Showing posts with label Sejarah. Show all posts
Showing posts with label Sejarah. Show all posts

Wednesday, May 27, 2020

WfH Series: KISAH RUMAH 1000 HARI (Memori Gempa Jogja 2006)




---F. Dhanang Guritno


Tanggal 27 Mei 2006 pukul 05.55 tepat 14 tahun yang lalu masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya dikejutkan dengan peristiwa yang sangat menggemparkan yakni gempa bumi. Gempa tersebut berpusat di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Beberapa sumber menyatakan gempa itu berkekuatan 5,9 skala richter dengan pusat gempa di daratan. Korban meninggal tercatat 6.234 orang. Ribuan rumah luluh lantak rata dengan tanah. Betapa menyedihkan jika kita ingat peristiwa itu. Tulisan ini bukan ingin megajak para pembaca bersedih ataupun menakut-nakuti tetapi penulis mengajak kita semua selalu waspada dan menyadari sepenuhnya bahwa kita hidup di daerah bencana yang mungkin suatu ketika akan terjadi lagi.
Setelah peristiwa itu terjadi, masyarakat Yogyakarta bangkit kembali membangun tempat tinggalnya secara berhati-hati dengan memenuhi anjuran pemerintah untuk membuat bangunan tahan gempa. Rumah yang dibangun kembali harus memenuhi standar yakni tahan gempa. Barangkali masyarakat sebelum peristiwa gempa memang tidak memperhitungkan bangunannya jika suatu saat diguncang gempa berkekuatan besar. Kalaupun sudah diperhitungkan mungkin ada beberapa hal yang diabaikan sehingga Ketika benar-benar terjadi gempa kuat bangunan tersebut tidak kuat menahan goncangan.
Tulisan ini mengangkat cerita sisi lain dari ribuan rumah roboh diguncang gempa, yakni rumah tinggal saya. Pada saat peristiwa itu tempat tinggal kami sekeluarga tidak luput pula rusak parah, dan tidak mungkin untuk ditinggali lagi. Bagi kami sekeluarga kisah itu amat membekas dan tidak akan pernah terlupakan sepanjang hidup. Namun kami tetap bersyukur selamat dari maut, karena peristiwa terjadi pagi hari dimana kami sekeluarga sudah bangun tidur dan sedang mempersiapkan diri menjalankan aktivitas sehari-hari.

Rumah 1000 hari
Pada tahun 2003 kami membeli rumah baru yang tentu saja sesuai kemampuan dibeli dengan cara dicicil alias KPR (kredit kepemilikan rumah). Rumah yang kami beli berada di komplek perumahan baru dan rumah itupun dibangun karena kami pesan.  Dengan demikian rumah yang kami beli adalah bangunan baru. Kami sekeluarga sangat bahagia karena akan segera menempati rumah baru kami. Tetapi pada saat akan menempati rumah baru tersebut kami harus menerima kenyataan kehilangan orang tua terkasih, yakni ayah dari istri atau ayah mertua dipanggil Tuhan, karena sakit yang memang sudah diderita sejak lama. Beberapa hari setelah pemakaman barulah kami sekeluarga bisa pindah menempati rumah baru kami. Oleh karena peristiwa meninggalnya orang tua sangat kami kenang, maka kami tidak pernah lupa juga kapan kami mulai menempati rumah baru kami.
Dalam tradisi budaya masyarakat Jawa, dikenal istilah memule atau peringatan bagi orang meninggal dunia dengan menggelar doa. Peringatan itu diadakan pada 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun, 2 tahun dan 1000 hari setelah meninggal. Demikian juga kami sekeluarga besar selalu mengadakan acara memule tersebut. Mulai dari 7 hari, 40 hari, hingga puncaknya 1000 harinya. Dari serangkaian peringatan-peringatan tersebut tidak ada yang kami ingat tanggal maupun harinya, namun yang sangat kami ingat adalah saat memule 1000 harinya. Acara tersebut terselenggara pada tanggal 26 Mei 2006 malam. 
Setelah selesai acara memule tersebut kami pun sekeluarga pulang ke rumah. Segera beristirahat seperti biasa karena esok harinya anak-anak harus sekolah seperti biasa. Pagi harinya ketika seiisi rumah sedang bersiap-siap untuk menjalankan aktivitasnya masing-masing tiba-tiba terjadilah peristiwa yang tidak kami duga sebelumnya yakni gempa bumi yang cukup besar. Cukup lama kami merasakan goyangan itu hampir satu menit. Dengan paniknya kami sekeluarga berhamburan keluar rumah untuk menyelamatkan diri. Puji syukur pada Tuhan satu persatu kami bisa keluar rumah dengan selamat. Setelah di luar rumah tersadarlah kami bahwa rumah kami hancur sedemikian rupa dan tidak mungkin kami tempati kembali. Namun kami tetap bersyukur karena seisi rumah selamat tidak ada yang menjadi korban. Karena rusaknya terlalu parah akhirnya rumah itu kami putuskan untuk dirobohkan saja. Demi keamanan serta keselamatan untuk ditinggali dikemudian hari.


