Thursday, February 28, 2019

Dam


---Eko Santosa

Kes dan Sus bertemu di sebuah cafe pojok jalan kota. Mereka adalah kawan sejak sekolah menengah yang sekarang bekerja bersama di sebuah kantor.

“Katanya kau baru bertemu Dam, bagaimana kabarnya sekarang?”, Kes membuka percakapan.

“Dam yang dulu terkenal kurang pintar itu sekarang sukses, jauh melebihi kita.”, jawab Sus pelan.

“Wah hebat, jadi ada dia emangnya?”

“Petani.”

“Wah wah wah, kalau petani bisa lebih sukses dari pekerja kantoran seperti kita pasti ada bisnis di dalamnya. Kau tahu di mana rumahnya?”, serbu Kes tak sabar.

Sus tidak memberikan jawaban namun hanya memberikan secarik kertas berisi alamat rumah Dam. Kes langsung menyambar kertas itu.

“Minggu depan aku akan menemuinya.” gumam Kes.

Benar saja, Kes berkunjung ke rumah Dam di akhir minggu. Namun ia tak meluangkan waktu lama, hanya ngobrol sebentar dengan Dam, melihat rumah dan pekarangan sekitarnya, lalu pamitan. Begitu sampai di kota Kes menelepon Sus dan ingin segera bertemu.

Kes dan Sus bertemu lagi di cafe pojok jalan kota. Ketika Kes masuk, Sus sudah duduk di salah satu kursi dengan tatapan menerawang. Tanpa basa-basi Kes langsung mengambil kursi yang berhadapan dengan Sus.

“Kau bohong rupanya! Dam ternyata masih saja seperti dulu, bodoh dan tidak tahu apa yang mesti diperbuat dalam hidup ini. Ia hanya petani biasa, tak lebih tak kurang.”, gerutu Kes dengan keras.

“Justru di situlah letak kesuksesannya. Ia telah mencukupi yang menjadi kebutuhannya.”, timpal Sus pelan.

“Sukses apanya? Rumah hanya gubuk, pergi kemana-mana cuma naik sepeda, perabot rumah seadanya dan ia tak pernah pergi berlibur ke manapun.”, sergah Kes tak mau kalah.

“Tetapi dengan itu semua ia merasa telah cukup. Bahkan ketika panennya berhasil ia membagikannya kepada tetangga. Ia juga membagi pengetahuan mengapa panennya dapat berhasil dan hal-hal lain yang dapat meningkatkan hasil kebun dan sawah. Ia merasa bahagia dengan itu semua.”, Sus memberikan penjelasan.

“Aku tidak mau hidup seperti itu dan menurutku, itu tidak dapat dikatakan sukses.”

“Hidup itu memang pilihan.”

“Tapi aku tak mau memilih hidup seperti Dam yang kau bilang sukses itu!”

“Ya, dia memang sukses. Ia menjalani hidup dan mampu memenuhi kebutuhannya bahkan jika berlebih ia membaginya. Ia tidak seperti kita yang hidup demi mengejar kebutuhan satu untuk kemudian menciptakan kebutuhan lain yang belum tentu kita perlukan dalam hidup tetapi kita jadikan sebagai sebuah kebutuhan. Dam tidak pernah risau dengan capaian atau target berupa angka-angka yang setiap waktu jumlahnya selalu harus naik. Dam tidak pernah terganggu dengan posisi, kedudukan atau pandangan orang lain atas posisi dan kedudukan yang kita miliki. Dam tidak pernah merasa kurang dengan apa yang ia dapatkan sehari-hari. Ia telah selesai dengan dirinya sendiri dan bisa memberikan apa yang ada pada dirinya kepada orang lain, dan ia berbahagia dengan itu semua.”, Sus menjelaskan panjang lebar dengan sabar.

Kes mendengarkan dengan kepala penuh pikiran. Ia memperbaiki posisi duduknya, menatap Sus dengan serius.

“Bagaimanapun, aku tidak mau seperti itu. Kau mau Sus?”, tanya Kes.

