Monday, April 20, 2020

WfH Series: Bekerja dengan Senyap



--Rin Surtantini


Negara-negara yang selama ini merasa hebat dan kuat juga dibuat bingung dan mengakui kerapuhannya dalam menghadapi serangan virus korona. Senjata- senjata nuklir, yang jadi andalan jika PD-3 meletus, tak mampu mengalahkan virus yang bekerja dengan senyap.
Kalimat-kalimat di atas dijumpai dalam tulisan Komaruddin Hidayat berjudul “Rumahku, Sekolahku” yang dimuat di harian Kompas (Sabtu, 11 April 2020). Virus yang bekerja dengan senyap, tak nyata terlihat dengan mata itu, perlahan dan pasti mengejutkan manusia di penjuru dunia karena hasil kerjanya yang rapi tersembunyi. Hasil kerja yang senyap dari organisme virus ini melahirkan begitu banyak persoalan yang kait-mengait dari aspek sosial, ekonomi, kesehatan, sains, politik, agama, pendidikan, budaya, psikologi, dan sebagainya. Max Regus dalam tulisannya berjudul “Titik Nol Peradaban” di harian Kompas (Rabu, 15 April 2020), mengatakan bahwa virus korona tipe baru sedang meruntuhkan segenap pranata kehidupan manusia.


Di balik sekian banyak persoalan yang kait-mengait akibat kerja korona yang tersembunyi rapi dalam senyap ini, semerta-merta manusia disadarkan bahwa bumi adalah milik bersama. Warga bumi tidak mampu melawan serangan organisme super-tidak kasat mata yang menguasai dunia saat ini. Mereka harus bekerjasama, harus berbagi, dan bersama-sama mengembalikan bumi sebagai tempat berpijak yang aman dan nyaman untuk hidup mereka.


Maka, saat ini sangat banyak bentuk yang membuat orang bekerjasama, berbagi. Kebersamaan spontan itu tumbuh atas dasar rasa solidaritas, rasa kemanusiaan, keinginan berbela rasa, empati antarmanusia.  Hal ini dilakukan “tanpa instruksi”, “tanpa surat perintah”, “tanpa surat edaran”. Inilah esensi dari panggilan kemanusiaan. Ia datang mengetuk pintu hati dan kalbu manusia tanpa syarat, dengan senyap, sesenyap cara kerja korona dalam mengembangkan kehadirannya.
                          

***

Di sebuah wilayah rukun warga di Yogyakarta, ada sekelompok penduduk asli yang pada masa tahun 1980an dahulu adalah pemilik tanah-tanah luas di wilayah tersebut. Pada masa itu, wilayah tempat mereka tinggal ini masih sepi, masih dipenuhi kebun-kebun atau halaman luas yang ditumbuhi pohon-pohon dan tanaman. Akan tetapi, pada masa itu terlihat bahwa wilayah ini memiliki prospek untuk berkembang sebagai wilayah yang ramai dan menjadi bagian dari kota.


Dalam perjalanan waktu, kebutuhan hidup dari penduduk asli pemilik tanah-tanah dan kebun ini semakin banyak dan sulit karena mereka tidak bekerja di sektor-sektor formal sebagai pegawai tetap, sementara pendidikan mereka juga tidak tinggi. Hal ini mendorong mereka untuk merelakan diri menjual tanah-tanah mereka tersebut kepada para pemilik uang yang membutuhkan tempat tinggal yang ideal dari segi luas tanah, bangunan rumah, dan lingkungannya. Alhasil, rumah-rumah besar, bagus, dan ideal satu persatu mulai dibangun oleh para pendatang yang membeli tanah-tanah di wilayah ini. Para pendatang ini umumnya mereka yang memiliki pekerjaan tetap, bahkan berkedudukan tinggi di kantor-kantor, berpendidikan tinggi, dan sebagian juga adalah para akademisi. Penduduk asli pun kehilangan sebagian besar tanah-tanah mereka, tersudut di bagian-bagian dalam, di antara rumah-rumah besar, karena tanah-tanah mereka yang di pinggir jalan-jalan utama di wilayah tersebut sudah dibeli oleh para pendatang tadi dan telah berubah menjadi rumah-rumah permanen yang bagus, dengan tatakota yang teratur. Perlahan-lahan, penduduk asli harus menerima kenyataan bahwa mereka harus hidup berdampingan dengan para pendatang meskipun dalam kesenjangan kondisi sosial ekonomi dan pendidikan.


Perlahan tapi pasti, wilayah itupun memang berubah menjadi wilayah perkotaan yang akrab dengan sentuhan dan kehidupan masyarakat modern seperti café, hotel, supermarket, restoran, apartemen, kos eksklusif, dan sebagainya. Harga tanah dan bangunan di sana pun menjulang tinggi dari tahun ke tahun. Penduduk asli menyaksikan pertumbuhan modern wilayah itu dan hanya dapat ambil bagian menjadi tukang parkir, petugas keamanan, pekerja serabutan, petugas sampah, tukang cuci pakaian, tukang ojek, pembantu, pedagang warung kecil dan makanan, atau juga tukang pijat. Mereka mengandalkan penghasilan mereka dari pendapatan harian yang serba tidak pasti, tidak sama, tidak banyak, dan tidak tentu dari hari ke hari, sampai akhirnya korona datang dan bekerja dengan senyap di penjuru bumi … yang berdampak secara langsung juga kepada kehidupan mereka ……..


