---Irene Nusanti
Hadiah ulang tahun dari saya utk teman2 semua...
Sesaat sebelum lepas landas dari landasan pacu seni dan budaya, ijinkan saya untuk membagi pengalaman up and down selama bekerja, dikemas dalam sajian berikut.
Refleksi 1:
Refleksi 2:
---Irene Nusanti
Hadiah ulang tahun dari saya utk teman2 semua...
Sesaat sebelum lepas landas dari landasan pacu seni dan budaya, ijinkan saya untuk membagi pengalaman up and down selama bekerja, dikemas dalam sajian berikut.
Refleksi 1:
Refleksi 2:
--Rin Surtantini
-- Sito Mardowo (A’ak Sito dari Studio Karawitan)
Tulisan
ini bukan hasil kajian atau penelitian yang melahirkan ‘pengertian yang
mendalam’ apalagi membuahkan konklusi yang selanjutnya dapat digunakan sebagai
refeferensi bagi para peneliti-pengkaji lainnya, meskipun judulnya cetar
membahana. Kan sudah ada kesepakatan bersama, Vidyasana merupakan wadah tulisan
jenis apapun… (bahkan tidak hanya tulisan…. Gambar… puisi… atau apapun), cara
menulis apapun, bahasa apapun, gaya bahasa apapun, dan tentunya gak usah mikir
gaya selingkung juga…. He…he….pokoke nulis…. Itu semangatnya. Apik-elek nomor
207.
Kembali
ke laptop. Teman-teman yang pernah belajar Bahasa Daerah Jawa di SD ataupun SMP
biasanya pirsa atau tahu pupuh tembang Pocung karya Kanjeng Gusti
Pangéran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunagara IV yang bunyinya seperti ini:
Ngelmu
iku Kalakone kanthi laku,
Lekase
lawan kas,
Tegese
kas nyantosani,
Setya budya pangekese dur angkara.
Banyak filsuf, budayawan, sastrawan, peneliti dan pengkaji menginterpretasikan makna filosofi yang terkandung dalam pupuh tembang Pocung tersebut. Dari ilmu Hermeneutika sampai teori semiotika bahkan disiplin ilmu lainnya digunakan sebagai ‘pisau’ untuk membedah pupuh tembang Pocung tersebut. Lain halnya dengan saya. Saya akan mencoba menginterpretasikan salah satu kata dalam pupuh tembang tersebut dengan dengan menggunakan ‘ilmu krungu’. Hehehe….. mungkin teman-teman jadi tertawa dengan istilah ‘ilmu krungu’. Kayaknya nggak sebanding ya dengan ilmu-ilmu ‘joss’ para intelektual.
Saya
menamakan ‘ilmu krungu’, karena memang saya dapat ketika saya ‘krungu’
atau mendengar para tokoh ‘kejawen’ yang ngobrol bersama dengan orang
tua saya di masa beberapa tahun yang lalu. Lumayan lama sih! Saya tidak melakukan klarifikasi, tidak
melakukan wawancara, tidak mendebat, dan tidak aktif melakukan apapun. Saya
hanya pasif mendengarkan mereka saja. Tentunya sambil ‘ngunjuk’ wedang kopi
biar fresh.
Kembali
ke laptop lagi. Sesuai dengan judul tulisan ini, saya hanya akan membahas kata
‘laku’ yang ada pada pupuh tembang Pocung tersebut. Menurut mereka, kata ‘laku’
sangat populer digunakan dalam perbincangan sehari-hari bagi masyarakat Jawa,
sehingga bukan sesuatu yang luar biasa ketika kata tersebut digunakan dalam
tembang. Kalimat tanya seperti ‘Laku-mu kok pincang, kenapa?’. Kemudian ada ungkapan lain seperti, ‘Yen
kowe pengin dadi wong, kudu sing gede laku-mu mas.’ Ternyata dua kata
tersebut ‘bisa’ berbeda makna. Pada kalimat
‘Laku-mu kok pincang, kenapa?’, kata ‘laku’ berarti jalan. Kata
jalan tersebut bermakna harafiah atau literal yang artinya bergerak maju atau
mundur dari satu tempat ke tempat lain. Sedangkan kata laku pada kalimat ‘Yen kowe pengin dadi wong, kudu sing gede
laku-mu mas’, memiliki makna yang tersirat. Menurut mereka (para kejawen
Klaten), kata ‘laku’ pada kalimat tersebut sama dengan kata ‘laku’ yang
terdapat dalam pupuh tembang Pocung di atas.
