Showing posts with label Resensi. Show all posts
Showing posts with label Resensi. Show all posts

Tuesday, July 21, 2020

WfH Series - Tentang Menulis: Merawat Ingatan



--Rin Surtantini



Sebuah notifikasi yang muncul di akun saya di kompas.id dan adanya pengumuman di harian Kompas cetak cukup menarik: Kompas Institute pada hari Sabtu, 11 Juli 2020, pukul 10 pagi sampai dengan 13 siang akan menyelenggarakan webinar berbayar melalui aplikasi Zoom dengan tema “Merawat Ingatan lewat Cerita”. Judul webinar ini menggerakkan hati saya untuk mendaftar menjadi pesertanya. Bukan karena saya ingin menjadi penulis cerita, tapi ada beberapa alasan mengapa saya tertarik untuk ikut…..

Pertama, karena penyajinya adalah Putu Fajar Arcana, yang tak asing lagi sebagai seorang penyair, penulis cerpen dan novel, wartawan Kompas senior, dan kurator cerpen Kompas. Bli Can, demikian panggilan akrabnya, akan menyajikan materi webinar ini bersama dengan Mohammad Hilmi Faiq, yang juga wartawan Kompas dan kurator cerpen Kompas. Alasan kedua, tema ini merupakan salah satu tema yang dekat dengan salah satu bidang ketertarikan saya, yaitu menulis, bidang sastra, bidang bahasa, dan dengan studi-studi saya selama ini. Ketiga, saya ingin mendapatkan sesuatu dan lain hal dari webinar ini bagi diri saya sendiri, dan yang juga nantinya suatu saat mungkin akan dapat saya manfaatkan atau bagikan kepada orang-orang lain, jika tiba saatnya dan jika diperlukan. Keempat, saya ingin menyaksikan webinar yang memberikan pembelajaran berupa sesuatu yang spesifik yang memang saya perlukan, jadi yang kontennya bukanlah sebagai forum pemberian informasi semacam kebijakan, peraturan-peraturan normatif, atau informasi tentang hal-hal yang sudah umum diketahui saat ini. Lalu, bagaimana dengan alasan berikutnya, alasan kelima, yaitu sertifikat? Itu konsekuensi logis dari mengikuti sebuah seminar. Begitu saja.

Maka, saya pun segera mendaftar. Setelah melakukan transfer investasi, saya segera menerima email yang memberitahukan link Zoom untuk bisa masuk ke acara tersebut pada tanggal mainnya. Melalui tulisan ini, saya titipkan beberapa  catatan yang saya dapatkan dari webinar tersebut tentang kegiatan menulis. Tentu saja menurut pemahaman saya yang sudah saya kembangkan sendiri lagi. Tulisan ini pun saya buat dengan maksud agar ingatan saya tidak tercecer.
***


Merawat ingatan lewat tulisan
Frasa ini menjadi judul dari webinar, yang seperti menitipkan pesan, bahwa tulisan dapat menjadi sarana untuk menyimpan peristiwa, yang dengan demikian membantu memelihara ingatan manusia yang terbatas. Maka dikatakan, rajin-rajinlah “menabung peristiwa” atau melakukan kurasi terhadap peristiwa, sehingga peristiwa-peristiwa itu akan menjadi “tabungan” yang dapat kita buka sewaktu-waktu kita memerlukannya. Ibarat pada masa pandemi ini, banyak dari kita secara finansial terpaksa tidak mendapatkan pemasukan atau tambahan, maka tabungan yang dimiliki, berapapun itu, meski dengan terpaksa, akan menjadi sangat bermanfaat dan bernilai untuk digunakan. Demikian juga dengan “tabungan peristiwa”, yang wujudnya mungkin berupa coretan-coretan, kerangka, mindmap, draft, sketsa, poin-poin, atau hanya sebuah kalimat sebagai judul, semuanya itu adalah tabungan peristiwa, yang dapat dimanfaatkan sewaktu-waktu diperlukan dalam bentuk tulisan utuh.
Tulisan, dengan begitu, akan menjadi dokumentasi dari berbagai peristiwa, dan ia akan menjadikan ingatan kita terawat. Artinya, ketika tulisan itu dibaca pada suatu masa di depan, ia akan menghidupkan ingatan manusia, bahkan bisa jadi ia akan merawat harapan-harapan manusia dalam kehidupannya ke depan, dalam pengambilan keputusan ke depan yang lebih bijak, dalam belajar dan berkaca dari yang pernah dilakukan atau dialami, dalam bertindak, dan sebagainya.


