogyakarta, 26 Maret 2021.


[Salam dan terima kasih saya untuk mbak Feti, mas Bagus, pak Gede, mas Haryadi, mas Fajar, mas Rohmat, mas Cahyo, mas Eko & mbak Diah, yang kemarin berdiskusi dan menginspirasi saya untuk menuliskan ini].

 

 

Monday, March 8, 2021

Percakapan yang Membelajarkan

 

  --Rin Surtantini

 


Suatu hari menjelang akhir bulan Desember tahun lalu, saya melakukan percakapan di Whatsapp dengan seorang kolega sekaligus sahabat yang mengajar di sebuah perguruan tinggi negeri. Ia mengelola jurnal terakreditasi nasional berbahasa Inggris yang kebetulan saya menjadi salah satu reviewer (mitra bestari atau penelaah) di dalamnya. Percakapan kami berdua cukup panjang, mengenai tradisi ilmiah dalam menulis dan menelaah artikel yang dikirim ke jurnal yang dikelolanya. Biasanya kami tidak pernah melakukan percakapan untuk artikel-artikel yang kebetulan saya diminta untuk menelaah sesuai dengan bidang keilmuan saya, karena jurnal itu dikelola menggunakan Open Journal System (OJS)yaitu aplikasi perangkat lunak sumber terbuka untuk mengelola dan menerbitkan jurnal ilmiah secara daring dengan penelaahan sejawat. Dengan OJS, sirkulasi pengiriman artikel, penyuntingan, review, dan seterusnya dilakukan secara online. Selain itu, biasanya artikel yang ditelaah itu tidak memiliki identitas penulisnya, sehingga para penelaah merupakan blind reviewers.

 Mengapa kali ini kami melakukan percakapan tentang artikel yang selesai saya telaah itu, karena melalui OJS, saya menyatakan bahwa artikel tersebut harus mengalami major revision yang harus dilakukan oleh penulisnya. Berhari-hari saya menelaah artikel tersebut dan merasa agak bersalah jika harus merekomendasikan ke pengelola jurnal bahwa artikel tersebut “ditolak” (decline) atau dikirim saja oleh penulisnya ke jurnal yang lain (submit elsewhere). Tentu tidak dengan tanpa alasan saya harus merekomendasikan itu, karena mengacu kepada profesionalisme serta standar substansi, teori, metode dan analisis penelitian, serta kebahasaan, artikel tersebut banyak sekali memiliki keterbatasan dan kekurangan. Mengapa saya kemudian merasa bersalah, adalah karena secara tidak sengaja saya mengetahui bahwa penulis artikel tersebut ternyata rekan sejawat kami berdua juga, teman sekolah pada saat kami sama-sama menempuh pendidikan tertinggi. Dalam artikelnya itu, ia menyematkan beberapa foto yang ada dirinya ketika melakukan penelitian yang ditulisnya!

 Saya tidak jadi menolak artikel tersebut, sehingga saya merekomendasikan revisi mayor alias perlu ditulis ulang dengan comments yang sangat banyak di bagian badan artikel. Ini akan sangat berat baginya. Rasa bersalah itu pun muncul di antara keinginan menegakkan standar serta kualitas dan membiarkan artikel itu lolos apa adanya….  Maka dari sinilah percakapan antara saya dengan kolega, sahabat saya sebagai pengelola jurnal itu terjadi.

 ***

 Oleh kolega saya ini, artikel hasil telaah saya tersebut dikembalikan ke penulisnya melalui OJS, dengan pilihan resubmit for review after revision as suggested within two weeks (silakan dikirim kembali agar bisa dilakukan telaah kembali oleh reviewer setelah penulis melakukan revisi sebagaimana disarankan dalam waktu dua minggu). Baiklah, ini merupakan sebuah tantangan yang berat bagi penulisnya, menurut saya, karena saya membayangkan kondisi artikel dengan revisi mayor tersebut akan sangat sulit untuk direvisi hanya dalam waktu dua minggu.

 Satu hal yang saya pelajari di sini: kolega saya sebagai pengelola jurnal mengatakan, “Dalam tradisi ilmiah, ditolak oleh jurnal itu adalah hal yang biasa, karena saya juga ngalami kok…hahaha…”

Saya menyetujui itu, karena tradisi ilmiah membuat kita banyak belajar untuk menerima fakta dan berbesar hati jika yang kita rasa sudah memenuhi kaidah ilmiah, ternyata belum bagi orang lain. Itulah manfaatnya penelaahan sejawat, yang membuka kesempatan bagi kita sebagai penulis artikel jurnal untuk memasuki dan belajar mengenai pandangan orang lain.

 Berikutnya kolega saya ini mengatakan, “Hal-hal inilah yang mengukuhkan agar pengelola jurnal harus selalu berusaha objektif. Jadi menolak naskah atau artikel itu sama sekali tidak apa-apa…”, demikian lanjutnya. “Apalagi kita sudah mendapat gelar akademik tertinggi. Ini menjadi tanggung jawab moral yang melekat pada hal-hal yang sifatnya objektif sebagai bagian dari membangun tradisi ilmiah. Itu yang harus selalu kita perjuangkan.”

 “Saya dan tim belajar step-by-step dalam perjalanan mengelola jurnal ini. Pada saat awal-awal mengajukan akreditasi dulu, editorial boards harus melakukan make up artikel yang gak nyambung biar jadi nyambung, yang morat-marit biar jadi tertata. Tetapi sekarang, kalau gak sesuai ya langsung kami decline (tolak)…,” lanjutnya.

