Showing posts with label Menulis. Show all posts
Showing posts with label Menulis. Show all posts

Monday, April 4, 2022

Berbasis Data: Antara Fakta dan Data?

--Rin Surtantini

 


Sebuah kesadaran

Mengikuti sebuah ToT mengenai isu profil pendidikan selama tiga hari baru-baru ini, membuat saya sedikit terpancing untuk “berpikir”. Sudah sering saya dengan kesadaran penuh tidak tertarik atau meminta ijin mundur dari kegiatan-kegiatan yang secara keyakinan atau prinsip bagi saya adalah kegiatan yang akan membuat saya tertekan, gelisah, merasa menjadi sangat bodoh, menjadi tidak logis, tidak punya dasar atau pegangan, bingung, kuatir, tidak mampu, malu, dan jenis-jenis perasaan negatif lain yang tidak produktif semacam ini. Dengan memutuskan tidak terlibat dalam kegiatan-kegiatan semacam itu, saya justru sering merasakan bahwa perasaan negatif tidak menyerang hati kecil saya, dan saya jadi bisa fokus kepada hal-hal yang menggembirakan diri karena itu berdampak baik bagi mereka yang membutuhkan.

 Kali ini atas dasar surat tugas, dan atas rasa ingin tahu yang muncul karena tidak paham, saya dengan senang hati mengikuti ToT tentang profil pendidikan tersebut. Saya sadar bahwa saya tidak bisa fokus ketika mengikutinya, karena pada saat yang sama saya juga sedang bekerja tentang hal lain secara online, independen, harus fokus, dan mendekati deadline. Saya sadar ini tidak baik: melakukan kegiatan online yang berkaitan dengan nasib orang lain seraya “menyambi” dengan kegiatan yang menyangkut kualitas diri saya sendiri. Tapi hal tidak baik ini tetap saya lakukan juga, dan akibatnya, saya tidak paham sepenuhnya dengan materi ToT yang saya terima….

***

Memahami apa itu data vs. fakta

Rasa ketidakpahaman saya itu memicu saya untuk “berpikir”. Mungkin ini baik bagi saya untuk memahamkan diri sendiri mengenai apapun hal yang dikatakan berbasis data. Kata berbasis “data” itu sendiri justru mengingatkan saya mengenai pemahaman saya tentang apa itu “data” ketika saya sekolah dulu. Data ada yang berjenis kualitatif, ada yang berjenis kuantitatif. Itulah sebabnya ada penelitian kualitatif, dan ada penelitian kuantitatif, sehingga metode atau cara pengumpulan datanya akan berbeda. Demikian pula analisis data dari kedua jenis data ini juga berbeda, sebelum akhirnya dimunculkan kesimpulan dari kedua penelitian tersebut.

Kita sering sulit untuk dapat membedakan antara apa itu “data” dengan apa itu fakta”. Fakta adalah pernyataan tentang sebuah realita, atau tentang sebuah kenyataan. Orang yang menceriterakan suatu kejadian adalah orang yang sedang mengemukakan fakta-fakta, yaitu pernyataan-pernyataan dari dirinya tentang suatu kenyataan atau realita. Misalkan, ada sebuah institusi meraih sertifikat wilayah bebas korupsi, itu adalah sebuah kenyataan. Prestasi ini kemudian dibicarakan oleh banyak orang. Coba perhatikan: pernyataan tentang kenyataan yang sama ini, yaitu peraihan sertifikat wilayah bebas korupsi, dikemukakan atau dihasilkan oleh setiap orang lewat sudut pandangnya masing-masing. Kenyataannya sama, tetapi komentar, pernyataan, ulasan, atau berita yang dihasilkan mengenai fakta yang sama ini sifatnya subyektif“, karena sebuah kenyataan atau realita yang sama dapat saja dikemukakan dengan cara-cara yang berbeda. Dalam konteks ini, wacana yang dihasilkan oleh setiap orang yang memberitakan peraihan sertifikat wilayah bebas korupsi ini tidak akan pernah bisa persis sama. A mengemukakan begitu, B menyatakan begini, dan C mengemukakan begitu dan begini.

Di sisi lain, benarkah “fakta” itu hanya bersifat subyektif? Tentu tidak. Fakta juga dapat disebut “obyektif” ketika pernyataan tentang fakta ini didasarkan pada kenyataan atau realita tertentu. Jika ada pernyataan yang tidak didasarkan pada suatu realita atau kenyataan, maka pernyataan tersebut lemah dan tidak dapat dikatakan sebagai fakta. Pernyataan lemah dan bukan fakta semacam inilah yang kita sebut sebagai sebuah kebohongan, karangan, isapan jempol, hasil imajinasi, khayalan, atau dapat juga sebuah fitnah. Semua pernyataan manusia, baik itu verbal yang bersifat lisan maupun tulis, merupakan tindak tutur. Tindak tutur adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dalam berkomunikasi menggunakan bahasa verbal. Tindak tutur ini terdiri dari tiga aspek, yaitu perangkat kebahasaan yang digunakan untuk menyatakan sesuatu, tindakan atau makna yang terdapat di balik perangkat kebahasaan tersebut, dan hasil atau efek dari pernyataan tersebut. Menarik untuk diselidiki ketika seseorang bertindak tutur. Akan diketahui bagaimana ia menyatakan suatu isu secara verbal, apa makna di balik pernyataan tersebut, dan apa efek, hasil, atau pengaruh dari pernyataannya tersebut. Namun, tulisan saya ini tidak akan membahas hal ini.

Kembali ke “data” dan “fakta”. “Fakta” dari uraian di atas dapat dikatakan bersifat subyektif dan sekaligus juga obyektif. Sehubungan dengan ini, pertanyaannya adalah, apakah “fakta” itu adalah “data”? Fakta dapat menjadi data, akan tetapi ingat bahwa “tidak semua fakta dapat menjadi data”. Mengapa? Karena data adalah fakta-fakta yang relevan, yang secara logis berkaitan dengan masalah yang dipersoalkan untuk dijawab. Jadi data harus merupakan fakta-fakta yang telah dipilih atau diseleksi berdasarkan azas relevansi terhadap persoalan atau masalah yang ingin dijawab atau ditemukan solusinya.

 #Tribute saya untuk Prof. Heddy Shri-Ahimsa Putra, guru saya di Fakultas Ilmu Budaya UGM untuk pemberian pemahaman yang kuat mengenai isu “fakta” dan “data” dalam melakukan penelitian.

 

***

 Isu mengenai kegiatan berbasis data

Maka, ketika minggu lalu saya mengikuti ToT penjaminan mutu melalui perencanaan berbasis data, yang berkaitan dengan rapor sekolah dan profil pendidikan, saya merasa bahwa sebagai peserta ToT, saya tidak dapat menjelaskan esensi dari apa yang dimaksud dengan “berbasis data”. Apa yang dimaksud dengan “data” dalam hal ini? Data yang bagaimanakah yang diperoleh dari instrumen pengumpulan data (yang tentunya ada)? Bagaimanakah bentuk instrumennya sehingga kita tahu komponen atau aspek-aspek apa sajakah yang dipakai sebagai alat ukur dalam pemetaan mutu sekolah? Jika dikatakan bahwa data diperoleh dari sekian sumber data yang sangat luas, bagaimanakah pengelolaan data ini pada saat analisisnya, sehingga satuan pendidikan harus menerima saja hasilnya berupa rapor satuan pendidikan?

Dikatakan, bahwa rapor sekolah dan profil pendidikan tersebut valid digunakan sebagai bahan untuk perencanaan karena telah melalui proses simulasi, uji coba, disusun oleh berbagai pakar pendidikan, dan dihasilkan dari pelaksanaan Asesmen Nasional yang sangat masif dan melibatkan seluruh elemen pendidikan yang ada, seperti sekian ratus ribu sekolah, sekian juta guru, dan sekian juta siswa. Asesmen Nasional adalah evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah untuk pemetaan mutu sistem pendidikan pada satuan tingkatan pendidikan dasar dan menengah. Evaluasi tersebut menggunakan instrumen AKM (asesmen kompetensi minimum, survei karakter, dan survei lingkungan belajar).

Sekolah, dalam hal ini, mau tidak mau, suka atau tidak suka, harus menerima “data-data” pada rapor sekolahnya, dan tak punya ruang untuk menyanggah, apapun itu, meskipun ingin sekali menyanggah. Di sini saya berpikir, jangan-jangan ketika sekolah sebetulnya menolak “data-data” yang ditampilkan pada rapor sekolahnya, inilah makna dari bedanya “data” dengan “fakta” yang saya tulis di atas. Misalkan, faktanya benar, bahwa guru menjawab “tidak terlibat” ketika ada indikator pada instrumen yang menanyakan apakah ia terlibat dalam kegiatan tertentu, maka itu akan berpengaruh terhadap nilai pada item tersebut. Sementara, fakta lain yang terjadi di sekolah tersebut adalah bahwa sesungguhnya banyak guru yang terlibat pada kegiatan yang ditanyakan di instrumen, tetapi guru-guru tersebut kebetulan tidak mengisi instrumen. Dan sekian contoh lain mengenai makna “data” dan “fakta” ini, yang secara tidak langsung diungkapkan oleh penerima rapor sekolah tersebut.

Dari sisi peserta ToT seperti saya, yah… kita sebagai peserta ToT pun hanya menelaah rapor sekolah yang “given” tersebut. Peserta ToT ini (katanya) nanti diproyeksikan akan membantu dan mendampingi sekolah dalam merencanakan perbaikan mutu sekolah berdasarkan data rapor sekolah tersebut. Selanjutnya, pendamping membantu sekolah mengidentifikasi akar masalah, memberikan alternatif solusi, memilih alternatif solusi, dan menyusun perencanaan kegiatan peningkatan mutu sekolah. Sementara berdasarkan simulasi yang dilakukan pada ToT untuk kegiatan pendampingan ini, saya (pribadi) merasa sangat sulit dalam membaca “data-data” pada rapor sekolah… dan saya juga menemukan bahwa data tertentu pada rapor tersebut tidak sinkron dengan data lainnya yang berkaitan.