“Aku tak tahu.”, jawab Sus dengan tatapan menerawang.


Ekoompong, 270219

Saturday, February 23, 2019

BERMAIN DENGAN GUGUSAN KATA, RASA, DAN PIKIRAN [2]

Dari Serial Workshop Menulis:
(Bagian kedua)

---Rin Surtantini

Sekitar pukul 10.30, peserta saya ajak memasuki kegiatan keempat. Masih bersemangat, apalagi saya.

#4
Kegiatan keempat: Melakukan alih wahana

Alih wahana merupakan pengubahan dari satu medium ke medium lain untuk mengungkapkan gagasan, perasaan, pesan, suasana. Kreativitas dan pemikiran kritis berperan pada kegiatan ini. Kali ini ada sebuah puisi yang disajikan:



Selesailah

In memoriam: RY

Ketika sebuah Jumat pagi bulan September
mengirimkan anginnya di sela guguran bisik iba,
siapakah yang dapat menunda pastinya perjalananmu
di balik bongkahan terlanjurnya banyak peristiwa?
Semua terkubur dalam gundukan lengkung tanda tanya.

Di angkasa awan menggelantung putih menguapkan
panasnya bumi yang tak tertahan atas segala bentuk kesedihan,
kegundahan, kegelisahan, kepasrahan yang merambat.
Tubuhmu membujur sunyi dalam bayangan yang tak lagi
sempat meluapkan cerita yang berdiam dalam hatimu.

Oh betapa banyak yang harus kau rajut dalam kegaduhan.
Tahun-tahun yang berlalu, benang-benang yang kau urai.
Selesailah sudah, selesailah semua, setidaknya untukmu.
Bawalah seikat bunga doa yang kubisikkan perlahan.
Dalam diammu kini, kuharap pembebasan dapat kau genggam.

Yogyakarta, 29 September 2017

Peserta diminta untuk membaca puisi tersebut dan mencoba untuk meresapi isinya, kemudian mengalih wahanakannya ke dalam bentuk uraian (prosa) dengan menggunakan kata-katanya sendiri. Tugas ini agak sulit, itulah sebabnya saya menggunakan puisi yang sederhana, yang mudah untuk diinterpretasi.

Apa pelajaran yang diperoleh dari kegiatan alih wahana ini?
”Parafrasa menjadi salah satu kemampuan yang harus dipelajari ketika mengungkap-kan gagasan orang lain menggunakan kata-kata kita sendiri”.

#5
Puncak kegiatan: Menulis reflektif dalam konteks profesi widyaiswara


Diberikan beberapa kata yang menunjukkan perasaan yang mengandung nuansa positif (bahagia, puas, bangga, antusias, nyaman) dan nuansa negatif (sedih, marah, jengkel, kecewa, gelisah, tersinggung), peserta diminta untuk membuat kalimat yang membuat mereka berpikir tentang dirinya sendiri, yaitu apa yang membuat mereka mengalami salah satu perasaan bernuansa positif atau negatif tersebut. Pola kalimatnya adalah:


Saya merasa …… ketika/jika ……

Yang membuat saya …… adalah …….

Kalimat-kalimat peserta mengikuti pola di atas cukup menarik, karena peserta membangun kesadaran diri sendiri tentang siapa mereka dikaitkan dengan perasaan-perasaan yang pernah dialaminya. Ada yang menuliskan, “Saya merasa jengkel jika saya pulang ke rumah dan mendapati rumah saya berantakan”, “Yang membuat saya merasa bangga adalah anak-anak saya bisa sukses mencapai cita-citanya”, dan seterusnya.

Kegiatan menelisik perasaan itu dilanjutkan dengan berlatih menulis reflektif dalam konteks profesi peserta sebagai widyaiswara. Menulis reflektif merupakan respon personal terhadap pengalaman, pendapat, peristiwa, situasi, kondisi, informasi baru, pemikiran atau perasaan yang dialami. Ini merupakan salah satu cara untuk mencapai pemahaman terhadap apa yang dipelajari, didengar, diamati, disentuh, dirasakan. Menulis reflektif bersifat subyektif, tidak formal, dan dapat menggunakan kata ganti “saya”, “aku”, “kita”, akan tetapi tetap meminimalkan penggunaan istilah-istilah non-baku atau bahasa slang.