 “Saya dulu menginisiasi jurnal ini untuk punya mimpi, yaitu punya tradisi ilmiah yang baik. Sudah sepuluh tahun masih merangkak. Semua melewati proses dengan terus memegang teguh tradisi ini. Kita harus menguatkan tradisi ilmiah yang jujur dan kredibel. Kita jauhkan diri dari kepentingan pribadi. Contoh konkritnya adalah sebagai editor in chief, adalah tidak etis jika mendominasi tulisannya sendiri di jurnal yang dikelolanya. Makanya saya sendiri jarang untuk melakukan ini, walaupun bisa dengan mudah saya lakukan itu… Saya harus berusaha menulis di tempat lain,” demikian lanjutnya.

 “Semoga kita dimudahkan oleh-Nya di jalan-Nya. Ini cara kita mengembangkan keilmuan di ranah yang kita kuasai sebagai hasil dari pendidikan yang kita peroleh.”

 Saya mengamini doanya. Terdiam. Yang tiba-tiba melintas dalam benak saya saat itu adalah membandingkan dengan yang saya alami dan yang terjadi di lingkungan saya. Saya tersentak ketika ia melanjutkan lagi…

 “Ini hari ibu. Sepertinya saat baik untuk merenungkan keberadaan kita di bidang akademik dan pendidikan”. Saya melihat kalender meja di dekat laptop. Ah iya, tanggal 22 Desember. Bagi saya ini sebuah kebetulan saja. Yang lebih penting bagi saya adalah pada hari ini terjadi sebuah momen percakapan yang fruitful, bermanfaat dan membelajarkan.

 “….Saya berjuang untuk semua yang saya katakan tadi, walaupun juga ada rongrongan-rongrongan pragmatis…. Tetapi kalau saya masih menjadi leader dalam tugas ini, saya percaya Tuhan tetap memberikan kekuatan bagi saya untuk istiqomah. Jadi akhirnya kita akan dibiarkan untuk memegang prinsip dan memertahankan idealisme yang kita miliki,” lanjutnya lagi.

 Maka saya pun memotong, “Saya sangat berterima kasih karena diberi kesempatan untuk belajar banyak dari proses dan tugas saya menjadi reviewer.”

 Belum sempat saya melanjutkan lagi, ia mengatakan, “Sama-sama, sahabatku. Saya mewakili tim kami, yang harus menyampaikan banyak terima kasih, dan permohonan maaf karena tidak bisa memberikan apresiasi yang layak. Di dalam sistem, kami telah mengikrarkan untuk free of charge, jadi tidak ada dana untuk pengelolaan jurnal ini. Hanya Allah yang membalas amal solehmu, sahabat. Berapa waktu dan pikiran yang dimanfaatkan untuk me-review itu tak ternilai harganya… Mohon maaf, yang kami bisa lakukan hanya menyampaikan SK Rektor dan sertifikat sebagai reviewer. Matur nuwun, sahabat, atas ketulusan dan komitmennya. Iringan doa kami kirimkan, agar engkau tetap sehat, bahagia, dan sukses dunia akherat. Aamiin.”

 Maka saya pun mengucapkan ini, “To me, this is something that makes me proud and feel contented. Sesuatu yang lebih tinggi nilainya secara intangible. Semua itu menjadi urusan Allah, karena saya yakin Tuhan tidak pernah lalai terhadap makhluk yang diciptakan-Nya. Doa yang sama saya kirimkan untukmu.”

 Matahari pun semakin tinggi hari itu. Saya seperti berada dalam dunia yang baru, meski dengan matahari yang tetap sama……. Bagi saya, apa yang saya lakukan selama beberapa tahun terakhir ini pada jurnal yang dikelola oleh kolega dan sahabat saya itu adalah sebuah pengalaman dan contoh nyata berada dalam lingkungan budaya ilmiah yang terpelihara. Tiba-tiba saya ragu, dapatkah ini saya ceritakan dan lakukan dalam sebuah lingkungan yang sarat dengan muatan pragmatis dan politis? Keraguan ini kembali menggedor-gedor pintu hati saya pada malam yang semakin tua, malam setelah saya menerima tugas yang sama dalam bentuk SK yang berbeda!

  

Yogyakarta, 8 Maret 2021.

Thursday, January 28, 2021

“Entropi”: Menelisik Realitanya di Tempat Kerja

 --Rin Surtantini

  


Tulisan tentang “entropi” pada Vidyasana, Jumat, 22 Januari 2021 lalu oleh seorang teman, mas Rohmat Sulistya yang latar belakang pendidikannya adalah teknik kimia, cukup menarik. Membahasnya dari definisi dan pemahaman kata “entropi” sebagai hukum kedua termodinamika ini, penulisnya kemudian mengoneksikannya dengan bagaimana makna dari kata “entropi” ini berkorespondensi dengan realitas dalam kehidupan umat manusia, makhluk hidup dan benda-benda, bumi, alam semesta, dan jagad kehidupan. Inilah yang menarik untuk dibahas.

