Showing posts with label Opini. Show all posts
Showing posts with label Opini. Show all posts

Friday, April 30, 2021

Metafora Kursi

 

--Rin Surtantini


Sudah setahun lebih ini ritme bekerja di kantor atau di rumah terbentuk secara alami atas kondisi yang muncul karena pandemi. Barangkali ini yang tahun lalu dikatakan sebagai terbentuknya kenormalan baru. Barangkali pola-pola kebiasaan baru yang muncul sebagai ritme dalam berpikir, berlaku, bersikap, atau berkata adalah bentuk-bentuk kenormalan baru. Ada ritme yang masih sama untuk dipertahankan dengan kondisi sebelum pandemi, ada juga yang ditinggalkan, ada yang disesuaikan. Entah juga. Jika hidup adalah sebuah pertunjukan, maka
the show must go on.


***

Webinar muncul sebagai contoh sebuah penyesuaian pada masa pandemi. Penyesuaian ini bahkan menunjukkan bahwa ia menjadi perhelatan yang dipilih banyak orang dari berbagai bidang, kalangan, maupun berbagai topik (Baca kembali tulisan tentang perhelatan webinar pada bulan Juni tahun lalu melalui link https://www.vidyasana.com/2020/06/perhelatan-webinar.html). Berjalannya waktu bahkan pernah membentuk gelombang euforia terhadap perhelatan webinar, baik bagi penyelenggara, penyaji, maupun pesertanya. Banyak topik menjadi hal baik untuk didiskusikan dan dibagi secara luas dan terbuka. Semakin ke sini, gelombang euforia ini mulai menunjukkan kenormalan baru. Ia tak lagi sesuatu yang sangat istimewa. Masyarakat pun mulai selektif terhadap konten yang disajikan dalam berbagai perhelatan webinar ini.

Kemarin jadwal saya WfH. Beberapa hari sebelumnya saya telah mendaftar sebuah kelas menulis berbayar secara online, tanpa sertifikat. Jadi karena kelas ini dimulai pukul 15 sampai pukul 17, maka itu tidak menjadi masalah bagi saya karena itu hari WfH saya. Lagipula, itu menjadi kegiatan yang menyenangkan, karena waktu untuk menunggu berbuka puasa menjadi pendek. Alasan lain mengapa saya mau ikut kelas itu adalah karena kontennya tentang menulis, dan yang berbagi ilmu adalah Joko Pinurbo, penulis yang puisi-puisinya memiliki gaya dan warna yang khas, bersifat naratif, ironis, tetapi juga humoris. Ia cakap dalam mengolah citraan dan menggunakan objek serta peristiwa sehari-hari dengan bahasa yang tajam tetapi juga cair. Melalui tulisan-tulisannya yang berbentuk puisi, ia melakukan refleksi, perenungan, yang dipicu oleh absurditas keseharian yang ada di sekitar kita. Ia mempermainkan dan mengolah kata-kata dalam bahasa Indonesia secara sederhana tetapi memiliki visi dan perspektif yang kuat terhadap tema atau pesan yang ingin disampaikannya.

Banyak yang dibagi olehnya melalui kelas menulis itu, dan salah satu dari sekian hal yang menarik, adalah ketika ia berbicara mengenai objek “kursi” sebagai citraan atau metafora. Semua yang ada di sekitar kita dapat bermetafora. Apa yang ada dalam benak kita terhadap kata “kursi”? Secara fisik, kursi adalah sebuah tempat untuk kita duduk. Duduk itu sendiri mengistirahatkan tubuh kita dari posisi berdiri, dari kegiatan berjalan, dari rasa lelah, dari rasa sakit, atau dari rasa bosan, dari keinginan untuk bersantai, dan berbagai kebutuhan tubuh lainnya. Maka desain kursi pun sangat beraneka ragam untuk memenuhi segala kebutuhan manusia, termasuk bahan dan teknologi dalam mengkreasi kursi itu sendiri.

Jika orang sudah lama duduk di kursi, dan kursi itu cocok baginya, sesuai dengan yang ia butuhkan atau inginkan, maka dirasakannya kursi itu menjadi enak dan nyaman. Sambil membaca, minum kopi, mendengarkan musik, menonton pertunjukan, ngobrol, memeramkan mata, berkhayal, bermimpi, ah nikmatnya……, dunia dan kehidupan adalah enak dan nyaman dirasa. Malas atau enggan rasanya untuk beranjak dan bangkit, atau berpindah, kecuali ada kursi yang jauh lebih nyaman untuk menikmati dunia dan kehidupan ini. Itulah kursi, objek fisik yang difungsikan oleh manusia untuk kebutuhannya.

Metafora apa yang dimunculkan sebagai citraan terhadap “kursi”? Ini menarik dan kita semua mengalami, merasakan, atau menyaksikan dalam keseharian kita. Jabatan, kedudukan, posisi, adalah citraan dari “kursi”. Perhatikan, adakah kenyamanan, kesenangan, kenikmatan, euforia, prestise, kehormatan tinggi, peningkatan derajad, gengsi, dan status sosial, kesejahteraan, privilege, kewenangan mutlak di sana, sehingga kursi adalah tempat yang melenakan? Segala citraan kursi, ternyata sulit untuk tidak dinikmati dalam lupa!

 Yogyakarta, 30 April 2021. 

Saturday, March 27, 2021

Money Talks: Sebuah Kejadian yang Diceritakan


--Rin Surtantini





Kemarin sore ketika menunggu maghrib tiba, denting di sebuah grup Whatsapp terdengar. Seorang teman mengirimkan kopi tulisan tentang sebuah kejadian kecil yang diceritakan oleh Winston Churchill, perdana Menteri Inggris jaman dulu. Entah dari mana asalnya teman ini mendapat kopian tulisan dalam bahasa Inggris itu, yang jika diterjemahkan kira-kira begini…

Perdana Menteri United Kingdom masa dulu, Winston Churchill, menceritakan sebuah kejadian menarik yang dialaminya sendiri. Ia naik taksi pada suatu hari ke kantor BBC untuk sebuah interview. Ketika sampai di tujuan, ia meminta kepada supir taksi untuk menunggunya sekitar 40 menit di sana, karena ia ingin pulang dengan menumpang taksi itu lagi. Tetapi supir taksi meminta maaf dan berkata, “Saya tidak bisa, pak, karena saya harus pulang ke rumah untuk mendengarkan pidato Winston Churchill di rumah.”

Pernyataan supir taksi itu sungguh mengagetkan Churcill. Ia sangat kagum dan sangat senang dengan niat supir taksi itu untuk mendengarkan pidatonya di radio! Bahkan supir taksi itu ingin segera pulang ke rumah demi keinginannya itu, dan tidak mau menunggu Churchill untuk menumpang taksinya lagi. Karena rasa bahagia dan kagumnya, Churchill pun mengeluarkan £20 dari dompetnya yang pada masa itu bernilai sangat besar. Diberikannya uang itu kepada supir taksi tanpa memberitahu siapa sebetulnya dirinya. Ketika supir taksi itu menerima uang sebanyak itu dari Churchill, ia mengatakan, “Pak, saya akan menunggumu sampai berapa lama pun bapak akan kembali! Dan membiarkan Churchill go to hell….”

Dari kejadian itu, Churchill mengatakan, bahwa kita dapat melihat bagaimana “prinsip-prinsip” sudah dimodifikasi demi uang; bangsa dijual untuk uang; kehormatan dijual karena uang; keluarga tercerai berai demi uang; teman-teman berpisah karena uang; orang-orang terbunuh untuk tujuan uang; dan orang-orang dibuat menjadi budak karena uang. Kejadian ini sungguh menarik baginya; maka ia pun memutuskan untuk membagi cerita ini, dan berharap kita dapat belajar sesuatu dari kejadian ini.

***

Sesungguhnya ini kejadian yang bukan luar biasa dan sangat banyak kita saksikan dalam lingkungan kita, di tempat kerja, di komunitas kecil sekali pun, di lingkungan sosial, di kompleks tempat tinggal, di mana pun, kapan pun di segala masa atau zaman, dan di dalam konteks apapun tetapi dengan pesan yang sama... Bukan hanya menyaksikan, tetapi mengalaminya. Dan yang justru membuat ngeri adalah… jangan-jangan, kita justru salah satu dari sekian juta manusia serupa supir taksi yang diceritakan oleh Churchill di atas, tetapi tidak menyadarinya, bahkan malah sibuk menuding bahwa sekitar kitalah yang melakukan itu!

Oh, my God. Suara adzan dari masjid pun sayup mengalun, menghentikan lamunan ini.

Money talks, money rules, money acts, money wins, money kills, money …

Silakan ditambahkan lagi sesuai dengan pengalaman masing-masing.


Yogyakarta, akhir pekan, 27 Maret 2021.

Friday, March 26, 2021

Tentang Paradigma: Teropong-Teropong dalam Berkegiatan Ilmiah

  

--Rin Surtantini

 



Beberapa hari lalu saya mengikuti sebuah diskusi ilmiah dengan komunitas ketika saya sekolah dulu. Topik yang didiskusikan adalah seputar paradigma atau model dalam teori ilmu pengetahuan atau kerangka berpikir. Diskusi ini menarik karena bagi para peserta diskusi, topik yang didiskusikan ini menguatkan apa yang selama ini diamati, diketahui, dilakukan, atau bahkan tidak diketahui dan tidak dilakukan, oleh para peserta diskusi, kaitannya dengan kegiatan ilmiah yang dilakukan oleh mereka seperti melakukan kajian, penelitian, atau penulisan di ranah akademik atau ilmiah.

Diskusi itu, dengan seorang narasumber yang memantik topik “paradigma” ini, menyoroti “teropong-teropong” yang digunakan oleh para peneliti atau pengkaji di ranah budaya ketika membedah sebuah masalah atau isu penelitian dan kajiannya. Yang menarik adalah narasumber ini dapat mengkategorikan dan menamakan apa saja teropong-teropong pembedah itu berdasarkan pengamatannya terhadap penelitian atau kajian yang dilakukan oleh para peneliti atau pengkaji yang tergabung dalam komunitas itu. Maka, para peserta diskusi pun kemudian disadarkan akan adanya teropong-teropong itu, tetapi tidak menyadari selama ini bahwa mereka telah menggunakan salah satu di antara teropong-teropong tersebut dalam meneliti, mengkaji, atau menuliskan hasil penelitian dan kajiannya. Begitu pentingnya peran teropong yang digunakan atau dipilih dalam menyoroti sebuah masalah, sehingga ketika paradigma atau kerangka berpikir tidak dipahami oleh peneliti, pengkaji atau penulis, maka arah penelitian, pengkajian atau pengungkapannya dalam tulisan akan menjadi tidak jelas dan kabur.

Kemarin saya dan beberapa rekan sejawat juga melakukan diskusi kecil terkait dengan kegiatan ilmiah ini. Berangkat dari latihan melakukan penilaian terhadap tulisan-tulisan hasil penelitian atau kajian, kegiatan ini dimaksudkan untuk mempelajari lebih dalam tentang komponen-komponen umum yang penting dalam menuliskan sebuah hasil penelitian atau kajian. Komponen-komponen yang disoroti adalah substansi tulisan, kebaruan yang ditawarkan, manfaat yang diberikan, gaya dan format penulisan, penggunaan bahasa, logika berpikir, metode kajian atau penelitian, cara mengkaji atau menganalisis, serta sumber bacaan atau referensi. Kami mencoba untuk memberikan penilaian terhadap tulisan-tulisan menggunakan komponen-komponen ini.