Oh, my God. Apa yang terjadi sesungguhnya pada perencanaan berbasis data ini? Saya berusaha memahamkan diri, bersama beberapa teman sesama peserta. Untuk tidak menyalahkan siapa-siapa, saya hanya dapat mengatakan pada diri saya sendiri, bahwa saya sadar saya telah melakukan kesalahan, yaitu tidak fokus mengikuti ToT karena saya “menyambi” dengan pekerjaan online, yaitu menilai essay yang menuntut saya untuk berkonsentrasi penuh. Akibatnya, saya menjadi tidak paham sama sekali esensi dari ToT ini, karena saya telah mendua dan bercabang!

 

Yogyakarta, 3 April 2022.

(Renungan personal pada awal Ramadhan)

Tuesday, November 23, 2021

Takut Akan Kekalahan

 --Nugroho Hari (Studio Teater)


Produksi pementasan seni teater dengan judul TAK, Studio Teater Yogyakarta, disiarkan secara streaming pada "Parade Teater Yogyakarta LINIMASA#4", tanggal 20 November 2021, diselenggarakan oleh UPTD Taman Budaya Yogyakarta. Pementasan yang masih dapat disaksikan melalui link
https://www.youtube.com/watch?v=RvdDq42xl_g ini layak untuk mendapatkan apresiasi, baik itu dari lembaga seni, pelaku seni, dan mereka yang terlibat dalam dunia pendidikan seni dan budaya.

"Sebuah laku yang selalu dihantui kekalahan mengubah perilaku seseorang untuk memproduksi intrik-intrik negatif dalam mencapai kemenangan, ilmu pengetahuan, dan kemampuan yang dimiliki menjadi hilang, tidak berfungsi sebagaimana layaknya penopang dalam menjalani kehidupan. Dengan ke-akuan menjadi hilang akal, menciptakan boneka dan robot-robot untuk digerakkan demi tujuan".

Terlepas dari sisi mana pemirsa menangkap pesan yang divisualisasikan dalam pementasan TAK, ada beberapa catatan dalam pandangan subyektif saya sebagai pegawai pengembangan dan penjaminan mutu pendidikan seni;

Proses pementasan yang melibatkan banyak orang di masa pandemi merupakan tantangan tersendiri bagi kreator dan sutradara agar proses latihan hingga pementasan seluruh pemain dan tim yang terlibat terhindar dari pandemi.

Menyatukan visi dari bebagai individu untuk menjadi satu kemasan panggung merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Menyatukan perbedaan talenta, kesempatan/waktu, dan emosi atau keinginan tiap individu dalam mengekspresikan diri terhadap pemahaman naskah yang belum tentu setiap individu dapat melakukannya, membutuhkan keahlian dan pengalaman untuk mengelolanya.

Sebagai lembaga dan pribadi yang bergelut dalam bidang kesenian tentu kita wajib aware dengan kegiatan-kegiatan kesenian yang dilakukan di luar induk organisasi. Kita mesti selalu berupaya untuk bersinergi dan menjaga keseimbangan kinerja antarlembaga dalam mengembangkan pendidikan seni bagi masyarakat, sehingga apa yang selalu diwacanakan; sebuah kerjasama dari "person to person," "organisasi to organisasi," hingga goverment to government" dalam bidang seni budaya dapat tercapai.

Pada akhirnya berbuat untuk “Tidak Takut Akan Kalah”, adalah sebuah tawaran dari pementasan "TAK", pilihan untuk melakukan kebaikan kepada orang lain dalam wujud apapun, dalam seluruh aspek kehidupan, tidak hanya terbatas pada karya seni,  Wallahualambissawab,

 

Akhir kata, selamat untuk kreator "TAK", dan terimakasih Studio Teater telah dipercaya untuk seluruh prosesnya.

 

-Hari Nugraha-

Thursday, July 15, 2021

Refleksi Diri: My Last Sharing-Experience

 ---Irene Nusanti


Hadiah ulang tahun dari saya utk teman2 semua...

Sesaat sebelum lepas landas dari landasan pacu seni dan budaya, ijinkan saya untuk membagi pengalaman up and  down selama bekerja, dikemas dalam sajian berikut.

Refleksi 1:

Angkringan 'Blind Spot"

Refleksi 2:

A Blind Spot


Friday, April 30, 2021

Metafora Kursi

 

--Rin Surtantini


Sudah setahun lebih ini ritme bekerja di kantor atau di rumah terbentuk secara alami atas kondisi yang muncul karena pandemi. Barangkali ini yang tahun lalu dikatakan sebagai terbentuknya kenormalan baru. Barangkali pola-pola kebiasaan baru yang muncul sebagai ritme dalam berpikir, berlaku, bersikap, atau berkata adalah bentuk-bentuk kenormalan baru. Ada ritme yang masih sama untuk dipertahankan dengan kondisi sebelum pandemi, ada juga yang ditinggalkan, ada yang disesuaikan. Entah juga. Jika hidup adalah sebuah pertunjukan, maka
the show must go on.


***

Webinar muncul sebagai contoh sebuah penyesuaian pada masa pandemi. Penyesuaian ini bahkan menunjukkan bahwa ia menjadi perhelatan yang dipilih banyak orang dari berbagai bidang, kalangan, maupun berbagai topik (Baca kembali tulisan tentang perhelatan webinar pada bulan Juni tahun lalu melalui link https://www.vidyasana.com/2020/06/perhelatan-webinar.html). Berjalannya waktu bahkan pernah membentuk gelombang euforia terhadap perhelatan webinar, baik bagi penyelenggara, penyaji, maupun pesertanya. Banyak topik menjadi hal baik untuk didiskusikan dan dibagi secara luas dan terbuka. Semakin ke sini, gelombang euforia ini mulai menunjukkan kenormalan baru. Ia tak lagi sesuatu yang sangat istimewa. Masyarakat pun mulai selektif terhadap konten yang disajikan dalam berbagai perhelatan webinar ini.

Kemarin jadwal saya WfH. Beberapa hari sebelumnya saya telah mendaftar sebuah kelas menulis berbayar secara online, tanpa sertifikat. Jadi karena kelas ini dimulai pukul 15 sampai pukul 17, maka itu tidak menjadi masalah bagi saya karena itu hari WfH saya. Lagipula, itu menjadi kegiatan yang menyenangkan, karena waktu untuk menunggu berbuka puasa menjadi pendek. Alasan lain mengapa saya mau ikut kelas itu adalah karena kontennya tentang menulis, dan yang berbagi ilmu adalah Joko Pinurbo, penulis yang puisi-puisinya memiliki gaya dan warna yang khas, bersifat naratif, ironis, tetapi juga humoris. Ia cakap dalam mengolah citraan dan menggunakan objek serta peristiwa sehari-hari dengan bahasa yang tajam tetapi juga cair. Melalui tulisan-tulisannya yang berbentuk puisi, ia melakukan refleksi, perenungan, yang dipicu oleh absurditas keseharian yang ada di sekitar kita. Ia mempermainkan dan mengolah kata-kata dalam bahasa Indonesia secara sederhana tetapi memiliki visi dan perspektif yang kuat terhadap tema atau pesan yang ingin disampaikannya.

Banyak yang dibagi olehnya melalui kelas menulis itu, dan salah satu dari sekian hal yang menarik, adalah ketika ia berbicara mengenai objek “kursi” sebagai citraan atau metafora. Semua yang ada di sekitar kita dapat bermetafora. Apa yang ada dalam benak kita terhadap kata “kursi”? Secara fisik, kursi adalah sebuah tempat untuk kita duduk. Duduk itu sendiri mengistirahatkan tubuh kita dari posisi berdiri, dari kegiatan berjalan, dari rasa lelah, dari rasa sakit, atau dari rasa bosan, dari keinginan untuk bersantai, dan berbagai kebutuhan tubuh lainnya. Maka desain kursi pun sangat beraneka ragam untuk memenuhi segala kebutuhan manusia, termasuk bahan dan teknologi dalam mengkreasi kursi itu sendiri.

Jika orang sudah lama duduk di kursi, dan kursi itu cocok baginya, sesuai dengan yang ia butuhkan atau inginkan, maka dirasakannya kursi itu menjadi enak dan nyaman. Sambil membaca, minum kopi, mendengarkan musik, menonton pertunjukan, ngobrol, memeramkan mata, berkhayal, bermimpi, ah nikmatnya……, dunia dan kehidupan adalah enak dan nyaman dirasa. Malas atau enggan rasanya untuk beranjak dan bangkit, atau berpindah, kecuali ada kursi yang jauh lebih nyaman untuk menikmati dunia dan kehidupan ini. Itulah kursi, objek fisik yang difungsikan oleh manusia untuk kebutuhannya.

Metafora apa yang dimunculkan sebagai citraan terhadap “kursi”? Ini menarik dan kita semua mengalami, merasakan, atau menyaksikan dalam keseharian kita. Jabatan, kedudukan, posisi, adalah citraan dari “kursi”. Perhatikan, adakah kenyamanan, kesenangan, kenikmatan, euforia, prestise, kehormatan tinggi, peningkatan derajad, gengsi, dan status sosial, kesejahteraan, privilege, kewenangan mutlak di sana, sehingga kursi adalah tempat yang melenakan? Segala citraan kursi, ternyata sulit untuk tidak dinikmati dalam lupa!

 Yogyakarta, 30 April 2021. 