Kondisi rumah sesaat setelah gempa foto diambil pukul 6.23, tanggal 27 Mei 2006
Foto: Dokumen pribadi

Kini peristiwa itu sudah berlalu 14 tahun lamanya. Kami sekeluarga tidak akan pernah lupa peristiwa itu sampai kapanpun. Kami memaknai rumah kami yang hancur diguncang gempa itu sebagai “kisah rumah seribu hari”. Karena secara kebetulan dari pertama menempati hingga rumah itu hancur, bersamaan dengan peristiwa meninggalnya ayah mertua hingga peringatan 1000 harinya.
Itulah sekelumit kenangan keluarga kami pada peristiwa gempa tahun 2006. Tidak ada maksud untuk kembali mengajak bersedih karena peristiwa itu, tetapi cerita ini perlu dibuat sebagai peringatan untuk  waspada dan menyadari bahwa kita tinggal di daerah rawan bencana alam antara lain gempa bumi. Belum lagi bencana non alam seperti pandemi virus corona yang kini sedang berlangsung. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk kita renungkan dalam masa WFH.

Terimakasih
Bantul, 27 Mei 2020

F. Dhanang Guritno


DOKUMENTASI GAMBAR
Solidaritas teman-teman P4TK SB beberapa hari setelah gempa
                                    



Foto Dokumen pribadi sekitar Juni 2006


Rumah kami kini setelah 14 tahun berlalu…



Foto Dokumen pribadi 27 Mei 2020

Monday, May 18, 2020

WfH Series: Lingga Yoni “Dalam Perspektif Kehidupan”


--Kartiman

Edisi Mengajak Wisata ke Candi Sukuh, Karanganyar, Jawa Tengah



Lingga Yoni merupakan istilah yang kurang akrab bagi sebagian besar masyarakat Jawa. Sangat dimaklumi, mengingat istilah ini jarang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Bagi masyarakat yang sudah mendengar, tingkat interesting-nya juga kurang maksimal. Salah satu penyebabnya adalah referensi yang masih sangat terbatas. Hanya beberapa saja, dan itupun berbeda makna antara referensi satu dengan lainnya. Sudut pandang yang digunakan dalam mengupas berbeda, sehingga menimbulkan daya interpretasi yang berlainan.

Lingga Yoni dalam kebudayaan Hindu merupakan jalur energi Illahi di tubuh manusia dan di alam semesta. Penyatuan keduanya akan melahirkan sesuatu yang baru, yaitu penciptaan dunia dan kesuburan. Lingga merupakan simbol maskulin, sedangkan Yoni merupakan simbol feminim. Wujud Lingga menyerupai alat kelamin laki-laki, sedangkan wujud Yoni menyerupai alat kelamin perempuan. Dalam perspektif Jawa, biasanya artefak Lingga berwujud “alu”, dan artefak Yoni berwujud “lumpang”.