 Memahami hukum termodinamika kedua dalam kehidupan sehari-hari, segala sesuatu di jagad semesta akan mengalami dan merasakan hadirnya “waktu” yang bergerak menuju satu arah, yaitu ke depan. Kecenderungan yang selalu terjadi dengan hadirnya waktu adalah bahwa segala sesuatu itu akan menuju kepada ketidakteraturan. Buah-buahan dan sayur-sayuran akan membusuk, lalu lama kelamaan akan menghilang dari pandangan kita. Lima tahun yang lalu rumah kita masih baru, tetapi saat ini pintunya mungkin rusak, atapnya bocor, pemanas air panasnya tak berfungsi lagi, temboknya retak, dan sebagainya. Bangunan-bangunan tempat kita bekerja mulai rusak di sana-sini, kendaraan yang dimiliki mulai rewel, manusia menua dengan bertambah umurnya. Semua yang tadinya utuh dan teratur akan berubah pasti seiring berjalannya jarum waktu.

 Peristiwa-peristiwa di atas merupakan bagian dari apa yang dinamakan “entropi”. Entropi menyadarkan manusia bahwa waktu terus berjalan maju. Entropi mengacu kepada kondisi ketika sebuah sistem dalam kondisi normal cenderung berproses menjadi tidak teratur, rusak, hancur. Jika sebuah sistem semakin tidak teratur, maka entropinya meningkat, atau menjadi tinggi.

 Di luar konteks termodinamika, kata “entropy” dalam kamus-kamus Bahasa Inggris memiliki arti chaos, randomness, disorganization, lack of order, gradual decline into disorder, confusion, lack of pattern. Jadi entropi mengacu kepada kondisi kekacauan, kondisi acak, tidak terorganisir, kurangnya tatanan, penurunan secara perlahan menjadi ketidakteraturan, kebingungan, kurangnya pola-pola, dan kondisi-kondisi serupa atau semacam ini. Entropi dalam aspek kehidupan akan terus meningkat dan itu dapat diamati setiap saat di dalam jagad raya semesta ini.

 John Demma (2012) menjelaskan, ketika sebutir telur jatuh dari atas meja dan pecahan telur itu mengotori lantai, kita tidak pernah dapat melihat lagi bahwa pecahan telur itu secara spontan akan membentuk sebutir telur yang utuh lagi seperti semula. Kondisi telur sebelumnya di atas meja utuh; tetapi ketika jatuh, telur itu di atas lantai berubah menjadi kepingan-kepingan pecahan kulit dan tumpahan isinya. Jika pecahan, tumpahan, dan kepingan kulit telur itu dikumpulkan, maka partikel-partikel itu tak mungkin dapat membentuk kembali telur utuh seperti semula. Logika yang diperoleh adalah, semakin banyak kepingan pecahan telur, semakin tinggi nilai entropinya.

***

Entropi dalam perbincangan budaya kerja sesungguhnya juga mengadopsi dari entropi dalam hukum termodinamika. Sebuah mesin menghasilkan energi yang jumlahnya sama dengan jumlah energi yang dimasukkan ke dalamnya. Tetapi jika di dalam mesin tersebut terjadi kerusakan pada salah satu komponennya, maka sebagian energi yang dimiliki oleh mesin akan digunakan untuk mengatasi kerusakan komponen ini. Dengan begitu, mesin itu tidak akan berfungsi optimal dalam menghasilkan energi seperti yang diharapkan, karena sebagian energi yang seharusnya mengoptimalkan fungsi mesin sudah terambil untuk mengatasi kerusakan komponen yang terjadi pada mesin. Dalam kondisi ini, entropi pun terjadi.

 Di dalam lingkup kerja, entropi dapat setiap saat terjadi jika orang-orang yang bekerja di dalamnya mengalami misalnya konflik, rasa tidak percaya, kecewa, putus asa, persaingan tidak sehat, friksi, kecurigaan, kebencian, ketidakadilan, dan emosi-emosi serupa ini. Beranalogi dengan kerja mesin yang menurun karena ada kerusakan pada salah satu komponen di dalamnya, maka energi yang dimiliki oleh para karyawan di suatu lingkup kerja yang seharusnya digunakan untuk pekerjaan-pekerjaan yang produktif, akan beralih dan digunakan oleh mereka untuk mengatasi berbagai emosi, sikap, dan rasa negatif yang muncul di lingkungan kerja mereka. Akibatnya, jumlah energi mereka menjadi minimum, mereka tidak menghasilkan pekerjaan-pekerjaan yang produktif. Mengapa? Karena energi yang dilibatkan karyawan untuk mengatasi entropi di lingkungan kerja mereka adalah energi yang seharusnya tersedia untuk pekerjaan produktif mereka, namun energi itu sudah terambil.

 Apabila dilakukan pengukuran secara valid dan sahih terhadap kondisi di atas, maka skor dari entropi budaya kerja akan menunjukkan berapa banyak energi yang dikonsumsi oleh para karyawan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sama sekali tidak produktif dan tidak perlu, bahkan yang sama sekali tidak mendukung nilai positif lembaga tempatnya bekerja! Skor yang dilakukan melalui pengukuran atau alat ukur yang benar juga akan memperlihatkan tingkat dari disfungsi yang terjadi di dalam lembaga. Bukan hanya itu saja, disfungsi dan penyebab entropi di dalam lingkup kerja pun akan dapat ditelisik, dan dijadikan pijakan untuk evaluasi (jika sadar dan mau!).