Monday, April 19, 2021

Rasa dan Hati

 

---Kartiman


Seni dan berkesenian merupakan dua kata yang saling mendukung dan menguatkan. Seni merupakan media ekspresi jiwa manusia, dan berkesenian merupakan salah satu ekspresi proses kebudayaan manusia. Melalui ekspresi tubuh, manusia akan menampilkan kehendak hatinya. Pikiran, rasa, energi disatukan sebagai dasar untuk melakukan aktivitas sesuai hasrat berkeseniannya.

Berkesenian sama dengan berpakaian, artinya tidak hanya memikirkan fungsinya sebagai penutup badan saja, melainkan harus juga memikirkan mode yang sesuai dengan bentuk tubuh atau mode yang baru trend yang banyak bermunculan di masyarakat, sehingga bisa menyatu dan tidak ketinggalan. Bahkan tidak sedikit yang lebih mengedepankan trend daripada fungsinya. Begitu juga dalam seni “berkesenian” tidak hanya berbicara pada satu aspek saja, melainkan aspek lain sebagai penyedap rasa harus dipikirkan dan ditampilkan.

Perpaduan antara beberapa aspek dalam berkarya akan semakin mendekatkan hasil karya dengan masyarakat penikmatnya. Ekspresi seni sebagai perwujudan jiwa manusia dapat dijadikan salah satu ekspresi proses kebudayaan yang berkaitan erat dengan pandangan masyarakat dimana ia hidup dan berkehidupan. Keberagaman kehidupan masyarakat sebagai individu atau kelompok akan memunculkan rasa yang berbeda terhadap suatu karya seni.

Rasa adalah milik pribadi yang secara sadar atau tidak sadar sebagai bagian dari identitas atau kebutuhan yang tersembunyi. Kehadiran rasa akan mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap sesuatu. Dalam kehidupan sangat mungkin terjadi kesatuan rasa, atau perbedaan rasa. Begitu juga dalam menghayati suatu karya seni. Penikmat satu dengan lainnya sangat mungkin terjadi perbedaan rasa terhadap satu obyek “karya seni”. Rasa dan hati merupakan saudara kembar yang saling membutuhkan. Masyarakat Jawa sering mengatakan bahwa “rasa gumantung ono sajroning ati”. Dari hati akan muncul banyak rasa, dari hati akan muncul rasa cinta, rasa sayang, rasa benci, rasa ingin memiliki dan sebagainya. Ibarat kembang gula, hatilah yang membuat rasa menjadi “nano-nano”.

 

Friday, March 26, 2021

Tentang Paradigma: Teropong-Teropong dalam Berkegiatan Ilmiah

  

--Rin Surtantini

 



Beberapa hari lalu saya mengikuti sebuah diskusi ilmiah dengan komunitas ketika saya sekolah dulu. Topik yang didiskusikan adalah seputar paradigma atau model dalam teori ilmu pengetahuan atau kerangka berpikir. Diskusi ini menarik karena bagi para peserta diskusi, topik yang didiskusikan ini menguatkan apa yang selama ini diamati, diketahui, dilakukan, atau bahkan tidak diketahui dan tidak dilakukan, oleh para peserta diskusi, kaitannya dengan kegiatan ilmiah yang dilakukan oleh mereka seperti melakukan kajian, penelitian, atau penulisan di ranah akademik atau ilmiah.

Diskusi itu, dengan seorang narasumber yang memantik topik “paradigma” ini, menyoroti “teropong-teropong” yang digunakan oleh para peneliti atau pengkaji di ranah budaya ketika membedah sebuah masalah atau isu penelitian dan kajiannya. Yang menarik adalah narasumber ini dapat mengkategorikan dan menamakan apa saja teropong-teropong pembedah itu berdasarkan pengamatannya terhadap penelitian atau kajian yang dilakukan oleh para peneliti atau pengkaji yang tergabung dalam komunitas itu. Maka, para peserta diskusi pun kemudian disadarkan akan adanya teropong-teropong itu, tetapi tidak menyadari selama ini bahwa mereka telah menggunakan salah satu di antara teropong-teropong tersebut dalam meneliti, mengkaji, atau menuliskan hasil penelitian dan kajiannya. Begitu pentingnya peran teropong yang digunakan atau dipilih dalam menyoroti sebuah masalah, sehingga ketika paradigma atau kerangka berpikir tidak dipahami oleh peneliti, pengkaji atau penulis, maka arah penelitian, pengkajian atau pengungkapannya dalam tulisan akan menjadi tidak jelas dan kabur.

Kemarin saya dan beberapa rekan sejawat juga melakukan diskusi kecil terkait dengan kegiatan ilmiah ini. Berangkat dari latihan melakukan penilaian terhadap tulisan-tulisan hasil penelitian atau kajian, kegiatan ini dimaksudkan untuk mempelajari lebih dalam tentang komponen-komponen umum yang penting dalam menuliskan sebuah hasil penelitian atau kajian. Komponen-komponen yang disoroti adalah substansi tulisan, kebaruan yang ditawarkan, manfaat yang diberikan, gaya dan format penulisan, penggunaan bahasa, logika berpikir, metode kajian atau penelitian, cara mengkaji atau menganalisis, serta sumber bacaan atau referensi. Kami mencoba untuk memberikan penilaian terhadap tulisan-tulisan menggunakan komponen-komponen ini.

Hal menarik yang diperoleh dari kegiatan bersama rekan sejawat ini adalah adanya keragaman yang dimiliki oleh setiap orang. Keragaman terjadi karena adanya perbedaan-perbedaan di antara kami, yaitu perbedaan dalam menyoroti sebuah masalah atau isu, karena teropong-teropong yang kami miliki juga berbeda-beda. Perbedaan itu menyangkut misalnya perbedaan latar belakang, minat, fokus, standar, sudut pandang, paradigma, yang dipegang dan dimiliki oleh masing-masing dari kami. Bagi saya, inilah sebuah forum yang membebaskan individu, yaitu ketika setiap peserta diskusi yang hadir memiliki ruang untuk mengemukakan teropong yang digunakannya, dan dapat memberikan alasan atau logika dari penggunaan teropong itu sebagai wujud kerangka berpikirnya. Ini juga sebuah forum yang melatih seseorang untuk belajar dari yang lain tentang hal-hal yang tidak diketahui atau dipahaminya, dan membelajarkan yang lain tentang hal-hal yang belum dimiliki atau dipahami oleh rekan lain. Ini juga sebuah forum untuk bersosialisasi melalui kegiatan yang menyehatkan akal budi, ketika setiap orang memiliki ruang untuk menyuarakan concern-nya dengan terbuka, dan bersedia untuk mendengarkan yang lain agar dapat menyerap maksud yang ada dalam concern dan alur pikir seseorang. Ini juga sebuah forum yang membuat seseorang harus bertanggung jawab terhadap pendapatnya dengan berlatih mengembangkan argumentasi yang kuat dan logis serta kredibel.

Akhirnya, yang lebih menarik lagi adalah setelah semua concern rekan sejawat ini diutarakan dalam bentuk-bentuk keragaman dan perbedaannya, diperoleh kesamaan cara pandang yang menyatukan. Sebuah proses sintesis terjadi, yang mengerucut menjadi sebuah kesimpulan dan keputusan bersama, yang mewadahi aneka teropong, sudut pandang, dan concern. Saya berpendapat, alangkah menyenangkan jika hal-hal kecil semacam ini menjadi spirit dari culture of knowledge sharing yang berkembang dan dipelihara di lingkungan tempat kita bekerja, bukan hanya sekedar atau selalu meneriakkan slogan-slogan tetapi kehilangan ruh dan maknanya.


Yogyakarta, 26 Maret 2021.


[Salam dan terima kasih saya untuk mbak Feti, mas Bagus, pak Gede, mas Haryadi, mas Fajar, mas Rohmat, mas Cahyo, mas Eko & mbak Diah, yang kemarin berdiskusi dan menginspirasi saya untuk menuliskan ini].

 

 

Tuesday, March 16, 2021

KONSEP ‘LAKU’ BAGI ORANG JAWA

 

-- Sito Mardowo (A’ak Sito dari Studio Karawitan)

 


Tulisan ini bukan hasil kajian atau penelitian yang melahirkan ‘pengertian yang mendalam’ apalagi membuahkan konklusi yang selanjutnya dapat digunakan sebagai refeferensi bagi para peneliti-pengkaji lainnya, meskipun judulnya cetar membahana. Kan sudah ada kesepakatan bersama, Vidyasana merupakan wadah tulisan jenis apapun… (bahkan tidak hanya tulisan…. Gambar… puisi… atau apapun), cara menulis apapun, bahasa apapun, gaya bahasa apapun, dan tentunya gak usah mikir gaya selingkung juga…. He…he….pokoke nulis…. Itu semangatnya. Apik-elek nomor 207.

Kembali ke laptop. Teman-teman yang pernah belajar Bahasa Daerah Jawa di SD ataupun SMP biasanya pirsa atau tahu pupuh tembang Pocung karya Kanjeng Gusti Pangéran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunagara IV yang bunyinya seperti ini:

 

Ngelmu iku Kalakone kanthi laku,

Lekase lawan kas,

Tegese kas nyantosani,

Setya budya pangekese dur angkara. 

 

        Banyak filsuf, budayawan, sastrawan, peneliti dan pengkaji menginterpretasikan makna filosofi yang terkandung dalam pupuh tembang Pocung tersebut. Dari ilmu Hermeneutika sampai teori semiotika bahkan disiplin ilmu lainnya digunakan sebagai ‘pisau’ untuk membedah pupuh tembang Pocung tersebut. Lain halnya dengan saya. Saya akan mencoba menginterpretasikan salah satu kata dalam pupuh tembang tersebut dengan dengan menggunakan ‘ilmu krungu’. Hehehe….. mungkin teman-teman jadi tertawa dengan istilah ‘ilmu krungu’. Kayaknya nggak sebanding ya dengan ilmu-ilmu ‘joss’ para intelektual.

