Thursday, April 2, 2020

WfH Puisi: Inikah bumi yang kaupilih untuk singgah

--Rin Surtantini

Seketika

Maret beringsut tua saat kaki-kaki hujan masih sesekali melangkah
pada bentangan bumimu dan bumiku, bumi kita, yang serta-merta senyap
Angin semua musim dari segala penjuru datang pergi tak kenal waktu
pada kelam malam dengan sayapnya yang membentang lebar
pada binar siang dengan kelepaknya yang terkembang luas
pada gelepar hatiku dengan degupnya yang berdetak keras

Tiba-tiba saja semuanya menggigilkan sunyi
ditingkah detik demi detik dari detak jarum jam

Benarkah ini bumi yang kaupilih untuk singgah
tanpa pernah kutahu adakah tenggat kembaramu

Pergilah dalam gigilku, Tuhan menjaga sunyi kami.

(Yogya, 31 Maret 2020)


Puisi di atas dituliskan pada hari kesekian sejak COVID-19 akhirnya mengguncang bumi Indonesia, membuat perhatian dan fokus siapa pun tertuju kepada virus korona. Corona is the one who makes the top of the world’s news at the moment! 

Banyak cerita dikisahkan, banyak duka diberitakan, banyak diskursus diciptakan. Tiba-tiba saja semuanya berubah. Sebuah tulisan yang beredar di Whatsapp, mengatakan:

Tiba-tiba kita tidur di dunia yang satu dan bangun di dunia yang lain.
Tiba-tiba pelukan dan ciuman menjadi senjata-senjata yang berbahaya.
Tiba-tiba berpegangan tangan dan berjalan-jalan di taman melanggar peraturan.
Tiba-tiba tidak mengunjungi orangtua justru menjadi bentuk tanda cinta kita.
Tiba-tiba kita sadar bahwa kekuasaan dan kekuatan adalah bersama dengan Tuhan.
Tiba-tiba uang pun tak ada nilainya ketika bahkan tak dapat dipakai untuk membeli tisu toilet.
Tiba-tiba kita disadarkan betapa mudahnya manusia dihancurkan oleh mikroba yang sangat berkuasa.
Tiba-tiba kita tidak menjadi siapa-siapa……

Dan banyak lagi “tiba-tiba” yang dapat kita rasakan, alami, dan saksikan, seperti sepenggal kisah seorang sahabat saya ini. Kembali ke kotanya dalam kondisi duka yang dalam karena kehilangan anak menantunya yang menjadi salah satu korban yang terenggut nyawanya akibat kehebatan korona di ibukota, ia harus menghadapi sikap manusia di lingkungan tempat tinggalnya yang “tiba-tiba” menjadi manusia-manusia yang berbeda dari yang dikenalnya selama ini…

Curiga, paranoid, cemas, takut, tega, kejam, tidak percaya, menjauhi, menjadi sikap “tiba-tiba” yang muncul dan diperlihatkan oleh orang-orang tersebut. Tidak tanggung-tanggung, dalam kondisi lelah, susah, sedih, kecewa, gelisah, sahabat saya ini masih harus memeriksakan diri di lab di rumah sakit untuk mendapatkan kepastian mengenai kesehatannya berkaitan dengan paparan virus korona. Hasilnya, negatif. Akan tetapi, manusia-manusia sekitar yang dilanda sikap “tiba-tiba” tadi, melalui pengurus kampung menuntut agar ia memperlihatkan hasil lab-nya kepada warga di lingkungannya. Mereka tidak percaya jika tidak melihat hasil lab yang negatif tersebut. Dengan kelelahan dan kepedihan yang masih melingkupi diri, sahabat ini pun kembali ke rumah sakit untuk meminta salinan hasil lab atas pemeriksaan kesehatannya. Singkat cerita, demi memenuhi permintaan warga, demi menghadapi sikap “tiba-tiba” tadi, demi meredakan rasa curiga, paranoid, cemas, takut, tega, kejam, tidak percaya, yang tumbuh “tiba-tiba” dalam diri warga tadi terhadap dirinya, ia pun harus memotret hasil lab tersebut dan mengirimkannya ke grup Whatsapp warga kampung. “Tiba-tiba” ia menjadi makhluk asing di lingkungan tempat tinggalnya sendiri…

Sampai di sini, saya merasakan tragedi kemanusiaan yang dialami olehnya: inikah bumi yang dipilih oleh korona untuk singgah, yang dipilihnya untuk “tiba-tiba” saja mengubah sikap, perilaku, tindakan manusia? From empathy to hatred?

Menurut yang saya pahami, orang awam yang memaksa untuk meminta hasil lab terhadap pemeriksaan kesehatan seseorang adalah perbuatan melanggar kode etik, melanggar sumpah kedokteran, tidak etis dalam konteks hubungan sosial, dan melanggar hak personal seseorang (pasien). Permintaan orang awam itu sama sekali tidak ada kepentingannya dengan status mereka, karena itu hanya untuk memenuhi keinginan manusia yang egois, yang sama sekali jauh dari rasa empati, logika, dan pemikiran yang didasarkan pada akal sehat manusiawi. Maka, saya bersedih atas peristiwa ini. Peristiwa COVID-19  memicu semua hal menjadi “tiba-tiba” …

Benarkah ini bumi yang kaupilih untuk singgah
tanpa pernah kutahu adakah tenggat kembaramu

Pergilah dalam gigilku, Tuhan menjaga sunyi kami.



Ditulis pada masa WfH
di Pandega Mandala 3F, pada 1 April 2020.

11 comments:

  1. Tulisan yang bagus sekaligus menyedihkan. Kewaspadaan yg sejak awal longgar berdampak pada psikologi massa yang menjadi tak siap atas serangan mendadak dan masif. Semoga segera berlalu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul, mas. Sedih rasanya...ini kejadian nyata yg terjadi di lingkungan tempat tinggal saya. Saya bersyukur diberikan jalan dan cara utk bisa berkomunikasi dengannya, dan ini baginya membantu meredakan nyeri yg dialaminya, jauh di sanubarinya...

      Delete
  2. Merinding mbak Rin saya membacanya... dan ternyata "tiba-tiba" yg lain masih ada ... "Tiba-tiba orang mau mengubur jenazahpun ditolak dibeberapa tempat"....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya mas Dhanang, begitu banyak "tiba-tiba" yg tak pernah kita bayangkan dan membuat kita menitikkan airmata...

      Delete
    2. Melihat di tivi terjadinya penolakan terhadap penguburan jenazah sungguh menyedihkan...

      Delete
  3. Sip Mbak Rin..moga corona tidak menimbulkan kecemasan lagi..

    ReplyDelete
  4. Sama mbak.... Minggu lalu tetanggaku ada yg meninggal karena serangan jantung... Yang melayat keluargany saja, orang kampung menyaksikan dari jauh.... Suasananya memilukan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bukan karena korona ya mas, suasananya jadi sepi dan pilu begitu...apalagi kalau karena korona...

      Delete
  5. Semoga...setelah corona, ada tiba2 yang menyenangkan semua penduduk bumi, mb..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tiba-tiba yg menyenangkan bumi kita ini yang kita tunggu, hanya mungkin gak bisa tiba-tiba ...

      Delete