 Ketika skor entropi meningkat, energi karyawan menjadi minimum; maka produktivitas dan nilai positif lembaga pun otomatis menurun (kecuali ada usaha-usaha rekayasa untuk menyelubunginya). Waktu bekerja dirasa menjadi panjang, membosankan, dan ini harus dibunuh oleh karyawan dengan membuatnya cepat berlalu. Apa yang dilakukan oleh mereka? Tak perlu jawaban, karena mungkin, atau jangan-jangan kita juga sudah berada dalam entropi di tempat kita bekerja! Mari periksa bersama…

 Maka tulisan ini juga mungkin pertanda bahwa entropi sudah melilitkan akar-akarnya di tubuh suatu entitas tempat kita selalu mengatakan bahwa kita berintegritas.

 

 Masa WfH -- Yogyakarta, 28 Januari 2021.

Wednesday, January 27, 2021

Zonk Lagi!

 

--Rohmat Sulistya



Kembali menelan pil pahit. 

Setelah pengajuan Februari lalu berbuah zonk, pengajuan ulang November ini pun zonk. Pada bulan Februari, pengajuan dinilai nol karena -katanya- kurang bukti fisik. Saya memang tidak mengumpulkan bukti fisik secara penuh, tetapi saya hanya mengumpulkan bukti fisik terkait dengan artikel saya: salinan sampul jurnal, daftar isi, dan artikel saya. Artikel lain dalam jurnal tersebut memang tidak saya sertakan. Toh, kalau penilai mau menelusur,dapat dilakukan dengan  sangat mudah karena dalam pengajuan itu saya sertakan link e-journalnya.

Iya, ini tentang pengajuan angka kredit berkaitan dengan jurnal nasional terakreditasi.

Pengajuan ulang di Bulan November pun berakhir zonk dengan diberikan catatan bahwa artikel jurnal tersebut kadaluarsa. Jurnal terbit bulan Desember 2019, saya ajukan ulang bulan November 2020. Kalau mepet, iya sih. Tetapi dalam benak saya, ini masih koridor kriteria 1 tahun. Tetapi, bisa jadi pemahaman saya salah.

Sebenarnya, saya sangat senang apabila ini lolos penilaian, karena nilai kredit dari artikel jurnal lebih ‘worth it’ dibanding dengan nilai dari aspek-aspek lain. Mengirimkan artikel pada jurnal (terlebih lagi jurnal terakreditasi) memerlukan perjuangan lebih untuk dapat lolos. Dimulai dengan penilaian awal saat artikel kita submit. Akan ada penilaian dari 3 (tiga) reviewer  (mungkin berbeda jurnal satu dengan yang lain) yang akan memutuskan artikel kita lanjut atau tidak. Saya tidak tahu persis bagaimana seluk beluk penilaian awal, yang jelas 1 reviewer ‘menolak’ dengan catatan yang menyedihkan dan 2 lagi menyatakan ‘menerima’  dengan catatan revisi mayor. Dan memang saya menyadari sekali, inilah pertama sekali saya menulis artikel kajian tentang sesuatu yang saya juga masih belajar. Sebelumnya saya hanya menulis artikel berdasarkan hasil data-data kuantitatif laboratorium. Ya, penilitian sains.

Dan dengan artikel non sains ini, saya men-chalange diri saya sendiri pascapelatihan menulis artikel jurnal di Hotel Sahid dan hasilnya memang masih belum layak. Tetapi, Alhamdulillah para reviewer memberikan kesempatan untuk merevisi secara mayor. Setelah berbulan-bulan merevisi dengan 3 atau 4 proses revisi akkhirnya artikel diterima untuk diterbitkan. Bagi saya, ini adalah proses yang melelahkan dan mirip dengan berkonsultasi skripsi ke dosen pembimbing.

Tetapi, apa mau dikata, proses melelahkan tersebut berbuah zonk. Sedih sih sedih, tetapi saya ingat pada sebuah peristiwa di sebuah siang.

***

Sebuah siang.

Anak saya ikut ke kantor setelah saya menjemputnya pulang sekolah. Seperti biasa, dia cukup senang ikut ke kantor. Selain di rumah tidak ada orang, di kantor juga tersedia wifi untuk nonton YouTube dan main game.  

Tiba-tiba dia tertunduk lesu. Tanpa ngomong. Terlihat sedih. Setelah ditanya sana-sini, ternyata kota yang dia bangun hilang seketika saat Minecraftnya diupdate ke versi yang lebih tinggi. Dia adalah penggemar game Minecraft, sebuah game yang masih sangat polular sampai saat ini. Siang itu seharusnya dia senang karena bisa  mengupadate Minecraftnya. Tetapi menjadi kesedihan ketika kota yang ia bangun menjadi hilang seiring meningkatnya versi game. Ini bisa terjadi ketika perangkat yang digunakan tidak secanggih versi yang baru diunduh. Alhasil, kerja berminggu-minggu menjadi sia-sia.

Tetapi apakah memang sia-sia?

Cukup lama saya menenangkannya dari rasa kecewa.

“Dik, yang penting Aqila punya kemampuan membangun lagi, bukan kotanya. Tetapi kemampuan membangun kota itu lho yang lebih penting”.

“Kalau kotanya mungkin bisa rusak, bisa hilang; tetapi ilmunya itu yang lebih mahal. Dan ilmunya, Aqila sudah ngerti. Gak papa, nanti bisa bangun lagi”.