Hal menarik yang diperoleh dari kegiatan bersama rekan sejawat ini adalah adanya keragaman yang dimiliki oleh setiap orang. Keragaman terjadi karena adanya perbedaan-perbedaan di antara kami, yaitu perbedaan dalam menyoroti sebuah masalah atau isu, karena teropong-teropong yang kami miliki juga berbeda-beda. Perbedaan itu menyangkut misalnya perbedaan latar belakang, minat, fokus, standar, sudut pandang, paradigma, yang dipegang dan dimiliki oleh masing-masing dari kami. Bagi saya, inilah sebuah forum yang membebaskan individu, yaitu ketika setiap peserta diskusi yang hadir memiliki ruang untuk mengemukakan teropong yang digunakannya, dan dapat memberikan alasan atau logika dari penggunaan teropong itu sebagai wujud kerangka berpikirnya. Ini juga sebuah forum yang melatih seseorang untuk belajar dari yang lain tentang hal-hal yang tidak diketahui atau dipahaminya, dan membelajarkan yang lain tentang hal-hal yang belum dimiliki atau dipahami oleh rekan lain. Ini juga sebuah forum untuk bersosialisasi melalui kegiatan yang menyehatkan akal budi, ketika setiap orang memiliki ruang untuk menyuarakan concern-nya dengan terbuka, dan bersedia untuk mendengarkan yang lain agar dapat menyerap maksud yang ada dalam concern dan alur pikir seseorang. Ini juga sebuah forum yang membuat seseorang harus bertanggung jawab terhadap pendapatnya dengan berlatih mengembangkan argumentasi yang kuat dan logis serta kredibel.

Akhirnya, yang lebih menarik lagi adalah setelah semua concern rekan sejawat ini diutarakan dalam bentuk-bentuk keragaman dan perbedaannya, diperoleh kesamaan cara pandang yang menyatukan. Sebuah proses sintesis terjadi, yang mengerucut menjadi sebuah kesimpulan dan keputusan bersama, yang mewadahi aneka teropong, sudut pandang, dan concern. Saya berpendapat, alangkah menyenangkan jika hal-hal kecil semacam ini menjadi spirit dari culture of knowledge sharing yang berkembang dan dipelihara di lingkungan tempat kita bekerja, bukan hanya sekedar atau selalu meneriakkan slogan-slogan tetapi kehilangan ruh dan maknanya.


Yogyakarta, 26 Maret 2021.


[Salam dan terima kasih saya untuk mbak Feti, mas Bagus, pak Gede, mas Haryadi, mas Fajar, mas Rohmat, mas Cahyo, mas Eko & mbak Diah, yang kemarin berdiskusi dan menginspirasi saya untuk menuliskan ini].

 

 

Tuesday, February 9, 2021

Soal Kritik

 

---Eko Santosa


Dewasa ini, kritik berhamburan di media-media sosial, tentang apa saja. Hampir semua hal yang ada dan terjadi tidak lepas dari kritik. Masing-masing orang dapat menyampaikannya sesuai dengan cara dan gayanya. Dari proses berhamburnya kritik ini kemudian lahirllah klasifikasi baru yang disebut “nyinyiran” atau dianggap sebagai tanggapan asal omong dan “kritik membangun”. Istilah “nyinyiran” muncul karena kritikan yang disampaikan dinilai sebagai lebih banyak memperlihatkan sisi buruk seseorang atau lembaga atau kelompok tertentu, dan hal ini dianggap sebagai kecaman. Sementara itu, “kritik membangun” muncul sebagai counter atas “nyinyiran” dengan maksud bahwa setiap pengungkapan kesalahan atau kekeliruan atas sebuah tindakan atau kebijakan atau langkah atau apapun yang dilakukan oleh orang, kelompok atau lembaga mesti diikuti dengan penawaran solusi.

Masing-masing orang tentunya memiliki alasan tersendiri dalam menyampaikan kritik, apakah itu berupa “nyinyiran” maupun “ kritik membangun”. Namun, jika diulik sedikit lebih jauh, sesungguhnya kritik “nyinyiran” dan biasanya berisi kecaman tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Hal ini dikarenakan memang arti “kritik” di dalam kamus Bahasa Indonesia adalah kecaman atau tanggapan, atau kupasan yang kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu karya, pendapat, dan sebagainya (KBBI V).  Jadi dengan demikian, kritik memang adalah kecaman, soal di dalamnya ada uraian dan pertimbangan mengenai baik buruk itu hukumnya hanya “kadang-kadang”, sehingga tidak harus. Oleh karenanya, mereka juga tidak merasa memiliki kewajiban untuk menyampaikan solusi karena solusi semestinya ditemukan oleh orang atau kelompok atau lembaga yang dikritik berdasar kritikan yang disampaikan.

Sementara itu, dari sisi lain, bagi orang yang menganggap kritik mesti “membangun”, kemungkinan memaknai kritik dari seluruh arti “kritik” dengan mengesampingkan kata “kecaman” dan “kadang-kadang”. Jadi bagi mereka kritik adalah tanggapan, atau kupasan yang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu karya, pendapat, dan sebagainya. Oleh karenanya, kritik mesti harus diuraikan dengan segala pertimbangan baik buruk yang pada akhirnya akan mengerucut pada solusi. Dengan demikian, kiritik tidak bisa disampaikan secara sembarangan oleh siapa saja.

Kelit kelindan dan relasi semrawut atas “nyinyiran” dan “kritik membangun” masih eksis hingga hari ini di media-media sosial. Masing-masing memiliki pendukungnya sendiri. Jika saja arti “kritik” lebih menukik pada penilaian profesional, mungkin perdebatan receh nan seru antara “nyinyiran” dan “kritik membangun” tidak perlu terjadi. Seperti dalam kamus bahasa Inggris Concise Oxford (11th edition) misalnya, di situ kata kritik sebagai kata benda diartikan menjadi asesmen dan analisis yang detail atas sesuatu, sementara sebagai kata kerja diartikan menjadi tindak evaluasi yang dilakukan dengan cara detail dan analitis. Karena mesti detail dan analitis, maka tidak sembarangan orang bisa melakukannya. Artinya, tukang kritik itu mesti profesional di bidangnya. Namun demikian, pemaknaan kata mewujud ke tindakan dan respons atas tindakan tersebut sejatinya tetap dapat disikapi dengan bijak. Namun demikian, semua itu berpulang pada tujuan diri masing-masing atas tindakan yang dilakukan tanpa membebani makna sebuah kata yang bisa saja, dengan alibi tertentu, arbitrer. (**)

 

Eko Santosa

WFH/O, 090221

 

Monday, April 20, 2020

WfH Series: Bekerja dengan Senyap



--Rin Surtantini


Negara-negara yang selama ini merasa hebat dan kuat juga dibuat bingung dan mengakui kerapuhannya dalam menghadapi serangan virus korona. Senjata- senjata nuklir, yang jadi andalan jika PD-3 meletus, tak mampu mengalahkan virus yang bekerja dengan senyap.
Kalimat-kalimat di atas dijumpai dalam tulisan Komaruddin Hidayat berjudul “Rumahku, Sekolahku” yang dimuat di harian Kompas (Sabtu, 11 April 2020). Virus yang bekerja dengan senyap, tak nyata terlihat dengan mata itu, perlahan dan pasti mengejutkan manusia di penjuru dunia karena hasil kerjanya yang rapi tersembunyi. Hasil kerja yang senyap dari organisme virus ini melahirkan begitu banyak persoalan yang kait-mengait dari aspek sosial, ekonomi, kesehatan, sains, politik, agama, pendidikan, budaya, psikologi, dan sebagainya. Max Regus dalam tulisannya berjudul “Titik Nol Peradaban” di harian Kompas (Rabu, 15 April 2020), mengatakan bahwa virus korona tipe baru sedang meruntuhkan segenap pranata kehidupan manusia.


Di balik sekian banyak persoalan yang kait-mengait akibat kerja korona yang tersembunyi rapi dalam senyap ini, semerta-merta manusia disadarkan bahwa bumi adalah milik bersama. Warga bumi tidak mampu melawan serangan organisme super-tidak kasat mata yang menguasai dunia saat ini. Mereka harus bekerjasama, harus berbagi, dan bersama-sama mengembalikan bumi sebagai tempat berpijak yang aman dan nyaman untuk hidup mereka.


Maka, saat ini sangat banyak bentuk yang membuat orang bekerjasama, berbagi. Kebersamaan spontan itu tumbuh atas dasar rasa solidaritas, rasa kemanusiaan, keinginan berbela rasa, empati antarmanusia.  Hal ini dilakukan “tanpa instruksi”, “tanpa surat perintah”, “tanpa surat edaran”. Inilah esensi dari panggilan kemanusiaan. Ia datang mengetuk pintu hati dan kalbu manusia tanpa syarat, dengan senyap, sesenyap cara kerja korona dalam mengembangkan kehadirannya.
                          

***

Di sebuah wilayah rukun warga di Yogyakarta, ada sekelompok penduduk asli yang pada masa tahun 1980an dahulu adalah pemilik tanah-tanah luas di wilayah tersebut. Pada masa itu, wilayah tempat mereka tinggal ini masih sepi, masih dipenuhi kebun-kebun atau halaman luas yang ditumbuhi pohon-pohon dan tanaman. Akan tetapi, pada masa itu terlihat bahwa wilayah ini memiliki prospek untuk berkembang sebagai wilayah yang ramai dan menjadi bagian dari kota.


Dalam perjalanan waktu, kebutuhan hidup dari penduduk asli pemilik tanah-tanah dan kebun ini semakin banyak dan sulit karena mereka tidak bekerja di sektor-sektor formal sebagai pegawai tetap, sementara pendidikan mereka juga tidak tinggi. Hal ini mendorong mereka untuk merelakan diri menjual tanah-tanah mereka tersebut kepada para pemilik uang yang membutuhkan tempat tinggal yang ideal dari segi luas tanah, bangunan rumah, dan lingkungannya. Alhasil, rumah-rumah besar, bagus, dan ideal satu persatu mulai dibangun oleh para pendatang yang membeli tanah-tanah di wilayah ini. Para pendatang ini umumnya mereka yang memiliki pekerjaan tetap, bahkan berkedudukan tinggi di kantor-kantor, berpendidikan tinggi, dan sebagian juga adalah para akademisi. Penduduk asli pun kehilangan sebagian besar tanah-tanah mereka, tersudut di bagian-bagian dalam, di antara rumah-rumah besar, karena tanah-tanah mereka yang di pinggir jalan-jalan utama di wilayah tersebut sudah dibeli oleh para pendatang tadi dan telah berubah menjadi rumah-rumah permanen yang bagus, dengan tatakota yang teratur. Perlahan-lahan, penduduk asli harus menerima kenyataan bahwa mereka harus hidup berdampingan dengan para pendatang meskipun dalam kesenjangan kondisi sosial ekonomi dan pendidikan.


Perlahan tapi pasti, wilayah itupun memang berubah menjadi wilayah perkotaan yang akrab dengan sentuhan dan kehidupan masyarakat modern seperti café, hotel, supermarket, restoran, apartemen, kos eksklusif, dan sebagainya. Harga tanah dan bangunan di sana pun menjulang tinggi dari tahun ke tahun. Penduduk asli menyaksikan pertumbuhan modern wilayah itu dan hanya dapat ambil bagian menjadi tukang parkir, petugas keamanan, pekerja serabutan, petugas sampah, tukang cuci pakaian, tukang ojek, pembantu, pedagang warung kecil dan makanan, atau juga tukang pijat. Mereka mengandalkan penghasilan mereka dari pendapatan harian yang serba tidak pasti, tidak sama, tidak banyak, dan tidak tentu dari hari ke hari, sampai akhirnya korona datang dan bekerja dengan senyap di penjuru bumi … yang berdampak secara langsung juga kepada kehidupan mereka ……..