Para
bapak-ibu kejawen Klaten (ada ibunya juga lhoh…) merumuskan setidaknya ada 4 aspek yang
terkandung dalam kata ‘laku’ pada pupuh tembang Pocung.
·
Pertama, ‘laku’ diartikan sebagai sebuah
tindakan untuk mempelajari ‘guna kasantikan’ yang dapat diterjemahkan
sebagai ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan. Ilmu tersebut tidak terbatas untuk
meningkatan kompetensi di suatu bidang tertentu, tetapi juga ilmu sosial, ilmu
spiritual agama-keyakinan, ilmu ‘rasa’, dan sebagainya. Ilmu yang dimaksud di
sini cenderung olah pikir. Meskipun di situ terdapat ilmu spiritual dan ilmu
rasa, tetapi yang dipelajari bertumpu dari sisi ‘wadag’ atau ilmunya.
Bukan implementasinya.
·
Kedua, ‘laku’ diartikan sebagai ‘mati-raga’
dengan cara mengurangi segala jenis
atau aktifitas nafsu duniawi. Jenis kegiatan tersebut misalnya (1) Menjalankan puasa makan
dan atau puasa terhadap kegiatan yang mengundang nafsu. Puasa makan misalnya
ngebleng, senin-kemis, weton, dan sebagainya.
Puasa kegiatan mengundang nafsu misalnya puasa tidak melakukan hubungan
intim (agak saru dikit ya…) (2) Melakukan ‘sesirik’ atau menghindari
makanan yang enak atau membikin enak. Misalnya pantang makan daging, pantang
makan garam, pantang makan gula dan sebagainya. (3) Tirakat, tidak tidur di sepanjang malam, ‘kumkum’ di
sungai, napak tilas dan sebagainya.
·
Ketiga, ‘laku’ diartikan sebagai kegiatan
mendekatkan diri kepada Tuhan. Orang Jawa memiliki konsep Ke-Tuhanan yang kuat,
sehingga diyakini bahwa semua ‘pambudidaya’ atau usaha seseorang dapat terkabul
kalau mendapat ijin dari Tuhan. Ketika segala usaha fisik sudah dilakukan,
sebagai penguat orang Jawa akan menyerahkan segala sesuatunya kepada Tuhan.
Prinsip orang Jawa, kalau segenap usaha terkabul maka usaha tersebut sejalan
dengan kehendak Tuhan, tetapi apabila tidak terlaksana seperti yang diharapkan
manusia maka hal tersebut tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Orang Jawa tidak
memiliki karakter menghakimi Tuhan apabila kehendaknya tidak dikabulkan. Upaya
untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan cara menyembah Tuhan dengan berbagai
cara seturut dengan keyakinannya dan melakukan perbuatan baik pada diri sendiri
dan kepada sesama.
·
Keempat, ‘laku’ diartikan sebagai suatu cara
untuk mengelola emosi dengan melatih kesabaran, berpikir positif, berlaku bijak
dalam berbagai masalah, tidak mengembangkan karakter ‘adigang-adigung-adiguna’,
mengembangkan rasa tepa slira dan sebagainya. ‘Laku’ dalam konteks ini
berkaitan erat dengan dengan ‘laku’ dalam artian guna kasantikan seperti
yang disampaikan pada aspek pertama tadi. Aspek pertama menyampaikan secara’ wadag’
sedangkan aspek keempat merupakan implementasinya dalam berkehidupan.
Setidaknya ada 4 aspek itu yang saya tangkap
tentang kata ‘laku’ dalam obrolan bapak-ibu kejawen di rumah orang tua saya
tempo doeloe. Tapi jangan lupa… konteksnya pada pupuh tembang Pocung, karena
ada kata ‘laku’ yang jauh berbeda makna yaitu pada konteks ‘laku’ pada saat
seseorang akan meninggal dunia.