Lingga Yoni oleh beberapa masyarakat dimaknai sebagai simbol atau kekuatan seks. Pemaknaannya terbagi menjadi dua, yaitu pemaknaan dalam arti yang luas dan pemaknaan dalam arti yang sempit. Dalam arti luas, Lingga Yoni dimaknai sebagai cara untuk mengeluarkan kotoran dari pikiran yang bersih untuk mendapatkan generasi baru sebagai penerus masa depan. Kehadiran Lingga begitu ditunggu dan dirindukan Yoni untuk melakukan kewajiban sebagai pasangan. Penetrasi Lingga ke Yoni bersifat bebas, terencana, terukur tanpa dihantui perasaan salah. Puncak kenikmatannya merupakan kenikmatan dunia akhirat. Dalam arti sempit, Lingga Yoni dimaknai sebagai cara untuk mengeluarkan kotoran dari pikiran kotor. Pertemuan Lingga dan Yoni juga direncanakan, bahkan sangat dirindukan, tetapi bukan sebagai pertemuan untuk melaksanakan kewajiban. Perpaduan yang dilakukan bukan dalam rangka menciptakan generasi baru, tetapi lebih mengarah pada kepuasan sesaat. Penetrasi Lingga ke Yoni menjadi tidak bebas, terbatas, terhantui oleh pemikiran bersalah. Kenikmatan yang diperoleh hanya kenikmatan dunia, bahkan mungkin kenikmatan semu.

Lingga Yoni bagi masyarakat penganut kepercayaan Jawa masih dianggap mempunyai kekuatan atau kharisma tertentu, khususnya yang berhubungan dengan kesuburan. Bagi yang berdomisili di wilayah Solo Raya dan sekitarnya, kegiatan terkait dengan kepercayaan ini masih sering dijumpai di Candi Sukuh, Karanganyar, Jawa Tengah. Dalam situs Candi Sukuh dapat dilihat beberapa arca yang menggambarkan simbol kesuburan, baik kesuburan manusia maupun kesuburan alam. Secara geografis dan suasana alam, keberadaan Candi Sukuh sangat mendukung untuk menggambarkan simbol kesuburan. Terletak di dataran tinggi dengan hawa yang dingin sangat sesuai untuk meningkatkan hormon kesuburan pada manusia maupun tanaman.




Tuesday, March 31, 2020

WfH Series: Persediaan Makanan



--Eko Santosa

Hunt for The Wilderpeople adalah film petualangan komedi produksi tahun 2016 yang disutradarai oleh Taika Waititi. Film ini berkisah tentang Ricky Baker, seorang anak yang ditinggalkan orang tuanya sejak kecil dan dititipkan di panti asuhan. Ricky dianggap sebagai anak nakal – selalu pergi dan berkeliaran di jalan - sehingga sering berganti orang tua asuh. Pada bagian permulaan cerita, Ricky akhirnya menjadi anak asuh sepasang suami istri yang hidup di pinggir hutan. Di keluarga ini, ia menemukan kecocokan – terutama pada ibu angkatnya - karena petualangan yang ia inginkan dapat terlaksana. Namun naas, Ibu angkatnya meninggal tiba-tiba sementara Ayah angkatnya tidak bisa memberikan jaminan pengasuhan. Aturan panti asuhan mengharuskan Ricky kembali ke panti karena penjaminnya adalah Ibu angkat yang telah meninggal itu. Di dalam kekacauan perasaan karena tak mau kembali ke panti, Ricky nekat pergi ke hutan.

Dengan rencana matang, ia menyiapkan segala perbekalan, utamanya adalah perbekalan makan. Tas punggungnya dipenuhi makanan yang menurut perkiraannya bisa untuk bertahan beberapa hari sampai ia bisa mandiri hidup di hutan. Tidak lupa ia membawa senjata untuk berburu. Namun perkiraan Rikcy meleset jauh. Bukan persoalan kerasnya medan di hutan serta sulitnya berburu, melainkan perbekalan makan yang ia bawa satu tas penuh itu ternyata habis dalam beberapa jam saja. Menyadari kondisi ini Ricky mulai bingung, resah, dan cenderung panik. Ia tidak tahu lagi apa yang mesti diperbuat karena persediaan makan habis begitu cepat. Petualangan yang ia harapkan menjadi buyar seketika dan berubah menjadi keadaan baru tak terduga.

Persediaan makanan seperti yang dipersiapkan oleh Ricky menjadi penting sekarang ini sehubungan dengan adanya pandemi Covid-19 sehingga setiap orang mesti berdiam diri di rumah dalam kurun waktu tertentu. Namun apa yang terjadi dengan Ricky juga bisa menimpa banyak orang di mana jumlah persediaan makan yang diperkirakan cukup ternyata habis hanya dalam sehari dua hari. Mungkin orang akan mengira bahwa hal itu terjadi karena salah perkiraan jumlah persediaan. Namun sejatinya bukan soal jumlah dan jenis makanan tersedia melainkan kebiasaan mengelola makanan.

