Showing posts with label Motivasi. Show all posts
Showing posts with label Motivasi. Show all posts

Tuesday, January 4, 2022

Pada Jumat Siang yang Hangat: Tentang dan Bersama Seorang Rekan Sejawat

---Rin Surtantini



Siang itu, Jumat hari terakhir perjalanan panjang pada tahun 2021, diadakan a farewell party untuk dua rekan sejawat di lingkungan korps widyaiswara BBPPMPV Seni dan Budaya. Pertemuan serupa ini bukanlah yang pertama, karena ini merupakan sebuah acara kekeluargaan yang diwariskan dari masa ke masa pada ruang bersama para widyaiswara sejak angkatan pertama tahun 1992, dengan nuansa yang bervariasi, yang sampai saat ini dan hendaknya di masa depan akan selalu dipelihara sebagai bagian dari life lessons yang mengajak kita semua memiliki catatan terhadap nilai-nilai baik dari orang lain atau dari para pendahulu kita. Seiring menggelindingnya waktu, satu persatu para senior, pendahulu, memasuki akhir masa baktinya sebagai widyaiswara. Maka pada tanggal 31 Desember siang itupun, a farewell party bagi dua rekan sejawat, mbak Irene Nusanti dan mbak Wiwin Suhastari, diselenggarakan secara sederhana dan hangat di Warung Pak Lanjar di Bantaran Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman.

Seperti yang diungkapkan oleh Mas Aristono sebagai pembawa acara, di sela-sela waktu yang mengikat para widyaiswara ini dengan aktivitas yang luar biasa pada paruh akhir tahun 2021, the farewell party bagi kedua rekan sejawat ini dipersiapkan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Artinya, jika terdapat hal-hal yang kurang pas di sana-sini, itu diharapkan menjadi sebuah “permakluman” dari semua yang hadir saat itu. Yang perlu dicatat adalah bahwa ini bukanlah acara kelembagaan yang dilakukan secara formal, melainkan sebuah acara kekeluargaan yang turun temurun di lingkungan widyaiswara, dalam suasana relaxed, hangat, akrab, cair, menyatu, tiada batas yang memagari setiap yang hadir secara hierarkis. Acara itu adalah dari kita, untuk kita, dan oleh kita.

Yang secara mendadak menjadi gagasan beberapa teman widyaiswara pada pagi itu adalah kita sebaiknya juga mengundang tiga senior widyaiswara yang tahun 2020 memasuki masa purna baktinya tetapi tidak dapat dilakukan farewell party bagi ketiganya seperti biasanya karena pandemi yang datang tak terduga, meskipun acara untuk itu telah dipersiapkan secara matang pada saat itu di Warung Pak Lanjar juga. Pandemi yang berkepanjangan menjadikan acara bagi ketiganya tertunda setahun kemudian, awal 2021, tetapi dilakukan di auditorium kantor secara terbatas, separuh luring dan separuh lainnya daring. Maka, ketiga senior ini, mas Bambang Setyacipta, mbak Tri Suerni, dan pak Sri Karyono pun diundang untuk datang, bergabung dengan farewell party bagi mbak Irene Nusanti dan mbak Wiwin Suhastari.

Secara intensional, pada acara itu, melalui pesan mbak Digna Sjamsiar sebelumnya, saya diminta untuk mewakili teman-teman widyaiswara menyampaikan impresi tentang mbak Irene, berbagi dengan mbak Sumiyarsih yang menyampaikan impresi tentang mbak Wiwin. Ini hanya salah satu acara dari sekian rangkaian acara yang diurai oleh mas Aristono siang itu. Saya tidak bisa dan tidak biasa untuk menyampaikan pesan tanpa harus saya tuliskan terlebih dahulu. Ya, saya harus menuliskan apa-apa yang ingin saya sampaikan, karena kelemahan saya adalah bahwa saya selalu dilanda kekuatiran jika penyampaian saya tidak tertata secara logis, terstruktur, dan memberikan makna. Menurut kekuatiran saya ini, kasihan nanti pendengarnya jika hal-hal yang tertata ini tidak saya lakukan ketika saya berbicara …….

Tulisan ini adalah impresi yang saya sampaikan pada saat itu, yang perlu saya bagikan.

***

Saya yakin, setiap teman widyaiswara yang mengenal dan pernah bersama-sama, bekerja bersama, bergaul, dan berkomunikasi dengan mbak Irene Nusanti tentu akan memiliki kenangan maupun impresinya masing-masing, baik yang bersifat personal maupun publik. Hal ini terjadi dalam diri saya sendiri, yang dipertemukan pertama kali dengannya pada bulan Agustus 1992, kira-kira 29 tahun silam, di ruang laboratorium bahasa, gedung multimedia di kampus kita. Bagi kami berdua, tentu itu bukanlah waktu yang singkat dalam nilai sebuah persahabatan maupun teman sejawat, karena sejak saat itu kami berdua menjalin persahabatan dan persaudaraan yang sungguh bermakna secara personal. Akan tetapi, karena kali ini saya dimintai untuk mewakili teman-teman widyaiswara dari berbagai expertise dalam memberikan kesan dan pesan, maka saya akan berupaya untuk mengungkapkan ini secara lebih general, dan semoga semua teman sepakat dengan apa yang akan saya sampaikan, meskipun ini tetap tak bisa lepas dari pengalaman pribadi dan persepsi saya. (Perlu saya sampaikan, bahwa bidang Pengajaran Umum sendiri sudah mengadakan a particular farewell party pada bulan Agustus 2021 lalu untuk kedua teman sejawat ini yang kebetulan tergabung dalam unit yang sama).


Mbak Irene Nusanti adalah widyaiswara angkatan pertama di tempat kita yang terakhir memasuki masa purna tugasnya. Mengapa? Itu karena mbak Irene adalah yang termuda di antara para widyaiswara angkatan pertama tahun 1992, yang merupakan senior-senior yang membangun lembaga kita ketika masih berlokasi di Alun-Alun Kidul, Yogyakarta. Diangkat pertama kali sebagai PNS dengan status guru di SMKI Yogyakarta, kalau tidak salah tahun 1986, tetapi ditempatkan di PPPG Kesenian, mbak Irene kemudian menempuh pendidikan S2 dalam bidang interdisciplinary studies di University of Idaho, USA pada tahun 1987 sampai dengan 1989. Mbak Irene adalah satu di antara sekian orang yang membabat alas lembaga kita ini, termasuk salah satunya adalah bersama pak Sardi, mantan kepala pusat kita yang purna tugas tahun 2014 lalu. Dengan masa kerja yang cukup lama, kurang lebih 35 tahun, tentu mbak Irene dapat menjadi narasumber bagi kita para junior-nya dalam menyaksikan dan mengalami ups and downs yang terjadi di lembaga kita, baik itu secara kelembagaan maupun secara human to human interaction, sejak lembaga ini masih sebagai projek sebelumnya, juga sejak diresmikan sebagai UPT pada tahun 1992 dengan kepala pusat yang pertama (almarhum bapak Harsono) dengan nama PPPG Kesenian, yang kemudian berganti menjadi PPPPTK Seni dan Budaya, BBPPMPV Seni dan Budaya, sampai dengan kepala balai yang menjabat saat ini (yang seluruhnya sudah delapan kepala).