Menabung peristiwa
Meskipun webinar ini sesungguhnya berfokus pada menulis “cerita”, khususnya “cerita pendek” sebagai bentuk tulisan, bagi saya beberapa prinsip atau nilai-nilai yang dikemukakan di dalamnya dapat dicatat atau diambil sebagai pelajaran atau pengetahuan. Tabungan peristiwa akan berfungsi sebagai sumber ide bagi sebuah tulisan. Peristiwa selalu terjadi setiap saat, berseliweran dalam tangkapan pancaindera manusia, dalam hati atau perasaan manusia. Peristiwa-peristiwa itu menyediakan sumber ide tulisan yang luar biasa jika dipelihara.
Nalar, sensitivitas, naluri, nurani, bekerja bersama-sama dalam diri manusia untuk menangkap banyak peristiwa. Akan tetapi, tabungan peristiwa setiap manusia berbeda-beda. Peristiwa streaming pembukaan sebuah diklat online misalnya, akan dicerna secara berbeda-beda antara satu penonton dengan penonton lainnya meski peristiwa itu dialami secara bersama-sama oleh mereka pada waktu yang sama pula. Kegiatan diklat online yang diikuti oleh sekian puluh peserta secara bersama-sama, juga akan dimaknai secara bervariasi antara peserta satu dengan peserta lainnya.
Bagaimanakah sebuah peristiwa itu potensial menjadi ide tulisan, atau dapat dijadikan tabungan ide? Bagaimanakah cara mendapatkan ide tulisan itu?

  1. Memiliki kedekatan dengan kita, artinya kita sendiri mungkin pernah mengalami persitiwa itu, kita tahu persis kejadiannya, kita nyata menghadapinya.
  2. Mengandung daya tarik yang kuat, artinya jika ide atau peristiwa itu dituliskan, akan mengundang rasa tertarik bagi orang lain karena hal-hal menarik diungkap di dalamnya.
  3.  Memiliki sisi-sisi yang unik, artinya ide atau peristiwa tersebut menjadi khas dan spesifik untuk diketahui banyak orang, belum ada atau tidak pernah ada sebelumnya.
  4. Mengandung perhatian, artinya ide atau peristiwa itu menonjol di antara ide-ide atau peristiwa-peristiwa lainnya, sehingga mendorong orang untuk ingin mengetahui.
  5. Bersifat otentik, artinya ide itu memang murni, bukan merupakan duplikasi dari sebuah peristiwa atau ide yang pernah dikemukakan, dialami, atau dipaparkan oleh orang lain.
  6. Bersifat dapat dikembangkan, artinya ide atau peristiwa tersebut memiliki banyak sisi atau aspek yang dapat meluas, bertumbuh menjadi gagasan baru.

Pertanyaan berikutnya, haruskah mengumpulkan tabungan ide atau mencari ide di tempat sepi?
Menulis: kerja soliter dengan berbagai manifestasi
Meskipun menulis itu lebih merupakan kerja soliter, seorang diri bergelut dengan pikiran, perasaan, pancaindera, naluri, nurani milik sendiri, bukan berarti ide harus dicari di tempat yang sepi.  Soliter dalam konteks ini adalah bagaimana seseorang mengupayakan pengayaan ide terhadap proses kreatif yang dilakukannya, seperti berdiskusi, membaca, melakukan riset, menonton, melakukan pengamatan, mendengarkan, mengolah pikiran kritisnya. Ia harus menjadi pengamat yang teliti, seorang yang skeptis (tidak mudah yakin terhadap sesuatu, terus menerus mempertanyakan sesuatu yang menjadi kegelisahannya) sehingga idenya dapat terus berkembang. Dalam konteks penelitian kualitatif, ketelitian dan sikap skeptis ini sangat membantu diperolehnya data secara detil, mendalam, dan komprehensif.