***

Adalah sekelompok kecil ibu-ibu yang dengan “idealisme” tertentu tergabung dalam sebuah perkumpulan. Ibu-ibu ini termasuk dalam kelompok pendatang yang bermukim di wilayah yang diceritakan di atas. Mereka bertemu sebulan sekali sebagai bentuk bersosialisasi di antara mereka.  Bulan ini mereka memutuskan untuk tidak mengadakan pertemuan karena kebijakan physical distancing yang mereka patuhi. Toh secara sosial mereka tetap dapat terhubung melalui grup Whatsapp.


Keterhubungan mereka inilah yang secara spontan, tanpa perintah, tanpa syarat, melahirkan keinginan berbela rasa secara bersama-sama kepada penduduk asli yang ada di sekitar mereka, ketika unsur atau pihak birokrasi mungkin masih bermain dalam waktu karena kehati-hatiannya dalam menentukan atau memutuskan apa yang dapat dilakukan untuk membantu warga wilayahnya yang terdampak kasus korona, atau siapa yang harus dibantu dalam kondisi saat ini. “Mari bergerak cepat dan baik, jangan ditunda, dengan senyap”, menjadi prinsip yang dipegang oleh para ibu yang bergerak ini. “Peduli Dampak Covid-19”, menjadi aksinya. Siapakah yang perlu dibantu? Di wilayah itu, penduduk asli seperti yang digambarkan di atas itulah yang perlu segera dibantu dan mendapatkan bukti rasa empati dari pendatang yang selama ini hidup berdampingan dengan mereka. Maka, dana pun dihimpun, sukarela, ikhlas, semampunya, dari anggota kelompok kecil ibu-ibu ini, dalam waktu kurang dari tiga jam. Berhasil cepat! Alhamdulillah. Thank God.


Pada saat yang sama data juga harus segera diperoleh melalui tiga sumber dari unsur warga (yaitu dari penduduk asli yang dekat dengan warga, dari pendatang yang sering menjadi dermawan, serta dari penduduk asli yang tidak terdampak korona). Pagi itu juga diperoleh daftar nama dari tiga sumber warga tadi. Statistik manual cepat pun dilakukan: siapa yang namanya selalu muncul dalam daftar dari tiga sumber data tadi, maka ia akan menjadi penerima paket belarasa “Peduli Dampak Covid-19”. Hasilnya, diperolehlah daftar penerimanya. Lalu, jumlah penerima paket belarasa ini dicocokkan dengan dana yang telah terhimpun, untuk menentukan apa yang dapat dilakukan dengan dana tersebut terhadap penerimanya. Bergerak cepat, segeralah belanjakan dana tersebut dalam bentuk paket-paket kebutuhan pokok yang sudah dikemas baik dalam kardus oleh pihak toko penyedia.  Paket pun siap, diantar ke rumah salah satu ibu pada sore harinya sebagai posko, lalu diberi label nama penerimanya: “Kagem Ibu X…. “.  Selepas magrib, paket belarasa diantar ke masing-masing rumah warga penerima, rumah-rumah penduduk asli yang ada di belakang, di bagian dalam gang, atau di antara rumah-rumah besar permanen milik para pendatang … Malam itu, mereka sudah menerima langsung paket belarasa tadi di rumahnya masing-masing. Ketidakpastian kondisi hidup mereka --akibat kerja korona dalam senyap-- sedikit terkurangi dengan aksi belarasa dalam senyap ini. Kegelisahan mereka, sedikit terpupus. Harapan mereka, ditumbuhkan.

***

Dalam akhir artikelnya, Komaruddin Hidayat (Kompas, Sabtu, 11 April 2020) menuliskan:


Kita berharap wabah korona akan memberikan kesadaran akan perlunya hidup yang sederhana, saling berbagi kasih, dan bersama-sama menghadirkan surga di muka bumi.
Kita semua hidup di bawah matahari yang sama, berdiri, duduk,
berjalan, dan tidur di atas bumi yang sama.
Agama, warna kulit, dan bahasa boleh berbeda, tetapi kita semua adalah
keluarga besar Tuhan yang sedang berkelana sejenak di bumi Tuhan ini.

Aku, kami, dan kita adalah satu.
Semoga kesadaran dan ikatan nurani kemanusiaan ini
mengantarkan lahirnya masyarakat baru Indonesia pascakorona.