Saya berharap kita semua yang mengenal mbak Irene setuju dengan saya bahwa mbak Irene adalah seorang teman sejawat sekaligus senior tempat kita bisa bertanya, belajar, berbagi, dan terutama memperoleh support atau motivasi, serta bekerja bersama dalam situasi “ups and downs” di kantor kita, dalam segala musim, jaman, dan situasi. Secara pribadi, saya yang kebetulan hampir selalu berada dan bersama dalam ruang lingkup bidang pekerjaan dan minat yang sama, merasa sangat bersyukur memperoleh ruang waktu yang diberikan oleh Tuhan kepada kami berdua. Sejak tahun itu, sampai dengan saat ini saya tetap merasakan hal yang sama dengan 29 tahun yang lalu. Semoga teman-teman sepakat juga dengan saya, bahwa mbak Irene tetaplah senior kita yang selalu menyediakan waktu dan “hati”nya ketika kita bertanya, ingin belajar, berbagi, dan bekerja bersama, serta ketika kita memerlukan dukungan dan motivasi atas hal-hal yang kita rasa ragu dan merasa tidak mampu.

Secara pribadi lagi, yang paling saya syukuri adalah saya “pro”, sejalan, dan sejiwa dalam banyak hal dengan mbak Irene dalam hal mempertahankan “values” atau nilai-nilai “konsistensi” dan “prinsip” dalam berpikir, berlaku, dan bersikap. Inilah yang menjadikan mbak Irene itu di mata saya dan saya yakin di mata kita semua, adalah seseorang yang memiliki kepribadian unik, teguh, konsisten, tegas, kuat, dapat dipercaya, disiplin, tidak plin-plan dan tidak mudah terpengaruh, yang semuanya itu dilandasi oleh prinsip-prinsip yang dipegang teguh. Apa yang dapat kita pelajari darinya adalah bahwa kita harus memiliki “jatidiri” yang berlandaskan prinsip-prinsip, values atau tata nilai yang dapat dipertanggungjawabkan, tidak menjadi seorang copy cat hanya untuk kepentingan diri sendiri atau sebuah popularitas. Dalam konteks lembaga, siapapun kepala pusatnya, atau di manapun kita ditempatkan, kita harus tetap menjadi diri kita sendiri, berprinsip, teguh, tidak terpengaruh oleh hingar-bingar untuk menjadi pemenang lomba dalam percaturan pekerjaan, atau berkompetisi dengan teman sejawat karena ambisi menjadi pemenang dan paling hebat daripada yang lainnya. Kita tidak boleh mengubah kualitas personal yang kita miliki hanya karena kuatir tidak mengikuti hal-hal yang populer dan dilakukan oleh banyak orang di lingkungan kita, apalagi hanya karena kepentingan pribadi yang kadang atau sering tidak kita sadari! Hal-hal yang tidak populer tetapi bermakna, menjadi personal room yang membahagiakan bagi seorang Irene Nusanti.

Mengenal mbak Irene sejak dahulu, kita tentu masih ingat expertise yang dimilikinya, yang tentu menggoreskan jejak-jejak perjalanan lembaga kita, antara lain pembelajaran bahasa Inggris, baik bagi teman-teman sejawat, mahasiswa Politeknik Seni, maupun guru-guru bahasa Inggris SMK Seni Budaya melalui program diklat rutin setiap tahun sampai dengan tahun 2012, pembelajaran bahasa dan budaya Indonesia kepada murid-murid darmasiswa, kemudian desain instruksional dan pengembangan bahan ajar termasuk modul dengan segala dinamikanya, pengembangan kerjasama dan hubungan luar negeri, keterlibatan dalam rancangan acara pada FSI setiap dua tahun sekali sampai dengan tahun 2016, dan capacity building yang diwujudkan antara lain oleh tulisan-tulisannya tentang hal ini sampai dengan saat ini. Dan yang tak boleh dilewatkan adalah kegemaran dan minatnya dalam menyanyi dan bermain musik yang kini makin ditekuninya. Oleh karena itu, tentu kita tak ingin melewatkan kesempatan untuk mendengarkan mbak Irene menyanyikan sebuah lagu indah dan memainkan keyboard-nya pada acara siang ini.

Kita tak bisa melawan waktu yang merupakan milik Yang Maha Kuasa. Dalam konteks masa kerja, kita harus berpisah, tetapi harapan kita adalah kenangan bersama yang pernah kita rasa dan alami baik secara pribadi maupun secara kelembagaan, akan tetap menjadi bagian dari perjalanan hidup kita bersama, yang selamanya indah untuk dikenang. Secara pribadi, saya mungkin merasa sebagai orang yang paling kehilangan atas kebersamaan selama ini dengan mbak Irene, yang terutama lebih saya rasakan secara mental dan batin, karena banyaknya kesamaan yang kami miliki. Meskipun demikian, masing-masing dari kami tetaplah menjadi diri kami sendiri, yang dapat saling memahami dan menghargai satu sama lain. Dengan cara yang berbeda, teman-teman widyaiswara tentu juga merasakan kehilangan seorang sosok senior yang istimewa, yang sulit tergantikan.

Terima kasih tak terperi, mbak Irene, untuk semua hal yang tak mungkin dapat saya ungkapkan di sini.  Bersama mbak Wiwin, selamat memasuki masa purna tugas yang semoga selalu membahagiakan. Doa kami, tetaplah dalam rahmat Tuhan yang tak pernah putus. Aamiin.

Sebagai ungkapan terima kasih, saya mengakhiri impresi ini by singing a song prepared specially for you, accompanied by mas Dhanang. (Thank you so much, mas Dhanang, untuk musiknya, juga mas Heri yang awalnya menjadi teman berembug untuk ini). Untuk menemani saya menyanyikan lagu ini, saya minta mas Sito, yang dengan sukacita juga sudah menyiapkan untuk menyanyikan lagu ini. Meskipun expertise mas Sito adalah bahasa Jawa, kali ini saya memintanya untuk menyanyi bersama saya dalam bahasa Inggris, The Wedding….  Mas Aris, kami langsung menyambung, dan terima kasih telah memberikan kesempatan ini. Akhir kata, untuk semuanya yang hadir, wassalamu’allaikum wr.wb.

 

Yogyakarta, 31 Desember 2021.



Thursday, July 15, 2021

Refleksi Diri: My Last Sharing-Experience

 ---Irene Nusanti


Hadiah ulang tahun dari saya utk teman2 semua...

Sesaat sebelum lepas landas dari landasan pacu seni dan budaya, ijinkan saya untuk membagi pengalaman up and  down selama bekerja, dikemas dalam sajian berikut.

Refleksi 1:

Angkringan 'Blind Spot"

Refleksi 2:

A Blind Spot


Sunday, March 14, 2021

Di Balik Dinding Sekolah

  

--Rin Surtantini

 


 Pada suatu hari pada tahun 2014, seorang teman yang menjadi pengurus komite sekolah pada sebuah sekolah dasar tempat anaknya bersekolah, meminta kepada saya untuk membantunya menuliskan sebuah puisi. Dia ingin membacakannya pada acara perpisahan murid-murid kelas enam di sekolah itu, yang dihadiri tidak hanya oleh murid-murid, tetapi juga oleh para orangtua atau wali murid. Bagi saya ini sebuah permintaan khusus, karena saya tidak tahu mengapa hal ini menjadi penting baginya. Lagipula, saya tidak atau belum pernah menulis puisi karena permintaan orang lain yang ingin menyampaikan sebuah pesan atau sesuatu, sesuai dengan gagasan atau maksud darinya. Bukankah apa yang ada di benak setiap orang berbeda-beda dalam hal memberi dan mencipta makna? Maka, ini menjadi permintaan yang agak sulit bagi saya saat itu.