Soliter dalam konteks menulis ini juga terkoneksi dengan ide yang otentik, yang biasanya juga lahir dari suatu peristiwa atau pengalaman yang “personalized”, bersifat personal, sehingga ia memenuhi syarat terciptanya sisi unik dan daya tarik tersendiri. Walau misalnya peristiwanya mirip dengan yang dialami oleh orang lain, detilnya dapat berbeda antara orang satu dengan lainnya. Mengangkat peristiwa personal yang detil menjadi salah satu kekuatan sebuah tulisan.

Manifestasi soliter adalah juga bagaimana seseorang menyambung serpih-serpih ide yang berhasil dirawatnya dalam pergumulannya mengumpulkan tabungan ide atau peristiwa. Menyambung atau mengoneksikan sebuah fenomena dengan fenomena lain menjadi kekuatan yang dilakukan seseorang atas upayanya mengembangkan cara berpikir kritis dan pola pikir yang open-minded atau terbuka. Dengan pola pikir yang sempit atau narrow-minded, akan sulit bagi seseorang untuk menerima berbagai kemungkinan atau alternatif di jagad alam raya ini, akan sulit juga baginya untuk berhasil menemukan koneksi atau sambungan peristiwa satu dengan peristiwa lainnya. Proses berpikir dan hasilnya menjadi pendek-pendek, tertutup, dan tidak berkembang. Sambungan serpih-serpih ide atau peristiwa yang berhasil dijalin oleh penulis, juga akan menjadi cara untuk membawa orang lain sebagai pembaca pada perenungan, proses refleksi, sehingga orang lain pun menjadi kaya. Orang lain mendapatkan “gizi” dari tulisan itu.

Kerja soliter dalam menulis adalah juga bagaimana menitipkan pesan kepada pembaca atau penikmat tulisan tersebut. Pesan adalah sesuatu yang lagi-lagi personalized, dapat mencerminkan pikiran, sikap, perilaku, cara pandang penulisnya. Pesan juga merupakan “nilai-nilai” atau values yang disampaikan penulis. Nilai-nilai ini juga menjadi kekuatan seseorang dalam tulisannya. Dalam konteks ini, kembali otentisitas seseorang dalam menulis akan terlihat kuat apabila itu memang lahir dari pengalaman personalnya, bukan dengan mencuri ide atau gagasan orang lain, atau meniru gaya yang dimiliki oleh orang lain.

Menyusuri jalan sendiri
Menulis memang mungkin tak bisa diajarkan, oleh karena itu dikatakan, silakan menyusuri jalan sendiri. Jangan meniru, temukan cara mengekspresikan karya sendiri, dan ini akan menentukan otentisitas karya seseorang serta menyelamatkannya dari praktik menjadi seorang plagiat, atau praktik yang sekedar mencomot sana mencomot sini tanpa menerapkan etika publikasi. Ini juga akan merefleksikan “wajah” seseorang secara jelas dan khas. Oleh karena itu, sesuatu yang bersumber dari peristiwa atau pengalaman personal menjadi sebuah kekuatan dalam mengembangkan ide. Selanjutnya, bagaimana membawa sesuatu yang bersifat personal ini menjadi milik publik melalui tulisan juga menjadi kekuatan lain dalam menulis. Tulisan mencerminkan juga bagaimana seseorang melakukan komunikasi publik dan menerapkan etikanya.
Ini semua mengingatkan saya akan jenis-jenis tulisan yang dihasilkan di lingkungan pengajar selama ini, seperti bahan ajar, modul, handout, artikel jurnal hasil penelitian, artikel majalah, artikel seminar dalam prosiding, buku, dan lain sebagainya. Menulis itu, pada tingkat kepentingan dan keperluan atau tujuan tertentu, ternyata juga dapat merupakan peristiwa terjadinya pengabaian terhadap nilai-nilai yang seyogyanya muncul dalam hasil tulisan….  Selamat menulis!

Yogyakarta, 20 Juli 2020.