***

Adalah sekelompok kecil ibu-ibu yang dengan “idealisme” tertentu tergabung dalam sebuah perkumpulan. Ibu-ibu ini termasuk dalam kelompok pendatang yang bermukim di wilayah yang diceritakan di atas. Mereka bertemu sebulan sekali sebagai bentuk bersosialisasi di antara mereka.  Bulan ini mereka memutuskan untuk tidak mengadakan pertemuan karena kebijakan physical distancing yang mereka patuhi. Toh secara sosial mereka tetap dapat terhubung melalui grup Whatsapp.


Keterhubungan mereka inilah yang secara spontan, tanpa perintah, tanpa syarat, melahirkan keinginan berbela rasa secara bersama-sama kepada penduduk asli yang ada di sekitar mereka, ketika unsur atau pihak birokrasi mungkin masih bermain dalam waktu karena kehati-hatiannya dalam menentukan atau memutuskan apa yang dapat dilakukan untuk membantu warga wilayahnya yang terdampak kasus korona, atau siapa yang harus dibantu dalam kondisi saat ini. “Mari bergerak cepat dan baik, jangan ditunda, dengan senyap”, menjadi prinsip yang dipegang oleh para ibu yang bergerak ini. “Peduli Dampak Covid-19”, menjadi aksinya. Siapakah yang perlu dibantu? Di wilayah itu, penduduk asli seperti yang digambarkan di atas itulah yang perlu segera dibantu dan mendapatkan bukti rasa empati dari pendatang yang selama ini hidup berdampingan dengan mereka. Maka, dana pun dihimpun, sukarela, ikhlas, semampunya, dari anggota kelompok kecil ibu-ibu ini, dalam waktu kurang dari tiga jam. Berhasil cepat! Alhamdulillah. Thank God.


Pada saat yang sama data juga harus segera diperoleh melalui tiga sumber dari unsur warga (yaitu dari penduduk asli yang dekat dengan warga, dari pendatang yang sering menjadi dermawan, serta dari penduduk asli yang tidak terdampak korona). Pagi itu juga diperoleh daftar nama dari tiga sumber warga tadi. Statistik manual cepat pun dilakukan: siapa yang namanya selalu muncul dalam daftar dari tiga sumber data tadi, maka ia akan menjadi penerima paket belarasa “Peduli Dampak Covid-19”. Hasilnya, diperolehlah daftar penerimanya. Lalu, jumlah penerima paket belarasa ini dicocokkan dengan dana yang telah terhimpun, untuk menentukan apa yang dapat dilakukan dengan dana tersebut terhadap penerimanya. Bergerak cepat, segeralah belanjakan dana tersebut dalam bentuk paket-paket kebutuhan pokok yang sudah dikemas baik dalam kardus oleh pihak toko penyedia.  Paket pun siap, diantar ke rumah salah satu ibu pada sore harinya sebagai posko, lalu diberi label nama penerimanya: “Kagem Ibu X…. “.  Selepas magrib, paket belarasa diantar ke masing-masing rumah warga penerima, rumah-rumah penduduk asli yang ada di belakang, di bagian dalam gang, atau di antara rumah-rumah besar permanen milik para pendatang … Malam itu, mereka sudah menerima langsung paket belarasa tadi di rumahnya masing-masing. Ketidakpastian kondisi hidup mereka --akibat kerja korona dalam senyap-- sedikit terkurangi dengan aksi belarasa dalam senyap ini. Kegelisahan mereka, sedikit terpupus. Harapan mereka, ditumbuhkan.

***

Dalam akhir artikelnya, Komaruddin Hidayat (Kompas, Sabtu, 11 April 2020) menuliskan:


Kita berharap wabah korona akan memberikan kesadaran akan perlunya hidup yang sederhana, saling berbagi kasih, dan bersama-sama menghadirkan surga di muka bumi.
Kita semua hidup di bawah matahari yang sama, berdiri, duduk,
berjalan, dan tidur di atas bumi yang sama.
Agama, warna kulit, dan bahasa boleh berbeda, tetapi kita semua adalah
keluarga besar Tuhan yang sedang berkelana sejenak di bumi Tuhan ini.

Aku, kami, dan kita adalah satu.
Semoga kesadaran dan ikatan nurani kemanusiaan ini
mengantarkan lahirnya masyarakat baru Indonesia pascakorona.



Alangkah indahnya pernyataan-pernyataan di atas ini jika dimiliki oleh semua manusia dan dimanifestasikan dalam konteks kehidupan bersama, karena kita hidup di bumi yang sama milik Tuhan. Maka, ketika kegiatan sekelompok kecil ibu-ibu di sebuah wilayah yang diceritakan dalam tulisan ini dilakukan seminggu yang lalu, ada hal yang sedikit “mengganjal” ketika kelompok ibu-ibu ini meminta ijin kepada aparat pengurus kampung untuk aksi kemanusiaan yang akan dilakukannya. Ijin ini dilakukan sebagai bentuk pemberitahuan bahwa aksi ini tidak liar, dan dilandasi semata-mata oleh rasa kemanusiaan, dalam “konteks bencana Covid-19”, konteks kemanusiaan. Ternyata, jika para ibu ini akan menggunakan daftar penerima paket belarasa dari versi pengurus rukun warga, terjadi perbedaan. “Kriteria” atau “syarat” untuk siapa yang berhak menerima paket belarasa yang didata oleh pengurus rukun warga ditentukan dari sudut pandang agama, dalam hal ini agama Islam, yaitu golongan yang termasuk 8 (delapan) asnaf zakat.


Sedikit terhenyak, para ibu tadi tetapi akhirnya tetap menggunakan daftar penerima yang sudah ditetapkan oleh mereka sebelumnya. Ini bukan soal salah atau benar, menyimpang dari ajaran agama atau tidak, dosa atau tidak, tetapi ini soal perbedaan “tujuan” dari pemberian bantuan. Dalam hal ini, konteksnya adalah pemberian bantuan “kemanusiaan” khusus pada “peristiwa Covid-19”. “Ikatan nurani kemanusiaan”, meminjam istilah Komaruddin Hidayat, menjadi esensi dan tujuan dari aksi solidaritas ini. Tanpa syarat, tanpa instruksi, tanpa membedakan. Terkadang kita lupa: kita mengakui keragaman di negeri ini, tetapi kita tidak menerima adanya perbedaan. Berzakat, menurut tuntunan agama Islam, tentu tidak boleh kita abaikan, wajib kita laksanakan dalam konteks tujuan kehidupan spiritualitas dan keimanan kita (yang beragama Islam). Konteks, akhirnya menjadi sesuatu yang amat esensial untuk dipertimbangkan dalam semua sendi kehidupan kita.


Yogyakarta, ditulis pada masa perpanjangan WfH,
pertengahan April 2020.


Friday, March 27, 2020

WfH Series: Intentional COVID 19+1 di P4TKSB


--Irene Nusanti

Sementara banyak diantara kita yang dicemaskan dengan wabah COVID 19, bagaimana dengan P4TKSB. Adakah COVID 19 disana..? COVID 19 semoga tidak ada, yang jelas ada adalah COVID 19+1. Apakah COVID 19+1 itu? Berbahayakah...? COVID 19+1 adalah Care Of Very Impressive and Dear-friend tahun 2019+1, yaitu awal tahun 2020. Suatu kegiatan mengantar teman yang memasuki masa purnatugas. Mengapa perlu diadakan? Untuk menumbuhkan self awareness kita bahwa prestasi seseorang bukan tentang how much we have achieved while we are still active, but more to how much we care about other people while we are still able to (Maxwell  2017).  Kita semua tentunya ingin menjadi pribadi-pribadi yang belajar untuk berprestasi. Oleh karena itu kita perlu menggeser mindset, dari mengejar 'sukses' ke mengejar 'significance', dimana bentuk dari being significant adalah ketika kita bisa bermanfaat, bukan dimanfaatkan, untuk orang lain sesuai porsi kita masing-masing. Berikut adalah bentuk COVID 19+1 di P4TSB yang merupakan manifestasi dari 'good idea' menjadi 'great idea' karena diolah secara bersama-sama, tidak ada yang menjadi a single superhero.






Friday, December 20, 2019

"Bisa" dan "Bangkit": Meneropong Makna


---Rin Surtantini

Kegelisahan yang berdiam
Mengingat kembali istilah “memroduksi pikiran” yang dimunculkan oleh salah seorang kolega widyaiswara, membuat tulisan yang sempat tertunda-tunda ini saya selesaikan. Kegelisahan yang berdiam dalam pikiran harus ditanggapi, dengan cara “berpikir” juga, agar pikiran tidak sakit. Kali ini kegelisahan saya berawal dari seputar makna dua kata yang saya dengar berulang-ulang beberapa waktu terakhir ini, bahkan tak luput saya pun harus mengucapkan beramai-ramai, bersama-sama, senada, seirama, di dalam lingkungan kerja, dalam berbagai kesempatan. Kedua kata itu adalah “bangkit” dan “bisa”. Tujuan menyerukan kata-kata itu bersama-sama --dengan diiringi gesture tangan kanan diangkat sambil mengepalkan jari tangan-- tentu adalah untuk menumbuhkan semangat, kesetiaan, kegembiraan, kebersamaan, identitas diri, kebanggaan, kemampuan, dan berbagai nuansa lainnya. Sudah dapat dipastikan, seruan kata-kata itu tentu tidak dimaksudkan untuk menumbuhkan kegelisahan.

Tetapi saya merasakan gelisah, ketika menyerukan kedua kata itu.
Seni Budaya, “bangkit”! Seni Budaya, “bisa”!


Kata adalah simbol, segala sesuatu yang dimaknai
Simbol adalah segala sesuatu yang dimaknai, sedangkan “kata” yang diucapkan merupakan wujud dari pikiran atau gagasan. Jika “kata” yang diserukan itu adalah untuk mengomunikasikan pikiran atau gagasan, dan terjadi pemaknaan, maka kata adalah simbol. Karena simbol ini dilisankan sebagai salah satu bentuk komunikasi, maka simbol ini ditangkap dalam bentuk bunyi. Jadi, interaksi di antara kita adalah interaksi simbolik. Sebagai simbol, maka kata “bangkit” dan kata “bisa” sejatinya memiliki makna dan diberi makna oleh yang mengucapkannya.

Sebagai makhluk yang memroduksi pikiran, kita tidak bisa terhindar dari tidak memaknai atau tidak memberi makna. Simbol tidak harus konkrit atau berupa material, tetapi juga berupa gagasan. Kembali ke persoalan kata “bangkit” dan “bisa”, maka kedua kata ini adalah simbol yang abstrak, yang berupa gagasan. Ada dimensi makna di sini. Jadi, apa makna dari gagasan yang diusung oleh kedua kata itu?

Pemaknaan dilakukan oleh pencipta simbol, maupun orang lain. Pemaknaan bisa personal (private) ataupun kolektif (shared, public, collective). Adakah makna dari gagasan yang diwujudkan oleh kata “bangkit” dan “bisa” dari ujaran Seni Budaya “bangkit”, Seni Budaya “bisa” itu?