 Saya harus bertemu dengan teman ini. Percakapan melalui pertemuan singkat dengannya membantu saya untuk memahami mengapa ia ingin membacakan pesan melalui puisi itu pada acara perpisahan murid-murid di sekolah anaknya, dan apa pesan yang ingin dimunculkannya pada puisi itu. Menulis puisi tidaklah mudah bagi saya, meski saya sangat menyukai kegiatan ini sebagai dorongan hati. Akan tetapi, rasa ingin membantu teman ini pun tak bisa dipungkiri. Saya perlu sejenak berdiam untuk dapat menuliskannya.

 Alhasil, tulisan itu berwujud, entah itu puisi atau bukan, saya harus segera mengirimkannya kepada teman ini, dengan catatan saya tidak yakin apakah betul itu isi yang diinginkannya. Saya tak begitu peduli apakah puisi itu jadi dibacakan olehnya pada acara perpisahan itu atau tidak. Yang paling utama adalah akhirnya isi puisi itu malah mewakili pikiran saya dan beberapa fenomena yang saya rasa dan alami. Karena dituliskan pada tujuh tahun yang lalu, mungkin ada yang tidak relevan dengan konteks sekarang, misalnya pada istilah atau frasa “dinding sekolah” sehingga pada masa ini harus dimaknai sebagai makna metaforis.

 Setelah tahun 2014 itu, pada beberapa kesempatan semisal pelatihan kepala sekolah, pengawas, atau guru-guru, puisi itu menjadi bagian dari kegiatan refleksi yang saya lakukan pada akhir pelatihan. Saya membacakannya. Melalui puisi itu, saya bermaksud mengajak para pendidik yang sekaligus juga para orangtua, kita semua, untuk melakukan “redefinisi” terhadap makna dari pencapaian murid-murid yang sekaligus juga anak-anak kita melalui pendidikan. Baru-baru ini, puisi itu kembali saya bacakan sebagai closing statement pada acara Kolase Inovasi dengan topik "Pendekatan Pembelajaran Arts Integration", yang disiarkan secara live streaming melalui channel Youtube milik Radio Edukasi pada hari Kamis, 11 Maret 2021 lalu.

Atas ijin dari Radio Edukasi, bagian akhir dari video yang berisi pembacaan puisi ini diedit dan diunggah ulang oleh saya, sehingga dapat dilihat pada Youtube channel pada link https://youtu.be/JAJhx42vvg0.

Banyak terima kasih saya sampaikan kepada mas Dhanang, yang telah membuatkan backsound dalam bentuk piano cover lagu "The Way We were" atas permintaan khusus saya, sehingga menambah warna untuk pembacaan puisi ini pada video Youtube yang saya edit. Puisi ini ditulis dan dibacakan untuk kita semua, untuk pendidik, untuk para orangtua.

 

Di Balik Dinding Sekolah

(Juli 2014)

 

Ruang kelas adalah dunia yang diciptakan bersama

oleh guru dan murid-muridnya

melalui hari-hari yang terbentang panjang

dengan aneka goresan dan coretan yang penuh warna.

 

Di dalam dunia itu kepada guru

kita titipkan anak-anak kita

dengan sejuta pesan dan kata

yang mewakili gundukan keinginan dan tujuan kita.

 

Kepada guru kita mintakan anak-anak kita

menjadi pandai dengan angka yang cemerlang,

menjadi maju dengan langkah yang panjang,

menjadi hebat dengan prestasi yang gemilang,

menjadi cerdas dengan pengetahuan yang luas,

menjadi terampil dengan kemampuan yang tangkas,

menjadi juara dengan piala di almari kaca yang menghias,

menjadi terkenal karena aneka kesuksesannya.

 

Di dalam dunia yang bernama sekolah itu

kita tak segan meminta para guru

mendengarkan semua pesan dan permintaan kita

yang kita bukukan dan jilid dengan seksama

dengan judul “Cinta Kami kepada Anak-Anak Kami”.

 

Kita sangat mengingat judul buku itu,

karena kita tulis dengan semangat cinta kepada anak-anak kita,

tetapi kita lupa dan mungkin abaikan isinya:

 

Jika kita minta anak kita pandai dengan angka yang cemerlang,

mungkin ia tidak peduli bahwa setiap angka memiliki makna.

 

Jika kita minta anak kita maju dengan langkah yang panjang,

mungkin ia tak sadar telah menginjak kaki temannya.

 

Jika kita minta anak kita menjadi hebat dengan prestasi yang gemilang,

mungkin ia akan lupa bagaimana memperolehnya.

 

Jika kita minta anak kita menjadi cerdas dengan pengetahuan yang luas,

mungkin ia lupa untuk berbagi dengan temannya.

 

Jika kita minta anak kita menjadi terampil dengan kemampuan yang tangkas,

mungkin ia abai untuk membantu temannya.

 

Jika kita minta anak kita menjadi juara dengan berbagai piala di almari kaca,

mungkin ia tak peduli sekitar dan ingin untuk selalu berada di atas.

 

Jika kita minta anak kita menjadi terkenal karena kesuksesannya,

mungkin ia akan tumbuh dengan rasa bangga yang berlebih.

 

Banyak catatan yang kita titip dan mintakan

kepada guru bagi anak-anak kita

atas nama "cinta" kepada mereka.

Tetapi kita terkadang lupa

untuk menitipkan “nilai-nilai” dan bukan sekedar “angka”:

bahwa anak-anak kita harus tumbuh dan belajar

menjadi anak-anak yang berempati, menghargai,

menghormati, jujur, rendah hati, adil, dan toleran;

bahwa kita terkadang abai

jika anak-anak kita tumbuhkan hanya dengan angka-angka,

maka nilai-nilai menjadi tak lagi bermakna,

dan cinta tidaklah lagi dapat berbicara.

 

 

 


Terima kasih telah membaca catatan ini, atau telah melihat pembacaannya melalui Youtube channel.


Salam sukacita untuk semua!

 

Yogyakarta, 15 Maret 2021.

Thursday, December 31, 2020

Dan Desember pun Kembali Datang

 ---Rin Surtantini




Desember datang. Seperti Desember-Desember lain sebelumnya, hujan mulai rajin menyirami bumi, meski dengan frekuensi yang masih belum teratur. Masih seperti biasanya pula, harapan-harapan manusia akan datangnya pergantian tahun yang lebih baik mulai bermunculan di berbagai media sosial dalam berbagai ungkapannya. Sama seperti yang selalu terjadi pada setiap Desember pula, retorika tentang pentingnya refleksi diri mulai banyak ditampilkan para warganet.

Desember seperti sebuah pintu rumah yang segera ditutup setelah selalu terbuka sepanjang tahun. Desember serupa bab terakhir dari sebuah buku yang selesai dibaca. Desember seakan stasiun terakhir yang menunggu kereta api datang dan berhenti. Desember seolah ujian terbuka pada puncak studi seorang mahasiswa S3. Desember bagaikan ombak membuih yang bergerak melepas gelombang air laut di pantai yang menantinya.

 Metafora Desember itu menarik untuk disimak. Jika ia pintu rumah, maka tutuplah karena malam telah tiba. Jika ia sebuah buku, maka berhentilah membaca karena semua bab sudah habis terbaca. Jika ia stasiun, maka turunlah karena kereta telah berhenti. Jika ia ujian terbuka, maka terimalah ijazah karena telah dinyatakan lulus. Jika ia ombak, maka rasakan pecahan deburnya di pantai.