Saya yakin, bahwa kata laku yang dibahas
dalam tulisan ini mungkin berbeda dengan opini bapak ibu WI. Mungkin juga…. ada
aspek lain yang kurang. Mungkin juga…. Ada yang keliru. Mungkin juga…. teman-teman
bisa melengkapi. Kalau mau sich……
Mohon maaf teman-teman, ini asal nulis yang
tiba-tiba hinggap di ingatanku… tentunya banyak kesalahan terkait penulisan.
Tangkiyu evribadeh…
Salam.
--Rin Surtantini
Atas ijin dari Radio Edukasi, bagian akhir dari video yang berisi pembacaan puisi ini diedit dan diunggah ulang oleh saya, sehingga dapat dilihat pada Youtube channel pada link https://youtu.be/JAJhx42vvg0.
Banyak terima kasih saya sampaikan kepada mas Dhanang, yang telah membuatkan backsound dalam bentuk piano cover lagu "The Way We were" atas permintaan khusus saya, sehingga menambah warna untuk pembacaan puisi ini pada video Youtube yang saya edit. Puisi ini ditulis dan dibacakan untuk kita semua, untuk pendidik, untuk para orangtua.
Di Balik Dinding Sekolah
(Juli 2014)
Ruang kelas
adalah dunia yang diciptakan bersama
oleh guru dan
murid-muridnya
melalui
hari-hari yang terbentang panjang
dengan aneka
goresan dan coretan yang penuh warna.
Di dalam
dunia itu kepada guru
kita titipkan
anak-anak kita
dengan sejuta
pesan dan kata
yang mewakili
gundukan keinginan dan tujuan kita.
Kepada guru kita mintakan anak-anak kita
menjadi
pandai dengan angka yang cemerlang,
menjadi maju
dengan langkah yang panjang,
menjadi hebat
dengan prestasi yang gemilang,
menjadi
cerdas dengan pengetahuan yang luas,
menjadi
terampil dengan kemampuan yang tangkas,
menjadi juara
dengan piala di almari kaca yang menghias,
menjadi
terkenal karena aneka kesuksesannya.
Di dalam
dunia yang bernama sekolah itu
kita tak
segan meminta para guru
mendengarkan
semua pesan dan permintaan kita
yang kita
bukukan dan jilid dengan seksama
dengan judul
“Cinta Kami kepada Anak-Anak Kami”.
Kita sangat
mengingat judul buku itu,
karena kita
tulis dengan semangat cinta kepada anak-anak kita,
tetapi kita
lupa dan mungkin abaikan isinya:
Jika kita
minta anak kita pandai dengan angka yang cemerlang,
mungkin ia
tidak peduli bahwa setiap angka memiliki makna.
Jika kita
minta anak kita maju dengan langkah yang panjang,
mungkin ia
tak sadar telah menginjak kaki temannya.
Jika kita
minta anak kita menjadi hebat dengan prestasi yang gemilang,
mungkin ia
akan lupa bagaimana memperolehnya.
Jika kita
minta anak kita menjadi cerdas dengan pengetahuan yang luas,
mungkin ia
lupa untuk berbagi dengan temannya.
Jika kita
minta anak kita menjadi terampil dengan kemampuan yang tangkas,
mungkin ia
abai untuk membantu temannya.
Jika kita
minta anak kita menjadi juara dengan berbagai piala di
almari kaca,
mungkin ia
tak peduli sekitar dan ingin untuk selalu berada di atas.
Jika kita
minta anak kita menjadi terkenal karena kesuksesannya,
mungkin ia
akan tumbuh dengan rasa bangga yang berlebih.
Banyak
catatan yang kita titip dan mintakan
kepada guru
bagi anak-anak kita
atas nama
"cinta" kepada mereka.
Tetapi kita
terkadang lupa
untuk
menitipkan “nilai-nilai” dan bukan
sekedar “angka”:
bahwa
anak-anak kita harus tumbuh dan belajar
menjadi
anak-anak yang berempati, menghargai,
menghormati,
jujur, rendah hati, adil, dan toleran;
bahwa kita
terkadang abai
jika anak-anak
kita tumbuhkan hanya dengan angka-angka,
maka
nilai-nilai menjadi tak lagi bermakna,
dan cinta
tidaklah lagi dapat berbicara.
Yogyakarta, 15 Maret 2021.