Persis seperti Ricky, akibat pengelolaan yang tak baik, maka persediaan makanan habis dengan cepat. Soal pengelolaan persediaan makan ini memang bukan perkara mudah karena menyangkut budaya seseorang atau keluarga. Banyak keluarga di Indonesia memiliki budaya belanja hari ini untuk dimasak hari ini, dan habis hari ini juga. Selain itu ada banyak keluarga yang mengandalkan kebutuhan makan sehari-hari melalui warung makan, jajan atau di bawa pulang. Mungkin hanya keluarga yang hidup di kota besar atau kalangan tertentu yang memiliki budaya belanja mingguan bahkan bulanan. Bisa dibayangkan betapa repotnya mengelola persediaan makanan yang banyak dalam satu kali waktu sementara kemampuan untuk mengelola tidak dimiliki. Bisa jadi apa yang dialami Ricky Baker ini akan terjadi.

Oleh karena itu, pengelolaan persediaan makanan juga memerlukan kebijakan terutama kesadaran untuk tertib diri. Tidak kemudian makan apa saja yang tersedia mumpung ada atau kewalahan mengolah semua yang ada. Kesadaran tertib diri ini mesti dimiliki dengan pemahaman bahwa jumlah persediaan yang ada diperuntukkan dalam kurun waktu tertentu. Bagi yang biasa memasak harian atau memiliki budaya jajan akan sangat sulit. Akan tetapi tertib diri ini sifatnya harus karena sedang berada dalam situasi bencana di mana tidak semua penyedia bahan makan atau makanan jadi buka seperti biasanya. Belum lagi ketika nanti pada akhinrya semua warung, pasar, toko dan semua lapak penyedia makanan dan bahan makan tutup. Oleh karena itu, pengelolaan persediaan makanan juga menjadi bagian pokok dari penanganan bencana. Karena tanpa tersedianya makanan dalam situasi bencana adalah bencana tersendiri. (**)

Rumah, 300320


Tuesday, October 22, 2019

Estetika: Keindahan dan Kebenaran


--Eko Santosa

Seni adalah karya manusia yang mengutamakan keindahan, kata sebagian orang. Keindahan seringkali diidentikkan dengan estetika sehingga hal-hal yang indah disebut sebagai estetis. Namun soal utamanya adalah apakah estetika itu? Adalah Alexander Gotlieb Baumgarten (1714-1762) yang pertama kali memunculkan istilah “estetika” melalui karyanya Reflections on Certain Matters Relating to Poetry pada tahun 1735 dan berikutnya secara lebih tegas pada tahun 1750 melalui karyanya Aesthetica. Semenjak aktivitas filosfis mengenai keindahan yang disebut estetika ini dibincangkan, problem subyektiftas dan identitas mulai muncul. Artinya, ukuran keindahan karya seni dapat terjebak pada ukuran subyektif dan bergantung pada identitas. Meski begitu, estetika diterima sebagai cabang filsafat yang tak hanya membicarakan perihal keindahan namun juga lingkup alamiah pengalaman manusia dalam konteks persepsi, perasaan, dan renjana. Secara sederhana, pemikiran ini memberikan gambaran bahwa perihal keindahan mesti akan selalu bersangkutan dengan persepsi, perasaan, dan renjana yang mana ketiganya dapat dibentuk melalui pengalaman berbudaya dan pemikiran yang melingkupinya.