 Desember memang telah datang, sesuai pakem yang ada pada kalender yang digantung di dinding, atau yang diletakkan di atas meja kerja. Hujan memang telah turun pula pada bulan Desember, dan ada kalanya gugurannya begitu memutihkan bumi.  Ia menyaput semua debu yang menempel di daun dan pohon, mengalirkan sampah-sampah di jalan, menjernihkan udara yang penuh asap dan polusi. Tetapi, benarkah sesungguhnya ungkapan yang manis ini, “Let the rain wash away all the pain of yesterday…” (Biarkan hujan menghapus semua kedukaan kemarin) dapat tercipta dengan mudah dalam mental dan hati atau perasaan seseorang? Mungkin jawabnya adalah, “Time will heal…” (Waktulah yang akan menyembuhkan).

 Ya, kunci dari “the rain washes away all the pain of yesterday” adalah waktu. Seberapa lamakah, tergantung kepada bagaimana seorang individu mengelolanya. Dan bagaimanakah, tergantung kepada cara individu itu merespon “the pain of yesterday”. Belum lagi jika itu merupakan “the pain(s)” (kedukaan yang banyak), tentu pengelolaannya akan tergantung kepada mana yang paling membuncahkan pikiran seorang manusia yang mengalaminya.

Dan pada Desember tahun ini, seorang Tan mengalami “the pain(s) of yesterday”. Sesungguhnya kebuncahan pikirannya tentang ini sudah terjadi sejak Januari pada awal tahun ini, tetapi ia masih merawat harapannya, karena bukankah pintu tahun 2020 baru saja dibuka. Jadi pikirnya, biarkanlah pintu terus terbuka sepanjang tahun sebelum ia mungkin akhirnya memadamkan harapan-harapan itu. Tak dinyana, pandemi Covid-19 menghampiri bumi Indonesia pada bulan kedua-ketiga tahun ini. Tan tetap memelihara harapan-harapan yang dibangunnya sendiri dengan banyaknya tantangan baru yang harus dihadapi. Kegagapan teknologi yang harus diatasi, pemeliharaan semangat kerja dengan tetap produktif di rumah, pemaknaan ulang terhadap integritas sebagai seorang karyawan yang harus bekerja dari dan tinggal di rumah, penumbuhan akan rasa empati, atau “compassion” terhadap mereka yang kurang beruntung, kepatuhan terhadap prinsip keselamatan diri sendiri, lingkungan, sesama, melalui protokol kesehatan yang disarankan, dan masih banyak lagi.

 Tan menjalani itu semua dengan caranya sendiri sampai tak terasa Desember pun akhirnya tiba, merangkak menuju hari terakhir. Akan tetapi, ia tak bisa menghindar dari kebuncahan ini: mengapa “the pains of yesterday” tidak sama dengan daun dan pohon yang bersih dari debu, sampah-sampah yang mengalir, udara yang segar dan jernih karena guyuran hujan yang deras? Mengapa justru setiap saat hujan turun dan bumi basah olehnya, hati Tan semakin dirundung kepedihan, kegelisahan, keprihatinan, dan kekuatiran?

 Tan mengenang kembali, sebulan yang lalu jantungnya berdegup dan pedih ketika mendengar berita kepergian seorang rekan kerja seprofesinya yang jauh lebih muda darinya, terdeteksi terinfeksi virus yang bekerja dalam senyap itu. Tan mengingat kembali, dengan keyakinan bahwa Covid-19 ada di mana-mana, di kantor, di kendaraan umum, di hotel, di tempat wisata, di keramaian, bahkan di rumah sendiri, maka kesadaran untuk berhati-hati, menjaga diri sendiri , keluarga, dan orang lain, menjadi alangkah pentingnya untuk diterapkan! Tan memikirkan, bahwa keputusannya untuk tidak mengikuti sebuah kegiatan di lingkungan tempat kerjanya yang berpotensi menciptakan mata rantai-mata rantai yang bersambung, adalah sebuah keputusan personal yang selayaknya dihormati, bukan dipertentangkan atau dinilai sebagai wujud disintegritas seorang karyawan, atau dipertanggung jawabkan sebagai sikap atau perilaku yang melanggar komitmen sebagai seorang karyawan. Tan berkata pada diri sendiri, ia tak boleh terlalu percaya diri, apalagi jemawa, merasa pasti akan dapat terhindar dari sapaan virus ini terhadap dirinya, terhadap orang-orang yang dikenalnya.

 Tan membaca situasi, Covid-19 semakin nyata ada di mana-mana, dan semakin dekat dengan dirinya, apalagi ketika rekan-rekan kerjanya mulai ada yang terinfeksi, sehingga tracing menjadi semakin meluas. Kenyataan ini sekaligus juga menimbulkan “paranoid” terhadap diri sendiri dan terhadap rekan-rekan kerja yang dianggap telah berkontak langsung dengan rekan kerja lain yang terpapar. Tan hanya bisa sedih memikirkan, bagaimana seorang rekan kerja yang selama ini memiliki integritas, juga terdampak dengan pembentukan mata rantai virus ini. Ia tak dapat berbuat atau membantu apa-apa, kecuali mengirimkan doa akan kesembuhannya, dan agar anggota keluarganya dapat terlindungi, yaitu ibu yang tinggal bersamanya yang tentu tidak lagi muda, anak yang masih belia, dan istri yang setiap hari bersama dalam masa isolasi mandirinya. Tan berharap, “compassion” terhadap dampak-dampak dari pembentukan mata rantai virus ini tumbuh sebagai social awareness di kalangan manusia.

 Tan mengenang, bahwa angka-angka pencapaian yang diklaim sebagai keberhasilan yang bersifat administratif dan kuantitatif sering tidak seirama dengan kondisi-kondisi yang bersifat kualitatif. Tan menyaksikan, perayaan dan perhelatan terhadap perubahan yang bersifat kuantitatif sangat mewarnai kehidupan lingkungannya, dan bertanya pada dirinya sendiri, apakah ia pun harus sependapat bahwa perayaan menjadi sebuah kewajiban dan satu-satunya bentuk integritas jika ia adalah seorang karyawan di sebuah institusi? Tan berdiskusi dengan hatinya sendiri mengenai berbagai kebuncahan yang menyergapnya (dalam kesendirian). Tan membuat catatan-catatan itu dalam folder pribadinya, menyimpannya sendiri, dan membacanya sendiri juga sambil mendengarkan guguran air hujan yang semakin deras pada suatu malam di akhir Desember ini.

 Begitulah. Ia hanya seorang Tan. Ia hanya bisa menciptakan metafora tentang Desember dalam pikirannya sendiri. Jika pintu rumah memang harus ditutup karena malam telah tiba, bukankah esok pintu itu harus dibuka kembali dengan berharap ada perubahan dari gelap menjadi benderang? Jika sebuah buku selesai dibaca sampai bab terakhir, apa pelajaran yang diperoleh darinya? Jika kereta api telah berhenti pada stasiun terakhir, apa selanjutnya yang akan dilakukan penumpang begitu turun dari kereta? Jika ujian terbuka selesai dilalui, apakah ijazah dan gelar akademik hanya akan menjadi sebuah dokumen yang tersimpan rapi dalam map khusus? Jika ombak lepas di pantai, bukankah ia akan kembali lagi ke laut lepas untuk membentuk gelombang berikutnya?

 

 Yogyakarta, 31 Desember 2020.


Sunday, August 2, 2020

WfH Series: PERUBAHAN


---Purwadi



Ketika saya masih PTP, pernah ditugaskan untuk menjadi pengajar K13, padahal kami (PTP) belum pernah mendapatkan pembekalan mengajar K13. Oleh koordinator PTP kami mengadakan pembekalan mandiri, dan yang menjadi pengajar yaitu Pak Gede Oka Subagya, dan Pak Totok Sugiarto. Dari keduanya kami mendapatkan teknik untuk mengajarkan K13, baik cara membuka kelas, cara menyampaikan materinya, cara memberikan tugas, cara-cara membuat kelompok, cara-cara permainan, dan lain sebagainya. Banyak sekali ilmu cara mengajar yang kami dapatkan dari beliau berdua. Pokoknya sangat berkesan dan bermanfaat sekali bagi kami, yang belum pernah mengajar. Dengan apa yang disampaikan Pak Gede dan Pak Totok, saya catat urutan-urutannya sebagai modal untuk tugas yang akan kami laksanakan.