Saya menamakan ‘ilmu krungu’, karena memang saya dapat ketika saya ‘krungu’ atau mendengar para tokoh ‘kejawen’ yang ngobrol bersama dengan orang tua saya di masa beberapa tahun yang lalu. Lumayan lama sih!  Saya tidak melakukan klarifikasi, tidak melakukan wawancara, tidak mendebat, dan tidak aktif melakukan apapun. Saya hanya pasif mendengarkan mereka saja. Tentunya sambil ‘ngunjuk’ wedang kopi biar fresh.

Kembali ke laptop lagi. Sesuai dengan judul tulisan ini, saya hanya akan membahas kata ‘laku’ yang ada pada pupuh tembang Pocung tersebut. Menurut mereka, kata ‘laku’ sangat populer digunakan dalam perbincangan sehari-hari bagi masyarakat Jawa, sehingga bukan sesuatu yang luar biasa ketika kata tersebut digunakan dalam tembang. Kalimat tanya seperti ‘Laku-mu kok pincang, kenapa?’.  Kemudian ada ungkapan lain seperti, ‘Yen kowe pengin dadi wong, kudu sing gede laku-mu mas.’ Ternyata dua kata tersebut ‘bisa’ berbeda makna. Pada kalimat   Laku-mu kok pincang, kenapa?’, kata ‘laku’ berarti jalan. Kata jalan tersebut bermakna harafiah atau literal yang artinya bergerak maju atau mundur dari satu tempat ke tempat lain. Sedangkan kata laku pada kalimat  Yen kowe pengin dadi wong, kudu sing gede laku-mu mas’, memiliki makna yang tersirat. Menurut mereka (para kejawen Klaten), kata ‘laku’ pada kalimat tersebut sama dengan kata ‘laku’ yang terdapat dalam pupuh tembang Pocung di atas.

Para bapak-ibu kejawen Klaten (ada ibunya juga lhoh…)  merumuskan setidaknya ada 4 aspek yang terkandung dalam kata ‘laku’ pada pupuh tembang Pocung.

·         Pertama, ‘laku’ diartikan sebagai sebuah tindakan untuk mempelajari ‘guna kasantikan’ yang dapat diterjemahkan sebagai ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan. Ilmu tersebut tidak terbatas untuk meningkatan kompetensi di suatu bidang tertentu, tetapi juga ilmu sosial, ilmu spiritual agama-keyakinan, ilmu ‘rasa’, dan sebagainya. Ilmu yang dimaksud di sini cenderung olah pikir. Meskipun di situ terdapat ilmu spiritual dan ilmu rasa, tetapi yang dipelajari bertumpu dari sisi ‘wadag’ atau ilmunya. Bukan implementasinya.

·         Kedua, ‘laku’ diartikan sebagai ‘mati-raga’  dengan cara mengurangi segala jenis atau aktifitas nafsu duniawi. Jenis kegiatan tersebut misalnya                  (1) Menjalankan puasa makan dan atau puasa terhadap kegiatan yang mengundang nafsu. Puasa makan misalnya ngebleng, senin-kemis, weton, dan sebagainya.  Puasa kegiatan mengundang nafsu misalnya puasa tidak melakukan hubungan intim (agak saru dikit ya…) (2) Melakukan ‘sesirik’ atau menghindari makanan yang enak atau membikin enak. Misalnya pantang makan daging, pantang makan garam, pantang makan gula dan sebagainya. (3) Tirakat,  tidak tidur di sepanjang malam, ‘kumkum’ di sungai, napak tilas dan sebagainya.

·         Ketiga, ‘laku’ diartikan sebagai kegiatan mendekatkan diri kepada Tuhan. Orang Jawa memiliki konsep Ke-Tuhanan yang kuat, sehingga diyakini bahwa semua ‘pambudidaya’ atau usaha seseorang dapat terkabul kalau mendapat ijin dari Tuhan. Ketika segala usaha fisik sudah dilakukan, sebagai penguat orang Jawa akan menyerahkan segala sesuatunya kepada Tuhan. Prinsip orang Jawa, kalau segenap usaha terkabul maka usaha tersebut sejalan dengan kehendak Tuhan, tetapi apabila tidak terlaksana seperti yang diharapkan manusia maka hal tersebut tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Orang Jawa tidak memiliki karakter menghakimi Tuhan apabila kehendaknya tidak dikabulkan. Upaya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan cara menyembah Tuhan dengan berbagai cara seturut dengan keyakinannya dan melakukan perbuatan baik pada diri sendiri dan kepada sesama.

·         Keempat, ‘laku’ diartikan sebagai suatu cara untuk mengelola emosi dengan melatih kesabaran, berpikir positif, berlaku bijak dalam berbagai masalah, tidak mengembangkan karakter ‘adigang-adigung-adiguna’, mengembangkan rasa tepa slira dan sebagainya. ‘Laku’ dalam konteks ini berkaitan erat dengan dengan ‘laku’ dalam artian guna kasantikan seperti yang disampaikan pada aspek pertama tadi. Aspek pertama menyampaikan secara’ wadag’ sedangkan aspek keempat merupakan implementasinya dalam berkehidupan.

Setidaknya ada 4 aspek itu yang saya tangkap tentang kata ‘laku’ dalam obrolan bapak-ibu kejawen di rumah orang tua saya tempo doeloe. Tapi jangan lupa… konteksnya pada pupuh tembang Pocung, karena ada kata ‘laku’ yang jauh berbeda makna yaitu pada konteks ‘laku’ pada saat seseorang akan meninggal dunia.

Saya yakin, bahwa kata laku yang dibahas dalam tulisan ini mungkin berbeda dengan opini bapak ibu WI. Mungkin juga…. ada aspek lain yang kurang. Mungkin juga…. Ada yang keliru. Mungkin juga…. teman-teman bisa melengkapi. Kalau mau sich……  

Mohon maaf teman-teman, ini asal nulis yang tiba-tiba hinggap di ingatanku… tentunya banyak kesalahan terkait penulisan. Tangkiyu evribadeh…

Salam.

 

Friday, March 12, 2021

Bernostalgia Sejenak

 

---Digna Sjamsiar




Tiga hari belakangan ini anakku yang pertama sibuk mencari tahu keberadaan kakak perempuan ayahku yang tinggal di Belanda, dimulai dari dia menanyai opanya tentang nama berikut nama familinya (marga), tahun berapa terakhir kali berkunjung ke Situbondo, Jawa Timur dan nama anaknya yang ikut berkunjung.

Disela-sela kegiatanku mengikuti Pelatihan Google Master Trainer, aku berusaha menjawab pertanyaan anakku yang lumayan membutuhkan ingatan luar biasa karena waktu itu umurku 9 tahun, dan pada tahun 2015 aku pernah meminta tolong pada rekan kerjaku yang sedang melanjutkan studi S2 di Belanda untuk melacak alamat yang dimiliki oleh orangtuaku, tetapi sayang, suratku kembali karena tanteku sudah tidak tinggal di alamat tersebut.

Sejujurnya yang mendasari anakku untuk mencari tahu keberadaan tanteku adalah dia sangat penasaran dengan perjalanan hidup opa dan omaku. Sedikit aku bercerita disini, papi dari papaku harus kembali ke Belanda disaat usia papaku 2 tahun, mami dari papaku menolak untuk ikut karena ibunya juga tidak bersedia, bisa dimaklumi mereka semua lahir dan berumah tangga di Indonesia sehingga mereka kuatir sulit untuk beradaptasi. Anakku berusaha terus melacaknya dengan masuk ke website komunitas Quora dan Twitter, salah satu anggota komunitas tersebut memberikan saran untuk mengecek suatu website yang berisi data kepulangan warga Belanda dari Asia Tenggara dan Australia dari tahun 1945 – 1966 (disebut repatriasi). Tetapi sayang, usahanya tidak berhasil karena papaku tidak tahu kapan papinya terakhir bekerja di perusahaan/pabrik gula di Indonesia, ditambah lagi papi dari papaku juga tidak mempunyai keturunan selain papaku.

Kemudian anakku kembali fokus berusaha mencari nama lengkap sepupuku yang kuceritakan sebelumnya melalui Facebook dan Instagram. Anakku menelepon papaku dan mencatat jawaban-jawabannya, kemudian anakku via internet memasukkan alamat dan nama tersebut, akhirnya usahanya berhasil, dia menemukan akun IG dan Facebooknya. Kemudian baik anakku maupun aku menambah pertemanan. Alhamdulillah..permintaan berteman kami diterima. Yang paling menggembirakan setelah dua hari pertemanan kami,  sepupuku membalas chat anakku via FB. Mengingat budaya kita yang berbeda, anakku mengirim foto tanteku sewaktu masih gadis, sepupuku membenarkan jika foto tersebut adalah foto mominya, dia senang sekali, dan dia bercerita bahwa mominya masih menyimpan foto-foto ketika mereka berkunjung ke Situbondo tahun 1977. Dia mampu mengingat kenangan-kenangan manis saat di Situbondo sekalipun saat itu dia masih berumur 6 tahun. Chatku di FB juga dia balas, senang sekali rasanya. Akhirnya anakku dan sepupuku mengatur jadwal untuk melakukan video call secara bersama Sabtu sore besok yaitu papaku, kedua kakakku dan keluarganya dan aku sendiri. Satu keberuntungan lagi, sepupuku fasih berbahasa Inggris karena dia bekerja sebagai manajer hotel, sehingga komunikasi via chat di Facebook berjalan lancar, begitu juga jika besok diadakan pertemuan secara virtual, karena kami tidak bisa berbahasa Belanda, papaku juga sudah banyak lupa dengan kosa kata bahasa Belanda.