Meneropong makna: hasil kesepakatan?
Ketika simbol berupa kata diserukan bersama-sama oleh sekumpulan orang dalam bentuk bunyi, sejatinya itu adalah hasil kesepakatan dan komitmen bersama. Rupanya ini yang membuat saya gelisah. Saya ikut-ikutan mengangkat tangan dan berseru sebagai wujud aksi dari ego yang saya miliki, yang terjadi karena bekerjanya super ego saya berupa nilai-nilai dan prinsip-prinsip dalam pengelolaan hubungan sosial. Akan tetapi saya merasakan ada dorongan-dorongan lain yang mengganggu dan mempertanyakan aksi saya itu, yang menggelisahkan:

Bisa!
Bisa apa? Bisa menjadi apa?

Bangkit!
Bangkit dari apa? Bangkit dari mana?
Bangkit menuju apa? Bangkit menjadi apa?

Entah dari mana dan siapa yang melontarkan pertanyaan-pertanyaan itu dalam pikiran saya. Dan setiap saat saya menyerukan kedua kata itu beramai-ramai dengan gesture yang sama, setiap saat pula pertanyaan-pertanyaan berikutnya memenuhi rongga pikiran saya:

Bukankah itu “unfinished sentence” yang sering kamu gunakan sebagai pancingan agar murid-murid dalam kelas Bahasa Inggris memproduksi kalimat secara kreatif dengan struktur yang benar dan penggunaan bahasa yang sesuai?

I can ……………………..
I move up to ……………….

Lalu, dari pancingan kalimat yang belum selesai itu, murid-muridmu akan melaporkan berbagai kemungkinan kalimat yang diproduksinya. Menarik, dan menyenangkan sekali mendengarkan variasi kalimat-kalimat yang muncul dari mereka.

Dan perhatikan, ketika kamu meminta mereka untuk mengoneksikan apa yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari, maka penyelesaian kalimatmereka yang bervariasi itu mencerminkan perilaku, tindakan, gagasan mereka!

Betul sekali!
Maka ….
jika kita menyerukan “Seni Budaya bisa!” / “Seni Budaya bangkit!”
coba lanjutkan kalimat itu dalam hati: “bisa …………… ” dan “bangkit dari …………….”
Jika kedua kata itu adalah “simbol”, maka keduanya mengusung makna, keduanya memiliki makna, keduanya adalah gagasan yang dimaknai, dan bukan tidak mungkin bahwa kedua kata ini menjadi bagian dari kita sebagai organisme, yang berpikir, bertindak, berperilaku, bersikap, dan bertutur menurut makna personal yang kita berikan kepada kedua kata ini, yang kemudian dalam lingkaran yang lebih luas, menjadi makna kolektif, makna bersama (shared, collective meaning) yang disepakati…..

Dan dalam perjalanan waktu, kedua kata itu pun akan menjadi “wajah” institusi, menjadi work culture. Pikirkan, jika kita tidak tahu bahwa kita “bisa apa”, atau “bisa menjadi apa” dan “bangkit dari apa” atau “bangkit dari mana”…..

Malang, 3 Desember 2019.

Wednesday, July 24, 2019

Platform

--Rohmat Sulistya

Habis nonton ultah ruangguru_. 

Keren... 
Ada Via Valen dan Tulus. Panggungnya juga megah. Tata lampu dan tata suara juga mewah. Inilah pesta ulang tahun sebuah bimbel yang sangat mewah. Membeli slot 1 jam siaran di 5 stasiun TV. Mirip-mirip launching produk baru telpon pintar OPPO. Berapa biayanya? Mbuh ya. Tapi pasti mahal. Pak Jokowi dan Bu Sri Mulyani pun diminta kasih statement ucapan ultah. Keren banget. Sebuah branding perusahaan yang all out. Konon ruangguru_ saat ini sudah memiliki 15 jt user. Itu pasti termasuk saya yang minggu lalu mengunduh ruang guru versi desktop. Karena saya mengunduh, maka saya terdaftar sebagai pengguna. Pasif tentunya, karena saya hanya ingin tahu seberapa berkembang ruangguru_ dari 2 tahun lalu ketika anak saya juga belajar dari app ini untuk menghadapi ujian nasional. Dan memang luar biasa. Kalau Rumah Belajarnya Pustekkom dibandingkan apple to apple dengan ruangguru_ pasti belumlah sebanding dan masih kalah jauh. Mungkin kapitalisasi ruangguru_ sudah hampir 1 miliar dollar AS; karena katanya tahun depan ruangguru_ potensial jadi unicorn

Dan selamat datang di dunia platform...

Paltform, kalo diterjemahkan bebas adalah semacam ekosistem. Ketika SD saya belajar IPA, saya mengenal ekosistem kolam. Ada apa di ekosistem kolam? Ada air, ada ikan nila, ikan mujaher, ikan cethul, kodok, kepiting, udang, cebong, pohon yang melintang diatas kolam, dan kampret yang bergelatungan di pohon yang melintang. Sehingga di ekosistem itu semua hal yang dibutuhkan tersedia, mereka saling terkait, dan ada relasi ‘hidup’ yang terus ada. Itu definisi rekaan saya yang mungkin ngawur dan kurang pas. Tapi, kurang lebih seperti itu. Apple, saat membuat komputer PC/Macbook belumlah sebuah perusahaan besar. Tapi dia bertransformasi menjadi platform ketika merilis iTunes Music Store untuk ‘menghidupkan’ iPod. Keterikatan untuk selalu berinteraksi diciptakan.

Dalam dunia bisnis, platform ini sering dilawankan dengan produk. Ada perusahaan yang hanya menghasilkan produk, ada juga perusahaan yang selain menghasilkan produk, dia menciptakan platform. Ada juga perusahaan yang begitu terbentuk sudah berupa platform semacam Gojek, Bukalapak, Traveloka, dan teman-temannya.

Konon, perusahaan yang tidak mengantisipasi jaman dan tetap bermindset ‘produk’ akan tergilas era digital. Yang paling sering dicontohkan untuk menggambarkan keadaan ini adalah Kodak dan Nokia. Mereka kalah oleh Instagram dan Android, dan tetap bersikukuh pada produk kamera dan handset. Padahal mindset baru adalah bagaimana mereka eksis dengan hasil jepretan, dan bagaimana mereka ‘hidup’ dengan handset yang mereka genggam.

Kembali ke ruangguru_. Dalam pidatonya, pendiri ruangguru_mengatakan, bahkan saat ini ruangguru sudah bisa mendeteksi karakter user. Begitu mereka menggunakan/berinteraksi di ruangguru, maka dapat diketahui pada materi bagian mana si pengguna itu lemah. Tanpa analisis bertele-tele. Inilah salah satu karakter platform: menggunakan data real time dan menggunakan data superbesar/big data. Dengan dua hal itu, analisis tidak lagi secara manual, apalagi memakai angket lembaran.

***

Setelah menonton (baca: mengamati) pertunjukan tersebut, mulailah timbul pertanyaan. Bisakah institusi birokrasi bertransformasi menjadi platform? Beberapa perusahaan BUMN -yang tentu punya budaya korporasi tertentu- sudah mulai bertransformasi ke platform. Bank-bank plat merah, BUMN transportasi sudah mengarah ke platform. Mungkin mereka diuntungkan dengan atmosfer kompetisi dengan sektor swasta. Lalu bagaimana dengan institusi birokrasi yang budaya kompetisinya rendah?

---

Saya sendiri juga tidak tahu bagaimana memulai mengubah hal itu. Tapi saya berpendapat pikiran radikal yang out of the box dan gaya berpikir generasi milenials sangat perlu didalami secara baik. Platform-platform besar baik diluar negeri dan di dalam negeri hampir semuanya dihasilkan oleh orang muda. Kaum milyarder tua tetap berpikiran investasi itu seputar bursa efek dan semacamnya. Tetapi milyarder muda berpikiran tentang start up. Dalam bukunya Rhenald Kasali (Shifting) dinyatakan sektor pendidikan adalah salah sector yang potensial berbentuk platform; karena pendidikan syarat dengan asupan informasi. Informasi adalah hal terpenting dalam skema platform.

Dan satu hal lagi, semua platform berbasis aplikasi. Karena semua aktivitas manusia nantinya akan dilakukan everytime, everywhere, everyone, everything dll. Kalau belajar masih menggunakan laptop, mungkin suatu saat akan kuno. Kalau diklat harus tatap muka, juga pasti kuno. Trus bagaimana? Inilah, inovasi memang sangat penting.

__

Tapi ngomong-ngomong di Australia saat ini sangat dianjurkan pembelajaran luar ruang dengan bermain-main lumpur dan berjalan menyusuri sungai lho.

Tuesday, July 23, 2019

Prestasi

--Eko Santosa

Beberapa waktu lalu selama dalam masa penerimaan peserta didik baru yang menerapkan sistem zonasi terdapat banyak kasus. Ada yang diterima karena rumahnya dekat “sekolah favorit” meski nilai sangat minim. Ada yang tidak diterima karena selisih umur dalam hitungan hari atau selisih jarak rumah ke sekolah dalam hitungan meter. Ada yang memiliki Surat Keterangan Miskin meskipun kenyataannya tidak bisa disebut miskin. Dari semua itu ada beberapa yang khas dan menyedot perhatian. Salah satunya adalah seorang anak yang membakar ijazah atau sertifikat tanda prestasi yang banyak ia miliki namun hal itu tidak membuatnya diterima di sekolah dimaksud. Banyak orang merasa iba dengan anak tersebut karena capaian prestasinya seolah tidak dihargai.

Dari seluruh faktor pembuat iba, hal yang paling mengibakan justru akibat psikologis dari sertifikat penanda prestasi itu sendiri. Anak tersebut menganggap bahwa dirinya benar-benar berprestasi karena telah memiliki sertifikat tanda prestasi. Sementara sertifikat adalat kertas dan prestasi adalah perbuatan. Kertas itu benda mati dan pasti berhenti, sementara perbuatan itu tidak pernah bisa berhenti sepanjang anak itu hidup. Anak ini telah terjebak dalam penilaian orang dewasa bahwa sertifikat sama dengan perbuatan. Orang dewasa di lingkungan tempat anak itu hidup lah yang telah terlanjur menganggap sertifikat prestasi adalah hal yang sangat penting. Mereka terlanjur mempercayai (untuk tidak menyebut memitoskan) bahwa orang yang mendapat sertifikat terbaik seolah-olah selamanya adalah (akan menjadi) orang terbaik (pula). Jika demikian prinsipnya, maka juara dunia bidang apapun tidak akan pernah bisa berganti. Kenyataannya, dalam bidang apapun, sertifikat juara selalu akan diberikan kepada orang yang tidak tetap.

Kepemilikan sertifikat prestasi bahkan menumbuhkan sifat kompetisi yang seringkali salah tempat dan tak perlu. Memang untuk mendapatkan sertifikat tersebut perlu berkompetisi, namun setelah kompetisi selesai semestinya si penerima setifikat mengalirkan kecakapannya (memberi semangat) yang lain untuk dapat meraih prestasi yang sama. Hal ini lah yang luput ditumbuhkan dari segala ajang perebutan sertifikat prestasi itu. Seolah-olah si penerima sertifikat prestasi tak perlu memlihara moral bekerja sama. Anehnya, hal semacam ini justru terjadi marak di sekolah, tempat di mana pendidikan kemanusiaan itu ditumbuhkan.