Jauh sebelum Baumgarten, pada masa Klasik, soal mengenai keindahan ini juga banyak diperbincangkan (meski tentu saja belum memakai kacamata estetika). Pada masa hidup Socrates, Plato, dan Aristoteles gagasan atas keindahan seni ini banyak dimunculkan dan selalu dikaitkan dengan nilai kebenaran. Mengait dengan budaya pada masa itu di mana kepercayaan akan Dewa-Dewa sangat kuat, keindahan selalu dikaitkan dengan kebenaran secara metafisik. Jagad para Dewa adalah dunia atas nan ideal di mana semua keindahan dan kebenaran berasal dan jagad manusia seisinya adalah dunia imitasi yang pucat menurut Socrates. Plato berpendapat sama dan ia menilai karya seni atas kualitas peniruannya. Pada masa itu arsitektur, musik, dan patung dianggap jauh lebih memiliki keindahan dan kebenaran dibandingkan lukis dan puisi. Lukisan dianggap sebagai peniruan yang jelek dan palsu karena bersifat 2 dimensi sementara puisi dianggap memberikan gambaran tak lengkap atas Jagad Dewa bagi para pendengarnya. Meski demikian, Plato tidak menghujat mereka dengan sangat keras. Melalui karyanya The Sophist (360 SM) ia mengkategorikan mereka ke dalam “simulakrum”, sebuah kategori yang sepenuhnya terpisah dari soal keindahan dan kebenaran (maka dengan demikian, lukis dan puisi belum sepenuhnya dianggap seni).

Aristoteles mengambil sikap yang berbeda. Ia mengajukan gagasan tentang “fiksi” untuk memberikan wadah bagi seni yang dianggap tak tampil sempurna, khususnya teater dan sastra yang pada saat itu sedang gandrung tragedi. Fiksi adalah dunia yang memiliki struktur dan kenyataan tersendiri. Keindahan, dan dengan demikian juga kebenaran, fiksi tidak bisa dipersamakan dengan realitas meskipun ide dasar penciptaannya diambil/dipantik dari sana. Apa yang terjadi di dalam fiksi justru dapat merefleksikan realitas bagi para penikmatnya. Tokoh Pahlawan yang menderita di dalam panggung tragedi bukanlah gambaran sempurna realitas kapahlawanan pada masa itu namun mampu membangkitkan kesadaran akan perlunya pahlawan sejati di tengah masyarakat. Di sinilah, melalui apresiasi penikmat atas karya seni, keindahan dan kebenaran fiksi itu berfungsi (maka dengan demikian, apa yang dipandang sebagai belum seni sebelumnya dapat dikatakan sebagai seni).

Kaitan antara keindahan dan kebenaran ini terus menjadi isu sentral di kemudian hari. Apa yang disebut indah adalah apa yang benar. Ketika agama-agama monoteis masuk, patokan utama keindahan yang tadinya adalah Jagad Para Dewa bergeser ke Kitab Suci dan kepercayaan bahwa Tuhan adalah Maha Sempurna. Bahkan ketika kebangkitan sains memulai pergerakannya dengan beragam penemuan, kaitan antara keindahan dan kebenaran tetap saja kukuh. Namun kebenaran tak lagi berkutat pada kepercayaan semata melainkan bergeser pada pengetahuan. Apa yang dianggap benar menjadi atau merupakan pengetahuan. Model atau rumus pengetahuan agama-agama adalah Kitab Suci X Logika sementara rumusan pengetahuan sains adalah Data Empiris X Matematika (Harari, 2018). Keindahan seni berkelindan di antara 2 rumusan pengetahuan (kebenaran) tersebut. Barulah ketika Humanisme mengajukan rumusan baru di mana Pengetahuan adalah Pengalaman X Sensitivitas (Harari, 2018), karya  seni bisa melepaskan diri dari ikatan kebenaran.  Apa yang indah tidak kemudian selalu sama dengan apa yang benar.

Dengan berdasarkan pada rumusan tersebut, Humanisme menyatakan bahwa keindahan karya seni terletak pada penontonnya/penikmatnya. Jika seseorang melihat karya seni dan atas dasar pengalaman dan sensitivitasnya dalam mengapresiasi karya itu kemudian mengatakan bahwa karya seni itu indah, maka indahlah karya seni itu, demikian juga sebaliknya. Rumusan ini dengan sendirinya menyingkirkan standar tertentu atas keindahan. Mungkin orang akan manasuka berkarya seni karena cairnya rumusan estetika yang diajukan. Namun semua bergantung pada respon penikmat apakah karya seni itu indah atau tidak, apakah keindahan karya seni itu dapat diterima banyak orang atau tidak. Justru melalui rumusan ini, karya seni mendapatkan tantangan sesungguhnya ketika hadir menawarkan keindahan kepada khalayak.