Hal ini tak luput dari kecanggihan teknologi saat ini dimana teknologi dapat membantu kita dalam berkomunikasi dan memperoleh informasi yang dibutuhkan. Saat ini di WA grup kami yang terdiri dari papaku berikut anak, menantu dan cucu ramai membicarakan temuan anakku ini. Papaku gembira sekaligus terharu karena akan mengobrol lagi dengan kakak perempuannya walau hanya secara virtual, dan saat ini kami bernostalgia di grup WA, mengingat saat sepupuku yang ngotot pingin main di sungai, kebetulan rumah nenekku dan rumah orang tuaku dekat dengan sungai, dan cerita lucu lainnya….jadi tak sabar menunggu besok jam 16.00 waktu Indonesia bagian barat….hehehehe


Yogyakarta, 12 Maret 2020

Catatan sore setelah menyelesaikan tugas Pelatihan Google Master Trainer

Digna Sjamsiar

 

Monday, March 8, 2021

Percakapan yang Membelajarkan

 

  --Rin Surtantini

 


Suatu hari menjelang akhir bulan Desember tahun lalu, saya melakukan percakapan di Whatsapp dengan seorang kolega sekaligus sahabat yang mengajar di sebuah perguruan tinggi negeri. Ia mengelola jurnal terakreditasi nasional berbahasa Inggris yang kebetulan saya menjadi salah satu reviewer (mitra bestari atau penelaah) di dalamnya. Percakapan kami berdua cukup panjang, mengenai tradisi ilmiah dalam menulis dan menelaah artikel yang dikirim ke jurnal yang dikelolanya. Biasanya kami tidak pernah melakukan percakapan untuk artikel-artikel yang kebetulan saya diminta untuk menelaah sesuai dengan bidang keilmuan saya, karena jurnal itu dikelola menggunakan Open Journal System (OJS)yaitu aplikasi perangkat lunak sumber terbuka untuk mengelola dan menerbitkan jurnal ilmiah secara daring dengan penelaahan sejawat. Dengan OJS, sirkulasi pengiriman artikel, penyuntingan, review, dan seterusnya dilakukan secara online. Selain itu, biasanya artikel yang ditelaah itu tidak memiliki identitas penulisnya, sehingga para penelaah merupakan blind reviewers.

 Mengapa kali ini kami melakukan percakapan tentang artikel yang selesai saya telaah itu, karena melalui OJS, saya menyatakan bahwa artikel tersebut harus mengalami major revision yang harus dilakukan oleh penulisnya. Berhari-hari saya menelaah artikel tersebut dan merasa agak bersalah jika harus merekomendasikan ke pengelola jurnal bahwa artikel tersebut “ditolak” (decline) atau dikirim saja oleh penulisnya ke jurnal yang lain (submit elsewhere). Tentu tidak dengan tanpa alasan saya harus merekomendasikan itu, karena mengacu kepada profesionalisme serta standar substansi, teori, metode dan analisis penelitian, serta kebahasaan, artikel tersebut banyak sekali memiliki keterbatasan dan kekurangan. Mengapa saya kemudian merasa bersalah, adalah karena secara tidak sengaja saya mengetahui bahwa penulis artikel tersebut ternyata rekan sejawat kami berdua juga, teman sekolah pada saat kami sama-sama menempuh pendidikan tertinggi. Dalam artikelnya itu, ia menyematkan beberapa foto yang ada dirinya ketika melakukan penelitian yang ditulisnya!

 Saya tidak jadi menolak artikel tersebut, sehingga saya merekomendasikan revisi mayor alias perlu ditulis ulang dengan comments yang sangat banyak di bagian badan artikel. Ini akan sangat berat baginya. Rasa bersalah itu pun muncul di antara keinginan menegakkan standar serta kualitas dan membiarkan artikel itu lolos apa adanya….  Maka dari sinilah percakapan antara saya dengan kolega, sahabat saya sebagai pengelola jurnal itu terjadi.

 ***

 Oleh kolega saya ini, artikel hasil telaah saya tersebut dikembalikan ke penulisnya melalui OJS, dengan pilihan resubmit for review after revision as suggested within two weeks (silakan dikirim kembali agar bisa dilakukan telaah kembali oleh reviewer setelah penulis melakukan revisi sebagaimana disarankan dalam waktu dua minggu). Baiklah, ini merupakan sebuah tantangan yang berat bagi penulisnya, menurut saya, karena saya membayangkan kondisi artikel dengan revisi mayor tersebut akan sangat sulit untuk direvisi hanya dalam waktu dua minggu.

 Satu hal yang saya pelajari di sini: kolega saya sebagai pengelola jurnal mengatakan, “Dalam tradisi ilmiah, ditolak oleh jurnal itu adalah hal yang biasa, karena saya juga ngalami kok…hahaha…”

Saya menyetujui itu, karena tradisi ilmiah membuat kita banyak belajar untuk menerima fakta dan berbesar hati jika yang kita rasa sudah memenuhi kaidah ilmiah, ternyata belum bagi orang lain. Itulah manfaatnya penelaahan sejawat, yang membuka kesempatan bagi kita sebagai penulis artikel jurnal untuk memasuki dan belajar mengenai pandangan orang lain.

 Berikutnya kolega saya ini mengatakan, “Hal-hal inilah yang mengukuhkan agar pengelola jurnal harus selalu berusaha objektif. Jadi menolak naskah atau artikel itu sama sekali tidak apa-apa…”, demikian lanjutnya. “Apalagi kita sudah mendapat gelar akademik tertinggi. Ini menjadi tanggung jawab moral yang melekat pada hal-hal yang sifatnya objektif sebagai bagian dari membangun tradisi ilmiah. Itu yang harus selalu kita perjuangkan.”

 “Saya dan tim belajar step-by-step dalam perjalanan mengelola jurnal ini. Pada saat awal-awal mengajukan akreditasi dulu, editorial boards harus melakukan make up artikel yang gak nyambung biar jadi nyambung, yang morat-marit biar jadi tertata. Tetapi sekarang, kalau gak sesuai ya langsung kami decline (tolak)…,” lanjutnya.

 “Saya dulu menginisiasi jurnal ini untuk punya mimpi, yaitu punya tradisi ilmiah yang baik. Sudah sepuluh tahun masih merangkak. Semua melewati proses dengan terus memegang teguh tradisi ini. Kita harus menguatkan tradisi ilmiah yang jujur dan kredibel. Kita jauhkan diri dari kepentingan pribadi. Contoh konkritnya adalah sebagai editor in chief, adalah tidak etis jika mendominasi tulisannya sendiri di jurnal yang dikelolanya. Makanya saya sendiri jarang untuk melakukan ini, walaupun bisa dengan mudah saya lakukan itu… Saya harus berusaha menulis di tempat lain,” demikian lanjutnya.

 “Semoga kita dimudahkan oleh-Nya di jalan-Nya. Ini cara kita mengembangkan keilmuan di ranah yang kita kuasai sebagai hasil dari pendidikan yang kita peroleh.”

 Saya mengamini doanya. Terdiam. Yang tiba-tiba melintas dalam benak saya saat itu adalah membandingkan dengan yang saya alami dan yang terjadi di lingkungan saya. Saya tersentak ketika ia melanjutkan lagi…

 “Ini hari ibu. Sepertinya saat baik untuk merenungkan keberadaan kita di bidang akademik dan pendidikan”. Saya melihat kalender meja di dekat laptop. Ah iya, tanggal 22 Desember. Bagi saya ini sebuah kebetulan saja. Yang lebih penting bagi saya adalah pada hari ini terjadi sebuah momen percakapan yang fruitful, bermanfaat dan membelajarkan.

 “….Saya berjuang untuk semua yang saya katakan tadi, walaupun juga ada rongrongan-rongrongan pragmatis…. Tetapi kalau saya masih menjadi leader dalam tugas ini, saya percaya Tuhan tetap memberikan kekuatan bagi saya untuk istiqomah. Jadi akhirnya kita akan dibiarkan untuk memegang prinsip dan memertahankan idealisme yang kita miliki,” lanjutnya lagi.

 Maka saya pun memotong, “Saya sangat berterima kasih karena diberi kesempatan untuk belajar banyak dari proses dan tugas saya menjadi reviewer.”

 Belum sempat saya melanjutkan lagi, ia mengatakan, “Sama-sama, sahabatku. Saya mewakili tim kami, yang harus menyampaikan banyak terima kasih, dan permohonan maaf karena tidak bisa memberikan apresiasi yang layak. Di dalam sistem, kami telah mengikrarkan untuk free of charge, jadi tidak ada dana untuk pengelolaan jurnal ini. Hanya Allah yang membalas amal solehmu, sahabat. Berapa waktu dan pikiran yang dimanfaatkan untuk me-review itu tak ternilai harganya… Mohon maaf, yang kami bisa lakukan hanya menyampaikan SK Rektor dan sertifikat sebagai reviewer. Matur nuwun, sahabat, atas ketulusan dan komitmennya. Iringan doa kami kirimkan, agar engkau tetap sehat, bahagia, dan sukses dunia akherat. Aamiin.”

 Maka saya pun mengucapkan ini, “To me, this is something that makes me proud and feel contented. Sesuatu yang lebih tinggi nilainya secara intangible. Semua itu menjadi urusan Allah, karena saya yakin Tuhan tidak pernah lalai terhadap makhluk yang diciptakan-Nya. Doa yang sama saya kirimkan untukmu.”

