--Rin Surtantini
Kalimat-kalimat di atas dijumpai dalam
tulisan Komaruddin Hidayat berjudul “Rumahku, Sekolahku” yang dimuat di harian
Kompas (Sabtu, 11 April 2020). Virus yang bekerja dengan senyap, tak nyata
terlihat dengan mata itu, perlahan dan pasti mengejutkan manusia di penjuru
dunia karena hasil kerjanya yang rapi tersembunyi. Hasil kerja yang senyap dari
organisme virus ini melahirkan begitu banyak persoalan yang kait-mengait dari aspek
sosial, ekonomi, kesehatan, sains, politik, agama, pendidikan, budaya,
psikologi, dan sebagainya. Max Regus dalam tulisannya berjudul “Titik Nol
Peradaban” di harian Kompas (Rabu, 15 April 2020), mengatakan bahwa virus
korona tipe baru sedang meruntuhkan segenap pranata kehidupan manusia.

Maka, saat ini sangat banyak bentuk yang
membuat orang bekerjasama, berbagi. Kebersamaan spontan itu tumbuh atas dasar rasa
solidaritas, rasa kemanusiaan, keinginan berbela rasa, empati antarmanusia. Hal ini dilakukan “tanpa instruksi”, “tanpa
surat perintah”, “tanpa surat edaran”. Inilah esensi dari panggilan kemanusiaan.
Ia datang mengetuk pintu hati dan kalbu manusia tanpa syarat, dengan senyap, sesenyap
cara kerja korona dalam mengembangkan kehadirannya.
***
Di sebuah
wilayah rukun warga di Yogyakarta, ada sekelompok penduduk asli yang pada masa tahun
1980an dahulu adalah pemilik tanah-tanah luas di wilayah tersebut. Pada masa
itu, wilayah tempat mereka tinggal ini masih sepi, masih dipenuhi kebun-kebun
atau halaman luas yang ditumbuhi pohon-pohon dan tanaman. Akan tetapi, pada
masa itu terlihat bahwa wilayah ini memiliki prospek untuk berkembang sebagai
wilayah yang ramai dan menjadi bagian dari kota.
Dalam perjalanan waktu, kebutuhan
hidup dari penduduk asli pemilik tanah-tanah dan kebun ini semakin banyak dan
sulit karena mereka tidak bekerja di sektor-sektor formal sebagai pegawai tetap,
sementara pendidikan mereka juga tidak tinggi. Hal ini mendorong mereka untuk merelakan
diri menjual tanah-tanah mereka tersebut kepada para pemilik uang yang membutuhkan
tempat tinggal yang ideal dari segi luas tanah, bangunan rumah, dan lingkungannya.
Alhasil, rumah-rumah besar, bagus, dan ideal satu persatu mulai dibangun oleh
para pendatang yang membeli tanah-tanah di wilayah ini. Para pendatang ini
umumnya mereka yang memiliki pekerjaan tetap, bahkan berkedudukan tinggi di
kantor-kantor, berpendidikan tinggi, dan sebagian juga adalah para akademisi.
Penduduk asli pun kehilangan sebagian besar tanah-tanah mereka, tersudut di
bagian-bagian dalam, di antara rumah-rumah besar, karena tanah-tanah mereka
yang di pinggir jalan-jalan utama di wilayah tersebut sudah dibeli oleh para
pendatang tadi dan telah berubah menjadi rumah-rumah permanen yang bagus,
dengan tatakota yang teratur. Perlahan-lahan, penduduk asli harus menerima kenyataan
bahwa mereka harus hidup berdampingan dengan para pendatang meskipun dalam kesenjangan
kondisi sosial ekonomi dan pendidikan.
Perlahan tapi pasti, wilayah itupun memang
berubah menjadi wilayah perkotaan yang akrab dengan sentuhan dan kehidupan
masyarakat modern seperti café, hotel, supermarket, restoran, apartemen, kos
eksklusif, dan sebagainya. Harga tanah dan bangunan di sana pun menjulang
tinggi dari tahun ke tahun. Penduduk asli menyaksikan pertumbuhan modern
wilayah itu dan hanya dapat ambil bagian menjadi tukang parkir, petugas
keamanan, pekerja serabutan, petugas sampah, tukang cuci pakaian, tukang ojek,
pembantu, pedagang warung kecil dan makanan, atau juga tukang pijat. Mereka
mengandalkan penghasilan mereka dari pendapatan harian yang serba tidak pasti,
tidak sama, tidak banyak, dan tidak tentu dari hari ke hari, sampai akhirnya
korona datang dan bekerja dengan senyap di penjuru bumi … yang berdampak secara
langsung juga kepada kehidupan mereka ……..
***
Adalah sekelompok kecil ibu-ibu yang
dengan “idealisme” tertentu tergabung dalam sebuah perkumpulan. Ibu-ibu ini termasuk
dalam kelompok pendatang yang bermukim di wilayah yang diceritakan di atas.