***

Dengan teringat peristiwa sebuah siang itu, maka saya bolehlah sedikit kecewa. Tapi gak harus kecewa banget. Yang penting bukan hasil artikel jurnal yang dinilai nol, tapi punya pengalaman menulis jurnal dan dapat terbit adalah jauh lebih penting. Jadi kemampuan dan proses menghasilkan, jauh lebih penting dari hasil itu sendiri.

Allah SWT mewajibkan kita untuk bergerak, berikhtiar, berusaha  tetapi hasil itu bener-bener hak prerogatif Allah. Dan Tuhan hanya melihat prosesnya kok, bukan hasilnya.

Ya, begitulah.. Wallahu a’lam.

 

Sunday, January 24, 2021

Bisa Membaca: Paham yang Dibaca?

  

--Rin Surtantini

 


 Terusik oleh diskusi di Whatsapp pribadi dengan salah seorang teman tentang kegiatan membaca yang hampir setiap saat dilakukan oleh siapapun, membuat saya mengenang kembali salah satu materi yang saya pelajari di Regional English Language Center (RELC) di Singapura, sekira lima tahun yang lalu. Saat itu saya bersyukur, terseleksi sebagai salah satu dari sekian banyak pendaftar untuk mendapatkan beasiswa mengikuti Professional Enhancement Program in Pedagogy and Principles of Teaching for Indonesian Master Trainers of English, karena itu sungguh bermanfaat! Dua bulan tinggal dan belajar dengan jadwal padat setiap hari Senin sampai Jumat dari pukul 09.00 sampai 16.00 di negeri singa pada tahun 2015 ini, salah satu materi yang sampai saat ini masih berkesan adalah yang berkaitan dengan literasi “membaca”.

 Ya, setiap orang yang bersekolah pasti bisa membaca (dalam bahasa yang digunakannya). Setiap orang mengalami bagaimana ia belajar membaca, mulai dari mengenal huruf, suku kata dan kata, sampai menjadi frasa atau kelompok kata, kalimat yang utuh, mengeja, merangkai, dan mengucapkannya dari sebuah teks tulis yang tersedia. Saya juga ingat, bagaimana dulu keponakan saya yang saya kunjungi di Surabaya, ketika ia berusia lima tahun, selalu berusaha membaca keras setiap tulisan yang dilihatnya di pinggir jalan, di baliho, di spanduk, di papan iklan, di toko-toko, di sepanjang perjalanan kami di atas mobil. Sungguh menarik, dia secara alami dan spontan mempraktikkan kepandaiannya bahwa dia sudah bisa membaca.

 Peristiwa yang juga masih saya ingat adalah ketika di Sekolah Dasar berpuluh tahun silam, ibu dan bapak guru di kelas satu dan dua selalu meminta murid-muridnya secara bergiliran untuk membaca nyaring (reading aloud) bahan bacaan yang ada di buku pelajaran Bahasa Indonesia. Nanti, akan terlihat siapa yang lancar, lantang, intonasinya baik, tidak salah ucap. Yang masih belum lancar, suaranya pelan, intonasinya kurang baik, ucapannya masih salah, akan diminta oleh ibu atau bapak guru untuk mengulangi. Begitulah, pelajaran membaca menjadi salah satu persyaratan di sekolah untuk dapat memahami pelajaran-pelajaran lainnya.

 ***

Kembali ke diskusi saya dengan teman di atas tadi, yang kami perbincangkan adalah: setiap orang bisa membaca, tetapi apakah setiap orang paham apa yang dibacanya? Diskusi ini muncul karena dalam sebuah forum komunikasi, sempat terlihat ketidakpahaman seseorang terhadap apa yang dibacanya, sehingga responnya terhadap topik pembicaraan menjadi tidak pas, menggok. Ingatan saya tentang “apa itu membaca” dalam konteks literasi baca tulis tiba-tiba muncul. Kita banyak membaca apapun, mulai dari yang ringan sampai yang serius, tetapi mungkin pernah suatu saat kita sendiri mengalami, atau kita menyaksikan orang lain, bahwa “bisa membaca” belum tentu “paham apa yang dibaca”! Jika memperhatikan dengan cermat, indikasi ketidakpahaman seseorang akan apa yang dibaca dapat terlihat pada forum komunikasi yang terjadi, baik komunikasi lisan maupun tulis.

 Kita tentu ingat bahwa beberapa tahun silam, “literasi” sempat menjadi salah satu materi umum yang wajib diberikan pada diklat-diklat bagi guru, kepala sekolah, dan pengawas di negeri ini. Di dalam bahan tayang yang wajib disampaikan oleh widyaiswara pada diklat-diklat ini, terdapat sekian jenis literasi, bukan hanya literasi baca tulis saja. Sementara itu, yang paling banyak bisa dicontohkan adalah yang berkaitan dengan literasi baca tulis. Contoh-contoh literasi baca tulis itu ditampilkan dengan misalnya membuat pojok baca di sekolah yang didekorasi sedemikian rupa untuk menumbuhkan minat baca, membaca tentang sebuah topik selama lima belas menit pada pagi hari di dalam kelas, memperbanyak jumlah buku di perpustakaan sekolah, dan berbagai teori lainnya, ditambah lagi dengan sekian banyak panduan teknis bagi para guru untuk melaksanakannya di sekolah, sampai ke lembar evaluasi apakah usaha meningkatkan literasi sudah dilakukan.