Gambar: https://cdn0-production-images-kly.akamaized.net/jlF-AyOy3g13hBKOBu16IRU23H8=/1280x720/smart/filters:quality(75):strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/1553188/original/072338900_1490964765-writing.jpg

Tuesday, March 31, 2020

WfH Series: Persediaan Makanan



--Eko Santosa

Hunt for The Wilderpeople adalah film petualangan komedi produksi tahun 2016 yang disutradarai oleh Taika Waititi. Film ini berkisah tentang Ricky Baker, seorang anak yang ditinggalkan orang tuanya sejak kecil dan dititipkan di panti asuhan. Ricky dianggap sebagai anak nakal – selalu pergi dan berkeliaran di jalan - sehingga sering berganti orang tua asuh. Pada bagian permulaan cerita, Ricky akhirnya menjadi anak asuh sepasang suami istri yang hidup di pinggir hutan. Di keluarga ini, ia menemukan kecocokan – terutama pada ibu angkatnya - karena petualangan yang ia inginkan dapat terlaksana. Namun naas, Ibu angkatnya meninggal tiba-tiba sementara Ayah angkatnya tidak bisa memberikan jaminan pengasuhan. Aturan panti asuhan mengharuskan Ricky kembali ke panti karena penjaminnya adalah Ibu angkat yang telah meninggal itu. Di dalam kekacauan perasaan karena tak mau kembali ke panti, Ricky nekat pergi ke hutan.

Dengan rencana matang, ia menyiapkan segala perbekalan, utamanya adalah perbekalan makan. Tas punggungnya dipenuhi makanan yang menurut perkiraannya bisa untuk bertahan beberapa hari sampai ia bisa mandiri hidup di hutan. Tidak lupa ia membawa senjata untuk berburu. Namun perkiraan Rikcy meleset jauh. Bukan persoalan kerasnya medan di hutan serta sulitnya berburu, melainkan perbekalan makan yang ia bawa satu tas penuh itu ternyata habis dalam beberapa jam saja. Menyadari kondisi ini Ricky mulai bingung, resah, dan cenderung panik. Ia tidak tahu lagi apa yang mesti diperbuat karena persediaan makan habis begitu cepat. Petualangan yang ia harapkan menjadi buyar seketika dan berubah menjadi keadaan baru tak terduga.

Persediaan makanan seperti yang dipersiapkan oleh Ricky menjadi penting sekarang ini sehubungan dengan adanya pandemi Covid-19 sehingga setiap orang mesti berdiam diri di rumah dalam kurun waktu tertentu. Namun apa yang terjadi dengan Ricky juga bisa menimpa banyak orang di mana jumlah persediaan makan yang diperkirakan cukup ternyata habis hanya dalam sehari dua hari. Mungkin orang akan mengira bahwa hal itu terjadi karena salah perkiraan jumlah persediaan. Namun sejatinya bukan soal jumlah dan jenis makanan tersedia melainkan kebiasaan mengelola makanan.

Persis seperti Ricky, akibat pengelolaan yang tak baik, maka persediaan makanan habis dengan cepat. Soal pengelolaan persediaan makan ini memang bukan perkara mudah karena menyangkut budaya seseorang atau keluarga. Banyak keluarga di Indonesia memiliki budaya belanja hari ini untuk dimasak hari ini, dan habis hari ini juga. Selain itu ada banyak keluarga yang mengandalkan kebutuhan makan sehari-hari melalui warung makan, jajan atau di bawa pulang. Mungkin hanya keluarga yang hidup di kota besar atau kalangan tertentu yang memiliki budaya belanja mingguan bahkan bulanan. Bisa dibayangkan betapa repotnya mengelola persediaan makanan yang banyak dalam satu kali waktu sementara kemampuan untuk mengelola tidak dimiliki. Bisa jadi apa yang dialami Ricky Baker ini akan terjadi.

Oleh karena itu, pengelolaan persediaan makanan juga memerlukan kebijakan terutama kesadaran untuk tertib diri. Tidak kemudian makan apa saja yang tersedia mumpung ada atau kewalahan mengolah semua yang ada. Kesadaran tertib diri ini mesti dimiliki dengan pemahaman bahwa jumlah persediaan yang ada diperuntukkan dalam kurun waktu tertentu. Bagi yang biasa memasak harian atau memiliki budaya jajan akan sangat sulit. Akan tetapi tertib diri ini sifatnya harus karena sedang berada dalam situasi bencana di mana tidak semua penyedia bahan makan atau makanan jadi buka seperti biasanya. Belum lagi ketika nanti pada akhinrya semua warung, pasar, toko dan semua lapak penyedia makanan dan bahan makan tutup. Oleh karena itu, pengelolaan persediaan makanan juga menjadi bagian pokok dari penanganan bencana. Karena tanpa tersedianya makanan dalam situasi bencana adalah bencana tersendiri. (**)

