--Widayati Indarsih

Merebaknya wabah virus corona atau disebut juga dengan covid-19 membuat dunia berduka. Sifat bahaya dan kecepatan penularan virus ini telah merenggut nyawa puluhan ribu manusia di banyak negara. Tak kurang dari 200 negara telah terjangkit oleh covid-19, termasuk negara tercinta kita. Dan angka-angka itu kecenderungannya semakin bergerak naik sampai saat ini. Oleh karena itu sangatlah wajar jika akhirnya WHO menetapkan wabah covid-19 sebagai pandemic global.
Serangan jasad renik tak kasat mata ini membuat tatanan hidup manusia berubah sedemikian cepatnya. Coba amati hal-hal sederhana yang kita temukan di sekitar kita. Sebelum pandemi ini terjadi, berapa banyak orang mengenakan masker? Berapa banyak pula orang yang membawa hand sanitizer saat bepergian? Pernahkah terjadi kondisi dimana apotek-apotek diserbu pembeli bak membeli kacang goreng? Hingga akhirnya stok barang mereka pun menipis bahkan kosong.
Awal adanya pemberitaan tentang ditemukannya pesien positif corona di Indonesia, aku berusaha seoptimal mungkin melindungi keluarga kecilku tercinta. Upaya yang kutempuh misalnya: menyediakan masker, hand sanitizer, disinfektan, vitamin penunjang daya tahan tubuh (khususnya vitamin C dan E). Selain itu aku juga berusaha meminimalisir konsumsi bahan-bahan impor, salah satunya buah. Jenis buah yang wajib tersedia di keluarga kami adalah buah pir. Maklumlah, sejak usia balita, putri semata wayang kami sangat suka dan terbiasa makan buah pir, dan hal itu terbawa sampai saat ini. Bagi keluargaku, apa yang disukai anak maka itulah yang kami ikuti.
Alhasil karena ingin menyediakan semua jenis buah lokal, maka buah pir pun tidak pernah saya beli lagi, tentunya sembari memberi penjelasan yang rasional pada anak kami. Alhamdulillah dia dapat menerima kondisi ini. Jenis buah lokal yang kubeli ada beberapa macam: jeruk, apel manalagi, semangka, alpukat, buah naga. Namun seiring berjalannya waktu, kios-kios penjual buah pun mulai kehabisan stok. Mau tidak mau aku harus membeli jenis buah yang tersedia, hingga akhirnya pada suatu ketika aku terpaksa membeli papaya dan pisang.
Dua jenis buah yang terpaksa kubeli ini hampir tidak pernah ‘kusentuh’. Aku bisa makan papaya namun dengan dua syarat: dalam kondisi belum begitu masak (mengkal), dan terdapat dalam campuran olahan buah seperti: lotis, rujak, sup buah, cocktail. Pisang hanya kumakan ketika sedang berada di luar rumah (saat bepergian), kondisi perut sudah teramat lapar, dan makanan yang tersedia hanya pisang. Teman-teman kantor yang seruangan denganku sudah sangat mahfum akan hal ini. Makanya mereka tidak pernah menawarkan dua jenis buah ini padaku.
Pengalaman tidak menyenangkan pada masa kecilku membuatku: jijik’ untuk makan buah pepaya masak. Baunya itu lhohhh! Dulu sewaktu kecil aku ikut almarhumah nenek karena ayah harus dinas di luar daerah, dan ibuku menemaninya. Saat itu nenekku memelihara banyak burung kutilang. Tiap pagi burung-burung kutilang itu diberi makan pepaya. Aroma aduhai dari pepaya yang tercium setiap harinya selama bertahun-tahun membuatku tidak tahan lagi, dan pada akhirnya membuatku tidak bisa memakannya. Lain halnya dengan buah pisang. Sebenarnya aku tidak memiliki pengalaman traumatis dengan pisang, namun cukup dengan satu alasan: tidak suka, titik. Pisang yang kumakan hanya jenis tertentu (kapok) yang sudah diolah menjadi aneka makanan: pisang rebus, pisang goreng, kolak, pis kopyor.
Pada saat aku mulai mencoba makan pepaya (masak) dalam kondisi terpaksa ini, hidung kuolesi dengan serbuk kopi dengan tujuan untuk menyamarkan atau bahkan kuharap bisa menghilangkan bau aneh itu. Sambil cengar-cengir kumasukkan potongan buah pepaya ke mulutku, kukunyah cepat-cepat, dan akhirnya berhasil kutelan. Lain waktu, kuolesi hidungku dengan talcum powder, terkadang dengan splash cologne, pokoknya apa pun yang penting enak dicium. Awalnya aku hanya sanggup makan dua potong pepaya yang sudah kupotong berbentuk dadu dengan ukuran volume sekitar (2X2X2) cm. Bagiku itu sudah merupakan sebuah prestasi. Hari demi hari ternyata hidungku sudah mulai beradaptasi dengan aroma papaya masak. Aku mulai terbiasa makan pepaya masak meskipun masih dalam porsi sedikit. Akhirnya aku bisa meninggalkan ‘ritualku’ untuk mengoleskan wangi-wangian di hidung sebelum makan buah papaya. Dan Alhamdulillah, anakku pun ternyata juga mau makan papaya meskipun pada awalnya dia mengatakan kalau bau pepaya (maaf) seperti bau kotoran ayam. Tersenyum kecut aku mendengar komentarnya. Maklumlah, karena ibunya tidak pernah membiasakan makan pepaya, maka anaknya pun jadi ikut-ikutan tidak suka pepaya.
Ternyata dibalik adanya musibah mewabahnya covid-19, ada hikmah yang secara langsung dapat kurasakan: bisa makan buah papaya masak. Bagi orang lain, hal ini mungkin terlihat sangat simpel, kecil, dan tidak penting; namun tidak bagiku. Pengalaman ini merupakan peristiwa besar dan bersejarah setelah berpuluh-puluh tahun aku tidak pernah berhasil melakukannya. Dan, aku sangat bersyukur kepada Tuhan atas hikmah yang kurasakan.
Salam sehat selalu…
Yogyakarta, 01 April 2020 pk. 19.05 (ditulis sambil menunggu waktu untuk join kelas online)
Siip mb Wiwit, mengubah mindset bhw pepaya bukan buah yang menjijikkan. Buktinya, banyak orang yang memakannya. Ayo mb...kita cari terus muyiara dibalik corona🙂🙂
ReplyDeletesiip...mantaap..
ReplyDeletesip....siap membantu P Marsudi Ice breaking
ReplyDeleteMas danang sing ngiringi ya...
Delete1231 1231 345 345....
Sip!!
ReplyDeleteThank you, Wiwied. I'm glad to read your piece of writing and our friends'. Banyak gagasan muncul menjadi tulisan dengan pemantik serial Covid-19. Banyak berbagi, banyak belajar...
ReplyDeleteOya, aku kalo makan pepaya, dikasih peresan jeruk nipis + gula pasir secukupnya... enak banget lho... wuah...enak banget lho...
ReplyDelete