Sebagai akhir kegiatan, peserta diminta untuk melakukan refleksi terhadap pengalamannya dari balik dinding kelas selama ini, berkaitan dengan profesinya sebagai widyaiswara (tenaga pengajar). Mengapa suara-suara pengajar (guru) atau teachers’ voices dari balik dinding kelas menjadi penting? Freeman (1996) mengatakan bahwa para guru (pengajar) sangat tahu cerita-cerita yang terjadi di dalam kelas-kelas mereka, tetapi mereka biasanya tidak tahu bagaimana menceritakannya karena mereka tidak pernah diminta untuk melakukannya, atau tidak pernah punya kesempatan untuk menceritakannya. Dengan demikian, menulis reflektif dapat menjadi media untuk menyediakan ruang bercerita bagi suara-suara yang tak terdengar atau tak terpublikasikan.

Apa saja yang dapat direfleksikan dan diceritakan melalui tulisan? Para pengajar dapat merefleksikan hal-hal terbaik yang pernah dialami di dalam kelas, persepsi, pengalaman-pengalaman bermakna, hal-hal yang tidak mengenakkan, memalukan, membuat sedih, puas, marah, gelisah, jengkel, gembira, membingungkan, menyulitkan, dan berbagai perasaan lain yang pernah dialami dalam konteks belajar mengajar.

Pada kegiatan puncak ini, semua peserta tetap menulis bebas atas hasil refleksinya, tetapi kali ini ada sedikit ‘panduan sederhana’ –kalau boleh dikatakan berteori, mengenai kerangka atau formatnya. Format ini bukan harga mati, tentu saja, karena jika bicara format sepertinya jadi mengikat. Menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan reflektif memiliki kerangka yang bervariasi. Menulis reflektif itu sesungguhnya mudah, paling menyenangkan, dan menyediakan ruang untuk orang belajar dari apa yang dialaminya tanpa disadarinya. Meskipun demikian, saya tetap memberikan clues sebagai bantuan kepada peserta dalam berproses memproduksi tulisan reflektif. Setidaknya, peserta dapat menuliskan aspek deskriptif, aspek interpretasi (analisis), dan aspek aksi atau outcome dari pengalaman reflektif di dalam tulisan mereka.

Pada kegiatan terakhir ini peserta boleh membuka laptopnya masing-masing, dan mulai mengetik, menuliskan salah satu pengalamannya di dalam kelas. Sampai di sini, ada yang spontan menghasilkan tulisan pada siang itu juga, ada yang membutuhkan waktu lebih untuk itu. Apa pun hasilnya, sebuah proses telah dijalani dengan tekun. Bermain dengan gugusan kata yang tak terhitung banyaknya, dengan rasa yang beragam, dan dengan pikiran yang menjadi milik setiap manusia sepenuhnya.

Gracias!

(untuk semua peserta, untuk Vidyasana, dan untuk siapa pun yang telah mendukung).
Dengan senang hati saya mau untuk berbagi dari serial menulis, jika dirasa ada manfaat yang diperoleh.

Yogyakarta, 22 Februari 2019.

BERMAIN DENGAN GUGUSAN KATA, RASA, DAN PIKIRAN [1]


Dari Serial Workshop Menulis:
(Bagian pertama)

---Rin Surtantini

Menulis itu bermain-main dengan gugusan kata, rasa dan pikiran. “Bermain” berarti bersenang-senang, bersukaria, menghibur hati, mengerjakan hobi atau sesuatu yang membuat senang. Apa yang dimainkan? Gugusan kata yang tak terhitung banyaknya, rasa yang beragam, dan pikiran yang menjadi milik kita sepenuhnya. Maka, seri berikutnya dari workshop menulis dilanjutkan pada hari Kamis, 21 Februari 2019, mulai pukul 09.15 sampai dengan pukul 11.30, mengambil tempat di Studio Musik. Undangan dikirimkan sehari sebelumnya tanpa perlu memperhitungkan siapa dan berapa orang yang akan datang.