Rumah, 300320


Monday, March 30, 2020

WfH Series: Perihal Ekonomi


--Eko Santosa


Umum menganggap bahwa ekonomi sama dengan pasar. Negara atau masyarakat dikatakan miskin karena tidak memiliki sesuatu untuk dijual. Arena jual-beli itu disebut pasar. Padahal jauh sebelum pasar diciptakan, manusia telah menyelenggarakan ekonominya. Sejarah ekonomi manusia dimulai dari 2 lompatan besar. Pertama adalah digunakannya bahasa dalam berkomunikasi dan yang kedua adalah kemampuan mengelola tanah dengan budaya tanam-menanam (agrikultur). Dalam lompatan kedua ini manusia berusaha mencukupi kebutuhan hidupnya untuk terus bertahan dan berkembang. Budaya tanam-menanam ini menemukan kemajuan berati seiring berkembangnya pengetahuan dan peralatan yang digunakan. Pada akhirnya, masyarakat tanam-menanam ini tidak hanya mampu mencukupi kebutuhannya sendiri namun juga menghasilkan bahan makanan yang berlebih. Dari sinilah akar dasar ekonomi itu muncul yaitu surplus.

Surplus atau kelebihan bahan makanan dari budaya agrikultur ini pertama kali hanya disimpan sebagai cadangan jika musim kering (masa sulit tanam) tiba. Namun perkembangan pengetahuan yang semakin baik membuat panenan melimpah sehingga bahkan melebihi kuota cadangan yang diperlukan. Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya ketika manusia hidup sepenuhnya mengandalkan alam. Sehebat apapun pemburu, pemancing, dan pemetik buah serta sayuran di alam tidak akan pernah bisa mengalami kelebihan produksi di luar cadangan. Keadaan ini mengakibatkan lahirnya budaya baru termasuk di dalamnya tulisan, hutang, uang, wilayah kekuasan, birokrasi, tentara, rohaniwan, teknologi, dan bahkan model pertama perang biokimia dilahirkan.

Keberadaan surplus membuka kemungkinan untuk tukar menukar dengan anggota masyarakat lainnya. Proses tukar menukar ini mesti tercatat karena surplus yang dipertukarkan itu disimpan dalam lumbung bersama sehingga siapa titip berapa dan ditukar oleh apa ada rekamannya. Kecerahan masa depan agrikultur sebagai basis budaya tukar menukar ini akhirnya melahirkan hutang, uang, dan wilayah kekuasaan. Ketika seseorang mempekerjakan orang lain pada masa tanam dan akan memberikan upah pada saat panen, maka orang tersebut telah berhutang kepada pekerja. Hutang ini perlu dicatat agar upah yang diberikan pada saat panen setara dengan tenaga yang dikeluarkan. Catatan-catatan hutang ini dengan sendirinya menjadi alat tukar. Penggunaan catatan sebagai alat tukar itu kemudian berkembang menjadi uang dan uang ini hanya dipergunakan di dalam satu wilayah di mana orang-orang tersebut tinggal. Untuk menjaga kepastian dan keamanan wilayah itu sehingga segala jenis tukar menukar terselenggara, maka diperlukan pemimpin, keamanan (tentara), dan rohaniwan yang memberikan kepastian psikologis sekaligus pertimbangan hukum kepada para pelaku pertukaran atas barang atau catatan yang dipertukarkan (birokrasi). Ketiga komponen ini merupakan penguasa (birokrat) pada masa itu. Sejarah seperti ini terus berlanjut hingga sampai pada tataran teknolgi penghasil bahan makanan dan penjamin surplus termasuk akibat jeleknya yaitu bakteri dan virus yang berkembang karena penumpukan bahan makanan dalam jumlah banyak dan waktu lama di satu tempat.