Suatu hari menjelang akhir bulan Desember tahun lalu, saya melakukan percakapan di Whatsapp dengan seorang kolega sekaligus sahabat yang mengajar di sebuah perguruan tinggi negeri. Ia mengelola jurnal terakreditasi nasional berbahasa Inggris yang kebetulan saya menjadi salah satu reviewer (mitra bestari atau penelaah) di dalamnya. Percakapan kami berdua cukup panjang, mengenai tradisi ilmiah dalam menulis dan menelaah artikel yang dikirim ke jurnal yang dikelolanya. Biasanya kami tidak pernah melakukan percakapan untuk artikel-artikel yang kebetulan saya diminta untuk menelaah sesuai dengan bidang keilmuan saya, karena jurnal itu dikelola menggunakan Open Journal System (OJS), yaitu aplikasi perangkat lunak sumber terbuka untuk mengelola dan menerbitkan jurnal ilmiah secara daring dengan penelaahan sejawat. Dengan OJS, sirkulasi pengiriman artikel, penyuntingan, review, dan seterusnya dilakukan secara online. Selain itu, biasanya artikel yang ditelaah itu tidak memiliki identitas penulisnya, sehingga para penelaah merupakan blind reviewers.
Saya
menyetujui itu, karena tradisi ilmiah membuat kita banyak belajar untuk
menerima fakta dan berbesar hati jika yang kita rasa sudah memenuhi kaidah
ilmiah, ternyata belum bagi orang lain. Itulah manfaatnya penelaahan sejawat,
yang membuka kesempatan bagi kita sebagai penulis artikel jurnal untuk memasuki
dan belajar mengenai pandangan orang lain.
Yogyakarta, 8 Maret 2021.
---Eko Santosa
Dewasa ini, kritik berhamburan di media-media sosial,
tentang apa saja. Hampir semua hal yang ada dan terjadi tidak lepas dari
kritik. Masing-masing orang dapat menyampaikannya sesuai dengan cara dan
gayanya. Dari proses berhamburnya kritik ini kemudian lahirllah klasifikasi
baru yang disebut “nyinyiran” atau dianggap sebagai tanggapan asal omong dan
“kritik membangun”. Istilah “nyinyiran” muncul karena kritikan yang disampaikan
dinilai sebagai lebih banyak memperlihatkan sisi buruk seseorang atau lembaga
atau kelompok tertentu, dan hal ini dianggap sebagai kecaman. Sementara itu,
“kritik membangun” muncul sebagai counter atas “nyinyiran” dengan maksud
bahwa setiap pengungkapan kesalahan atau kekeliruan atas sebuah tindakan atau
kebijakan atau langkah atau apapun yang dilakukan oleh orang, kelompok atau
lembaga mesti diikuti dengan penawaran solusi.
Masing-masing orang tentunya memiliki alasan tersendiri
dalam menyampaikan kritik, apakah itu berupa “nyinyiran” maupun “ kritik membangun”.
Namun, jika diulik sedikit lebih jauh, sesungguhnya kritik “nyinyiran” dan
biasanya berisi kecaman tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Hal ini dikarenakan
memang arti “kritik” di dalam kamus Bahasa Indonesia adalah kecaman atau tanggapan,
atau kupasan yang kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk
terhadap suatu karya, pendapat, dan sebagainya (KBBI V). Jadi dengan demikian, kritik memang adalah
kecaman, soal di dalamnya ada uraian dan pertimbangan mengenai baik buruk itu
hukumnya hanya “kadang-kadang”, sehingga tidak harus. Oleh karenanya, mereka
juga tidak merasa memiliki kewajiban untuk menyampaikan solusi karena solusi
semestinya ditemukan oleh orang atau kelompok atau lembaga yang dikritik
berdasar kritikan yang disampaikan.
Sementara itu, dari sisi lain, bagi orang yang menganggap
kritik mesti “membangun”, kemungkinan memaknai kritik dari seluruh arti
“kritik” dengan mengesampingkan kata “kecaman” dan “kadang-kadang”. Jadi bagi
mereka kritik adalah tanggapan, atau kupasan yang disertai uraian dan
pertimbangan baik buruk terhadap suatu karya, pendapat, dan sebagainya. Oleh
karenanya, kritik mesti harus diuraikan dengan segala pertimbangan baik buruk
yang pada akhirnya akan mengerucut pada solusi. Dengan demikian, kiritik tidak
bisa disampaikan secara sembarangan oleh siapa saja.