 Seiring dengan perubahan kebijakan dan lain sebagainya, materi literasi dan hal-hal yang berkaitan dengan itu sudah berlalu dan tidak lagi menjadi “trend” sebagai materi diklat saat ini. Saya teringat tulisan almarhum Prof. Winarno Surakhmad, guru besar Universitas Negeri Jakarta dalam buku Pendidikan Nasional: Strategi dan Tragedi (2009). Dituliskannya, menerapkan pendidikan tanpa menghiraukan landasan filosofinya, atau mendalami filosofi pendidikan sebagai pengetahuan tanpa menghiraukan penerapannya, berarti memilih yang tidak benar. Menurutnya, secara hakiki, tidak ada aktivitas atau praktik pendidikan yang dapat berlangsung tanpa dasar filosofi yang sedikitnya terkait dengan makna kehidupan dan nilai-nilai kemanusiaan; demikian pula sebaliknya, tidak ada filosofi yang dapat mendalami problematik pendidikan tanpa menjiwai praktik pendidikan. Filosofi pendidikan yang tidak berkelanjutan ke dalam penerapannya dalam kehidupan nyata, menjadi mubazir dan tidak layak disebut filosofi pendidikan.

 ***

Kegiatan paling awal yang dilakukan oleh pengajar di RELC Singapura pada materi “Reading” yang saya alami adalah menumbuhkan kesadaran terhadap apa itu keterampilan membaca atau reading skills. Dengan survei yang dilakukannya terhadap peserta program pelatihan ini, sesuatu yang menggelitik pun muncul: apakah yang dimaksud dengan membaca nyaring (reading aloud) versus membaca untuk memahami (reading comprehension)? Membaca nyaring sesungguhnya bukan termasuk keterampilan membaca, melainkan speaking skills (keterampilan berbicara), karena dalam membaca nyaring, yang ingin dicapai adalah pengucapan yang benar dan jelas, intonasi yang tepat, kelancaran dalam mengucapkan, dan nada suara yang sesuai. Inilah yang dilatihkan dan diajarkan ketika guru-guru meminta muridnya untuk membaca nyaring (reading aloud), jadi tujuannya adalah bukan untuk memahami apa yang dibaca. Ini mengingatkan saya ketika mendapat giliran membaca keras ketika di Sekolah Dasar dahulu.

Pelajaran membaca yang sesungguhnya adalah reading comprehension (membaca untuk memahami). Membaca dalam konteks memahami adalah ketika seseorang melihat teks dan “memberi makna” kepada simbol tertulis (teks) tersebut. Membaca adalah mengonstruksi makna melalui interaksi dinamis antara tiga hal, yaitu pengetahuan yang dimiliki seseorang sebagai pembaca, informasi yang diberikan oleh teks, dan konteks yang tersedia. Jadi, untuk tujuan ini, maka pelajaran “membaca” bukanlah read aloud, tetapi think aloud.

 Kegiatan berikutnya yang dilakukan oleh pengajar di RELC Singapura pada materi “Reading” ini adalah melakukan survei terhadap peserta pelatihan, yang antara lain menanyakan apa yang dilakukan oleh guru dalam pelajaran membaca? Mengajarkan membaca (teaching reading), ataukah memberikan tes membaca (testing reading)?  Pertanyaan ini menggelitik, karena faktanya adalah guru lebih cenderung melakukan “tes membaca” terhadap murid-muridnya daripada mengajarkan “strategi membaca” untuk memperoleh makna atau memahami bacaan. Hal ini akan terlihat dari kegiatan klasik yang dilakukan oleh guru setelah murid-murid membaca, yaitu meminta mereka untuk menjawab pertanyaan bacaan. Jika murid dapat menjawab pertanyaan sesuai dengan yang “tersurat” pada bacaan, maka disimpulkan bahwa murid memahami isi bacaan. Benarkah demikian? Ini sangat berkaitan dengan konstruksi pertanyaan yang dibuat oleh guru terhadap bacaan yang diberikan kepada murid-murid. Apakah pertanyaan bacaan itu hanya mengecek “ingatan”, ataukah sampai kepada level yang lebih tinggi? Setelah tiga tahun kemudian di Indonesia, hal ini saya temukan mirip pada materi HOTS (higher order thinking skills) yang menjadi “hot issues” atau materi wajib pada diklat-diklat guru di negeri ini, bersamaan dengan materi literasi.

 Selanjutnya, pengajar RELC Singapura meminta peserta pelatihan untuk melakukan evaluasi terhadap bahan-bahan bacaan dalam buku-buku pelajaran Bahasa Inggris yang diterbitkan oleh penerbit-penerbit di Indonesia, mulai dari Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas.

Fokus yang harus kami lakukan saat itu adalah mengevaluasi konstruksi pertanyaan-pertanyaan yang ada pada bahan bacaan pada buku-buku pelajaran terbitan Indonesia tersebut. Evaluasi dilakukan menggunakan taksonomi pada keterampilan membaca. Hasilnya? Sungguh menggugah. Evaluasi yang dilakukan menunjukkan bahwa sebagian besar pertanyaan yang diberikan untuk mengecek reading comprehension (pemahaman terhadap bacaan) setelah murid membaca bahan-bahan bacaan pada sebagian besar buku penerbit Indonesia, ada pada level literal comprehension, yang jika disetarakan dengan taksonomi Bloom, ada pada level LOTS (lower order thinking skills), atau C1 (mengingat). Level literal comprehension merupakan salah satu level rendah yang ada pada taksonomi membaca. Sangat sedikit ditemukan pertanyaan yang dibuat untuk membuat murid berlatih menganalisis, mengevaluasi, mengapresiasi, atau melakukan inferensi dan variannya.