Secara lebih mendalam, prestasi itu sebenarnya tidak memaknakan apapun jika tidak mampu memberikan perubahan kualitatif bagi pemiliknya. Artinya, orang yang berprestasi mesti mengalirkan prestasinya ke dalam tindakan nyata sehingga orang-orang merasakan manfaat dari prestasi yang telah ia peroleh. Ia mesti membagikan kebisaannya pada orang lain. Pada taraf inilah prestasi itu bermakna dan penting artinya. Hanya dalam makna kualitatif ini lah orang berprestasi tidak akan pernah menganggap dirinya superior. Dalam konteks pendidikan, siswa peraih ranking 1 namun tidak mau bekerja dan belajar bersama dalam kelompok kalah berprestasi dengan siswa yang tidak menduduki ranking 1 namun selalu mau membagikan kemampuan yang ia miliki kepada siswa lain. Dalam diri siswa kedua inilah makna pendidikan sejati itu tumbuh dan sekolah semestinya menumbuhkan sikap semacam ini. (**)

Eko Santosa, Java Villas, 230719

Monday, July 22, 2019

Eksakta

--Eko Santosa

Mata pelajaran yang tergolong ke dalam ilmu eksakta semacam Matematika atau IPA menjadi primadona di sekolah dasar dan menengah sekaligus dianggap sebagai penanda kecerdasan siswa. Seolah masa depan baik para siswa itu terletak pada capaian nilai pada setiap mata pelajaran eksakta. Keseolahan itu menjadi pasti seperti halnya “eksakta” yang dimaknai sebagai satu hal yang “pasti”. Sementara jauh dalam perjalanan kajian ilmu pengetahuan, apa yang dikatakan “pasti” tidak sepenuhnya pasti. Persis seperti apa yang disampaikan oleh Hawking bahwa, “Lubang hitam tidak sepenuhnya hitam”.

Fisika Atomik dan Biologi Molekuler menghadapi kegalauan luar biasa untuk menduduki singgasana ilmu pasti serupa halnya dengan Fisika Alam Raya yang penuh dengan perkiraan. Adalah Fritjof Capra yang mengungkapkan hal ini, di mana para ilmuwan sedikit bingung menentukan kebenaran universal (satu prasyarat dalam ilmu pasti) dalam 2 cabang ilmu pasti tersebut. Banyak terdapat mikroorganisme yang dapat berkembang biak namun sulit ditentukan apakah itu sejenis binatang atau tumbuhan. Dalam perihal atom, sulit ditemukan kebenaran pasti karena pergerakan ion-ion dalam atom sangat tergantung dari sisi di mana pengamat melakukan pengamatan. Artinya, jelas tidak bisa dipastikan - dalam konteks kebenaran universal - hasil dari pengamatan tersebut.

Di bidang Matematika, Minkosvki menyampaikan bahwa jika bumi itu bulat dan jagad raya melengkung, maka tidak akan pernah ada garis lurus di dunia ini. Pernyataan ini mengandung konsekuensi bahwasanya jarak satu meter bukanlah satu meter karena jarak dengan demikian juga melengkung. Setiap garis yang diukur di muka bumi ini dengan demikian tidak akan pernah menemukan ukuran pasti karena selalu bersifat melengkung.

Dari para ilmuwan itu dapat ditemukan simpulan bahwa pemaknaan dasar “eksakta” sebagai hal yang pasti jika ditelaah mendalam ternyata juga menyimpan “ketidakpastian”. Pemaknaan eksakta sebagai penentu masa depan baik pun dengan demikian juga mengandung ketidakpastian. Artinya, pemilik nilai baik dalam mata pelajaran eksakta belum tentu memiliki masa depan yang lebih baik. Jadi masa depan manusia tidak pernah bisa ditentukan dari hasil nilai baik dalam mata pelajaran eksakta. Yang perlu diingat adalah Fisika sebagai salah satu bidang pengetahuan eksak menyatakan dengan pasti bahwa jagad raya itu melengkung. Faktanya manusia hidup di dalam lengkungan itu. Bukan meniti garis yang lurus. (**)

Eko Santosa, Merapi Online, 200719

Tuesday, July 16, 2019

Liyan


---Eko Santosa

“Liyan” merupakan kata serapan dari Bahasa Jawa untuk mengartikan - secara manasuka- frasa, “The Other”. Sejarah liyan tidak bisa lepas dari peperangan. Jauh sebelum ilmu pengetahuan dan teknologi maju pesat, pertempuran gegera liyan ini sudah sering terjadi dalam skala kecil atau besar baik untuk urusan kekuasaan atau hanya eksistensi semata. Penyebab utamanya cukup sederhana yaitu, perbedaan. Memang, liyan menandakan perbedaan. Dalam banyak cerita sejarah dijumpai peperangan antara suku satu dengan suku lain karena perbedaan tata cara, nilai sosial, simbol yang digunakan, batas wilayah yang tak jelas, dan lain sebagainya. Namun perang juga melahirkan budaya persatuan yang disebut dengan perdamaian (dengan prasyarat tertentu) dan itu juga tercatat dalam sejarah. Artinya, secara umum, liyan mengisyaratkan peperangan sekaligus perdamaian. Isyarat itu ternyatakan sepanjang sejarah manusia.


Pada masa awal kebangkitan teknologi, penjelajahan dunia dilakukan melalui pelayaran. Pengalaman ini membawa para penjelajah bertemu liyan di daerah-daerah baru. Perjumpaan ini pada akhirnya melahirkan sejarah pendudukan, penguasaan, dan penjajahan dengan mempertebal konsep liyan. Artinya, para penjajah menganggap penduduk jajahan sebagai liyan oleh karena itu berbeda dengan mereka dan karena berbeda maka pantas untuk dikuasai. Pada masa ini, konsepsi liyan masih berkutat pada perbedaan yang mesti ditanggapi secara berbeda pula. Liyan dengan demikian memiliki makna negatif.



Makna ini tidak pernah bisa hilang hingga sekarang meskipun konsep-konsep penghargaan atas keberbedaan senantiasa digaungkan. Meskipun konsep tentang multi-kultural atau konsep lain tentang tidak perlunya garis tegas yang membedakan antara manusia satu dengan manusia lain menjadi wacana besar kehidupan, namun seseorang atau segolongan orang tetap saja meliyankan orang atau golongan lain untuk kepentingan tertentu. Lihat saja dalam perkara politik, orang dengan mudah meliyankan orang lain karena perbedaan pilihan dan karena ia liyan maka menjadi wajar untuk dibully, dan lain sebagainya. Dalam perkara kecukupan ekonomi pun tradisi liyan ini ajeg terjaga di mana masih ada garis tegas antara orang yang miskin dan tak miskin tanpa adanya kewajiban sosial yang termaktub dalam hukum penyelenggaraan hidup untuk saling membantu. Bahkan konsep liyan telah lama memagari pendidikan dengan klasifikasi sekolah dan muatan akademik tertentu. Seolah sekolah A lebih baik dari sekolah B meskipun jenjangnya setara, seolah muatan akademik A lebih baik dari muatan akademik B meskipun dalam satu sekolah, dan seterusnya.


Sementara dari sudut pandang lain, konsepsi liyan dalam kehidupan modern menandakan kedewasaan orang tersebut dalam memandang perbedaan. Orang dapat dianalogikan sebagai entitas, ras, bangsa, bahkan negara. Kedewasaan ini bukan kemudian diartikan sebagai sikap yang mesti menerima liyan apa adanya melainkan bagaimana mensikapi liyan dalam ruang, waktu, dan peristiwa tertentu dengan cara tertentu. Pada taraf ini, kelindan makna negatif dan positif liyan diberadakan tanpa mencita-citakan kekusutan.


Eko Santosa, studio teater, 160719

Monday, July 15, 2019

Pelajaran Agama


---Eko Santosa

Beberapa waktu lalu, melalui media, dikabarkan bahwa Perdana Menteri Malaysia bekehendak ingin mengurangi kurikulum agama di sekolah. Langsung saja berita ini mendapatkan tanggapan heboh, terutama di kalangan netizen. Ada yang pro dan ada yang kontra, lumrah. Tak lama berselang seorang tokoh dari Indonesia bahkan memiliki usulan lebih ekstrim yaitu menghapuskan pelajaran agama dari sekolah. Langsung saja usulan ini mendapatkan banyak sekali sanggahan, khas netizen. Namun ada juga yang mencoba memberikan pandangan lain melalui twit tentang pelaksanaan pelajaran agama di Inggris. Netizen tersebut menuturkan bahwa mata pelajaran agama di Inggris diajarkan dari sudut pandang sains sehingga pelajaran Agama Zoroaster misalnya tidak harus diajarkan oleh penganut Zoroaster, melainkan oleh seorang ahli Zoroaster. Demikan pula dengan mata pelajaran agama lainnya.


Tentu saja jika sudut pandangnya adalah sains maka bisa berlaku seperti itu. Yang menjadi masalah adalah, agama selalu dilihat atau dipahami dari sisi keyakinan para pemeluknya. Oleh karena itu di Indonesia agama belum pernah memiliki pengalaman pembelajaran dari sudut pandang sains. Hanya jurusan teologi di perguruan tinggi yang mungkin mempelajarinya. Namun, penempatan kata “pelajaran” sebelum kata “agama” juga memiliki konsekuensi logis bahwa ia (seolah) tidak berbeda secara sudut pandang dengan pelajaran matematika, pelajaran fisika, dan pelajaran lainnya. Sementara itu penyelenggaraan sekolah di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kata pendidikan yang memiliki makna didik, ajar, dan latih (dikjartih). Ajar sebagai kata dasar pelajaran memang dimaksudkan untuk memberikan kemampuan dalam hal pengetahuan (sains). Sementara itu latih (pelatihan) menitikberatkan pada keterampilan psikomotorik, dan didik (pendidikan) mengutamakan sikap. Namun di sekolah tidak pernah ada yang namanya mata pelatihan dan mata pendidikan. Semuanya disebut sebagai “mata pelajaran”. Sebutan ini juga didukung dengan cara menguji capaian dari setiap mata pelajaran yang sampai hari ini adalah tes kognitif. Jadi memang mata pelajaran itu dimaknai sebagai sains, mau tidak mau.


Atas pertimbangan itu maka menjadi mungkin jika mata pelajaran agama diajarkan oleh bukan pemeluknya melainkan orang yang ahli mengenai sains agama tersebut. Lain halnya jika agama adalah mata pendidikan dan bukan mata pelajaran. Konsekuensi pendidikan yang mengutamakan sikap (ditindakkan dalam keseharian) harus dialirkan oleh orang yang bersikap sama (sesama pemeluk), tidak bisa tidak. Karena sikap ini bersifat lakuan (tindakan, penerapan, aplikasi, amalan) maka jelas tidak bisa diujikan secara kogntiif sebab orang yang tahu belum tentu mau melakukan. Jika pemikiran ini diterapkan, maka agama tidak bisa dimasukkan ke dalam mata pelajaran melainkan mata pendidikan. Konsekuensinya, kurikulum mata pelajaran dan mata pendidikan mesti dibedakan sejak dari perencanaan, proses hingga penilaian pembelajaran. Pun demikian dengan bidang-bidang lain yang termasuk keterampilan psikomotorik dimasukkan ke dalam mata pelatihan.


Mungkin hal ini akan disanggah bahwasanya konsep pendidikan di Indonesia adalah memberikan pengetahuan (ajar), keterampilan (latih), dan sikap (didik) sekaligus. Jika memang demikian, mengapa tes akhirnya selalu kognitif? Mengapa tidak pernah ada rumusan nasional tentang uji psikomotor konkret dan sikap? Atau mengapa tidak pernah ada rumusan penilaian yang sekaligus bisa menguji aspek dikjartih tersebut. Jika pun memang ada atau diusahakan untuk ada tentang penilaian-peniliaian tersebut, apakah agama bisa diuji dari sisi keterampilan? Peribadatan selalu dinilai berdasar kesungguhan bukan keterampilan dan orang yang bersungguh-sungguh dalam menjalankan agamanya dalam kehidupan sehari-hari tidak pernah disebut sebagai orang yang terampil.