Ketiga rumusan tentang pengetahuan yang mempengaruhi keindahan tersebut masih langgeng hidup sampai hari ini. Ada orang yang mengatakan bahwa karya seni itu indah karena mengandung pesan-pesan surgawi di dalamnya. Ada orang yang menyatakan karya seni itu indah karena bentuk, ukuran penampang dan volume sesuai dengan ruang pajang yang ia miliki di rumah. Ada pula orang yang mengatakan karya seni itu indah karena mampu membangkitkan sensasi dalam diri ketika melihatnya. Penilaian atas keindahan dengan demikian sangat tergantung timbangan-timbangan estetik yang digunakan. Ketika karya seni mesti dikaitkan dengan “benar dan salah”, maka tentu saja mesti ada patokan untuk menyatakan bahwa itu “benar” atau “salah”. Patokan yang semestinya bukan hanya ukuran-ukuran terlihat melainkan konsep filosofis dan etis di sebaliknya. Ketika karya seni dibebaskan dari nalar “benar dan salah”, maka semestinya apresiasi yang dihasilkan berdasarkan pengalaman dan sensitivitas penikmatan itu mesti dihargai dari sudut pandang penikmat. Dengan demikian, penyematan nilai estetika karya seni tidak terjebak, berhenti serta dipertahankan ke dalam satu rumusan saja. (**)

Domas-F8, 201019

Sumber utama tulisan:
Kul-Want, Christopher & Piero. 2012. Introducing Aesthetics, A Graphic Guide. London: Icon Books
Bacaan dampingan:
Harari, Yuval Noah. 2018. Homo Deus, Masa Depan Umat Manusia. Jakarta: PT Pustaka Alvabet

Monday, October 21, 2019

Zeno, Sinisme, Stoa, dan Kebahagiaan


--oleh: Eko Santosa

Zeno dari Citium (334-262 SM) mengalami kemalangan luar biasa karena kapalnya tenggelam bersama barang dagangan berharga yang ia bawa. Lebih parah lagi, Zeno terdampar di Athena yang mana bukan merupakan kota tujuannya. Ketika mengobservasi kota, Zeno menemukan kedai yang menjual buku-buku filsafat. Karena begitu tertarik dengan isinya, ia bertanya pada pemilik kedai apakah bisa dipertemukan atau mengunjungi rumah para penulis buku tersebut. Kebetulan pada saat itu melintaslah Crates salah satu filsuf aliran Sinis (Cynic) yang dikenal oleh pemilik kedai dan segera saja ia memberitahu Zeno. Tanpa berpikir panjang, Zeno mengikuti Crates dan menyatakan diri ingin belajar darinya.

Filsafat Sinis (yang diajarkan Cartes kepada Zeno) dilahirkan oleh Antisthenes yang hidup pada 445-365 SM dan merupakan salah seorang pengikut setia Socrates. Meski tidak dimasukkan ke dalam Mazhab Filsafat Formal, namun gagasan dari Filsafat Sinis ini menarik untuk dibicarakan. Tokoh Sinis yang sangat terkenal adalah Diogenes yang diperkirakan hidup pada 403-324 SM. Diogenes dikenal karena perilaku hidupnya yang unik. Ia tinggal di dalam tong anggur kosong, makan dan minum dengan sangat sederhana, dan menggunakan peralatan seadanya. Satu hari ketika sedang berjemur, Alexander the Great yang termasyhur itu menemuinya dan bertanya apakah ada nasihat yang mesti ia lakukan. Diogenes dengan enteng justru menyuruh Alexander menyingkir (bergeser) karena menghalanginya dari sinar matahari. Laku hidup unik dan sederhana ini selaras dengan doktrin mereka bahwa kebahagaiaan sejati tidak terletak atau bergantung pada sesuatu yang acak dan mengambang. Kekayaan, pamor, kekuasaan, dan kesehatan adalah sesuatu yang acak dan mengambang.