Jadi, kata kunci (keberlangsungan) ekonomi itu adalah surplus, bukan pasar. Banyak orang berbicara mengenai pasar tempat perdagangan tapi seringkali lupa tentang surplus. Secara gamblang, orang bisa berdagang hanya ketika kebutuhan dasar hidupnya tercukupi sehingga ia bisa menjual kelebihan yang dimiliki. Konsep dasar ini mesti dipahami sebab jika tidak, maka banyak yang akan terjebak dalam area perdagangan (jual-beli) yang sama sekali tidak akan menguntungkan. Yang banyak ini tidak hanya menyangkut orang tetapi juga negara. Rangkaiannya adalah keadaan surplus akan melahirkan pasar, dan mekanisme pasar (nilai tukar-menukar serta caranya) dapat berjalan melalui birokrasi di mana maknanya adalah kekuasaan. Dan sejarah kapitalisme di mana kita hidup di dalamnya, dibangun dari penguasaan atas rangkaian ini, selamat berbahagia.

Rumah, 290320
Dipantik dari bab pertama buku:
Yanis Varoufakis. 2017. Talking to My Daughter, A Brief History of Capitalism. London: Vintage.

Tuesday, December 17, 2019

Sejenak Menikmati “Luka-Luka yang Terluka” (2019)

(Sebuah penerbitan buku lakon drama oleh Dinas Kebudayaan DIY dengan Dana Keistimewaan)

--Rin Surtantini


Merespon spontan
Akhir bulan November 2019 lalu, buku Luka-Luka yang Terluka: Jejak Perkembangan Lakon, saya terima, dengan pesan tertulis di halaman pertama, “Selamat membaca” pada bagian buku yang berbahasa Indonesia, dan “Happy reading, happy learning” pada bagian sebaliknya yang berbahasa Inggris.

I’m so glad, for sure, to get such a good book from such a good friend, yang juga adalah penulis buku ini sendiri, Eko Santosa, bersama dengan Whani Darmawan, yang adalah penulis lakon Luka-Luka yang Terluka (1991). Alasan lain yang membuat saya merasa so glad  adalah “perasaan saya” bahwa tujuan dari penerbitan buku ini sebenarnya sampai ke pembaca potensial. Maka, meskipun free, tentulah pembagiannya perlu selektif. Tidak semua orang bisa memperolehnya, bukan? For me, personally, ini sebuah privilege, of course. And as I consider it as a particular present for me, I’m pleased to read it. Dan itu harus saya ceritakan di sini.

Pertama, tentu wajah buku ini yang saya amati sebelum mencari tahu apa isinya. Keunikan yang saya dapati adalah buku ini memiliki dua wajah: satu wajah sampul (cover depan buku) berjudul bahasa Indonesia, Luka-Luka yang Terluka: Jejak Perkembangan Lakon; dan ketika wajah sampul ini dibalik, ternyata bagian belakang buku ini juga merupakan wajah sampul (cover depan buku) yang menampilkan judulnya dalam bahasa Inggris, The Wounded Cuts: Traces of the Development of the Play. Jadi, buku ini tidak memiliki sampul atau cover belakang buku, tetapi memiliki dua sampul atau cover depan sebagai wajahnya. Tinggal mau mulai membaca atau membuka yang mana, versi bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.

Apresiasi saya kepada Eko Santosa, sebagai kolega widyaiswara (dengan tidak mengenyampingkan Whani Darmawan sebagai partner dalam menuliskan buku ini): spontan  saya memberitakan di grup widyaiswara, dengan melampirkan foto kedua “wajah” cover depan buku, diiringi caption: Terbit, oleh Dinas Kebudayaan DIY, satu buku dalam dua bahasa. “Happy reading, happy learning” {Eko Santosa}.

Mengapa saya memberitakan di grup tersebut, adalah semata-mata ingin mengungkapkan apresiasi bahwa dorongan seorang Eko Santosa dalam menuliskan buku tersebut (dalam pemahaman saya terhadap Eko) adalah menyebarkan atau menyumbang (ilmu) pengetahuan atas dasar kemampuan dan kompetensi yang ia miliki, pelajari, tekuni, dan juga ia “lakoni” dengan hati. Ini cerminan sebuah bentuk aktualisasi diri sebagai personal achievement sesuai dengan bidang yang digelutinya dengan rasa senang dan serius. Tidak ada sama sekali tujuan “administratif” yang mengikat seorang widyaiswara, yang pada umumnya cenderung menjadi terjebak dalam lunturnya atau pudarnya esensi pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri.