Hal-hal semacam ini menarik untuk dibicarakan dalam konteks pendidikan di Indonesia. Dikjartih yang dibenamkan sebagai konsep dasar pendidikan hanya muncul sebagai aspek dalam proses pembelajaran dan menguap (karena hanya tersisa kognitif) ketika diujikan. Rumusan penilaian apapun yang dilakukan selama proses pembelajaran tidak berarti ketika standar nilai yang digunakan pada akhir sekolah adalah kognitif saja. Secara mendasar, memang bidang-bidang yang mesti dipelajari di sekolah tidak semuanya bersifat sains. Oleh karena itu perlu dirumuskan bidang apakah yang masuk dalam kategori sains (pelajaran), keterampilan (pelatihan), dan sikap (pendidikan). Jadi di sekolah tidak menutup kemungkinan adanya mata pelajaran (sains), mata pelatihan (keterampilan), dan mata pendidikan (sikap, norma, perilaku). Masing-masing mestinya memiliki kurikulum berupa rencana, proses, dan penilaian yang khas dan tidak bisa dipersamakan. (**)


Seturan, 130719, sambil nunggu cucian istriku kering.

Sunday, March 10, 2019

Sudah Selesai, Belum Selesai, dan Tidak Pernah Selesai


--Rohmat Sulistya

Saya tergelitik dengan istilah sudah selesai, belum selesai, dan tidak akan pernah selesai dalam sebuah komentar yang dituliskan oleh teman saya (baca: Bu Rin) pada sebuah artikel. Saya menjadi tertarik dengan istilah ini karena saya, pada ‘sebuah masa’, pernah menggunakannya. Tapi kali ini bukan de javu. Kala itu saya berbincang dengan seorang teman -entah teman kantor atau teman main- atau malah dengan anak saya, tentang Indonesia. Saya mengatakan bahwa pahlawan-pahlawan kemerdekaan itu ‘sudah selesai’ dengan masalah dirinya. Mereka berjuang demi negara dengan alasan yang mungkin tidak masuk akal -menurut mindset orang sekarang. Tidak ada yang menjanjikan pada mereka bahwa kalau kemerdekakaan sudah diraih, akan didudukkan menjadi staf ahli, menteri, atau kepala sebuah lembaga negara.

Mereka berjuang demi sesuatu yang tidak pasti, entah ada atau tidak; atau yang dalam bahasa awam lebih dikenal sebagai pengorbanan tanpa pamrih. Pamrihnya tidak ada. Harapan untuk dirinya sendiri pun tidak ada. Tetapi mereka melakukan sesuatu dengan niatan memperoleh sesuatu yang lebih besar, yang bisa jadi bukan untuk dirinya saat ini. Mungkin mereka melakukan sesuatu hal tersebut untuk anak cucu atau mungkin melakukan sesuatu untuk kehidupan yang lebih abadi. Yang jelas mereka sangat mungkin untuk tidak mendapatkan apa-apa pada kehidupannya di dunia. Dan mereka meyakini hal itu.

Contoh yang sering diberikan oleh orang tua kita adalah ketika seorang kakek menanam pohon kelapa dari sebuah tunas kelapa kecil. Pada jaman dulu, butuh 
waktu bertahun-tahun  agar pohon kelapa berbuah. Bisa jadi si kakek akan sempat menikmati buah tersebut, tetapi lebih besar kemungkinan si kakek tidak menikmati buah tersebut. Tetapi dia tetap menanamnya dengan harapan anak cucu akan menikmati hasil pekerjaannya. Pamrihnya tidak untuk dirinya tetapi lebih panjang lagi yaitu untuk anak cucu. 

Investasi.

Investasi yang lazim kita kenal berupa deposito, reksadana, emas, dan properti. Itu investasi dunia yang akan kita nikmati dengan waktu tunggu yang tidak lama. Mungkin bulanan atau tahunan. Tetapi ada investasi yang lebih ‘spiritualis’: bekerja tanpa pamrih. Entah dibayar atau tidak, entah dilihat kantor atau gak. Bekerja saja. Do the best. Sebaik-baiknya. Bisa jadi keuntungannya bersifat jangka panjang atau super panjang, tidak sekarang. Dan mungkin tidak berupa uang. Saya mengamati beberapa teman kantor memiliki karakter seperti ini. Dan saya salut untuk hal ini. Mereka berkerja dengan sebaik-baiknya, dan ‘keuntungan’ akan didapatkan tanpa berambisi mengejar. Keuntungan materi atau kesempatan belajar. 

Ada lagi investasi jangka super panjang --yang saya yakini-- yaitu investasi akherat. Balasan atas pekerjaan/amalan baik kita tidak didunia tidak diterimakan ketika didunia, diberikan pada kehidupan setelah mati. Dan ini adalah bentuk dari keadilan hakiki.

Belum selesai dan tidak pernah selesai.

Saya meyakini tata kelola yang buruk pada Lembaga atau negara sekalipun -terutama karena korupsi- terjadi karena kita atau pejabat memiliki karakter ‘belum selesai’ atau parahnya lagi ‘tidak pernah selesai’. Bagaimana dia bisa memikirkan orang lain, sementara untuk memikirkan dirinya saja dia ‘belum selesai’. Alhasil sejatinya dia bekerja untuk menyelesaikan dirinya yang mungkin tidak pernah selesai dan lalai memikirkan orang lain atau rakyatnya. Sehingga penting sekali kita memiliki sifat ‘sudah selesai’; dan terutama sekali bagi para pengelola organisasi. Apabila kita atau mereka memiliki sifat seperti ini, maka yang dipikirkan hanya kesejahteraan orang-orang yang dikelolanya. Sedangkan untuk dirinya dipikirkan belakangan atau mungkin tidak sempat memikirkannya.

Banyak sekali kisah-kisah ‘tidak masuk akal’ tentang hal ini; dimana pemimpin sampai tidak punya rumah, tidur beralaskan tikar lusuh, memiliki baju beberpa potong saja. Mungkin kita tidak perlu seekstrim ini, hanya mulai mengurangi ambisi dunia berupa materi. Tidak usah terlalu mengejar, khan rejeki sudah Tuhan atur semua. Dan rejeki tidak akan tertukar.

Dan asal tahu saja, tulisan ini sebenarnya untuk diri saya sendiri.


Edited.

Thursday, February 21, 2019

SAMPAH

---Fajar Prasudi

Ketika saya dan mas Rohmat mau ke Studio musik untuk datang di workshop penulisan Vidyasana, mobil mas Rohmat yang mau digunakan tertutup truk sampah yang sedang menaikkan sampah, sehingga tidak bisa keluar. Sambil menunggu truk sampah menaikkan sampah ke dalam bak truk iseng-iseng saya menanyakan ke sopirnya:
“Sampahnya mau dibuang ke TPA mana pak?”.

“Di Piyungan mas, tapi sekarang sudah mulai penuh” jawab sopir truk itu,
“Katanya di Piyungan sudah penuh pak, “ lanjutku.

“Dipaksakan dibuang di sana mas, habis gimana lagi, belum ada tempat baru yang deal” jawab sopir truk sampah itu.

Sambil ngeloyor menjauh karena sampah yang dinaikkan ke truk menebarkan debu yang mengganggu pernafasan dan mengotori badan aku berfikir, kalau saja sampah-sampah organik itu bisa diolah sendiri menjadi pupuk tentu persoalan sampah akan sedikit teratasi untuk jadi solusi dalam bertanam di sekitar kita...

Setelah truk pergi barulah kami berangkat ke studio musik. Lagi-lagi ketika parkir kami menemukan bah sampah, tapi isi sampah organik lagi. Aku bergumam, seandainya sampah ini mampu diolah oleh pekerja landscaping, tentu lahan kita akan makin subur dan hijau dengan pupuk organik atau kompos yang bisa dibuat sendiri, toh kita punya fasilitas pengolah sampah yang sekarang digunakan tidak jelas peruntukannya...

Dari sepotong pengalaman melihat sampah ini terbersit ingatan dalam benakku tentang  sampah jalanan, sebuah vespa yang ditutup aneka sampah hingga bentuknya mengundang tanya... mengapa manusia suka menyampah? Bukankah manusia sudah menjadi produsen sampah paling agresif? Di mana-mana sampah diciptakan. Ada sampah visual yang memenuhi tiap sudut kota, ada sampah beracun yang dibuang di sungai, di laut, di daratan. Ada sampah plastik yang kini menjadi problem internasional, dan yang mengerikan mungkin makin mengunungnya sampah masyarakat. Betapa manusia menjadi tidak berarti ketika mendapatkan julukan dan perlakuan sebagai sampah... Menebar sampah sama halnya dengan menebar teror. Mari kurangi produksi sampah, dan terapkan prinsip Reduce, Reuse, Recycle...

Thursday, February 14, 2019

MENEMBUS BATAS


---Fajar Prasudi

Penawaran workshop menulis di Blok vidyasana bagi Widyaiswara Seni Budaya dapat mengundang berbagai respon yang baik. Informasi yang disampaikan mbak Rin dapat menuai beberapa respon positif bagi yang membacanya. Ada yang mengucapkan terima kasih untuk infonya, ada yang menyatakan kesiapannya, ada yang berharap bisa hadir, ada yang cukup membacanya saja. Mungkin ada yang mempunyai keinginan, tapi tidak merasa berdaya, mungkin ada yang berminat tapi terbentur aktivitas/kepentingan lain, mungkin ada yang tidak berminat, dan banyak kemungkinan-kemungkinan lain yang tidak mampu kita baca karena keterbatasan kita...

Kemungkinan-kemungkinan yang ada dapat saja dikatakan mempunyai keterbatasan, tetapi dapat juga dikatakan tidak terbatas, artinya keterbatasan itu sejalan dengan keterbatasan pemikiran. Bisa saja pemikiran itu berkembang entah sampai ke mana, dan bahkan dapat menjadi liar... kemungkinan-kemungkinan adalah pemikiran-pemikiran kita, artinya semua yang ada sebagai gejala yang kita tangkap, adalah pemikiran kita. “Semua berawal dari pikiran”, begitulah kira-kira rumusan singkat yang mendasar.

Jagat raya ini sangatlah luas, tidak terbatas, asumsi saya seluas itu jugalah pemikiran kita... ada istilah "Beyond the limit", "Break the limit", yang intinya mengajak kita untuk berpikir melampaui batas. Dalam konteks ini batas yang ada adalah batas khusus dalam diri kita. Bukan batas umum yang dimiliki semua manusia. ada orang difabel memiliki keterbatasan fisik, tapi mereka mampu memecahkan batas tersebut untuk bisa berlari, berenang, berkarya sebagaimana orang normal dan bahkan mungkin bisa mengalahkan orang normal. Maka secara khusus penyandang difabel tersebut sudah mampu memecahkan, mengatasi batas khusus yang mereka miliki. Para penemu juga menerapkan prinsip "break the limit" ketika menciptakan temuannya. Edison telah berpikir untuk menggantikan penerangan lilin dengan lampu listrik, Wright bersaudara membuka batas pemikirian manusia untuk bisa terbang.