Silahkan bapak ibu menyiapkan selembar kertas dan bolpoint. Kalau sudah, silahkan membuat lima tanda tangan. Nanti saya akan menebak karakter sifat-sifat dari bapak Ibu. Kemudian semua mengerjakan sesuai dengan instruksi Pak Totok waktu itu. Setelah semua selesai membuat lima tanda tangan, kemudian Pak Totok menginstruksikan kembali. Sekarang, silahkan bapak ibu membuat lima tanda tangan lagi, tetapi dengan menggunakan tangan kiri, atau tangan yang berbeda dari sebelumnya. Kelas jadi ramai, gemuruh, riuh. Namun semua mengerjakan apa yang disampaikan Pak Totok. Pak Totok melihat hasilnya satu persatu. Bagus….. kata Pak Totok.

Setelah meneliti hasil tanda tangan yang kami kerjakan, Pak Totok menuju ke papan tulis. Apa komentar dan kesan bapak ibu, setelah membuat tanda tangan dengan tangan kiri. Silahkan beri komentar, akan saya tuliskan di papan tulis ini. Kemudian pesertapun tunjuk jari dan berkomentar, Pak Totok menulis di papan tulis:

1. Kaku

2. Sulit

3. Susah

4. Pegel

5. Hasil jelek

6. Tidak memuaskan

7. Nyerah pak

8. Tidak seperti yang diharapkan

9. Parah pak

10. Hasil berbeda pak

Setelah menulis komentar peserta di papan Tulis, Pak Totok menjelaskan. Bapak ibu, mari kita lihat satu persatu komentar bapak ibu yang sudah saya tulis ini. Nomer 1 kaku, ini negatif atau positif? Negatif Pak, semua perserta menjawab. Kemudian nomor 2? Negatif pak. Dan ternyata Bapak Ibu, dari nomor satu sampai nomor sepuluh semua komen dan kesannya adalah Negatif, tidak ada yang komen positif. Inilah yang dirasakan oleh bapak ibu. Betul? Betul Pak, semua menjawab.

Bapak Ibu…. Pak Totok melanjutkan… biasanya bapak ibu menulis dengan tangan kanan, dan kemudian ganti menulis dengan tangan kiri, ternyata yang dirasakan oleh bapak ibu adalah hal-hal yang negatif. Ini biasa terjadi apabila ada suatu perubahan. Apapun itu perubahan, biasanya komentarnya negatif, apakah itu ada perubahan menteri, perubahan kebijakan, perubahan adat-istiadat, perubahan kurikulum, dan perubahan-perubahan lainnya. biasanya orang selalu berprasangka buruk. Mengapa tadi tidak ada yang berkomentar positif, misalnya sangat tertantang pak, berusaha lebih bagus pak. Itu bukti bahwa setiap ada perubahan, biasanya kita berprasangka buruk. Oleh karena itu Bapak Ibu, janganlah kita berprasangka buruk dahulu jika ada suatu perubahan, sebelum kita mengetahui maksud dari perubahan itu. Apapun perubahan itu, kita cari segi positifnya. Pasti ada.

Itulah kenanganku belajar dengan Pak Totok dan Pak Gede. Dan setiap saya ditugaskan untuk mengajar K13 dulu, selalu saya sampaikan kepada peserta tentang membuat tanda tangan dengan tangan kanan dan tangan kiri, dan hasilnya sama, komentarnya banyak yang negatif. Saat itu baru terjadi perubahan kurikulum menjadi Kurikulum 13.

Kita, kantor kita telah terjadi berubahan, perubahan nama dari PPPPTK-SB menjadi BBPPMPV-SB, apakah kita akan berprasangka buruk, atau berprasangka positif?



Pokoh,

Sabtu, 1 Agustus 2020


Monday, July 27, 2020

WfH Series: EKSTRA KURIKULER YANG TERCECER, Sharing Pengalaman Pendampingan Anak Belajar di Rumah



Drs. F. Dhanang Guritno, M.Sn

Pada masa pandemi akibat mewabahnya virus corona ini dalam berbagai bidang mengalami kendala dalam melaksanakan kegiatannya disebabkan adanya protokol kesehatan yang harus diikuti berkaitan dengan social distancing.  Hal itu terjadi juga pada dunia pendidikan atau anak sekolah. Ketika semua kegiatan mengumpulkan orang harus dihentikan termasuk anak sekolah, praktis tidak ada kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan dengan cara tatap muka.  Semua sekolah melaksanakan pembelajaran dengan moda daring atau pembelajaran jarak jauh secara online. Disadari atau tidak sebenarnya moda ini hanya cocok digunakan untuk pembelajaran yang sifatnya teori. Namun hanya dengan cara inilah yang bisa ditempuh oleh sekolah dalam melaksanakan proses belajar mengajar.

Sebagai orang tua yang mempunyai anak belajar di SMA dan Perguruan Tinggi, saya menyaksikan juga bagaimana anak-anak dan satu orang keponakan yang ikut tinggal di rumah selama pandemi berlangsung melaksanakan kewajibannya sekolah dengan mengikuti pembelajaran jarak jauh. Mereka tiap hari bergelut dengan laptop masing-masing menyimak seluruh instruksi dan petunjuk gurunya melalui aplikasi yang dipakai. Mereka memakai  Zoom cloud meeting, atau aplilkasi yang sejenis. Beruntung keluarga kami dari sebelum pandemi memang sudah berlangganan jaringan wifi dari salah satu perusahaan penyedia jaringan milik pemerintah. Sejauh ini koneksinya aman-aman saja. Namun di luar itu kami sering mendengar cerita dari keluarga-keluarga yang tidak mempunyai akses wifi,  ternyata para orang tua mengeluh betapa besarnya pengeluaran ekstra untuk membeli kuota data agar anaknya bisa ikut mengikuti pelajaran. Belum lagi terbatasnya sarana yang dimiliki oleh keluarga tersebut belum tentu setiap anak mempunyai gadget sendiri.

Diskusi dan perbincangan mengenai sekolah pada masa pandemi yang dilakukan di media-media cetak maupun elektronik selalu mengatakan tidak bisa sekolah dituntut melaksanakan kurikulum secara ideal seperti kondisi normal pada masa pandemi. Sekolah menyelenggarakan proses belajar jarak jauh memang  tidak akan dituntut melaksanakan pembelajaran secara ideal sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Para pakar mengatakan idealnya ada kurukulum yang sifatnya darurat yang berbeda dengan pada kondisi normal.

Terlepas dari itu semua, ada satu hal yang menggelitik pikiran saya setidaknya pada kegiatan pembelajaran sekolah anak-anak saya. Mungkin sekolah yang lain terjadi juga. Dari semua pembelajaran yang dilaksanakan bisa saya pastikan semua adalah pelajaran intrakurikuler yang diusahakan semaksimal mungkin supaya berjalan dengan sebaik-baiknya. Tiap hari anak dihadapkan pada jadwal pelajaran seperti ketika mereka sekolah secara offline.

Pertanyaan yang timbul pada benak saya adalah cukupkah anak-anak sekolah hanya belajar dengan materi-materi pelajaran intrakurikuler? Tidak pentingkah kegiatan ekstrakurikuler bagi perkembangan anak didik? Memang kita sedang dihadapkan pada situasi yang tidak normal, mungkin bagi pihak sekolah berpendapat jangankan ekstrakurilkuler, intrakurikuler saja masih banyak pelajaran yang belum dapat terlaksana dengan baik.