Limabelas menit sebelum pukul 09.00, saya sudah berada di salah satu ruangan di Studio Musik. Teman kami, mas Andit, telah dengan sukarela mempersiapkan tempat untuk kami “bermain”. LCD proyektor, speaker, layar, sudah siap; demikian juga kursi telah tertata, di atas setiap kursi telah disediakan beberapa lembar kertas putih kosong untuk menulis. Ternyata kertas-kertas ini disiapkan oleh mas Aristono dari Studio Teater. AC pun sudah menyala. Saya mencoba koneksi laptop ke LCD proyektor dan ke speaker, bagus. Semuanya oke. Saya putarkan lagu-lagu dari Payung Teduh, sekedar untuk memecah kesunyian sambil menunggu teman-teman yang mulai berdatangan satu persatu. Tepat pukul 09.15, workshop dimulai, dan saya catat ada sepuluh teman yang hadir: mas Fajar Prasudi, pak Marsudi, mas Rohmat Sulistya, mas Purwadi, mbak Tri Suerni, mbak Digna Sjamsiar, mbak Wiwin Suhastari, mbak Suratmi Ekakapti, mbak Sri Herlina, dan mbak Widarwati. Yang menarik, beberapa teman mempraktekkan pot luck! Ada yang membawa kue bika ambon, ada yang membawa tahu isi, apem, dan rengginang. Wah, ini sisi lain dari workshop yang menawarkan rasa senang tentunya.

#1
Kegiatan kesatu dimulai: Menginterpretasi.

Saya katakan bahwa beberapa writing prompts --pemantik, stimulus—akan diberikan untuk menuangkan gagasan. Lagu Historia de un Amor diperdengarkan sampai habis. Peserta workshop diminta untuk mendengarkan dengan cermat meski lagu itu berbahasa Spanyol dan tidak dipahami artinya. Setelah lagu berhenti, barulah masing-masing peserta diminta untuk mengangkat penanya dan menuliskan sebuah kalimat yang menurut dugaan mereka, lagu itu tentang apa. Kalimat inilah yang menjadi pokok pikiran atau kalimat utama dari paragraf yang akan dibuat. Selanjutnya, peserta diminta untuk membuat tiga atau empat kalimat yang berfungsi sebagai kalimat-kalimat pendukung terhadap kalimat utama yang telah dibuat itu. Dengan demikian, konten paragraf yang menceritakan makna dari lagu tersebut diharapkan berpadu. Satu persatu peserta kemudian dengan antusias membacakan tulisannya, juga mengemukakan alasan: apa yang membuat interpretasi mereka seperti yang mereka tuliskan itu. Ini bukan soal benar atau salah dalam menginterpretasi, tetapi mengamati bagaimana sebuah pemantik bisa memberikan gagasan yang berbeda antara satu peserta dengan peserta yang lain. Sungguh menyenangkan mendengarkan interpretasi mereka terhadap lagu yang tidak dikenal itu!

Apa pelajaran yang diperoleh dari kegiatan pertama ini?
“Semua interpretasi terhadap sesuatu hal haruslah memiliki alasan, argumentasi, fakta, data, sebagai hasil pikiran dan pengolahan panca indera (senses) kita”.

***Catatan kecil dari kegiatan pertama ini: Lagu Historia de un Amor yang diperdengarkan itu sebenarnya adalah rekaman suara saya sendiri di sebuah stasiun radio di Yogya. Jadi saya agak berbangga diri dan bolehlah sedikit senang ketika beberapa peserta menyatakan alasannya tentang interpretasi yang mereka berikan terhadap makna lagu itu. Mengapa? Karena ada tiga peserta yang mengatakan bahwa interpretasi mereka dipengaruhi oleh alunan suara penyanyinya yang lembut, merdu, dan penuh perasaan. Keinginan alamiah manusia pun muncul dalam diri saya: senang jika dipuji! Saya jadi ingin mengirimkan rekaman suara itu di blog ini untuk saya share, jika memungkinkan.