Dari berbagai kemungkinan itu dapat kita tarik simpulan, bahwa batas kita sebagai manusia dan letak batas jagat raya ini hampir sama, yaitu di pikiran kita. Manusia hanya akan bertahan sebagai peradaban kompleks selama masih berpikir, dan pikiran itu juga menjadi batas kita untuk memikirkan sesuatu yang tak terbatas. Tuhan memberikan kepada kita anugerah gratis dan terbesar bagi manusia yaitu kemampuan berpikir untuk kebaikan, sebagaimana kebaikan Tuhan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia tanpa mengusik dan menganggu makhluk hidup lainnya.

Thursday, February 7, 2019

Bagaimana Menjadi Peserta Diskusi Yang Baik

---Cahya Yuana

Salah satu tolok ukur keberhasilan sebuah diskusi adalah besarnya antusias peserta. Antusias peserta ini bisa dilihat dari banyaknya peserta yang mengajukan pertanyaan. Tapi tidak jarang saat tiba sesi tanya jawab justru tidak banyak peserta yang mengajukan pertanyaan. Pada situasi seperti ini biasanya yang menjadi tertuduh adalah pemateri. Narasumber tidak menguasai materi atau cara penyampaian yang tidak menarik hal biasa yang kita dengar. Tentu tidak salah pendapat ini karena kompetensi narasumber memang mempunyai peran yang besar untuk menghidupkan sebuah diskusi. Akan tetapi tidak jarang sebuah diskusi yang menghadirkan narasumber yang kompeten, sunyi hening tetap mewarnai sesi tanya jawab. Terus dimana permasalahnnya kalau seperti ini terjadi.

Keberhasilan sebuah diskusi sebetulnya tidak hanya tergantung kepada narasumber. Peserta juga mempunyai andil menentukan apakah diskusi itu berhasil atau tidak. Ada banyak faktor yang menyebabkan peserta tidak bisa menghidupkan sebuah acara diskusi. Salah satunya karena peserta kurang mempunyai bekal yang baik terhadap materi yang menjadi topik diskusi. Bisa jadi topik diskusi tidak sesuai dengan latar belakang peserta atau topik pengetahuan terkait pengetahuan baru. Minimnya pengetahuan awal peserta terhadap topik menyebabkan peserta tidak bisa merumuskan apa yang harus ditanyakan. Karena kesiapan peserta yang kurang, kalaupun ada yang bertanya kadang pertanyaan yang disampaikan kurang berbobot atau jauh dari topik diskusi.

PERSIAPAN MENJADI PESERTA DISKUSI
Saat pertama kali terlibat dalam suatu organisasi rasa rendah diri sering menerpa diri saya. Saya merasa takjub saat melihat teman mampu berkontribusi dalam sebuah diskusi. Bertanya, membuat usulan, mendebat usulan peserta lain menjadi hal yang terasa mahal bagi saya saat itu. Perasaan itu saya curahkan kepada ibu saya. Ibu saya adalah seorang kepala sekolah yang kebetulan juga aktif dalam berbagai organisasi. Nasihat yang saya dapatkan dari ibu saya saat itu adalah saat akan mengikuti diskusi atau rapat persiapkan diri dengan baik. Ibu saya menyarankan agar sebelum mengikuti diskusi mengetahui dulu topik apa yang akan dibahas. Setelah mengetahui topik yang dibahas membaca atau bertanya perlu dilakukan untuk memahami topik diskusi.

Nasihat itu saya pikir masih relevan. Saat akan mengikuti diskusi kita perlu menyiapkan diri menjadi peserta diskusi yang baik. Seseorang yang akan mengikuti suatu diskusi saya pikir juga perlu menyiapkan diri. Jadi bukan hanya saat kita akan menjadi narasumber tapi saat kita menjadi peserta diskusi perlu memahami apa topik yang akan didiskusikan. Pada hari ini bukan hal yang sulit untuk mencari informasi dari sebuah pengetahuan. Internet telah menyediakan ragam jenis bacaan. Berita, artikel, bahkan jurnal ilmiah dengan mudah kita dapatkan melalui intenet. Buku teks yang harganya mahal pun kadang kita dapatkan secara gratis melalui internet.

Pengetahuan awal terhadap topik diskusi akan membantu peserta saat dalam sesi tanya jawab. Acara tanya jawab dapat dipakai ajang konfirmasi dari apa yang kita ketahui. Pengetahuan awal yang kita dapatkan dan paparan dari narasumber dapat kita rekonstruksi menjadi pengetahuan baru. Pengetahuan terkait topik diskusi untuk melengkapi atau mengkritisi apa paparan dari narasumber.

JADILAH PENDENGAR YAN BAIK

Budayawan Sujiwo Tejo dalam sebuah diskusi di satu stasiun televisi pernah mengatakan banyak orang Indonesia saat berdikusi lebih banyak bicara daripada mendengar. Hal ini terlihat saat paparan banyak peserta yang asyik dengan laptop atau handphone masing-masing. Senyum tipis kadang kelihatan tersembul saat mereka membaca baru saja melihat handphone mereka. Padahal mendengar menjadi penting dalam sebuah acara diskusi.

Leslie H. Faber, psikolog dari AS mempunyai pandangan menarik terkait aktivitas mendengar saat berdiskusi. Mendengar bagi Faber bukan hanya aktivitas mengunci mulut, mendengar menuntut sesuatu yang lebih. Mendengar menuntut kita untuk melakukan imajinatif terkait bahasa yang disampaikan oleh seseorang. Kemampuan imajinatif nanti akan membantu kita memahami makna dari satu kata atau kalimat. Karena kata dan kalimat yang sama bisa jadi mempunyai makna yang berbeda ketika diucapkan dengan intonasi dan gerak yang berbeda.

Berdasar pendapat dari Faber maka mendengar adalah sesatu yang urgen dalam sebuah aktivitas diskusi. Bisa dibayangkan kalau saat dalam acara berdikusi aktivitas mendengar kita selingi dengan aktivitas lain. Aktivitas mendengar harus betul-betul kita lakukan dengan sungguh-sungguh. Aktivitas mendengar yang baik ini juga dicontohkan oleh Sujiwo Tejo. Pandangan dan raut muka Sujiwo Tejo terlihat betul-betul menyimak setiap kata yang terucap dari Narasumber. Tidak salahnya pula dalam aktivitas mendengar ini kita catat beberapa hal yang penting. Catatan kecil ini akan sangat membantu kita dalam merekontroksi sebuah pengetahuan yang kita dapatkan dari sebuah aktivitas diskusi.

KAPAN HARUS BERTANYA

Pada tahun 2000 saya mengikuti pelatihan manajemen organisasi. Ada beberapa materi disampaikan dalam pelatihan tersebut. Satu materi yang disampaikan adalah menyiapkan diri menjadi peserta rapat. Satu hal yang tidak adalah perkataan yang dari narasumber bertanya itu penting bagi seorang peserta diskusi. Bahkan pertanyaan dari peserta juga sangat penting bagi seorang narasumber. Narasumber dalam pelatihan itu mengatakan ada tiga alasan kapan sebaiknya kita bertanya saat mengikuti acara diskusi.

1. Bertanyalah Saat Kita Tidak Tahu

Bertanya untuk hal yang tidak kita tahu itu penting. Apalagi kalau itu terkait dengan apa yang nanti akan kita kerjakan. Bekerja itu memerlukan pengetahuan. Pekerjaan yang dikerjakan tidak dengan pengetahuan yang benar bisa jadi justru akan membawa kepada kerusakan. Peribahasa The Right Man on The Right Place tidak hanya saya saat menempatkan orang harus sesuai dengan kompetensi orang tersebut. Peribahasa coba saya perluas maknanya yaitu saat kita berada pada satu posisi tertentu maka kita harus mempunyai pengetahuan kompetensi yang cukup untuk posisi kita. Bertanya adalah cara kita menambah pengetahuan. Masalahnya tidak semua orang mempunyai mental untuk bertanya. Mental tidak hanya sekedar malu menyampaikan pertanyaan, tapi persoalan mental yang tidak baik adalah malu kalau ketahuan tidak tahu terkait satu pengetahuan. Dalam sebuah diskusi penting bagi kita mempunyai mental bertanya, dalam artian tidak malu untuk bertanya terhadap sesuatu yang memang tidak kita ketahui.

2. Bertanya Saat Narasumber Lupa Menyampaikan Sesuatu yang Penting

Ada kalanya seorang narasumber lupa menyampaikan sesuatu yang penting dari suatu topik diskusi. Luas dan kompleksnya suatu masalah kadang membuat narasumber lupa untuk menyampaikan sesuatu yang seharusnya disampaikan. Keterbatasan waktu juga menyebabkan seorang narasumber tidak sempat menyampaikan semua hal. Padahal ada hal yang sangat urgen yang menurut kita seharusnya disampaikan. Aktivitas bertanya bisa kita sampaikan saat kita menemuai kejadian seperti ini. Pertanyaan yang kita ajukan bukan karena kita tidak tahu, tapi itu untuk memancing narasumber ingat terkait apa yang seharusnya disampaikan. Kalimat tanya kita pilih tentu sebagai bagian dari etika saat kita berdiskusi, sehingga tidak terkesan kita menggurui seorang narasumber.

3. Bertanya Saat Narasumber Menyampaikan Materi Yang Salah

Narasumber adalah manusia biasa. Salah bisa jadi akan terjadi saat menyampaikan suatu materi. Saat kita mendengar seorang narasumber salah dalam menyampaikan materi, wajib bagi kita untuk meluruskan kesalahan tersebut. Karena kalau tidak, kesalahan itu akan menyebar kemana-mana. Tentunya untuk meluruskan berlaku syarat tetap menjaga kemuliaan narasumber. Penyampaian yang dikemas dalam bentuk kalimat tanya akan bisa menjaga perasaan dari narasumber. Memang tidak mudah mengemas sebuah kalimat tanya dalam rangka untuk meluruskan sebuah kesalahaan. Bisa jadi kalau tidak cermat dalam menyusun kalimat tanya, kesannya justru memperkuat pendapat dari narasumber tersebut.

Bagaimana dengan kita. Sebagai insan akademik sangat patut bagi kita menyiapkan diri setiap kita akan menjadi peserta juga penting menyipakan diri. Yang tidak kalah pentingnya juga kegiatan setelah diskusi. Materi yang kita dapatkan perlu kita endapkan. Proses pengendapakan ini akan lebih apa-apa yang kita sudah kita baca dan kita dengar. Siklus membaca, mendengarkan, mendiskusikan, dan membaca kembali perlu terus kita lakukan saat kita mengikuti sebuah acara diskusi.

Wednesday, February 6, 2019

Berpindah Kuadran dari User Menjadi Sumber

---Rohmat Sulistya

Ketika saya mencari artikel-artikel pendidikan untuk melengkapai bahan-bahan mengajar; saya sering googling. Dari googling tersebut, mensin pencari Google mengarahkan pada beberapa website yang cukup bagus dan up to date. Dan ketika saya telusur lebih jauh siapa pemilik website/weblog tersebut, ternyata banyak weblog tersebut yang dimiliki oleh guru. Sebut saja misal SejutaGuru, AinaMulyana, GuruKreatif dan lain-lain adalah segelintir contoh blog bagus yang dikelola secara mandiri oleh seorang guru. Sejujurnya saya agak ngiri dengan hal ini. Ngiri terhadap kemampuan seseorang, untuk dapat meningkatkan kemampuan diri.

Saya benar-benar membayangkan bagaimana seandainya suatu saat saya mengajar pelatihan guru, dan ketika saya menyampaikan materi literasi, ternyata mereka -sebagian besar- sudah punya blog, dengan konten yang relevan dengan dunia pendidikan. Pasti ngeri-ngeri sedap. Perasaan antara malu dan tertantang untuk maju.