Mereka bertemu sebulan sekali sebagai bentuk bersosialisasi di antara mereka. Bulan ini mereka memutuskan untuk tidak
mengadakan pertemuan karena kebijakan physical
distancing yang mereka patuhi. Toh secara sosial mereka tetap dapat
terhubung melalui grup Whatsapp.
Keterhubungan mereka inilah yang
secara spontan, tanpa perintah, tanpa syarat, melahirkan keinginan berbela rasa
secara bersama-sama kepada penduduk asli yang ada di sekitar mereka, ketika
unsur atau pihak birokrasi mungkin masih bermain dalam waktu karena kehati-hatiannya
dalam menentukan atau memutuskan apa yang dapat dilakukan untuk membantu warga
wilayahnya yang terdampak kasus korona, atau siapa yang harus dibantu dalam
kondisi saat ini. “Mari bergerak cepat dan baik, jangan ditunda, dengan
senyap”, menjadi prinsip yang dipegang oleh para ibu yang bergerak ini. “Peduli
Dampak Covid-19”, menjadi aksinya. Siapakah yang perlu dibantu? Di wilayah itu,
penduduk asli seperti yang digambarkan di atas itulah yang perlu segera dibantu
dan mendapatkan bukti rasa empati dari pendatang yang selama ini hidup
berdampingan dengan mereka. Maka, dana pun dihimpun, sukarela, ikhlas,
semampunya, dari anggota kelompok kecil ibu-ibu ini, dalam waktu kurang dari
tiga jam. Berhasil cepat! Alhamdulillah.
Thank God.
Pada saat yang sama data juga harus
segera diperoleh melalui tiga sumber dari unsur warga (yaitu dari penduduk asli
yang dekat dengan warga, dari pendatang yang sering menjadi dermawan, serta
dari penduduk asli yang tidak terdampak korona). Pagi itu juga diperoleh daftar
nama dari tiga sumber warga tadi. Statistik manual cepat pun dilakukan: siapa
yang namanya selalu muncul dalam daftar dari tiga sumber data tadi, maka ia
akan menjadi penerima paket belarasa “Peduli Dampak Covid-19”. Hasilnya,
diperolehlah daftar penerimanya. Lalu, jumlah penerima paket belarasa ini
dicocokkan dengan dana yang telah terhimpun, untuk menentukan apa yang dapat
dilakukan dengan dana tersebut terhadap penerimanya. Bergerak cepat, segeralah
belanjakan dana tersebut dalam bentuk paket-paket kebutuhan pokok yang sudah
dikemas baik dalam kardus oleh pihak toko penyedia. Paket pun siap, diantar ke rumah salah satu
ibu pada sore harinya sebagai posko, lalu diberi label nama penerimanya: “Kagem
Ibu X…. “. Selepas magrib, paket
belarasa diantar ke masing-masing rumah warga penerima, rumah-rumah penduduk
asli yang ada di belakang, di bagian dalam gang, atau di antara rumah-rumah
besar permanen milik para pendatang … Malam itu, mereka sudah menerima langsung
paket belarasa tadi di rumahnya masing-masing. Ketidakpastian kondisi hidup
mereka --akibat kerja korona dalam senyap-- sedikit terkurangi dengan aksi
belarasa dalam senyap ini. Kegelisahan mereka, sedikit terpupus. Harapan
mereka, ditumbuhkan.
***
Dalam akhir artikelnya, Komaruddin
Hidayat (Kompas, Sabtu, 11 April 2020) menuliskan:
Kita berharap wabah korona akan memberikan kesadaran akan perlunya hidup yang sederhana, saling berbagi kasih, dan bersama-sama menghadirkan surga di muka bumi.
Kita semua hidup di bawah matahari yang sama, berdiri, duduk,
berjalan, dan tidur di atas bumi yang sama.
Agama, warna kulit, dan bahasa boleh berbeda, tetapi kita semua adalah
keluarga besar Tuhan yang sedang berkelana sejenak di bumi Tuhan ini.
Aku, kami, dan kita adalah satu.
Semoga kesadaran dan ikatan nurani kemanusiaan ini
mengantarkan lahirnya masyarakat baru Indonesia pascakorona.