#2
Kegiatan kedua dilanjutkan: Mengasosiasi (membuat koneksi).

Peserta diminta untuk memilih dua dari tujuh pengandaian yang disediakan:

Jika saya sebuah warna, saya adalah …..

• Jika saya sebuah musim, saya adalah …..

• Jika saya sebuah alat musik, saya adalah ….

• Jika saya sebuah angka, saya adalah ….

• Jika saya sebuah perasaan, saya adalah ….

• Jika saya sebuah hari, saya adalah ….

• Jika saya sebuah kota, saya adalah …
.

Asyik saja rasanya untuk saling mendengarkan bagaimana sebuah pengandaian yang sama akan menghasilkan gagasan yang berbeda-beda dari setiap peserta. Ada yang mengatakan, “Jika saya sebuah hari, saya adalah Jumat karena itu hari terakhir saya bekerja dalam minggu itu,” sementara yang lain mengatakan, “Jika saya sebuah hari, saya adalah Jumat karena saya dilahirkan pada hari Jumat”. Salah satu peserta memilih nuansa ‘musim’: “Jika saya sebuah musim, saya adalah gerimis karena gerimis menimbulkan suasana sejuk, syahdu, …..” Setiap peserta diberikan kesempatan untuk melakukan asosiasi, mengoneksikan apa yang dirasakan, dialami, dipikirkan, dengan pengandaian yang mereka pilih. Mengasosiasi ini bertujuan untuk melatih keterampilan berpikir tingkat tinggi peserta.

Apa pelajaran yang diperoleh dari kegiatan kedua ini?
”Imajinasi yang diperoleh dari proses mengasosiasi (melakukan koneksi) membantu kita dalam memproduksi gagasan atau pikiran ketika menulis”.

#3
Kegiatan ketiga: Menyatakan perasaan dari cerita di balik dinding kelas

Peserta diminta untuk secara berurutan dan bergantian melanjutkan kalimat “Aku keluar dari ruang kelas sore ini dengan perasaan gembira”. Konteksnya adalah situasi berakhirnya sebuah pelatihan yang mana peserta menjadi fasilitator atau pengajar pada pelatihan tersebut. Satu persatu peserta bergiliran melanjutkan kalimat yang diucapkan oleh teman di sebelahnya. Dengan begitu, setiap orang harus mendengarkan dengan seksama kalimat temannya, memikirkan kalimat berikutnya, dan kemudian menyambungkan kalimatnya sendiri untuk menghasilkan sebuah paragraf yang terpadu. Ini merupakan joint construction dalam merangkai kalimat.

Kalimat utama “Aku keluar dari ruang kelas sore ini dengan perasaan gembira” harus diberikan kalimat-kalimat pendukung. Maka pikiran harus fokus untuk melogikakan rangkaian kalimat. Peserta dapat membuat kalimat pendukung terhadap kalimat pertama (kalimat pokok atau pikiran utama), tetapi bisa juga menggunakan teknik menyambungkan “old information” pada kalimat sebelumnya dengan “new information” dari kalimat yang dibuatnya. Inilah hasil kalimat yang dirangkai oleh peserta bersama-sama:


Aku keluar dari ruang kelas sore ini dengan perasaan gembira. Seluruh peserta pelatihan selalu hadir tepat waktu, dan proses pembelajaran berjalan sangat lancar. Hari ini hari terakhir setelah tujuh hari aku mengajar di kota ini. Selama tujuh hari ini, aku berkesempatan berpasangan mengajar dengan seorang guru yang cerdas. Aku dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis dari para peserta, dan aku juga mendapatkan tambahan ilmu dari pasangan mengajarku, pak guru yang cerdas itu. Yang membuatku bertambah gembira adalah semua peserta lulus dengan nilai Baik dan Sangat Baik. Bukankah ini salah satu kepuasan bagi pengajar dan peserta pelatihan? Para peserta pun tak sabar untuk segera menerima sertifikatnya. Tak disangka, salah satu peserta menghampiriku dan berkata, “Ibu, bersediakah jika ibu memberikan kembali materi ini di dinas kabupaten kami?” Sementara itu di sudut kelas, terdengar seorang peserta
berbisik, “Fasilitatornya cantik dan menyenangkan.”