Menurut Permendikbud No. 81A Tahun 2013, salah satu jenis kegiatan ekstrakurikuler adalah latihan/olah bakat/prestasi. Pengembangan bakat olahraga, seni dan budaya, cinta alam, jurnalistik, teater, keagamaan, dan lainnya. Disamping itu masih ada krida (kepramukaan) dan karya ilmiah. Dari berbagai jenis kegiatan ekstrakurikuler itulah saya melihat pada saat pembelajaran jarak jauh atau pandemi ini barangkali sulit dilakukan oleh sekolah.

Melihat kenyataan tersebut saya menyadari penuh bahwa tidak mungkin lagi kita berharap pada sekolah yang saat ini sedang sibuk melakukan pembelajaran jarak jauh akan melaksanakan kegiatan secara utuh baik intra maupun ekstrakurikulernya. Jangankan ekstra yang intra saja barangkali masih harus bekerja keras untuk dapat terselenggara dengan baik. Oleh karena itu diperlukan peran serta orang tua memikirkan bagaimana menyediakan pengganti kegiatan ekstrakurikuler ini.

Saya berfikir tidak ingin kegiatan ekstra kurikuler anak-anak terhambat, tetap harus ada. Dengan sekuat tenaga dan kemampuan, kami sekeluarga berusaha semaksimal mungkin menyediakan kegiatan setara sebagai pengganti kegiatan ekskul tersebut. Tidak perlu jauh-jauh dari kemampuan yang kita miliki, karena bidang saya musik saya sedikit “memaksa” anak-anak untuk saya ajak latihan bermain ansambel musik sebagai pengganti kegiatan ekskul mereka yang hilang. Secara rutin latihan atau semacam pembelajaran ekskul kami selenggarakan di rumah. Kami sepakat membuat jadwal latihan setiap hari Minggu. Kami tidak punya target yang tinggi, hanya setiap kali latihan kami dokumentasikan dalam bentuk video.

Suasana latihan di rumah

Dengan diadakannya latihan rutin tersebut ternyata berdampak menjadikan anak-anak lebih bersemangat dalam menghadapi rutinitas mereka belajar secara online. Barangkali menjadi semacam variasi mengusir kebosanan yang harus mereka hadapi. Waktu berjalan terus, suatu ketika ada sebuah pengumuman festival keluarga berdendang, yakni semacam lomba membuat video bernyanyi dan bermain musik yang dilakukan oleh keluarga. Karena kami punya dokumentasi video setiap kali latihan, kami bersepakat untuk mengikuti festival tersebut dengan mengambil salah satu video kemudian sedikit diedit dan diikutkan pada festival tersebut. Tanpa diduga video kami masuk sebagai salah satu pememang pada fesival tersebut maka bersukacitalah kami sekeluarga.


Dengan peristiwa kegembiraan itu saya menjadi punya harapan bahwa kegiatan ekstrakurikuler penyalur minat dan bakat siswa yang tercecer alias tidak terpikirkan lagi, ternyata bisa kami sediakan penggantinya. Tugas ini memang menambah beban berat orang tua siswa tetapi jika berbuah manis tidak ada yang berat untuk dilakukan. Mudah-mudah sharing pengalaman ini bisa menjadi inspirasi para pembaca sekalian sesuai dengan bidang kita masing-masing untuk memikirkan pendidikan anak-anak kita menjadi semakin lengkap dan baik meski belum bisa sempurna.



Bantul, 27 Juli 2020

Tuesday, July 7, 2020

Catatan Pengalaman dari Balik Ruang Kelas Zoom: Mengikuti “Online Training”


--Rin Surtantini

 



Pembelajaran secara online dipahami sebagai sebuah proses belajar yang dijalani oleh seseorang sesuai dengan waktu yang dimilikinya dan dari lokasi tempatnya berada. Kelas yang diikuti bukan kelas yang secara fisik ada, karena pembelajaran tidak dilakukan secara tatap muka langsung atau secara fisik. Pada moda pembelajaran online terdapat fleksibilitas, sehingga seseorang dapat belajar tentang sesuatu sesuai dengan kebutuhannya, kapanpun dan dari manapun ia berada dengan menggunakan jaringan internet.

***

Seminggu setelah mendaftar pada sebuah program tim seleksi yang ditawarkan oleh Kemendikud, saya menerima undangan untuk mengikuti pelatihan. Pelatihan ini merupakan bagian dari program tim seleksi nasional, yang mensyaratkan bahwa seorang asesor dalam tim seleksi harus dinyatakan “certified” atau disertifikasi. “Certified” ini diberikan apabila calon tim seleksi mengikuti pelatihan secara penuh, sehingga selama proses pelatihan, peserta diharapkan dapat mencapai penguasaan kompetensi-kompetensi sebagai tim seleksi sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh lembaga penyedia pelatihan dan Kemendikbud. Kompetensi-kompetensi yang harus dikuasai tersebut dilatihkan kepada peserta pelatihan melalui konsep-konsep seleksi dan skills practice untuk setiap kompetensi.

Tulisan ini merupakan refleksi yang berupa catatan pengalaman belajar saya melalui pelatihan online yang saya ikuti selama lima hari pada minggu lalu melalui aplikasi Zoom.

 ***

Asumsi personal terhadap pembelajaran “online”

Tiga hari sebelum pelaksanaan pelatihan “Targeted Selection Interview” –demikian judul pelatihan yang saya ikuti ini— semua peserta mengikuti briefing yang diadakan oleh Kemendikbud bekerjasama dengan sebuah lembaga profesional pada bidang pengembangan sumber daya manusia yang akan menjadi pelaksana pelatihan. Lembaga pelaksana pelatihan ini merupakan perwakilan resmi dari pusatnya yang berada di Amerika Serikat. Artinya, materi pelatihan dan standar-standar yang ditetapkan pada pelatihan ini memiliki copyright sebagai properti intelektual.

 Dalam briefing diberikan gambaran awal bahwa pelatihan ini akan dilakukan secara online sinkronous (full video conference) menggunakan aplikasi Zoom (yang tentu versi berbayar), non-stop selama lima hari dari pukul 08.00 pagi sampai dengan pukul 14, atau pukul 15, 16, dan pukul 18 pada hari terakhir. Apa yang harus disiapkan oleh peserta? Tentu saja jaringan internet yang stabil dan kuota internet yang cukup setiap hari selama mengikuti pelatihan, perangkat laptop yang memadai, tidak adanya gangguan atau hambatan yang dapat membuyarkan konsentrasi, mental dan fisik yang tangguh, ketahanan dalam menggunakan headset sepanjang mengikuti pelatihan dengan video yang harus on terus,  tidak melakukan multi-tasks atau banyak pekerjaan lain di luar pelatihan, serta amunisi berupa makanan, makan siang, dan minuman yang cukup dan siap tersedia di dekat peserta agar tetap fit dan ada ketika dibutuhkan.