 Matahari pun semakin tinggi hari itu. Saya seperti berada dalam dunia yang baru, meski dengan matahari yang tetap sama……. Bagi saya, apa yang saya lakukan selama beberapa tahun terakhir ini pada jurnal yang dikelola oleh kolega dan sahabat saya itu adalah sebuah pengalaman dan contoh nyata berada dalam lingkungan budaya ilmiah yang terpelihara. Tiba-tiba saya ragu, dapatkah ini saya ceritakan dan lakukan dalam sebuah lingkungan yang sarat dengan muatan pragmatis dan politis? Keraguan ini kembali menggedor-gedor pintu hati saya pada malam yang semakin tua, malam setelah saya menerima tugas yang sama dalam bentuk SK yang berbeda!

  

Yogyakarta, 8 Maret 2021.

Tuesday, February 9, 2021

Soal Kritik

 

---Eko Santosa


Dewasa ini, kritik berhamburan di media-media sosial, tentang apa saja. Hampir semua hal yang ada dan terjadi tidak lepas dari kritik. Masing-masing orang dapat menyampaikannya sesuai dengan cara dan gayanya. Dari proses berhamburnya kritik ini kemudian lahirllah klasifikasi baru yang disebut “nyinyiran” atau dianggap sebagai tanggapan asal omong dan “kritik membangun”. Istilah “nyinyiran” muncul karena kritikan yang disampaikan dinilai sebagai lebih banyak memperlihatkan sisi buruk seseorang atau lembaga atau kelompok tertentu, dan hal ini dianggap sebagai kecaman. Sementara itu, “kritik membangun” muncul sebagai counter atas “nyinyiran” dengan maksud bahwa setiap pengungkapan kesalahan atau kekeliruan atas sebuah tindakan atau kebijakan atau langkah atau apapun yang dilakukan oleh orang, kelompok atau lembaga mesti diikuti dengan penawaran solusi.

Masing-masing orang tentunya memiliki alasan tersendiri dalam menyampaikan kritik, apakah itu berupa “nyinyiran” maupun “ kritik membangun”. Namun, jika diulik sedikit lebih jauh, sesungguhnya kritik “nyinyiran” dan biasanya berisi kecaman tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Hal ini dikarenakan memang arti “kritik” di dalam kamus Bahasa Indonesia adalah kecaman atau tanggapan, atau kupasan yang kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu karya, pendapat, dan sebagainya (KBBI V).  Jadi dengan demikian, kritik memang adalah kecaman, soal di dalamnya ada uraian dan pertimbangan mengenai baik buruk itu hukumnya hanya “kadang-kadang”, sehingga tidak harus. Oleh karenanya, mereka juga tidak merasa memiliki kewajiban untuk menyampaikan solusi karena solusi semestinya ditemukan oleh orang atau kelompok atau lembaga yang dikritik berdasar kritikan yang disampaikan.

Sementara itu, dari sisi lain, bagi orang yang menganggap kritik mesti “membangun”, kemungkinan memaknai kritik dari seluruh arti “kritik” dengan mengesampingkan kata “kecaman” dan “kadang-kadang”. Jadi bagi mereka kritik adalah tanggapan, atau kupasan yang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu karya, pendapat, dan sebagainya. Oleh karenanya, kritik mesti harus diuraikan dengan segala pertimbangan baik buruk yang pada akhirnya akan mengerucut pada solusi. Dengan demikian, kiritik tidak bisa disampaikan secara sembarangan oleh siapa saja.

Kelit kelindan dan relasi semrawut atas “nyinyiran” dan “kritik membangun” masih eksis hingga hari ini di media-media sosial. Masing-masing memiliki pendukungnya sendiri. Jika saja arti “kritik” lebih menukik pada penilaian profesional, mungkin perdebatan receh nan seru antara “nyinyiran” dan “kritik membangun” tidak perlu terjadi. Seperti dalam kamus bahasa Inggris Concise Oxford (11th edition) misalnya, di situ kata kritik sebagai kata benda diartikan menjadi asesmen dan analisis yang detail atas sesuatu, sementara sebagai kata kerja diartikan menjadi tindak evaluasi yang dilakukan dengan cara detail dan analitis. Karena mesti detail dan analitis, maka tidak sembarangan orang bisa melakukannya. Artinya, tukang kritik itu mesti profesional di bidangnya. Namun demikian, pemaknaan kata mewujud ke tindakan dan respons atas tindakan tersebut sejatinya tetap dapat disikapi dengan bijak. Namun demikian, semua itu berpulang pada tujuan diri masing-masing atas tindakan yang dilakukan tanpa membebani makna sebuah kata yang bisa saja, dengan alibi tertentu, arbitrer. (**)

 

Eko Santosa

WFH/O, 090221

 

Monday, February 8, 2021

VIRTUAL TAK SEMUANYA

 

--Eko Santosa 


Sekumpulan mahasiswa sedang memperbincangkan dosen mereka ketika menunggu jadwal kuliah berlangsung. Dosen tesebut terkenal dan sering menjadi perbincangan karena ketakmauannya menggunakan teknologi informasi dalam mengajar, terutama penggunaan gawai. Paling banter, ia hanya menggunakan alat presentasi untuk menjelaskan keterangan lisan berbasis buku yang masih kurang dipahami. Selebihnya, ia akan langsung turun ke lapangan membimbing para mahasiswa berpraktik. Menurut para mahasiswa, sementara banyak dosen telah menggunakan teknologi informasi dan komunikasi sampai taraf virtual reality, dosen mereka yang satu ini terhitung sangat ketinggalan zaman. Meskipun komunikasi verbal yang dibangun di kelas berjalan lancar tetapi menurut para mahasiswa hal tersebut dianggap kurang cukup menopang performansi ideal seorang dosen di zaman modern.

Di tengah perbincangan yang sedikit riuh cenderung kasak-kusuk tersebut, sang dosen datang, berjalan santai dan langsung masuk ke kelas. Semua mahasiswa segera mengikutinya dan duduk dengan rapi. “Kelas hari ini akan saya mulai dengan pendekatan baru”, kata sang dosen. “Oleh karenanya, silakan keluarkan smartphone masing-masing.”  Mendengar itu, sontak kelas riuh. Semua mahasiswa gembira karena merasa ada kemajuan dari sang dosen. “Nah, sekarang, carilah gambar atau foto apel melalui gawai kalian. Bebas, apel jenis apapun yang disukai!” Tak beberapa lama para mahasiswa sudah siap dengan gambar masing-masing. “Sekarang angkat dan tunjukkan gambar apel itu dan saling perlihatkan!” Semuanya mengikuti arahan sang dosen. “Nah, kalian semua telah punya apel. Saya juga punya sebuah apel”, lanjut dosen tersebut sambil mengambil apel dari tasnya.

“Sekarang, mari kita makan bersama apel tersebut, silakan!”, dengan tenang sang dosen memakan apelnya, sementara para mahasiswa saling menatap bingung satu sama lain. “Ada yang nggak enak apelnya?”, tanya sang dosen. Para mahasiswa kembali bingung dan sang dosen dengan lahapnya memakan apel tersebut. Begitu mau selesai, ia lanjut berkata, “Nah, sebagai orang yang berbudaya, kita harus membuang sampah di tempatnya”, seraya mengambil kantong hitam dan membuang sisa apel yang ia makan ke kantong tersebut. “Jika kalian sudah selesai makan apelnya, silakan buang sisanya ke kantong hitam ini ya, dan tolong nanti kantong hitam ini dibuang ke bak sampah”. Kemudian dengan tenang dosen itu berdiri dan berkata, “Sekian pelajaran untuk hari ini, dan sebagai penutup, kita mesti mampu menyediakan kebutuhan makan, tidak hanya untuk diri kita sendiri, tetapi juga bagi banyak orang, itulah tujuan utama kita belajar pertanian dan perkebunan. Selamat siang dan terimakasih.” Dengan tenang, dosen itu meninggalkan kelas, meninggalkan para mahasiswa yang saling melongo atau senyum kecut antara satu dengan yang lain.

Selepas kelas, para mahasiswa kembali riuh dalam kasak-kusuk. Ada yang memahami pesan yang hendak disampaikan sang dosen, ada yang tetap bingung, dan ada yang terkesima. Tiba-tiba ada seorang mahasiswa berkata, “Kemarin bapak itu menjelaskan teori Bronislaw Malinowski bahwa untuk menilai ataupun merasakan sesuatu kita mesti mengalaminya secara langsung.” “Ya, tapi apa kaitannya dengan apel?”, tanya yang lain. “Makanan kan harus kita sediakan secara benar-benar nyata apa adanya, kita makan secara nyata, termasuk rasa kenyang itu harus nyata, tidak semuanya bisa diwakili secara virtual”, sela yang lain. Mendengar itu semuanya diam. Lepas benar atau salah kesimpulan itu, namun kelas menjadi diam, semuanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. (**)

 

Eko Santosa

WFH/O, 080221

Wednesday, January 27, 2021

Zonk Lagi!

 

--Rohmat Sulistya



Kembali menelan pil pahit. 

Setelah pengajuan Februari lalu berbuah zonk, pengajuan ulang November ini pun zonk. Pada bulan Februari, pengajuan dinilai nol karena -katanya- kurang bukti fisik. Saya memang tidak mengumpulkan bukti fisik secara penuh, tetapi saya hanya mengumpulkan bukti fisik terkait dengan artikel saya: salinan sampul jurnal, daftar isi, dan artikel saya. Artikel lain dalam jurnal tersebut memang tidak saya sertakan. Toh, kalau penilai mau menelusur,dapat dilakukan dengan  sangat mudah karena dalam pengajuan itu saya sertakan link e-journalnya.

Iya, ini tentang pengajuan angka kredit berkaitan dengan jurnal nasional terakreditasi.

Pengajuan ulang di Bulan November pun berakhir zonk dengan diberikan catatan bahwa artikel jurnal tersebut kadaluarsa. Jurnal terbit bulan Desember 2019, saya ajukan ulang bulan November 2020. Kalau mepet, iya sih. Tetapi dalam benak saya, ini masih koridor kriteria 1 tahun. Tetapi, bisa jadi pemahaman saya salah.