Alangkah indahnya pernyataan-pernyataan di atas ini jika dimiliki oleh semua manusia dan dimanifestasikan dalam konteks kehidupan bersama, karena kita hidup di bumi yang sama milik Tuhan. Maka, ketika kegiatan sekelompok kecil ibu-ibu di sebuah wilayah yang diceritakan dalam tulisan ini dilakukan seminggu yang lalu, ada hal yang sedikit “mengganjal” ketika kelompok ibu-ibu ini meminta ijin kepada aparat pengurus kampung untuk aksi kemanusiaan yang akan dilakukannya. Ijin ini dilakukan sebagai bentuk pemberitahuan bahwa aksi ini tidak liar, dan dilandasi semata-mata oleh rasa kemanusiaan, dalam “konteks bencana Covid-19”, konteks kemanusiaan. Ternyata, jika para ibu ini akan menggunakan daftar penerima paket belarasa dari versi pengurus rukun warga, terjadi perbedaan. “Kriteria” atau “syarat” untuk siapa yang berhak menerima paket belarasa yang didata oleh pengurus rukun warga ditentukan dari sudut pandang agama, dalam hal ini agama Islam, yaitu golongan yang termasuk 8 (delapan) asnaf zakat.


Sedikit terhenyak, para ibu tadi tetapi akhirnya tetap menggunakan daftar penerima yang sudah ditetapkan oleh mereka sebelumnya. Ini bukan soal salah atau benar, menyimpang dari ajaran agama atau tidak, dosa atau tidak, tetapi ini soal perbedaan “tujuan” dari pemberian bantuan. Dalam hal ini, konteksnya adalah pemberian bantuan “kemanusiaan” khusus pada “peristiwa Covid-19”. “Ikatan nurani kemanusiaan”, meminjam istilah Komaruddin Hidayat, menjadi esensi dan tujuan dari aksi solidaritas ini. Tanpa syarat, tanpa instruksi, tanpa membedakan. Terkadang kita lupa: kita mengakui keragaman di negeri ini, tetapi kita tidak menerima adanya perbedaan. Berzakat, menurut tuntunan agama Islam, tentu tidak boleh kita abaikan, wajib kita laksanakan dalam konteks tujuan kehidupan spiritualitas dan keimanan kita (yang beragama Islam). Konteks, akhirnya menjadi sesuatu yang amat esensial untuk dipertimbangkan dalam semua sendi kehidupan kita.


Yogyakarta, ditulis pada masa perpanjangan WfH,
pertengahan April 2020.


12 comments:

  1. Masya Allah, trenyuh saya. Semoga solidaritas tetap berjalan dalam kensenyaan. Bahkan Nabi SAW mengajarkan shadaqah yang utama adalah shadaqah dalam senyap. Semoga mjd amal sholeh; tanpa membeda-bedakan agama.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Aamiin Ya Rabb.
      Terima kasih, mas Rohmat.
      Banyak pengalaman hubungan sosial antarmanusia dalam senyap yang sesungguhnya mengajarkan kita utk menerapkan ajaran2 agama secara langsung. Inilah sesungguhnya panggung nyata dari berjuta2 ceramah yang diberikan oleh tokoh2 agama...

      Delete
  2. Dari pandemi corona kita bisa menjadi belajar tentang kebersaman.. Apakah selama ini tidak bekerjasama.. Tetap bekerjasama, tetapi ada yang luput yaitu energi dan kesadaran komunallah ya hilang..terima kasih pelajarannya mbak 👍👍

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih kembali, mas Heru.
      Setuju sekali.
      Saya juga belajar dari peristiwa yg pernah kita alami bersama, yaitu kata "instruksi" yang tidak perlu dalam bangkitnya energi dan kesadaran komunal...

      Delete
  3. Manusia bagian dari alam digeser oleh pandangan manusia menguasai alam dan akan kembali menjadi manusia bagian dari alam

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu yang sesungguhnya terjadi, jika kita mau renungkan dalam senyap.

      Delete
  4. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  5. Bekerja dari rumah, belajar di rumah tetap semangat dan sekolah di rumah, terima kasih Mbak Rin Siiip...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih, pak Marsudi.
      Di manapun berada, tetap belajar, bekerja, buat diri sendiri, keluarga, dan sesama ...

      Delete
    2. Betapa beruntungnya dan bersyukur ya mbk Rin ketika kita masih diberi kesempatan utk bisa berbagi...

      Delete
    3. Ya mb Digna, sharing is caring, bagi sesama makhluk Tuhan.

      Delete
  6. Nilai kemanusiaan semestinya berada pada posisi paling tinggi, sebab manusia adalah ciptaan-Nya yang paling mulia. Namun manusia sendiri sering egois dan melupakan atau mengesampingkan manusia lain. Sering diajarkan juga bahwa kedudukan manusia semua sama dihadapan sang pencipta.
    Perbedaan apapun, termasuk agama yg digunakan menjadi dasar untuk berbagi dan memanusiakan manusia akan menimbulkan eksklusivitas yg mengingkari keberagaman, perbedaan dan keniscayaan tsb.
    Salut buat ibu2 yg sdh berusaha menjunjung nilai kemanusiaan, termasuk mbak Rin tentunya....

    ReplyDelete