 Semua yang harus disiapkan ini menimbulkan kecemasan tersendiri yang muncul karena asumsi-asumsi berdasarkan pengalaman, seperti misalnya: jaringan internet melalui wifi sewaktu-waktu tidak stabil, dan akan sangat merepotkan jika listrik juga tiba-tiba mati; atau ada kejadian-kejadian yang tiba-tiba mengganggu konsentrasi; atau kondisi mental dan tubuh yang kadang tidak fit; atau telinga yang akan sakit jika menggunakan headset terus menerus; atau gerakan dan sikap tubuh yang harus selalu ditata karena master trainer (pelatih) dan peserta lain akan bisa mengawasi atau melihat semua gerak-gerik melalui video yang harus dihidupkan terus; adanya pekerjaan lain di luar pelatihan yang harus diselesaikan dan tidak bisa dihindari; pelatihan ini akan sangat melelahkan dengan tugas-tugas (LK yang banyak) sesuai dengan kebutuhan pengajar (bukan kebutuhan peserta), sehingga ilmu, pengetahuan, atau keterampilan yang diperoleh tidak jelas; dan sebagainya.

 Stereotip yang gugur

Semua asumsi berdasarkan stereotip di atas karena beberapa pengalaman masa lalu memenuhi pikiran dan perasaan saya, sebelum akhirnya gugur ketika hari pelatihan itu datang, dan berjalan selama lima hari. Apa yang saya rasakan dan alami? Model pembelajaran yang dilakukan mengingatkan saya akan pelatihan-pelatihan yang pernah diikuti di luar negeri, di negara-negara maju, atau ketika di dalam negeri dengan pengajar atau pelatih yang berasal dari negara-negara maju tersebut. Catatan hasil refleksi berikut ini menggugurkan asumsi-asumsi personal berdasarkan stereotip yang terbangun dalam pikiran dan perasaan saya sebelumnya.

 

1.    Pelatihan berbasis kompetensi

Target kompetensi yang harus dikuasai oleh peserta jelas dan terukur, sehingga kompetensi-kompetensi itulah yang dikenalkan dan dilatihkan melalui konsep-konsep pada sesi pemberian materi, dan dipraktikkan melalui skills practice selama pelatihan berlangsung. Pelatihan fokus pada apa yang peserta harus dapat tunjukkan dan lakukan melalui skills practice pada situasi tertentu (what an individual can really do in a given situation) untuk kompetensi-kompetensi yang harus dicapai. Ketercapaian kompetensi-kompetensi ini dilihat melalui evidence atau bukti-bukti, sehingga seseorang dinyatakan “certified” apabila ia memenuhi pencapaian penguasaan kompetensi-kompetensi tersebut. Seseorang juga dapat diberikan status “deferred” atau sertifikasinya ditunda karena harus mengulang, menambah jam pelatihannya, atau mengikuti lagi pelatihan untuk mencapai status “certified”. Seseorang juga dapat berstatus “not certified” apabila tidak memenuhi pencapaian kompetensi yang distandarkan. Semua evidence ini diperoleh dari unjuk kerja peserta pada skills practice yang dicatat secara cermat melalui observasi, dan diberikan sebagai laporan kepada peserta setelah pelatihan berakhir.

 

2.    Penilaian berdasarkan kriteria (criterion-referenced assessment)

Penilaian dilakukan selama proses berlangsung, terutama pada saat peserta melakukan skills practice secara kelompok. Karena tujuan dari praktik keterampilan ini adalah untuk menerapkan konsep dan pengetahuan yang telah diberikan, peserta tidak menyadari bahwa pada saat itu penilaian per-individu sesungguhnya dilakukan oleh co-trainer. Berbeda dengan penilaian berdasarkan norma (“norm-referenced assessment”), pelatihan ini menerapkan penilaian berdasarkan kriteria (“criterion-referenced assessment”), yang tidak membandingkan pencapaian atau skor satu peserta dengan peserta lain, tapi melihat bagaimana pencapaian individu terhadap semua kompetensi yang harus dikuasainya.  Jadi setiap individu tidak bersaing terhadap individu lainnya, melainkan berupaya bagaimana dirinya sendiri dapat mencapai target kompetensi yang ditetapkan sebagai tim seleksi. Maka, hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip dari pelatihan berbasis kompetensi yang pernah saya pelajari dan alami ketika berkesempatan belajar mengenai technical and vocational education selama setahun di negeri kanguru beberapa puluh tahun silam.

 

3.    Belajar dalam kelas kecil

Kelebihan yang dialami dengan kelas yang kecil adalah terpeliharanya perhatian yang intense dari master trainer (pelatih utama) terhadap pesertanya. Master trainer pada satu jam pertama pada hari pertama sudah hapal dengan nama-nama peserta (meskipun ini juga terbantu oleh nama yang tertulis pada setiap layar video peserta). Jadi nama pada layar video peserta itu sebenarnya name tag pada kelas virtual.

 

Kelas kecil juga memberi kemudahan pada pelatih dalam mengelola kelas. Fokus tercipta. Hanya ada 12 (duabelas) peserta pada setiap kelas pada ruang Zoom itu, yang diampu oleh seorang master trainer dan dibantu oleh empat co-trainers, dan seorang staf yang menangani administrasi virtual serta masalah teknis pada bidang IT. Masing-masing bertanggung jawab sesuai dengan tugasnya dan melakukannya secara profesional, penuh perhatian, dan dengan keramahan, senang hati, sehingga semua kebutuhan dan permasalahan peserta terpenuhi dan dapat dikelola dengan cermat dan cepat.

 

Belajar dalam kelas kecil ini juga membuat terciptanya suasana hangat, akrab, dan nyaman antarpeserta dan pelatih serta staf yang terlibat, meskipun pertemuan secara fisik tidak terjadi. Ini artinya, suasana kelas fisik dapat diciptakan pada kelas virtual. Dengan suasana seperti ini, belajar dan berbagi di kelas virtual seperti pada kelas fisik pun menjadi menyenangkan. Peserta dalam satu kelas terdiri dari enam orang widyaiswara dari tiga PPPPTK yang berbeda, dan enam orang guru yang berasal dan mengajar di sekolah-sekolah internasional di beberapa kota, yang merupakan sekolah-sekolah yang bekerjasama dengan JIS (Jakarta Intercultural School). Kombinasi peserta dalam kelas kecil seperti ini memungkinkan terjadinya saling belajar atas dasar perbedaan pengalaman dan tugas masing-masing.

 

 

4.    Adopsi kelas fisik ke dalam kelas virtual yang well-prepared

Aplikasi Zoom yang digunakan sepanjang hari dari pagi sampai sore selama lima hari melalui video conference adalah ibarat sebuah upaya mengadopsi kelas fisik tatap muka langsung ke dalam kelas virtual. Itulah sebabnya, saya menduga, mengapa pelatihan ini tidak menggunakan atau memanfaatkan LMS (Learning Management System), seperti misalnya Google Classroom, Moodle, ATutor, Schoology, Edmodo, dan sebagainya. Meskipun ada keterbatasan di mana kelas virtual tidak dapat menyerupai persis seperti kelas fisik, pelatihan yang saya ikuti ini mencoba untuk menciptakan beberapa kegiatan seperti terjadi dalam kelas fisik.

 

Ketika master trainer memberikan materi berupa konsep dan contoh-contoh penerapannya, keduabelas peserta berada bersama di main room dari Zoom. Ketika peserta berlatih mempraktikkan kompetensi-kompetensinya, mereka akan dipecah menjadi grup-grup yang lebih kecil, terdiri dari tiga orang per-grup, dengan seorang co-trainer untuk setiap grup kecil ini, yang akan menjadi pembimbing dan sekaligus pengamat bagi setiap individu. Empat grup kecil ini dikirim dan bergabung ke breakout room masing-masing yang berbeda. Praktik, diskusi, argumentasi yang lebih intensif terjadi di sini pada waktu yang ditentukan secara ketat, sebelum akhirnya semua kembali lagi ke main room untuk melaporkan dan membahas hasil praktik dan diskusi kelompok. Grouping semacam ini akan selalu berubah anggotanya, sehingga peserta berkesempatan untuk saling bertemu, mengenal, dan bekerja dengan peserta lain yang berbeda.