Sebenarnya, saya sangat senang apabila ini lolos penilaian, karena nilai kredit dari artikel jurnal lebih ‘worth it’ dibanding dengan nilai dari aspek-aspek lain. Mengirimkan artikel pada jurnal (terlebih lagi jurnal terakreditasi) memerlukan perjuangan lebih untuk dapat lolos. Dimulai dengan penilaian awal saat artikel kita submit. Akan ada penilaian dari 3 (tiga) reviewer  (mungkin berbeda jurnal satu dengan yang lain) yang akan memutuskan artikel kita lanjut atau tidak. Saya tidak tahu persis bagaimana seluk beluk penilaian awal, yang jelas 1 reviewer ‘menolak’ dengan catatan yang menyedihkan dan 2 lagi menyatakan ‘menerima’  dengan catatan revisi mayor. Dan memang saya menyadari sekali, inilah pertama sekali saya menulis artikel kajian tentang sesuatu yang saya juga masih belajar. Sebelumnya saya hanya menulis artikel berdasarkan hasil data-data kuantitatif laboratorium. Ya, penilitian sains.

Dan dengan artikel non sains ini, saya men-chalange diri saya sendiri pascapelatihan menulis artikel jurnal di Hotel Sahid dan hasilnya memang masih belum layak. Tetapi, Alhamdulillah para reviewer memberikan kesempatan untuk merevisi secara mayor. Setelah berbulan-bulan merevisi dengan 3 atau 4 proses revisi akkhirnya artikel diterima untuk diterbitkan. Bagi saya, ini adalah proses yang melelahkan dan mirip dengan berkonsultasi skripsi ke dosen pembimbing.

Tetapi, apa mau dikata, proses melelahkan tersebut berbuah zonk. Sedih sih sedih, tetapi saya ingat pada sebuah peristiwa di sebuah siang.

***

Sebuah siang.

Anak saya ikut ke kantor setelah saya menjemputnya pulang sekolah. Seperti biasa, dia cukup senang ikut ke kantor. Selain di rumah tidak ada orang, di kantor juga tersedia wifi untuk nonton YouTube dan main game.  

Tiba-tiba dia tertunduk lesu. Tanpa ngomong. Terlihat sedih. Setelah ditanya sana-sini, ternyata kota yang dia bangun hilang seketika saat Minecraftnya diupdate ke versi yang lebih tinggi. Dia adalah penggemar game Minecraft, sebuah game yang masih sangat polular sampai saat ini. Siang itu seharusnya dia senang karena bisa  mengupadate Minecraftnya. Tetapi menjadi kesedihan ketika kota yang ia bangun menjadi hilang seiring meningkatnya versi game. Ini bisa terjadi ketika perangkat yang digunakan tidak secanggih versi yang baru diunduh. Alhasil, kerja berminggu-minggu menjadi sia-sia.

Tetapi apakah memang sia-sia?

Cukup lama saya menenangkannya dari rasa kecewa.

“Dik, yang penting Aqila punya kemampuan membangun lagi, bukan kotanya. Tetapi kemampuan membangun kota itu lho yang lebih penting”.

“Kalau kotanya mungkin bisa rusak, bisa hilang; tetapi ilmunya itu yang lebih mahal. Dan ilmunya, Aqila sudah ngerti. Gak papa, nanti bisa bangun lagi”.

***

Dengan teringat peristiwa sebuah siang itu, maka saya bolehlah sedikit kecewa. Tapi gak harus kecewa banget. Yang penting bukan hasil artikel jurnal yang dinilai nol, tapi punya pengalaman menulis jurnal dan dapat terbit adalah jauh lebih penting. Jadi kemampuan dan proses menghasilkan, jauh lebih penting dari hasil itu sendiri.

Allah SWT mewajibkan kita untuk bergerak, berikhtiar, berusaha  tetapi hasil itu bener-bener hak prerogatif Allah. Dan Tuhan hanya melihat prosesnya kok, bukan hasilnya.

Ya, begitulah.. Wallahu a’lam.

 

Friday, January 22, 2021

ENTROPI

 

--Rohmat Sulistya

 


Beberapa hari lalu, saya secara iseng menonton kanal YouTube Gita Wirjawan, seorang pengusaha dan mantan Menteri perdagangan di era Soesilo Bambang Yudhoyono. Saya mendapatkan kanal ini tentu saja atas kecanggihan teknologi saat ini, dimana feed dan suggestion pada laman akun Youtube saya dan beberapa akun media social lainnya, tercipta karena perilaku dan minat saya pada topik-topik tertentu. Termasuk kemudian tercatat juga menjadi suggestion dalam belanjaan saya di Bukalapak dan Shopee. Inilah era dimana minat terlusur kita pada suatu topik akan terekam secara otomatis sebagai data yang berharga dan akan digunakan oleh raksasa-raksasa teknologi untuk mengarahkan “kehidupan” kita.

Dalam kanal tersebut, Gita Wiryawan sebagai host mewawancari seorang tamu wanita lulusan ITB dan MIT yang sangat smart. Sayangnya wanita itu sudah bersuami 😊. Topik yang dibicarakan cukup luas: dari wabah covid, metabolism manusia indonesia dan eropa, PCR, biodiversifikasi, AI, ide pengkodean genetic 270 juta manusia Indonesia, dan banyak topik berat lainnya yang saya sendiri banyak gak ngerti. Tapi benang merahnya adalah sustainability, keberlangsungan hidup manusia dalam puluhan, ratusan tahun ke depan bahkan saat kita harus berdampingan dengan robot yang dinyawai oleh artificial intelegent. Saat robot, pada saatnya nanti, bisa mengerjakan semua urusan manusia; lalu bagaimana mereka hidup berdampingan dan tidak saling mematikan. Wisdom atau kebijaksanaan adalah kuncinya.

Banyak kata-kata penting dan ilmiah adalah perbincangan tersebut. Tetapi ada satu kata yang dulu sangat akrab saat kuliah dan sampai saat inipun saya kurang berhasil memahaminya. Kata tersebut adalah entropi. Ini adalah peristilahan dalam kimia yang berhubungan dengan panas; yang bagi saya sendiri adalah ilmu yang sulit.



Berikut ini adalah definisi entropi dari Wikipedia yang tetap bikin pusing.

Entropi adalah salah satu besaran termodinamika yang mengukur energi dalam sistem per satuan temperatur yang tak dapat digunakan untuk melakukan usaha. Mungkin manifestasi yang paling umum dari entropi adalah (mengikuti hukum termodinamika), entropi dari sebuah sistem tertutup selalu naik dan pada kondisi transfer panas, energi panas berpindah dari komponen yang bersuhu lebih tinggi ke komponen yang bersuhu lebih rendah. Pada suatu sistem yang panasnya terisolasi, entropi hanya berjalan satu arah (bukan proses reversibel/bolak-balik). Entropi suatu sistem perlu diukur untuk menentukan bahwa energi tidak dapat dipakai untuk melakukan usaha pada proses-proses termodinamika. Proses-proses ini hanya bisa dilakukan oleh energi yang sudah diubah bentuknya, dan ketika energi diubah menjadi kerja/usaha, maka secara teoretis mempunyai efisiensi maksimum tertentu. Selama kerja/usaha tersebut, entropi akan terkumpul pada sistem, yang lalu terdisipasi dalam bentuk panas buangan.

Duhhh....

Belakangan istilah entropi ini mengarah kepada kata umum (dari kata khusus yang hanya membahas panas dalam termodinamika). Entropi sering diungkapkan sebagai derajat ketidakteraturan, kekacauan, atau derajat ke-chaos-an. Entropi itu selalu naik, dengan demikian ketidakteraturan ini semakin tinggi juga. Dan ini sebuah keniscayaan, kealamiahan, atau sunatullah. Bumi, manusia, alam raya, universe entropinya akan naik. Dengan kata lain bumi dan seisinya ini akan semakin chaos dari waktu ke waktu. Apakah kechaiosan ini akan menuju kesetimbangan yang baru atau malah menuju kehancuran total, wallahu a’lam.

Yang jelas, kita mungkin sepakat, keadaan hari ini makin lama makin membuat kita bingung. Pandemi virus 2019/2020 bukanlah pandemi yang pertama yang menimpa umat manusia. Paling tidak, dijaman yang sudah tercatat dalam sejarah modern, dari 10 pademi, 4 diantaranya adalah wabah influenza (medcom.id). Jadi menjadi 5 dengan wabah covid-19 saat ini yang juga varian influenza. Bahkan pandemi flu tahun 1918-1920 menewaskan 20-50 juta manusia di seluruh dunia.

Bertatap muka, saling berkunjung, berkumpul, bersalaman, semua dibatasi. Muka kita hanya nampak dari mata. Kita hanya bisa menebak seseorang cantik atau cool hanya dari matanya. 

Kalau dari kacamata agama, inilah waktu kita semakin menundukkan pandangan.

Bukankah ini keadaan yang aneh, yang membuat segalanya menjadi semakin tidak teratur dan kacau. Boleh jadi dalam beberapa tahun ke depan gedung-gedung megah mewah semakin unutilized karena minim digunakan. Belajar online juga tidak serta merta menggantikan belajar dengan berhadap-hadapan guru dan murid. Sebuah ritual belajar yang sudah dijalani ribuan tahun. Tetapi iniah realitasnya, dan sangat mungkin ini adalah sebuah ketidakteraturan yang naik.

Sangat mungkin, semuanya itu menuju ke kesetimbangan baru -yang sifatnya adalah sementara- menuju ke derajat kekacauan yang lebih parah dalam ratusan tahun ke depan. Siapa tahu?. Yang jelas kehancuran total alam raya pasti akan datang pada masanya. Mungkin ratusan atau ribuan tahun ke depan.