 Dari fakta di atas, maka selain “apa yang dibaca” (what to read), mengajarkan “bagaimana membaca” (how to read) menjadi strategi membaca yang perlu dikuasai dan diajarkan oleh guru, pendidik, pengajar, sebagai bagian dari penguasaan literasi baca tulis dalam segala bidang ilmu. Mengajarkan strategi membaca (teaching reading) ini menjadi isu penting dalam pengalaman literasi baca tulis, bukan sekedar mengetes membaca (testing reading). Akhirnya, pengecekan terhadap pemahaman membaca (reading comprehension) juga menjadi bagian penting dalam belajar membaca. Pengecekan ini dilakukan melalui konstruksi pertanyaan yang tidak hanya melibatkan ingatan murid terhadap yang tersurat, tetapi juga melibatkan kebiasaan pada level-level berpikir tingkat tinggi, seperti melakukan inferensi, mengevaluasi, menganalisis, mengapresiasi, dan berbagai variannya.

 ***

 Bisa membaca dan paham apa yang dibaca, menjadi dua persoalan penting dalam meningkatkan “literasi” (baca tulis) sebagai salah satu kecakapan abad 21 dalam pembelajaran. Dalam konteks yang lebih luas, literasi baca tulis tentu harus terjadi dalam pembelajaran pada segala bidang ilmu dan pengetahuan, bukan hanya pada pelajaran bahasa. Literasi baca tulis pun tidak hanya terjadi pada pembelajaran di sekolah, tetapi juga dalam segala konteks kehidupan, dalam bersosialisasi, dalam berkomunikasi, dalam bekerja, dengan mengoneksikan landasan filosofis dan praktik. Selamat berliterasi!

 

 Yogyakarta, 24 Januari 2021.

Thursday, December 31, 2020

Dan Desember pun Kembali Datang

 ---Rin Surtantini




Desember datang. Seperti Desember-Desember lain sebelumnya, hujan mulai rajin menyirami bumi, meski dengan frekuensi yang masih belum teratur. Masih seperti biasanya pula, harapan-harapan manusia akan datangnya pergantian tahun yang lebih baik mulai bermunculan di berbagai media sosial dalam berbagai ungkapannya. Sama seperti yang selalu terjadi pada setiap Desember pula, retorika tentang pentingnya refleksi diri mulai banyak ditampilkan para warganet.

Desember seperti sebuah pintu rumah yang segera ditutup setelah selalu terbuka sepanjang tahun. Desember serupa bab terakhir dari sebuah buku yang selesai dibaca. Desember seakan stasiun terakhir yang menunggu kereta api datang dan berhenti. Desember seolah ujian terbuka pada puncak studi seorang mahasiswa S3. Desember bagaikan ombak membuih yang bergerak melepas gelombang air laut di pantai yang menantinya.

 Metafora Desember itu menarik untuk disimak. Jika ia pintu rumah, maka tutuplah karena malam telah tiba. Jika ia sebuah buku, maka berhentilah membaca karena semua bab sudah habis terbaca. Jika ia stasiun, maka turunlah karena kereta telah berhenti. Jika ia ujian terbuka, maka terimalah ijazah karena telah dinyatakan lulus. Jika ia ombak, maka rasakan pecahan deburnya di pantai.

 Desember memang telah datang, sesuai pakem yang ada pada kalender yang digantung di dinding, atau yang diletakkan di atas meja kerja. Hujan memang telah turun pula pada bulan Desember, dan ada kalanya gugurannya begitu memutihkan bumi.  Ia menyaput semua debu yang menempel di daun dan pohon, mengalirkan sampah-sampah di jalan, menjernihkan udara yang penuh asap dan polusi. Tetapi, benarkah sesungguhnya ungkapan yang manis ini, “Let the rain wash away all the pain of yesterday…” (Biarkan hujan menghapus semua kedukaan kemarin) dapat tercipta dengan mudah dalam mental dan hati atau perasaan seseorang? Mungkin jawabnya adalah, “Time will heal…” (Waktulah yang akan menyembuhkan).

 Ya, kunci dari “the rain washes away all the pain of yesterday” adalah waktu. Seberapa lamakah, tergantung kepada bagaimana seorang individu mengelolanya. Dan bagaimanakah, tergantung kepada cara individu itu merespon “the pain of yesterday”. Belum lagi jika itu merupakan “the pain(s)” (kedukaan yang banyak), tentu pengelolaannya akan tergantung kepada mana yang paling membuncahkan pikiran seorang manusia yang mengalaminya.

Dan pada Desember tahun ini, seorang Tan mengalami “the pain(s) of yesterday”. Sesungguhnya kebuncahan pikirannya tentang ini sudah terjadi sejak Januari pada awal tahun ini, tetapi ia masih merawat harapannya, karena bukankah pintu tahun 2020 baru saja dibuka. Jadi pikirnya, biarkanlah pintu terus terbuka sepanjang tahun sebelum ia mungkin akhirnya memadamkan harapan-harapan itu. Tak dinyana, pandemi Covid-19 menghampiri bumi Indonesia pada bulan kedua-ketiga tahun ini. Tan tetap memelihara harapan-harapan yang dibangunnya sendiri dengan banyaknya tantangan baru yang harus dihadapi. Kegagapan teknologi yang harus diatasi, pemeliharaan semangat kerja dengan tetap produktif di rumah, pemaknaan ulang terhadap integritas sebagai seorang karyawan yang harus bekerja dari dan tinggal di rumah, penumbuhan akan rasa empati, atau “compassion” terhadap mereka yang kurang beruntung, kepatuhan terhadap prinsip keselamatan diri sendiri, lingkungan, sesama, melalui protokol kesehatan yang disarankan, dan masih banyak lagi.