Kelit kelindan dan relasi semrawut atas “nyinyiran” dan
“kritik membangun” masih eksis hingga hari ini di media-media sosial.
Masing-masing memiliki pendukungnya sendiri. Jika saja arti “kritik” lebih
menukik pada penilaian profesional, mungkin perdebatan receh nan seru antara
“nyinyiran” dan “kritik membangun” tidak perlu terjadi. Seperti dalam kamus
bahasa Inggris Concise Oxford (11th edition) misalnya, di situ kata
kritik sebagai kata benda diartikan menjadi asesmen dan analisis yang detail
atas sesuatu, sementara sebagai kata kerja diartikan menjadi tindak evaluasi yang
dilakukan dengan cara detail dan analitis. Karena mesti detail dan analitis,
maka tidak sembarangan orang bisa melakukannya. Artinya, tukang kritik itu
mesti profesional di bidangnya. Namun demikian, pemaknaan kata mewujud ke
tindakan dan respons atas tindakan tersebut sejatinya tetap dapat disikapi
dengan bijak. Namun demikian, semua itu berpulang pada tujuan diri masing-masing
atas tindakan yang dilakukan tanpa membebani makna sebuah kata yang bisa saja,
dengan alibi tertentu, arbitrer. (**)
Eko Santosa
WFH/O, 090221
--Eko Santosa
Sekumpulan mahasiswa sedang memperbincangkan dosen mereka
ketika menunggu jadwal kuliah berlangsung. Dosen tesebut terkenal dan sering
menjadi perbincangan karena ketakmauannya menggunakan teknologi informasi dalam
mengajar, terutama penggunaan gawai. Paling banter, ia hanya menggunakan alat
presentasi untuk menjelaskan keterangan lisan berbasis buku yang masih kurang
dipahami. Selebihnya, ia akan langsung turun ke lapangan membimbing para
mahasiswa berpraktik. Menurut para mahasiswa, sementara banyak dosen telah
menggunakan teknologi informasi dan komunikasi sampai taraf virtual reality,
dosen mereka yang satu ini terhitung sangat ketinggalan zaman. Meskipun
komunikasi verbal yang dibangun di kelas berjalan lancar tetapi menurut para mahasiswa
hal tersebut dianggap kurang cukup menopang performansi ideal seorang dosen di
zaman modern.
Di tengah perbincangan yang sedikit riuh cenderung
kasak-kusuk tersebut, sang dosen datang, berjalan santai dan langsung masuk ke
kelas. Semua mahasiswa segera mengikutinya dan duduk dengan rapi. “Kelas hari
ini akan saya mulai dengan pendekatan baru”, kata sang dosen. “Oleh karenanya,
silakan keluarkan smartphone masing-masing.” Mendengar itu, sontak kelas riuh. Semua
mahasiswa gembira karena merasa ada kemajuan dari sang dosen. “Nah, sekarang,
carilah gambar atau foto apel melalui gawai kalian. Bebas, apel jenis apapun
yang disukai!” Tak beberapa lama para mahasiswa sudah siap dengan gambar
masing-masing. “Sekarang angkat dan tunjukkan gambar apel itu dan saling
perlihatkan!” Semuanya mengikuti arahan sang dosen. “Nah, kalian semua telah
punya apel. Saya juga punya sebuah apel”, lanjut dosen tersebut sambil
mengambil apel dari tasnya.
“Sekarang, mari kita makan bersama apel tersebut,
silakan!”, dengan tenang sang dosen memakan apelnya, sementara para mahasiswa
saling menatap bingung satu sama lain. “Ada yang nggak enak apelnya?”, tanya
sang dosen. Para mahasiswa kembali bingung dan sang dosen dengan lahapnya
memakan apel tersebut. Begitu mau selesai, ia lanjut berkata, “Nah, sebagai
orang yang berbudaya, kita harus membuang sampah di tempatnya”, seraya
mengambil kantong hitam dan membuang sisa apel yang ia makan ke kantong
tersebut. “Jika kalian sudah selesai makan apelnya, silakan buang sisanya ke
kantong hitam ini ya, dan tolong nanti kantong hitam ini dibuang ke bak sampah”.