Terbitnya buku tersebut dalam dua bahasa adalah persoalan lain; jadi menurut pendapat saya, teman-teman widyaiswara yang kebetulan latar belakang pendidikannya adalah jurusan bahasa atau sastra Inggris, rasanya tidak perlu merasa “isin” atau terhenyak karena merasa belum menulis buku dalam bahasa Inggris. Mengapa? Karena buku ini ‘aslinya’ ditulis oleh Eko Santosa dan Whani Darmawan dalam bahasa Indonesia, lho, bukan dalam bahasa Inggris. Jadi values yang perlu diangkat sebagai pokok persoalannya dengan terbitnya buku ini adalah masalah “konten” atau “esensi” dari apa yang disampaikan oleh penulisnya, yaitu tentang jejak perkembangan lakon dari naskah sandiwara Luka-Luka yang Terluka. Itulah yang ingin disampaikan oleh penulisnya sebagai pengetahuan kepada pembaca potensial. Jadi sama sekali bukan untuk menunjukkan keterampilan atau kepiawaian menulis dalam bahasa Inggris.  Lalu mengapa kemudian diterbitkan juga dalam bahasa Inggris? Karena pementasan lakon ini, baik di dalam maupun di luar negeri, menimbulkan kebutuhan untuk diterbitkannya buku lakon ini dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris), untuk memberi ruang yang lebih luas terhadap gagasan-gagasan kreatif dan menemukan dialektikanya dalam percaturan kebudayaan dunia (mengutip Aris Eko Nugroho, Kepala Dinas Kebudayaan DIY dalam kata pengantarnya). Maka, lihatlah, kemudian ada penerjemah lakon dan penerjemah teks dalam buku versi bahasa Inggrisnya untuk memenuhi tujuan yang disebutkan itu.

Happy reading, happy learning
Ada lipatan-lipatan waktu yang harus saya buka untuk membaca buku ini. Sepuluh menit, setengah jam, satu dua jam, tiga jam, lipatan waktu itu saya sempatkan untuk dibuka: saat menunggu di klinik dokter gigi, saat naik go car, saat menunggu cucian digiling di mesin cuci, saat menunggu air mendidih sebelum menyeduh teh, saat di ruang tunggu airport, saat akan tidur, saat istirahat dari mengedit modul menuju deadline, dan saat-saat lainnya. Dan alhasil, seiring dengan lipatan waktu yang saya buka berulang-ulang, buku itu tidak mulus lagi seperti ketika pertama saya terima.

Saat membaca buku Luka-Luka yang Terluka, saya merasakan flashback sekian puluh tahun silam ketika menjadi mahasiswi di jurusan Sastra Inggris di Fakultas Sastra, di kampus biru. Mata kuliah Literary Criticism, Novels, Poetry, Drama, Book Report, menjadi bagian tak terpisahkan dari sekian paper yang selalu harus ditulis dan diselesaikan dari kegiatan membaca sekian teks, naskah, karya-karya sastra berupa novel, puisi, drama, dalam bahasa Inggris. Dua tulisan Eko Santosa dalam buku Luka-Luka yang Terluka, mengingatkan saya akan masa-masa silam itu. Ah, betapa pekerjaan dan tugas saya sebagai widyaiswara saat ini sudah sangat sangat berbeda dan jauh dari masa-masa tersebut. Tiba-tiba saya rindu untuk kembali membaca teks-teks ber-genre sastra, berselancar, menyelam ke kedalaman nilai-nilai dan pesan-pesan yang sarat dengan potret segala sisi kehidupan manusia dalam perjalanan jaman.

“Telisik Lakon Luka-Luka yang Terluka” adalah tulisan pertama Eko Santosa dalam buku ini yang mengingatkan saya pada tugas menelaah naskah-naskah drama pada jaman kuliah di Fakultas Sastra pada masa lalu itu, dan pelibatan critical thinking, analisis, sintesis, evaluasi, dalam melakukan telaah. Eko melakukan dan menuliskan telisiknya terhadap naskah lakon Luka-Luka yang Terluka dengan cermat dan kritis mulai dari sinopsis, penokohan, setting dan spektakel, plot dan dramatika lakon dengan interpretasi dan sub-metode yang dipilihnya. Perhatikan, ia mencantumkan daftar bacaan yang tentu digunakannya sebagai referensi untuk mewujudkan tulisannya ini.