 Tan menjalani itu semua dengan caranya sendiri sampai tak terasa Desember pun akhirnya tiba, merangkak menuju hari terakhir. Akan tetapi, ia tak bisa menghindar dari kebuncahan ini: mengapa “the pains of yesterday” tidak sama dengan daun dan pohon yang bersih dari debu, sampah-sampah yang mengalir, udara yang segar dan jernih karena guyuran hujan yang deras? Mengapa justru setiap saat hujan turun dan bumi basah olehnya, hati Tan semakin dirundung kepedihan, kegelisahan, keprihatinan, dan kekuatiran?

 Tan mengenang kembali, sebulan yang lalu jantungnya berdegup dan pedih ketika mendengar berita kepergian seorang rekan kerja seprofesinya yang jauh lebih muda darinya, terdeteksi terinfeksi virus yang bekerja dalam senyap itu. Tan mengingat kembali, dengan keyakinan bahwa Covid-19 ada di mana-mana, di kantor, di kendaraan umum, di hotel, di tempat wisata, di keramaian, bahkan di rumah sendiri, maka kesadaran untuk berhati-hati, menjaga diri sendiri , keluarga, dan orang lain, menjadi alangkah pentingnya untuk diterapkan! Tan memikirkan, bahwa keputusannya untuk tidak mengikuti sebuah kegiatan di lingkungan tempat kerjanya yang berpotensi menciptakan mata rantai-mata rantai yang bersambung, adalah sebuah keputusan personal yang selayaknya dihormati, bukan dipertentangkan atau dinilai sebagai wujud disintegritas seorang karyawan, atau dipertanggung jawabkan sebagai sikap atau perilaku yang melanggar komitmen sebagai seorang karyawan. Tan berkata pada diri sendiri, ia tak boleh terlalu percaya diri, apalagi jemawa, merasa pasti akan dapat terhindar dari sapaan virus ini terhadap dirinya, terhadap orang-orang yang dikenalnya.

 Tan membaca situasi, Covid-19 semakin nyata ada di mana-mana, dan semakin dekat dengan dirinya, apalagi ketika rekan-rekan kerjanya mulai ada yang terinfeksi, sehingga tracing menjadi semakin meluas. Kenyataan ini sekaligus juga menimbulkan “paranoid” terhadap diri sendiri dan terhadap rekan-rekan kerja yang dianggap telah berkontak langsung dengan rekan kerja lain yang terpapar. Tan hanya bisa sedih memikirkan, bagaimana seorang rekan kerja yang selama ini memiliki integritas, juga terdampak dengan pembentukan mata rantai virus ini. Ia tak dapat berbuat atau membantu apa-apa, kecuali mengirimkan doa akan kesembuhannya, dan agar anggota keluarganya dapat terlindungi, yaitu ibu yang tinggal bersamanya yang tentu tidak lagi muda, anak yang masih belia, dan istri yang setiap hari bersama dalam masa isolasi mandirinya. Tan berharap, “compassion” terhadap dampak-dampak dari pembentukan mata rantai virus ini tumbuh sebagai social awareness di kalangan manusia.

 Tan mengenang, bahwa angka-angka pencapaian yang diklaim sebagai keberhasilan yang bersifat administratif dan kuantitatif sering tidak seirama dengan kondisi-kondisi yang bersifat kualitatif. Tan menyaksikan, perayaan dan perhelatan terhadap perubahan yang bersifat kuantitatif sangat mewarnai kehidupan lingkungannya, dan bertanya pada dirinya sendiri, apakah ia pun harus sependapat bahwa perayaan menjadi sebuah kewajiban dan satu-satunya bentuk integritas jika ia adalah seorang karyawan di sebuah institusi? Tan berdiskusi dengan hatinya sendiri mengenai berbagai kebuncahan yang menyergapnya (dalam kesendirian). Tan membuat catatan-catatan itu dalam folder pribadinya, menyimpannya sendiri, dan membacanya sendiri juga sambil mendengarkan guguran air hujan yang semakin deras pada suatu malam di akhir Desember ini.

 Begitulah. Ia hanya seorang Tan. Ia hanya bisa menciptakan metafora tentang Desember dalam pikirannya sendiri. Jika pintu rumah memang harus ditutup karena malam telah tiba, bukankah esok pintu itu harus dibuka kembali dengan berharap ada perubahan dari gelap menjadi benderang? Jika sebuah buku selesai dibaca sampai bab terakhir, apa pelajaran yang diperoleh darinya? Jika kereta api telah berhenti pada stasiun terakhir, apa selanjutnya yang akan dilakukan penumpang begitu turun dari kereta? Jika ujian terbuka selesai dilalui, apakah ijazah dan gelar akademik hanya akan menjadi sebuah dokumen yang tersimpan rapi dalam map khusus? Jika ombak lepas di pantai, bukankah ia akan kembali lagi ke laut lepas untuk membentuk gelombang berikutnya?

 

 Yogyakarta, 31 Desember 2020.