 

Agar apa yang dilakukan dalam kelas fisik juga teradopsi di kelas virtual ini, setiap peserta harus paham dan menggunakan fitur-fitur, atau fasilitas dan fungsi dari Zoom, misalnya ketika ia ingin bertanya atau mengemukakan pendapat, ketika ia harus pindah ke breakout room, ketika menggunakan papan tulis sewaktu mencatat hasil diskusi, ketika memberikan respon, ketika ijin keluar dalam beberapa menit, dan sebagainya, yang sebetulnya mudah untuk dilakukan, hanya perlu pembiasaan saja.

 

Sebagaimana halnya dengan kelas fisik, master trainer menggunakan bahan tayang atau resource book yang dibagi di layar pada saat menjelaskan. Dua hari sebelum pelatihan, peserta juga sudah mendapatkan resource book dan practice book dalam bentuk elektronik. Semua peserta atas inisiatif sendiri mencetak kedua buku tersebut untuk memudahkan dalam membaca dibandingkan membuka dalam bentuk e-book. Semua materi, baik konsep maupun praktik disampaikan oleh master trainer dengan sangat efektif, detil, dan jelas, meskipun padat. Efektivitas penyampaian materi yang padat sangat terbantu dengan pemutaran video yang memang dirancang untuk tatap muka virtual, bukan untuk ditonton secara mandiri oleh peserta. Video itu menayangkan bagaimana keterampilan dan kompetensi tertentu dinilai secara detil melalui pemeranan aktual dari tim seleksi dan pelamar dalam sebuah seleksi. Pada setiap bagian video sudah dirancang kapan master trainer menghentikan video, dan menggunakan waktu untuk mendiskusikannya dengan peserta.

 

Pada setiap pagi di awal sesi, master trainer selalu membawa peserta untuk memecah kebekuan atau mengawali hari dengan semangat yang terpelihara, sebagaimana terjadi di kelas-kelas fisik. Contoh yang dilakukan adalah, setiap peserta secara bergiliran mengatakan pengalaman apa yang pernah dilakukannya yang mirip dengan tugas sebagai tim seleksi, setiap peserta diminta untuk menyebutkan perasaannya pada pagi itu, setiap peserta menceritakan secara singkat apa yang membuatnya merasa berhasil pada pagi hari itu, atau setiap peserta diminta untuk mengatakan apa kekuatan atau kelebihan yang dimilikinya yang membuatnya layak menjadi tim seleksi.

 

Demikian juga pada akhir kelas, master trainer meminta setiap peserta misalnya menyebutkan kesannya dalam satu kata tentang pelatihan pada hari itu, atau seperti layaknya orang beli makan di restoran, maka apa take-away pengalaman yang bisa dibawa oleh peserta pada sore itu, atau peserta menyebutkan tiga kata yang mewakili gambaran mengenai pelatihan pada hari itu. Peserta serius mengikuti, tetapi tetap bisa relaks dan tidak tegang.  Terlihat juga bahwa pengajar atau pelatih memiliki tanggung jawab besar dan berkomitmen untuk dapat membuat setiap pesertanya paham dan dapat menguasai kompetensi yang ditetapkan.

 

 

5.    Properti intelektual dan profesionalisme

Copyright sebagai properti intelektual pada resource book dan practice book menjadi hal yang harus dihormati. Sejak briefing sampai selama pelatihan, peserta diingatkan untuk hal ini, artinya semua itu hanya digunakan untuk personal use peserta yang mengikuti pelatihan.  Poin atau nilai-nilai penting yang diajarkan secara tidak langsung kepada peserta adalah bahwa siapapun dalam bidang akademis harus melakukan kegiatan akademisnya secara jujur, dan dapat dipertanggung jawabkan secara pribadi. Seseorang yang ingin berada pada level sukses harus mencapainya dengan cara-cara yang benar, bukan cara-cara short cut yang palsu, misalnya praktik-praktik mendapatkan bocoran soal untuk tujuan lulus suatu tes, atau untuk tujuan menjadi the best, mengalahkan yang lain dengan cara-cara yang tidak jujur.

 

Yang seyogyanya menjadi kepedulian peserta ketika mengikuti pelatihan adalah ilmu, pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai (values) apa yang diperolehnya dari pelatihan tersebut, yang dapat diterapkannya pada tugas yang menjadi tanggung jawabnya, sehingga ketika ia dinyatakan “certified”, ia memang memenuhi kompetensi yang menjadi target dari pelatihan tersebut. Ketika target kompetensi pelatihan dirumuskan dengan jelas, disiapkan dengan baik secara konten maupun teknis, dan dilatihkan secara profesional oleh pengajar atau pelatihnya, serta dijalani oleh pesertanya dengan penuh komitmen, maka sudah selayaknya jika dikatakan pelatihan itu memiliki nilai-nilai positif yang berarti.

 

6.    Komunikasi dan pola pembelajaran yang membangun hubungan dan iklim kelas

Tanpa disadari dan tanpa terasa, lima hari berlalu, dilewati. Konsentrasi dan fokus peserta terbangun, semua permasalahan teknis yang dialami peserta selalu dengan sigap dapat dibantu diatasi oleh staf administrasi yang merangkap IT, semangat peserta terjaga, esensi pelatihan tersampaikan … yes, I’ve got the points!  Tidak ada beban LK-LK yang berjubel, monoton, membosankan, dikerjakan secara lembur, ditagih-tagih sebagai syarat penilaian dan kelulusan, dikerjakan secara copy-paste, dikerjakan dengan berat hati tanpa tahu esensi dan kontennya, dilakukan peserta untuk mengurangi beban pengajar dan bukan untuk memenuhi kebutuhan peserta. Tidak pula ada pre-post test yang item tesnya tidak semuanya dibuat untuk mengukur ketercapaian kompetensi peserta.

 

Lima hari pun menjadi waktu yang singkat tetapi full of essence and values. Kemampuan pengajar dalam strategi berkomunikasi dengan peserta menjadi salah satu aspek penting yang mendukung iklim kelas yang positif. Dalam pelatihan kelas virtual full video conference ini, kondisi iklim kelas positif ini terjadi dan terjaga.  Seorang pengajar yang terpanggil, seyogyanya selalu bertanya kepada dirinya melalui refleksi, “Apakah saya telah memberikan sesuatu yang meaningful kepada peserta pelatihan?”  “Apakah mereka memeroleh sesuatu dari saya?”  “Apakah mereka memeroleh yang mereka butuhkan?” dan berbagai pertanyaan serupa yang akan terus membelajarkannya.

 

***

Ketika pelatihan ini berakhir, satu persatu peserta dipanggil oleh master trainer ke breakout room, untuk memeroleh feedback dari master trainer dan co-trainer berupa area kekuatan yang dimiliki individu serta area pengembangan yang masih perlu diperbaiki atau ditingkatkan. Feedback lisan ini dikrimkan juga ke setiap email individu dalam bentuk laporan tertulis. Bagi saya, ini sebuah pengalaman mengikuti pelatihan secara online dengan full video conference, yang mengungkap sisi lain bahwa pelatihan online semacam ini meski tidak terdapat fleksibilitas dalam jadwal atau waktu pelaksanaannya, dapat tetap memberikan rasa senang, termotivasi, nyaman, dan fulfilled bagi pesertanya. Ini dapat tercapai jika terdapat atau dipenuhinya semua aspek yang menggugurkan asumsi-asumsi awal yang diuraikan di atas.

 

 

Yogyakarta, 7 Juli 2020.