Ajaran semacam ini tepat bagi Zeno yang baru saja mengalami kemalangan kehilangan harta benda. Ia suntuk belajar mengenai filsafat Sinis (juga belajar dari filsuf lain selain Cartes) ini hingga akhirnya mengembangkan dan mengajarkan sendiri filsafatnya. Ia melakukan pengajaran di teras-teras gedung di antara pilar-pilar bangunan (colonnade) di sekitaran Athena sehingga filsafatnya dikatakan sebagai Filsafat Stoa (kata “stoa” secara harfiah berarti “teras”). Di dalam ajarannya Zeno mengembangkan pemahaman Sinisme mengenai pencarian atau pencapaian kebahagiaan. Tujuan utama Kaum Stoa adalah hidup terbebas dari emosi negatif, hidup dengan mengasah kebajikan, keberanian, serta kemampuan menahan diri. Laku penting dari aliran Stoa adalah apa yang disebut dengan dikotomi kendali. Setiap orang memiliki kendali atas dirinya sendiri dan “sesuatu yang acak dan mengambang” merupakan hal yang berada di luar kendali diri seseorang. Oleh karena itu, kebahagiaan bersemayam atau bersumber dari sesutau yang berada di bawah kendali diri. Orang yang menggantungkan kebahagiaan pada sesuatu yang berada di luar kendalinya pasti akan mengalami ketakbahagiaan seperti kecemasan, kecemburuan, kemarahan, kekecewaan, bahkan depresi.

Hal-hal yang berada di bawah kendali diri seseorang adalah pertimbangan (judgement), keinginan, tujuan, pikiran, dan tindakan diri sendiri. Hal-hal yang berada di luar kendali seseorang adalah tindakan orang lain, opini orang lain, popularitas, kesehatan, kekayaan, kondisi saat lahir, serta segala sesuatu di luar pikiran dan tindakan diri sendiri (cuaca, bencana, saham, nilai tukar uang, dan lain-lain). Hal-hal yang berada di bawah kendali diri itu sesuatu yang bebas, tanpa hambatan, kuat, dan merdeka sementara yang di luar kendali adalah sebaliknya. Oleh karena itulah orang yang marah-marah karena tiba-tiba hujan turun akan mengalami kesia-siaan karena ia tidak memegang remote control alam yang mana bisa ia gunakan untuk memulai dan menghentikan hujan sekehendak hatinya.

Dalam masa sekarang ini, pencarian kebahagiaan model Stoa kembali menjadi salah satu pilihan. Hal ini beralasan karena ia bukan merupakan konsep yang ndakik-ndakik atau gagasan yang abstrak melainkan semacam panduan perilaku hidup. Meski kedengaran klise karena mirip dengan ajaran agama-agama, namun Filsafat Stoa dapat dipraktikkan oleh seseorang dari agama manapun karena pandangannya bersifat universal. Pencarian atau penggalian kebahagian melalui hal yang berada di bawah kendali diri sangatlah logis. Di era  di mana informasi berseliweran tanpa kendali di dunia maya yang mana sebagian besar umat manusia berselancar di dalamnya, mencari kebahagiaan pada sesuatu yang berada di luar kendali diri dapat berubah menjadi penyakit psikologis mematikan. Penyakit gila like sebagai bentuk kepuasan semu atas foto diri yang kita unggah semakin merebak sebagaimana halnya komentar menghujat atas unggahan orang lain. Sementara itu di dalam dunia  nyata, kekayaan bisa saja lenyap dalam sekejap seperti yang dialami Zeno. Kesehatan juga bisa serta-merta terenggut dari diri karena kecelakaan atau sebab lain di luar kendali diri kita. Popularitas juga bisa memudar seketika hanya karena kesalahpahaman kecil atau karena komentar yang terlalu ketus di media sosial. Kekuasaan bisa saja jatuh karena perilaku lawan politik. Intinya, hal-hal yang berada di luar kendali diri seorang manusia bukan merupakan tempat kebahagiaan bersemayam.
Jadi untuk apa mengejar kebahagiaan yang sumbernya berada di luar kendali diri? Atau, untuk apa bersedih, marah, benci, frustrasi karena sesuatu yang terjadi dan berada (eksis) di luar kendali diri? Fokuslah pada apa yang ada di bawah kendali diri kita dan di sanalah kebahagiaan itu bersemayam. Segala hal yang berada di bawah kendali diri kita adalah segala hal yang membuat hidup kita bernalar atau selaras dengan alam. Selamat berbahagia. (**)

Starbucks Amplaz, 191019

Tulisan ini dipantik oleh buku; Henry Manampiring (2019), Filosofi Teras – Filsafat Yunani-Romawi Kuno Untuk Mental Tangguh Masa Kini, terbitan PT Kompas Media Nusantara, Jakarta.