Apa pelajaran yang diperoleh dari kegiatan ketiga ini?

”Di dalam tulisan harus ada kesatuan ide yang diikat oleh benang merah logika atau alur pikir, serta penggunaan kata-kata, frasa, dan klausa yang mengoneksikan ide-ide yang berserakan sehingga membentuk sebuah harmoni”.

Sedikit melangkah lebih jauh, melalui kegiatan ketiga ini, peserta mempelajari faktor teknis dan mekanis dalam menulis, selain memelihara sensitivitas dan sensibilitas, karena sumber yang kaya untuk diungkapkan dalam tulisan dapat berasal dari perasaan itu sendiri. Sebelum saya memberikan materi workshop ini, ada keraguan yang saya kuatirkan, yaitu saya akan terjebak dalam berteori. Mengapa? Latar belakang pendidikan saya sebagai mahasiswa Fakultas Sastra ketika menempuh S1 sedikit banyak akan memengaruhi materi saya. Pelajaran Writing menjadi major subject bagi mahasiswa sastra selama delapan semester. Akan tetapi, di sisi lain saya juga memiliki pengalaman dalam mengajarkan materi-materi Pragmatics (penggunaan bahasa) dan keterampilan berbahasa, yang membuat saya juga banyak belajar dan meneliti tentang pendekatan, metode, dan teknik dalam mengajarkan menulis. Maka saya pun mengemas writing prompts menjadi aktivitas-aktivitas yang digunakan dalam proses belajar menulis. Belajar harus menjadi bermakna melalui aktivitas-aktivitas tersebut. Kewajiban saya adalah mengajak peserta workshop ini bermain-main dengan gugusan kata, rasa, dan pikirannya. Mereka tidak perlu menghapalkan teori-teorinya, tetapi menikmati aktivitas menulis dengan berbagai writing prompts tersebut!

(to be continued)

Yogyakarta, 22 Februari 2019.

Friday, February 22, 2019

PENGALAMAN BERMAKNA DIKLAT PKB DESAIN INTERIOR DAN TEKNIK FURNITUR (DITF)


--Tri Suerni

Peristiwa ini terjadi pada waktu kegiatan diklat PKB Produktif Desain Interior dan Teknik Furnitur (DITF) Gelombang 2 tanggal 17 Oktober s.d. 2 November 2018, di studio DITF PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta. Aku sudah berbagi tugas dengan pak Haryadi, aku kebagian yang memberikan materi klaster 1 yaitu Dasar Desain Interior dan Furnitur, sedangkan pak Haryadi memberikan materi pada klaster 4 yaitu tentang Finishing Furnitur. Diklat ini diikuti oleh 6 peserta guru yang berasal dari SMK yang masuk revitalisasi. Dari 6 peserta tersebut ada 2 peserta dengan latar pendidikan di luar seni dan belum pernah mengikuti diklat di PPPPTK Seni dan Budaya, dan di sekolah mereka mengajar mata pelajaran teknik furnitur, sehingga bagi peserta tersebut mengikuti diklat di P4TKSB menjadi pengalaman pertamanya.

