--Rin Surtantini
Seketika
Maret
beringsut tua saat kaki-kaki hujan masih sesekali melangkah
pada bentangan
bumimu dan bumiku, bumi kita, yang serta-merta senyap
Angin
semua musim dari segala penjuru datang pergi tak kenal waktu
pada kelam
malam dengan sayapnya yang membentang lebar
pada binar
siang dengan kelepaknya yang terkembang luas
pada
gelepar hatiku dengan degupnya yang berdetak keras
Tiba-tiba
saja semuanya menggigilkan sunyi
ditingkah
detik demi detik dari detak jarum jam
Benarkah
ini bumi yang kaupilih untuk singgah
tanpa
pernah kutahu adakah tenggat kembaramu
Pergilah
dalam gigilku, Tuhan menjaga sunyi kami.
(Yogya, 31 Maret 2020)
Puisi di atas dituliskan pada hari
kesekian sejak COVID-19 akhirnya
mengguncang bumi Indonesia, membuat perhatian dan fokus siapa pun tertuju
kepada virus korona. Corona is the one
who makes the top of the world’s news at the moment!
Banyak cerita dikisahkan, banyak duka
diberitakan, banyak diskursus diciptakan. Tiba-tiba saja semuanya berubah.
Sebuah tulisan yang beredar di Whatsapp, mengatakan:
Tiba-tiba
kita tidur di dunia yang satu dan bangun di dunia yang lain.
Tiba-tiba
pelukan dan ciuman menjadi senjata-senjata yang berbahaya.
Tiba-tiba
berpegangan tangan dan berjalan-jalan di taman melanggar peraturan.
Tiba-tiba
tidak mengunjungi orangtua justru menjadi bentuk tanda cinta kita.
Tiba-tiba
kita sadar bahwa kekuasaan dan kekuatan adalah bersama dengan Tuhan.
Tiba-tiba
uang pun tak ada nilainya ketika bahkan tak dapat dipakai untuk membeli tisu
toilet.
Tiba-tiba
kita disadarkan betapa mudahnya manusia dihancurkan oleh mikroba yang sangat berkuasa.
Tiba-tiba
kita tidak menjadi siapa-siapa……
Dan banyak lagi “tiba-tiba” yang dapat
kita rasakan, alami, dan saksikan, seperti sepenggal kisah seorang sahabat saya
ini. Kembali ke kotanya dalam kondisi duka yang dalam karena kehilangan anak menantunya
yang menjadi salah satu korban yang terenggut nyawanya akibat kehebatan korona
di ibukota, ia harus menghadapi sikap manusia di lingkungan tempat tinggalnya
yang “tiba-tiba” menjadi manusia-manusia yang berbeda dari yang dikenalnya
selama ini…
Curiga, paranoid, cemas, takut, tega, kejam, tidak percaya, menjauhi,
menjadi sikap “tiba-tiba” yang muncul dan diperlihatkan oleh orang-orang
tersebut. Tidak tanggung-tanggung, dalam kondisi lelah, susah, sedih, kecewa,
gelisah, sahabat saya ini masih harus memeriksakan diri di lab di rumah sakit
untuk mendapatkan kepastian mengenai kesehatannya berkaitan dengan paparan
virus korona. Hasilnya, negatif. Akan tetapi, manusia-manusia sekitar yang
dilanda sikap “tiba-tiba” tadi, melalui pengurus kampung menuntut agar ia
memperlihatkan hasil lab-nya kepada warga di lingkungannya. Mereka tidak
percaya jika tidak melihat hasil lab yang negatif tersebut. Dengan kelelahan
dan kepedihan yang masih melingkupi diri, sahabat ini pun kembali ke rumah
sakit untuk meminta salinan hasil lab atas pemeriksaan kesehatannya. Singkat
cerita, demi memenuhi permintaan warga, demi menghadapi sikap “tiba-tiba” tadi,
demi meredakan rasa curiga, paranoid,
cemas, takut, tega, kejam, tidak percaya, yang tumbuh “tiba-tiba” dalam diri
warga tadi terhadap dirinya, ia pun harus memotret hasil lab tersebut dan
mengirimkannya ke grup Whatsapp warga kampung. “Tiba-tiba” ia menjadi makhluk
asing di lingkungan tempat tinggalnya sendiri…
Sampai di sini, saya merasakan tragedi
kemanusiaan yang dialami olehnya: inikah bumi yang dipilih oleh korona untuk
singgah, yang dipilihnya untuk “tiba-tiba” saja mengubah sikap, perilaku,
tindakan manusia? From empathy to hatred?
Menurut yang saya pahami, orang awam
yang memaksa untuk meminta hasil lab terhadap pemeriksaan kesehatan seseorang
adalah perbuatan melanggar kode etik, melanggar sumpah kedokteran, tidak etis
dalam konteks hubungan sosial, dan melanggar hak personal seseorang (pasien).
Permintaan orang awam itu sama sekali tidak ada kepentingannya dengan status
mereka, karena itu hanya untuk memenuhi keinginan manusia yang egois, yang sama
sekali jauh dari rasa empati, logika, dan pemikiran yang didasarkan pada akal
sehat manusiawi. Maka, saya bersedih atas peristiwa ini. Peristiwa COVID-19
memicu semua hal menjadi “tiba-tiba” …
Benarkah ini bumi yang kaupilih untuk singgah
tanpa pernah kutahu adakah tenggat kembaramu
Pergilah dalam gigilku, Tuhan menjaga sunyi kami.
Ditulis pada masa WfH
di
Pandega Mandala 3F, pada 1 April 2020.
Tulisan yang bagus sekaligus menyedihkan. Kewaspadaan yg sejak awal longgar berdampak pada psikologi massa yang menjadi tak siap atas serangan mendadak dan masif. Semoga segera berlalu.
ReplyDeleteBetul, mas. Sedih rasanya...ini kejadian nyata yg terjadi di lingkungan tempat tinggal saya. Saya bersyukur diberikan jalan dan cara utk bisa berkomunikasi dengannya, dan ini baginya membantu meredakan nyeri yg dialaminya, jauh di sanubarinya...
DeleteMerinding mbak Rin saya membacanya... dan ternyata "tiba-tiba" yg lain masih ada ... "Tiba-tiba orang mau mengubur jenazahpun ditolak dibeberapa tempat"....
ReplyDeleteIya mas Dhanang, begitu banyak "tiba-tiba" yg tak pernah kita bayangkan dan membuat kita menitikkan airmata...
DeleteMelihat di tivi terjadinya penolakan terhadap penguburan jenazah sungguh menyedihkan...
DeleteSip Mbak Rin..moga corona tidak menimbulkan kecemasan lagi..
ReplyDeleteAamiin. Dan segera berakhir, pak Mar...
DeleteSama mbak.... Minggu lalu tetanggaku ada yg meninggal karena serangan jantung... Yang melayat keluargany saja, orang kampung menyaksikan dari jauh.... Suasananya memilukan
ReplyDeleteBukan karena korona ya mas, suasananya jadi sepi dan pilu begitu...apalagi kalau karena korona...
DeleteSemoga...setelah corona, ada tiba2 yang menyenangkan semua penduduk bumi, mb..
ReplyDeleteTiba-tiba yg menyenangkan bumi kita ini yang kita tunggu, hanya mungkin gak bisa tiba-tiba ...
Delete