Kemudian dengan tenang dosen itu berdiri dan berkata, “Sekian pelajaran untuk
hari ini, dan sebagai penutup, kita mesti mampu menyediakan kebutuhan makan,
tidak hanya untuk diri kita sendiri, tetapi juga bagi banyak orang, itulah
tujuan utama kita belajar pertanian dan perkebunan. Selamat siang dan
terimakasih.” Dengan tenang, dosen itu meninggalkan kelas, meninggalkan para
mahasiswa yang saling melongo atau senyum kecut antara satu dengan yang lain.
Selepas kelas, para mahasiswa kembali riuh dalam
kasak-kusuk. Ada yang memahami pesan yang hendak disampaikan sang dosen, ada
yang tetap bingung, dan ada yang terkesima. Tiba-tiba ada seorang mahasiswa
berkata, “Kemarin bapak itu menjelaskan teori Bronislaw Malinowski bahwa untuk
menilai ataupun merasakan sesuatu kita mesti mengalaminya secara langsung.”
“Ya, tapi apa kaitannya dengan apel?”, tanya yang lain. “Makanan kan harus kita
sediakan secara benar-benar nyata apa adanya, kita makan secara nyata, termasuk
rasa kenyang itu harus nyata, tidak semuanya bisa diwakili secara virtual”,
sela yang lain. Mendengar itu semuanya diam. Lepas benar atau salah kesimpulan
itu, namun kelas menjadi diam, semuanya tenggelam dalam pikiran masing-masing.
(**)
Eko Santosa
WFH/O,
080221
--Rin Surtantini
Tulisan
tentang “entropi” pada Vidyasana, Jumat, 22 Januari 2021 lalu oleh seorang teman,
mas Rohmat Sulistya yang latar belakang pendidikannya adalah teknik kimia,
cukup menarik. Membahasnya dari definisi dan pemahaman kata “entropi” sebagai
hukum kedua termodinamika ini, penulisnya kemudian mengoneksikannya dengan
bagaimana makna dari kata “entropi” ini berkorespondensi dengan realitas dalam
kehidupan umat manusia, makhluk hidup dan benda-benda, bumi, alam semesta, dan
jagad kehidupan. Inilah yang menarik untuk dibahas.
***
Entropi dalam perbincangan budaya kerja sesungguhnya juga mengadopsi dari entropi dalam hukum termodinamika. Sebuah mesin menghasilkan energi yang jumlahnya sama dengan jumlah energi yang dimasukkan ke dalamnya. Tetapi jika di dalam mesin tersebut terjadi kerusakan pada salah satu komponennya, maka sebagian energi yang dimiliki oleh mesin akan digunakan untuk mengatasi kerusakan komponen ini. Dengan begitu, mesin itu tidak akan berfungsi optimal dalam menghasilkan energi seperti yang diharapkan, karena sebagian energi yang seharusnya mengoptimalkan fungsi mesin sudah terambil untuk mengatasi kerusakan komponen yang terjadi pada mesin. Dalam kondisi ini, entropi pun terjadi.
--Rohmat Sulistya
Kembali menelan pil pahit.
Setelah pengajuan Februari lalu berbuah zonk, pengajuan ulang November ini pun zonk. Pada bulan Februari, pengajuan
dinilai nol karena -katanya- kurang bukti fisik. Saya memang tidak mengumpulkan
bukti fisik secara penuh, tetapi saya hanya mengumpulkan bukti fisik terkait
dengan artikel saya: salinan sampul jurnal, daftar isi, dan artikel saya. Artikel
lain dalam jurnal tersebut memang tidak saya sertakan. Toh, kalau penilai mau
menelusur,dapat dilakukan dengan sangat
mudah karena dalam pengajuan itu saya sertakan link e-journalnya.
Iya, ini tentang pengajuan angka kredit berkaitan dengan
jurnal nasional terakreditasi.