Tapi kabar baiknya ---sebenarnya kabar buruk ---, dari 40 orang yang selama ini saya fasilitasi dalam pelatihan, tidak lebih dari 5 orang yang aktif menulis dalam blog pribadi mereka. Ya, kalau dipersentase saat ini memang tidak lebih dari 10%. Angka ini mungkin bisa dijadikan ilustrasi kasar tingkat literasi siswa, guru, dosen, wi, dan penduduk Indonesia. Dari 1000 penduduk, hanya 1 orang yang rutin membaca buku (republika.co.id). Data itu baru menunjukkan data pembaca, bukan penulis. Dalam ranah kepenulisan, Indonesia menerbitkan sekira 30 ribu judul buku pertahun, sedangkan China 140 ribu judul (edukasi.kompas.com).

Karena jumlah peserta yang rutin menulis masih sedikit, maka -dapat dibayangkan- saya berceramah tentang blogger, wordpress, dan kompasiana. Padahal sebenarnya itu cerita menarik lima tahun yang lalu. Tapi tidak masalah, karena memulai belajar tidak pernah ada kata terlambat. Saya sebenarnya sangat berharap bahwa cerita itu menginspirasi untuk ditiru, karena menulis itu sangat asyik. Bahkan kita diajari menulis sejak TK/SD: mengarang pada pelajaran Bahasa Indonesia. Tetapi potensi itu tidak ditumbuhkan dengan baik dan sinambung seiring dengan umur kita. Dan itu juga terjadi pada saya sendiri.

Menjadi sumber.

Saya yakin inilah saatnya kita berpindah kuadran -- sebuah istilah yang popular setelah Robert Kiyokasi menulis Rich Dad Poor Dad, padahal kuadran adalah istilah ketika kita belajar trigonometri --, dari kuadran penikmat bacaan orang lain (user) menjadi penulis bacaan yang dibaca dibaca orang lain (sumber). Tetapi kuadran dalam tulis menulis ini menarik. Karena dengan berpindah kuadran menjadi sumber, kita tidak akan pernah meninggalkan kuadran kita sebagai user. Untuk menjadi penulis yang hebat dan produktif, syarat utamanya adalah kita tetap harus menjadi penikmat tulisan orang lain. Dengan banyak menikmati tulisan orang, maka kita dapat belajar style mereka menulis. Dan itulah salah satu yang menjadikan tenaga penggerak (driving force) untuk kita tergerak untuk menulis. Air mengalir karena ada perbedaan elevasi (ketinggian), udara bergerak karena ada perbedaan tekanan, panas mengalir karena ada perbedaan suhu, maka kita tergerak menulis karena apa? Banyak jawabannya, dan semua jawaban memiliki argumentasi sendiri-sendiri. Kalau menurut saya pribadi, karena keinginan menjadi sumber (informasi, ilmu); walaupun tanpa kita sadari. Hal ini juga dapat dibaca sebagai aktualisasi diri; dari membaca menjadi dibaca.

Saya memiliki beberapa blog untuk aktulasasi rasa ingin menulis. Dan ini saya mulai sejak blogspot cukup popular. Mungkin sekira tahun 2006-2007. Sebelumnya juga pernah mencoba-coba menulis di Geocities, sebuah platform weblog milik Yahoo yang sekarang sudah bubar. Saya juga memiliki blog di Wordpress. Beberapa minggu ini beberapa informasi di blog saya dikutip oleh website lain untuk konten weblog mereka. Dan inilah yang menjadikan rasa bahagia itu muncul: yang pertama tulisan kita dibaca orang, dan yang kedua tulisan kita dikutip/disitasi orang. Ketika banyak orang membaca tulisan kita, maka banyak orang peduli dan merespon tulisan/pikiran kita. Apalagi kalau kita menulis di platform menulis publik seperti kompasiana atau kaskus, jumlah pembaca menjadi indikator kualitas atau keterkinian isu yang kita tulis.

Jadi mari kita berpindah kuadran jadi penulis, dan saya kira Vidyasana cocok untuk kita semua belajar berpindah kuadran dari ‘user’ menjadi ‘sumber’.

Tuesday, January 29, 2019

Publikasi ilmiah milik publik?

---Rohmat Sulistya

Ketika saya kuliah S1 dan berkewajiban menghasilkan karya tulis berupa skripsi, pihak jurusan mewajibkan data awal yang akan dijadikan bahan tulisan harus berasal dari jurnal ilmiah, bukan dari buku. Dan saya baru mengerti bahwa jurnal ilmiah sebenarnya adalah hasil pelaporan riset yang merupakan pengembangan atau penerapan sebuah ilmu/teori dari buku. Jurnal ilmiah adalah rangkaian panjang dari laporan-laporan penelitian tentang sesuatu obyek yang diteliti. Sehingga semestinya, jurnal ilmiah pada tahun yang baru akan melaporkan temuan terbaru dari sebuah masalah atau obyek yang diteliti. Dan hal-hal yang dilaporkan ini tentunya tidak berulang-ulang, tetapi menampilkan sebuah progres penelitian dari banyak peneliti terhadap sebuah obyek penelitian.

Pada saat itu, akses jurnal ilmiah masih mahal dan terasa prestise. Sehingga dengan bersusah payah berburu jurnal cetak di perpustakaan, saya mendapatkan data sesuai karya tulis yang akan saya buat. Dan saya mendapatkan data dari jurnal tahun 1940-an. Apakah ini data ini up to date untuk skripsi saya? Saya kurang paham. Tapi memang untuk disiplin ilmu saya, jurnal-jurnal lama malah sering dijadikan referensi data. Karena di tahun-tahun tersebut kemungkinan fundamen ilmu untuk bidang tersebut sedang dibangun.

Delapan tahun kemudian, ketika saya kuliah S2; kewajiban untuk merujuk tulisan/tesis ke jurnal-jurnal ilmiah semakin ketat. Bahkan beberapa perguruan tinggi, mewajibkan jumlah jurnal minimal yang harus dirujuk. Pada tahun itu -sekira 2004/2005- akses jurnal terasa lebih mudah, bundle-bundle jurnal tersedia cukup banyak di perpustakaan. Sebagai seorang mahasiswa yang butuh referensi jurnal, maka kondisi ini sangat-sangat membahagiakan.

Tetapi untuk mengakses jurnal online, masih menjadi sesuatu yang istimewa dan mahal. Untuk mendapatkan full text sebuah jurnal kita harus membayar sekitar 300 ribu. Cara membayarnya pun saya tidak paham, karena menggunakan kartu kredit atau paypal. Untungnya ada dosen yang punya hak akses terhadap sebuah website, sehingga mahasiswa dapat memanfaatkan kemudahan ini. Dan katanya beberapa universitas melanggan secara legal jurnal-jurnal berbayar ini.

Ada dua website cukup prestisius sebagai penyedia jurnal yang saya butuhkan yaitu: Elsevier dan Sciencedirect. Oleh karena saya merasa untuk mengakses jurnal dari pihak lain tidak praktis, maka saya memilih berburu jurnal gratisan yang biasanya memublikasikan penelitian dari negara-negara seperti Brazil, India, dan pecahan Uni Soviet. Bagi saya hal ini cukup memuaskan, karena mereka sering memublikasikan penelitian tentang ilmu keramik berbasis silikat, obyek penelitian saya kala itu.

***

Jaman telah berubah. Yang dulu sangat sulit, sekarang untuk mengakses jurnal bermutu sangat mudah bahkan gratis, meskipun secara resmi jurnal-jurnal bermutu tersebut sebenarnya berbayar. Mengapa bisa demikian?. Hal ini tak lepas dari paradigma berbagi/sharing yang berkembang di dunia digital pada saat ini.

Software komputer, game, aplikasi gadget, email, cloud storage/tempat penyimpanan awan sebagian besar menyediakan skema gratis/free. Saya tidak sedang membahas skema ini, karena saya kurang paham bagaimana provider menyediakan skema gratis sebagai strategi bisnis. Tetapi paradigma berbagi ini terkadang tidak hanya muncul sebagai sebuah strategi bisnis. Ada muatan politis didalamnya.

Adalah Sci-hub sebuah website yang dibangun untuk meruntuhkan dinding berbayar (paywall) sebuah jurnal ilmiah. Dengan memasukkan DOI (Digital Object Identifier) sebuah artikel ke laman Sci-hub, kita dapat salinan full text sebuah artikel jurnal. Kehadiran Sci-hub tentu sangat membahagiakan pegiat penelitian yang menginginkan rujukan dari jurnal bereputasi. Tapi disaat yang sama, ini menjadi mimpi buruk bagi perusahaan penyedia jurnal dan pegiat perlindungan terhadap hak cipta. Hal ini memang sebuah fakta yang dilematis mengingat ada dua isu yang melekat dalam kasus ini: hak asasi dan hak cipta.

Alexandra Elbaykan sebagai pendiri Sci-hub, dengan semangat kebebasan dan jiwa mudanya memprotes betapa mahalnya harga yang harus dibayar untuk sebuah artike jurnal bereputasi terbitan Elsivier yang berkisar 30-40 US$. Sebuah harga yang tidak masuk akal. Padahal dia berpendapat deklarasi PBB tentang hak asasi manusia tahun 1948 jelas menyatakan setiap orang berhak untuk turut serta dalam kehidupan kebudayaan masyarakat dengan bebas, untuk menikmati kesenian, dan untuk turut mengecap kemajuan dan manfaat ilmu pengetahuan (geotimes.co.id). Dan capaian-capaian ilmu pengetahuan yang diwartakan dalam jurnal adalah bagian dari kemajuan ilmu pengetahuan yang berhak diketahuan setiap orang.

Kehadiran Sci-hub sebagai ‘dewa penolong’ mendapat respon yang luar biasa dari masyarakat akademik dunia. Tidak hanya peneliti dan mahasiswa dari negara-negara berkembang -negara yang tak mampu membayar sebuah jurnal- tetapi ternyata juga disambut dengan baik oleh pengakses dari negara-negara maju seperti Amerika dan China. Yang lebih mengherankan lagi kota pengakses Sci-hub ternyata dari Silicon Valey, sebuah kawasan/kota dimana perusahaan-perusahan IT ternama berada.

Fakta ini membuktikan bahwa sebenarnya masyarakat akademik secara diam-diam atau terbuka menyetujui tentang hak akses yang luas akan jurnal-jurnal bereputasi ini. Walaupun fakta ini juga belum dapat dijadikan klaim bahwa jurnal seharusnya murah atau gratis.

Berdasarkan peringkat negara-negara pengkases Sci-hub, Indonesia masuk dalam 10 besar (geotimes.co.id). Jika kualitas kesadaran akses kemajuan IPTEK diukur dari kuantitas pengakses Sci-hub ini, maka posisi Indonesia cukup menggembirakan sebagai negara pengakses peringkat 9. Tetapi jika dihubungkan dengan masyarakat Indonesia -yang katanya- suka sesuatu yang gratis, maka itu masalah yang lain. Tetapi, fakta ini cukup menunjukkan bahwa sebenarnya peneliti dan mahasiswa di Indonesia membutuhkan akses terhadap jurnal-jurnal bereputasi. Semakin banyak publikasi ditulis, semakin banyak pula rujukan dibutuhkan untuk menguatkan tulisan ilmiah tersebut. Tapi memang harus diverifikasi lagi, bagaimana jurnal-jurnal itu disitasi/dikutip. Apakah dikutip dengan relevansi yang tinggi atau dikutip sekedarnya untuk mengayakan daftar pustaka.

Kembali ke pertanyaan, apakah publikasi ilmiah milik publik? Ya mungkin…