Telisik Eko terhadap lakon yang ditulis oleh Whani Darmawan (1991) ini menurut saya tidak terlepas juga dari sejarah bagaimana naskah lakon ini pertama kali jatuh ke tangan Eko pada tahun 1993. Eko-lah yang melakukan adaptasi terhadap naskah aslinya sesuai kebutuhan tanpa merusak esensi, demikian menurut Whani. Naskah versi Eko inilah yang kemudian beredar jauh dan dimainkan berganti-ganti pemain dalam rentang waktu tertentu (terakhir pada akhir bulan November 2018 di Singapura). Jadi, jika Eko menuliskan dengan cermat telisiknya terhadap naskah lakon ini, tidak diragukan lagi, karena ia juga merupakan orang yang paling banyak mementaskan lakon ini, baik sebagai pemeran maupun sutradaranya.

Apa yang membuat saya mengalami happy reading and happy learning? Persinggungan dan komunikasi Eko yang intens dengan teks lakon Luka-Luka yang Terluka sangat membantu saya untuk mencoba memahami atau menginterpretasi naskah lakon ini melalui telisik yang dituangkan Eko dalam tulisannya tersebut. Dan saya kemudian menuliskan ini dalam status saya di WhatsApp, the more I read, the more I acquire, and the more certain I am that I know nothing… (mengutip kata-kata bijak dari sebuah web). Jadi, saya mendapatkan pengetahuan tentang keberadaan naskah lakon karya Whani Darmawan ini, sebagaimana judul catatan penyunting buku ini: Mengingat Ulang terhadap Lakon yang pernah Ditinggalkan. Saya pun mendapatkan pemahaman mengenai lakon ini, yang bercerita tentang apa…. Saya belajar kembali.

“Perjalanan Artistik Pementasan Luka-Luka yang Terluka” adalah tulisan kedua Eko Santosa dalam buku ini. Tidak seperti tulisan Eko yang pertama, tulisan ini tidak membawa saya ke masa lalu ketika mengikuti kuliah di jurusan Sastra Inggris, karena tulisan kedua ini sudah secara spesifik menjadi keahlian khusus bidang teater, yaitu artistik pementasan yang tidak pernah saya pelajari pada masa lalu. Apresiasi yang saya berikan terhadap tulisan kedua ini adalah bagaimana dokumentasi pementasan lakon Luka-Luka yang Terluka diceritakan secara detil dan lengkap oleh Eko sejak pertama kali dipentaskan pada tahun 1993 sampai dengan tahun 2018. Kurun waktu 25 tahun merupakan bentangan waktu yang cukup panjang untuk mengikuti bagaimana naskah lakon ini menyerupai “organisme yang hidup” dan mengalami perkembangan pada jaman yang berbeda-beda. Setidaknya Eko mencatat ada enam konsep dasar atau pendekatan yang digunakan dalam proses pemeranan yang menandai kehidupan naskah lakon ini. Ia mencatatnya dengan detil termasuk gambar-gambar karyanya sendiri yang disajikannya untuk menyertai setiap babakan konsep dasar yang diuraikan. Sebuah pencapaian yang ulung! Selain itu, melalui tulisan kedua ini, pembaca juga bisa mencatat bagaimana perjalanan seorang Eko Santosa menikmati pergulatannya dengan naskah lakon Luka-Luka yang Terluka dan meraih prestasi di bidang yang ia tekuni melaluinya. Maka benarlah: Naskah ini penting, orang yang terlibat di dalamnya penting untuk naskah ini (mengutip Whani Darmawan dalam Mengapa Menerbitkan Lakon Ini?). 

Maka, saya pun kemudian membaca naskah lakon Luka-Luka yang Terluka, untuk tujuan extensive reading, meski telah “dipengaruhi” oleh kedua tulisan Eko, catatan penyunting, dan tulisan Whani Darmawan pada bagian awal buku. Interpretasi saya yang mandiri terhadap naskah lakon ini, tentu ada, dan itu menjadi bagian dari kegiatan personal reading for fun and, of course, for learning, as always.

Terimakasih, mas Eko.
Best wishes for your next achievement!

Manggarai, Flores, Desember 2019.