Pengajuan ulang di Bulan November pun berakhir zonk dengan
diberikan catatan bahwa artikel jurnal tersebut kadaluarsa. Jurnal terbit bulan
Desember 2019, saya ajukan ulang bulan November 2020. Kalau mepet, iya sih. Tetapi dalam benak saya, ini
masih koridor kriteria 1 tahun. Tetapi, bisa jadi pemahaman saya salah.
Sebenarnya, saya sangat senang apabila ini lolos penilaian,
karena nilai kredit dari artikel jurnal lebih ‘worth it’ dibanding dengan nilai dari
aspek-aspek lain. Mengirimkan artikel pada jurnal (terlebih lagi jurnal
terakreditasi) memerlukan perjuangan lebih untuk dapat lolos. Dimulai dengan
penilaian awal saat artikel kita submit. Akan ada penilaian dari 3 (tiga) reviewer
(mungkin berbeda jurnal satu dengan yang
lain) yang akan memutuskan artikel kita lanjut atau tidak. Saya tidak tahu
persis bagaimana seluk beluk penilaian awal, yang jelas 1 reviewer ‘menolak’
dengan catatan yang menyedihkan dan 2 lagi menyatakan ‘menerima’ dengan catatan revisi mayor. Dan memang saya
menyadari sekali, inilah pertama sekali saya menulis artikel kajian tentang
sesuatu yang saya juga masih belajar. Sebelumnya saya hanya menulis artikel
berdasarkan hasil data-data kuantitatif laboratorium. Ya, penilitian sains.
Dan dengan artikel non sains ini, saya men-chalange diri saya
sendiri pascapelatihan menulis artikel jurnal di Hotel Sahid dan hasilnya
memang masih belum layak. Tetapi, Alhamdulillah para reviewer memberikan kesempatan
untuk merevisi secara mayor. Setelah berbulan-bulan merevisi dengan 3 atau 4
proses revisi akkhirnya artikel diterima untuk diterbitkan. Bagi saya, ini
adalah proses yang melelahkan dan mirip dengan berkonsultasi skripsi ke dosen
pembimbing.
Tetapi, apa mau dikata, proses melelahkan tersebut berbuah
zonk. Sedih sih sedih, tetapi saya ingat pada sebuah peristiwa di sebuah siang.
***
Sebuah siang.
Anak saya ikut ke kantor setelah saya menjemputnya pulang
sekolah. Seperti biasa, dia cukup senang ikut ke kantor. Selain di rumah tidak
ada orang, di kantor juga tersedia wifi untuk nonton YouTube dan main game.
Tiba-tiba dia tertunduk lesu. Tanpa ngomong. Terlihat sedih.
Setelah ditanya sana-sini, ternyata kota yang dia bangun hilang seketika saat
Minecraftnya diupdate ke versi yang lebih tinggi. Dia adalah penggemar game
Minecraft, sebuah game yang masih sangat polular sampai saat ini. Siang itu seharusnya
dia senang karena bisa mengupadate
Minecraftnya. Tetapi menjadi kesedihan ketika kota yang ia bangun menjadi
hilang seiring meningkatnya versi game. Ini bisa terjadi ketika perangkat yang
digunakan tidak secanggih versi yang baru diunduh. Alhasil, kerja
berminggu-minggu menjadi sia-sia.
Tetapi apakah memang sia-sia?
Cukup lama saya menenangkannya dari rasa kecewa.
“Dik, yang penting Aqila punya kemampuan membangun lagi,
bukan kotanya. Tetapi kemampuan membangun kota itu lho yang lebih penting”.
“Kalau kotanya mungkin bisa rusak, bisa hilang; tetapi
ilmunya itu yang lebih mahal. Dan ilmunya, Aqila sudah ngerti. Gak papa, nanti bisa bangun lagi”.
***
Dengan teringat peristiwa sebuah siang itu, maka saya
bolehlah sedikit kecewa. Tapi gak harus kecewa banget. Yang penting bukan hasil
artikel jurnal yang dinilai nol, tapi punya pengalaman menulis jurnal dan dapat
terbit adalah jauh lebih penting. Jadi kemampuan dan proses menghasilkan, jauh
lebih penting dari hasil itu sendiri.
Allah SWT mewajibkan kita untuk bergerak, berikhtiar,
berusaha tetapi hasil itu bener-bener hak prerogatif Allah. Dan
Tuhan hanya melihat prosesnya kok, bukan hasilnya.