Haruskah berpikir sejauh itu. Ya gak papa, berpikir membuat kita hidup.

Bagaimana kita secara individu akan bertahan dalam kondisi ketidakteraturan ini, yang minim dukungan (support) dan panduan (guidance) secara sistemik. Program kerja kurang jelas, apa yang harus dikerjakan belum nampak. Mungkin inilah chaos kecil di dunia kerja kita.

Akhirnya kita akan kembali kepada sebuah hal saat kemungkinan hubungan manusia dan robot cerdas semakin nyata dimasa depan: wisdom atau kebijaksanaan. Kita tetap harus menjadi manusia yang bijaksana dalam segala keadaan. Menuntut ilmu adalah kewajiban abadi setiap manusia, dalam pandangan agama maupun rasio manusia. 

Jadi, kita akan lebih banyak belajar dalam hal apapun dalam menghadapi tahun-tahun ke depan; terlebih lagi perjalanan kita dalam ribuan tahun ke depan.

Salam sehat.

Thursday, December 31, 2020

Dan Desember pun Kembali Datang

 ---Rin Surtantini




Desember datang. Seperti Desember-Desember lain sebelumnya, hujan mulai rajin menyirami bumi, meski dengan frekuensi yang masih belum teratur. Masih seperti biasanya pula, harapan-harapan manusia akan datangnya pergantian tahun yang lebih baik mulai bermunculan di berbagai media sosial dalam berbagai ungkapannya. Sama seperti yang selalu terjadi pada setiap Desember pula, retorika tentang pentingnya refleksi diri mulai banyak ditampilkan para warganet.

Desember seperti sebuah pintu rumah yang segera ditutup setelah selalu terbuka sepanjang tahun. Desember serupa bab terakhir dari sebuah buku yang selesai dibaca. Desember seakan stasiun terakhir yang menunggu kereta api datang dan berhenti. Desember seolah ujian terbuka pada puncak studi seorang mahasiswa S3. Desember bagaikan ombak membuih yang bergerak melepas gelombang air laut di pantai yang menantinya.

 Metafora Desember itu menarik untuk disimak. Jika ia pintu rumah, maka tutuplah karena malam telah tiba. Jika ia sebuah buku, maka berhentilah membaca karena semua bab sudah habis terbaca. Jika ia stasiun, maka turunlah karena kereta telah berhenti. Jika ia ujian terbuka, maka terimalah ijazah karena telah dinyatakan lulus. Jika ia ombak, maka rasakan pecahan deburnya di pantai.

 Desember memang telah datang, sesuai pakem yang ada pada kalender yang digantung di dinding, atau yang diletakkan di atas meja kerja. Hujan memang telah turun pula pada bulan Desember, dan ada kalanya gugurannya begitu memutihkan bumi.  Ia menyaput semua debu yang menempel di daun dan pohon, mengalirkan sampah-sampah di jalan, menjernihkan udara yang penuh asap dan polusi. Tetapi, benarkah sesungguhnya ungkapan yang manis ini, “Let the rain wash away all the pain of yesterday…” (Biarkan hujan menghapus semua kedukaan kemarin) dapat tercipta dengan mudah dalam mental dan hati atau perasaan seseorang? Mungkin jawabnya adalah, “Time will heal…” (Waktulah yang akan menyembuhkan).

 Ya, kunci dari “the rain washes away all the pain of yesterday” adalah waktu. Seberapa lamakah, tergantung kepada bagaimana seorang individu mengelolanya. Dan bagaimanakah, tergantung kepada cara individu itu merespon “the pain of yesterday”. Belum lagi jika itu merupakan “the pain(s)” (kedukaan yang banyak), tentu pengelolaannya akan tergantung kepada mana yang paling membuncahkan pikiran seorang manusia yang mengalaminya.

Dan pada Desember tahun ini, seorang Tan mengalami “the pain(s) of yesterday”. Sesungguhnya kebuncahan pikirannya tentang ini sudah terjadi sejak Januari pada awal tahun ini, tetapi ia masih merawat harapannya, karena bukankah pintu tahun 2020 baru saja dibuka. Jadi pikirnya, biarkanlah pintu terus terbuka sepanjang tahun sebelum ia mungkin akhirnya memadamkan harapan-harapan itu. Tak dinyana, pandemi Covid-19 menghampiri bumi Indonesia pada bulan kedua-ketiga tahun ini. Tan tetap memelihara harapan-harapan yang dibangunnya sendiri dengan banyaknya tantangan baru yang harus dihadapi. Kegagapan teknologi yang harus diatasi, pemeliharaan semangat kerja dengan tetap produktif di rumah, pemaknaan ulang terhadap integritas sebagai seorang karyawan yang harus bekerja dari dan tinggal di rumah, penumbuhan akan rasa empati, atau “compassion” terhadap mereka yang kurang beruntung, kepatuhan terhadap prinsip keselamatan diri sendiri, lingkungan, sesama, melalui protokol kesehatan yang disarankan, dan masih banyak lagi.

 Tan menjalani itu semua dengan caranya sendiri sampai tak terasa Desember pun akhirnya tiba, merangkak menuju hari terakhir. Akan tetapi, ia tak bisa menghindar dari kebuncahan ini: mengapa “the pains of yesterday” tidak sama dengan daun dan pohon yang bersih dari debu, sampah-sampah yang mengalir, udara yang segar dan jernih karena guyuran hujan yang deras? Mengapa justru setiap saat hujan turun dan bumi basah olehnya, hati Tan semakin dirundung kepedihan, kegelisahan, keprihatinan, dan kekuatiran?

 Tan mengenang kembali, sebulan yang lalu jantungnya berdegup dan pedih ketika mendengar berita kepergian seorang rekan kerja seprofesinya yang jauh lebih muda darinya, terdeteksi terinfeksi virus yang bekerja dalam senyap itu. Tan mengingat kembali, dengan keyakinan bahwa Covid-19 ada di mana-mana, di kantor, di kendaraan umum, di hotel, di tempat wisata, di keramaian, bahkan di rumah sendiri, maka kesadaran untuk berhati-hati, menjaga diri sendiri , keluarga, dan orang lain, menjadi alangkah pentingnya untuk diterapkan! Tan memikirkan, bahwa keputusannya untuk tidak mengikuti sebuah kegiatan di lingkungan tempat kerjanya yang berpotensi menciptakan mata rantai-mata rantai yang bersambung, adalah sebuah keputusan personal yang selayaknya dihormati, bukan dipertentangkan atau dinilai sebagai wujud disintegritas seorang karyawan, atau dipertanggung jawabkan sebagai sikap atau perilaku yang melanggar komitmen sebagai seorang karyawan. Tan berkata pada diri sendiri, ia tak boleh terlalu percaya diri, apalagi jemawa, merasa pasti akan dapat terhindar dari sapaan virus ini terhadap dirinya, terhadap orang-orang yang dikenalnya.

 Tan membaca situasi, Covid-19 semakin nyata ada di mana-mana, dan semakin dekat dengan dirinya, apalagi ketika rekan-rekan kerjanya mulai ada yang terinfeksi, sehingga tracing menjadi semakin meluas. Kenyataan ini sekaligus juga menimbulkan “paranoid” terhadap diri sendiri dan terhadap rekan-rekan kerja yang dianggap telah berkontak langsung dengan rekan kerja lain yang terpapar. Tan hanya bisa sedih memikirkan, bagaimana seorang rekan kerja yang selama ini memiliki integritas, juga terdampak dengan pembentukan mata rantai virus ini. Ia tak dapat berbuat atau membantu apa-apa, kecuali mengirimkan doa akan kesembuhannya, dan agar anggota keluarganya dapat terlindungi, yaitu ibu yang tinggal bersamanya yang tentu tidak lagi muda, anak yang masih belia, dan istri yang setiap hari bersama dalam masa isolasi mandirinya. Tan berharap, “compassion” terhadap dampak-dampak dari pembentukan mata rantai virus ini tumbuh sebagai social awareness di kalangan manusia.

 Tan mengenang, bahwa angka-angka pencapaian yang diklaim sebagai keberhasilan yang bersifat administratif dan kuantitatif sering tidak seirama dengan kondisi-kondisi yang bersifat kualitatif. Tan menyaksikan, perayaan dan perhelatan terhadap perubahan yang bersifat kuantitatif sangat mewarnai kehidupan lingkungannya, dan bertanya pada dirinya sendiri, apakah ia pun harus sependapat bahwa perayaan menjadi sebuah kewajiban dan satu-satunya bentuk integritas jika ia adalah seorang karyawan di sebuah institusi? Tan berdiskusi dengan hatinya sendiri mengenai berbagai kebuncahan yang menyergapnya (dalam kesendirian). Tan membuat catatan-catatan itu dalam folder pribadinya, menyimpannya sendiri, dan membacanya sendiri juga sambil mendengarkan guguran air hujan yang semakin deras pada suatu malam di akhir Desember ini.

 Begitulah. Ia hanya seorang Tan. Ia hanya bisa menciptakan metafora tentang Desember dalam pikirannya sendiri. Jika pintu rumah memang harus ditutup karena malam telah tiba, bukankah esok pintu itu harus dibuka kembali dengan berharap ada perubahan dari gelap menjadi benderang? Jika sebuah buku selesai dibaca sampai bab terakhir, apa pelajaran yang diperoleh darinya? Jika kereta api telah berhenti pada stasiun terakhir, apa selanjutnya yang akan dilakukan penumpang begitu turun dari kereta? Jika ujian terbuka selesai dilalui, apakah ijazah dan gelar akademik hanya akan menjadi sebuah dokumen yang tersimpan rapi dalam map khusus? Jika ombak lepas di pantai, bukankah ia akan kembali lagi ke laut lepas untuk membentuk gelombang berikutnya?

 

 Yogyakarta, 31 Desember 2020.