Alangkah indahnya
pernyataan-pernyataan di atas ini jika dimiliki oleh semua manusia dan
dimanifestasikan dalam konteks kehidupan bersama, karena kita hidup di bumi
yang sama milik Tuhan. Maka, ketika kegiatan sekelompok kecil ibu-ibu di sebuah
wilayah yang diceritakan dalam tulisan ini dilakukan seminggu yang lalu, ada
hal yang sedikit “mengganjal” ketika kelompok ibu-ibu ini meminta ijin kepada
aparat pengurus kampung untuk aksi kemanusiaan yang akan dilakukannya. Ijin ini
dilakukan sebagai bentuk pemberitahuan bahwa aksi ini tidak liar, dan dilandasi
semata-mata oleh rasa kemanusiaan, dalam “konteks bencana Covid-19”, konteks
kemanusiaan. Ternyata, jika para ibu ini akan menggunakan daftar penerima paket
belarasa dari versi pengurus rukun warga, terjadi perbedaan. “Kriteria” atau
“syarat” untuk siapa yang berhak menerima paket belarasa yang didata oleh pengurus
rukun warga ditentukan dari sudut pandang agama, dalam hal ini agama Islam, yaitu
golongan yang termasuk 8 (delapan) asnaf zakat.
Sedikit terhenyak, para ibu tadi tetapi
akhirnya tetap menggunakan daftar penerima yang sudah ditetapkan oleh mereka
sebelumnya. Ini bukan soal salah atau benar, menyimpang dari ajaran agama atau
tidak, dosa atau tidak, tetapi ini soal perbedaan “tujuan” dari pemberian
bantuan. Dalam hal ini, konteksnya adalah pemberian bantuan “kemanusiaan”
khusus pada “peristiwa Covid-19”. “Ikatan nurani kemanusiaan”, meminjam istilah Komaruddin Hidayat, menjadi esensi dan tujuan dari aksi solidaritas ini. Tanpa syarat, tanpa instruksi, tanpa membedakan. Terkadang kita lupa: kita mengakui keragaman di negeri ini, tetapi kita tidak menerima adanya perbedaan. Berzakat, menurut tuntunan agama Islam, tentu tidak boleh kita abaikan, wajib kita laksanakan dalam konteks tujuan kehidupan spiritualitas dan keimanan kita (yang beragama Islam). Konteks, akhirnya menjadi sesuatu yang amat esensial untuk dipertimbangkan dalam semua sendi kehidupan kita.
Yogyakarta, ditulis pada masa perpanjangan WfH,
pertengahan April 2020.
(Gambar diambil dari: https://fineartamerica.com/featured/community-lisa-frances)
Masya Allah, trenyuh saya. Semoga solidaritas tetap berjalan dalam kensenyaan. Bahkan Nabi SAW mengajarkan shadaqah yang utama adalah shadaqah dalam senyap. Semoga mjd amal sholeh; tanpa membeda-bedakan agama.
ReplyDeleteAamiin Aamiin Ya Rabb.
DeleteTerima kasih, mas Rohmat.
Banyak pengalaman hubungan sosial antarmanusia dalam senyap yang sesungguhnya mengajarkan kita utk menerapkan ajaran2 agama secara langsung. Inilah sesungguhnya panggung nyata dari berjuta2 ceramah yang diberikan oleh tokoh2 agama...
Dari pandemi corona kita bisa menjadi belajar tentang kebersaman.. Apakah selama ini tidak bekerjasama.. Tetap bekerjasama, tetapi ada yang luput yaitu energi dan kesadaran komunallah ya hilang..terima kasih pelajarannya mbak 👍👍
ReplyDeleteTerima kasih kembali, mas Heru.
DeleteSetuju sekali.
Saya juga belajar dari peristiwa yg pernah kita alami bersama, yaitu kata "instruksi" yang tidak perlu dalam bangkitnya energi dan kesadaran komunal...
Manusia bagian dari alam digeser oleh pandangan manusia menguasai alam dan akan kembali menjadi manusia bagian dari alam
ReplyDeleteItu yang sesungguhnya terjadi, jika kita mau renungkan dalam senyap.
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteBekerja dari rumah, belajar di rumah tetap semangat dan sekolah di rumah, terima kasih Mbak Rin Siiip...
ReplyDeleteTerima kasih, pak Marsudi.
DeleteDi manapun berada, tetap belajar, bekerja, buat diri sendiri, keluarga, dan sesama ...
Betapa beruntungnya dan bersyukur ya mbk Rin ketika kita masih diberi kesempatan utk bisa berbagi...
DeleteYa mb Digna, sharing is caring, bagi sesama makhluk Tuhan.
DeleteNilai kemanusiaan semestinya berada pada posisi paling tinggi, sebab manusia adalah ciptaan-Nya yang paling mulia. Namun manusia sendiri sering egois dan melupakan atau mengesampingkan manusia lain. Sering diajarkan juga bahwa kedudukan manusia semua sama dihadapan sang pencipta.
ReplyDeletePerbedaan apapun, termasuk agama yg digunakan menjadi dasar untuk berbagi dan memanusiakan manusia akan menimbulkan eksklusivitas yg mengingkari keberagaman, perbedaan dan keniscayaan tsb.
Salut buat ibu2 yg sdh berusaha menjunjung nilai kemanusiaan, termasuk mbak Rin tentunya....