Ya, begitulah.. Wallahu a’lam.
--Eko Santosa
Hari ini, (25/01/21), seorang kawan membagikan unggahan
video dari IG dan FB tentang aksi seorang peternak membuang hasil panen
telurnya ke sawah. Hal ini ia lakukan karena biaya pakan ternak yang tinggi
sehingga hasilnya tak sebanding dengan panen telur yang diperoleh. Atas aksi
tersebut komentarpun berhamburan. Seperti umumnya media sosial, komentar selalu
bersifat kulit, emosional, dan subjektif. Hampir semua komentar menyesalkan
tindakan peternak tersebut. Sebagian besar menganggapnya mubadzir dan tidak
memikirkan bahwa banyak orang lain yang sedang kesusahan, bisa makan telur
sehari 1 saja sudah syukur. Intinya, 90 persen komentar bernada menyalahkan
bahkan menghujat sang peternak.
Ya, semua orang pasti akan berkomentar seperti itu jika
hanya melihat sekilas apa yang dilakukan sang peternak. Saya pun juga,
kira-kira, akan berkomentar sama. Tetapi jika dilihat lebih mendalam, melihat
video dari awal sampai akhir tanpa komentar dan kalau perlu diulang, mungkin
peternak tersebut ingin menyampaikan maksud lain dari sekedar selisih harga
pakan dan telur yang tak sebanding sehingga melahirkan kerugian. Mungkin ia ingin
bertanya keras, mengapa harga pakan bisa naik sedangkan harga telur merosot?
Apa yang menyebabkan harga pakan naik dan harga telur merosot? Siapa yang bisa
menentukan kenaikan dan penurunan harga barang? Dan mungkin
pertanyaan-pertanyaan lain. Tetapi karena ia tidak menemukan orang atau lembaga
yang tepat untuk ditanyai, atau pernah bertanya tetapi selalu tidak menemukan
jawaban yang tepat, maka aksi buang telur itu ia lakukan, divideo, diunggah ke
medsos, agar viral dan agar pesan berupa pertanyaan itu segara tersampai pada
orang atau lembaga yang tepat menangani perkara harga pakan dan telur. Mungkin
demikian maksudnya.
Walakin, yang ia dapatkan justru komentar-komentar
menyalahkan atas aksi yang dilakukannya. Artinya, pesan sesungguhnya yang
hendak ia sampaikan tak terbaca. Sama sekali tak terbaca. Bahkan, tak lama
kemudian, aksi dan pesan peternak tersebut bakal berlalu dengan video viral
lain yang diunggah orang lain dengan perkara yang lain. Mungkin, orang pintar
akan berkata bahwa, kalau peternak tersebut hendak protes (bertanya),
semestinya menggunakan saluran yang benar, bukan dengan aksi buang-buang hasil
panen semacam itu. Mungkin orang pintar juga akan berkomentar bahwa, semestinya
ada manajemen baik yang diterapkan sehingga perhitungan antara pakan, lama
waktu pemeliharaan, dan panen tidak negatif. Banyak kemungkinan memang, namun
bandul timbangan tetap lebih besar pada kesalahan tindakan sang peternak.
Ya, memang yang terjadi seperti itu. Dalam kehidupan yang
serba cepat dan informasi serba kilat ini, sulit sekali menyeret perhatian
publik untuk mendalami sebuah persoalan secara menyeluruh. Sebagian besar orang
pasti akan melihat fisik dari tindakan saja. Mereka tidak mau bersusah payah
mendalami persoalan karena itu jelas bukan urusan mereka dan tidak ada
keuntungan bagi mereka. Padahal, kalau ditinjau sedikit lebih dalam, apa yang
dilakukan peternak tersebut sebetulnya juga tidak merugikan mereka. Tetapi,
siapa pula yang mau meninjau lebih dalam? Kondisi semacam ini hanya akan
melingkar-lingkar dan berada di luar persoalan sesungguhnya.
Jadi, sangat kecil sekali kemungkinan adanya jawaban bagi
peternak tersebut tentang mengapa harga pakan bisa naik dan harga telur bisa
turun serta siapa atau apa yang mengendalikannya? (**)
WFH, 25/01/21