Salah satu materi yang saya berikan pada diklat tersebut adalah terkait dengan keterampilan dalam membuat pra rancangan desain interior dan gambar teknik interior secara manual. Termasuk didalamnya adalah menggambar sketsa perspektif interior. Kendala yang saya hadapi dalam membelajarkan materi ini terhadap 2 peserta tersebut, harus berbeda terhadap peserta yang lain. Saya sadar bahwa memang kemampuan keterampilan dalam menggambar tiap-tiap peserta berbeda. Karena peserta yang lain sudah sering mengikuti diklat desain interior. Saya berpikir bagaimana membantu mereka agar tidak terlalu ketinggalan dengan peserta yang lain, karena memang waktu yang disediakan hampir mendekati deadline dan paginya harus selesai untuk dipresentasikan dihadapan narasumber desain interior dari ISI yogyakarta. Akhirnya untuk mengatasi hal tersebut, saya menawarkan pada peserta lain yang saya anggap mampu untuk membantu dalam menggambar sebagai tutor. Bersyukur strategi yang kutawarkan diterima oleh peserta lain yang lebih mampu. Akhirnya saya sendiri juga ikut membantu menuliskan notasi dan keterangan lain yang harus dituliskan dalam beberapa lembar gambar tersebut. Tujuan utama saya melakukan hal ini adalah untuk memberikan contoh yang benar bagi peserta, sekalian dapat dimanfaatkan sebagai peraga di sekolah.

Tibalah hari H untuk kegiatan presentasi hasil karya diklat. Tugas pak Hartoto sebagai narasumber, selain menilai juga harus memberikan masukan terhadap hasil karya peserta. Ketika pak Hartoto mengomentari dan memberi masukan terhadap karya dua peserta tersebut, dari hasil gambar memang masih banyak kekurangan terutama dalam mengekspresikan segi estetiknya dan garis –garis yang dibuat masih terkesan kaku.

Setelah sampai pada notasi yang sesuai dengan kaidah dalam desain interior, pak Hartoto memberikan komentar : “Nah, anda sudah bagus sekali dalam membuat tulisan ini dan sudah benar, (sambil menunjuk pada tulisan tangan yang dimaksud)”, selanjutnya berkomentar lagi: “ (sambil menunjuk tulisan tangan pada gambar yang lain) Lho..., yang ini kok tulisannya seperti ini, padahal ini kan gambar anda juga”. Dengan tersipu perserta tersebut menjawab: “Ya betul pak yang menggambar saya, tapi yang buat tulisan bu Tri “. “O... ya pantes, kok beda”, jawab pak Hartoto sambil tertawa. Termasuk aku juga ikut tertawa, yang berada dibelakangnya.

Berdasarkan pengalaman kegiatan pembelajaran tersebut, bahwa dalam membelajarkan materi pada peserta dengan tingkat kemampuan yang berbeda atau bervariasi sebaiknya memang harus dengan perlakuan yang berbeda. Saya berfikir bahwa hal ini saya lakukan dalam kegiatan diklat dengan jumlah peserta 6 orang, bagaimana jika menghadapi 40 peserta, dengan pembelajaran orang dewasa ? Untuk mempelajari atau memahami sesuatu itu tidak bisa instan, membutuhkan proses, seperti apa yang saya alami dalam belajar “menulis”, seperti apa yang telah diberikan oleh mas Eko, mbak Rin, mas Rokhmat dan teman-teman yang lain.

Langkah selanjutnya, saya sangat mengharapkan kegiatan workshop tentang DITF khususnya bagi guru-guru produktif mata pelajaran teknik furnitur terutama yang bukan berlatar belakang pendidikan seni, yang nantinya juga harus tahu tentang desain interior, demikian juga sebaliknya. Agar guru-guru dapat saling memahami, menyamakan persepsi dalam memahami KD-KD (Kompetensi Dasar) dalam spektrum yang baru, dan memberikan gambaran pelaksanaan yang harmonis dalam menyikapi KD-KD DITF.

Thursday, February 21, 2019

Selesailah

In memoriam: RY

Ketika sebuah Jumat pagi bulan September
mengirimkan anginnya di sela guguran bisik iba,
siapakah yang dapat menunda pastinya perjalananmu
di balik bongkahan terlanjurnya banyak peristiwa?
Semua terkubur dalam gundukan lengkung tanda tanya.

Di angkasa awan menggelantung putih menguapkan
panasnya bumi yang tak tertahan atas segala bentuk kedukaan,
kegundahan, kegelisahan, kepasrahan yang merambat.
Tubuhmu membujur sunyi dalam bayangan yang tak lagi
sempat meluapkan cerita yang berdiam dalam hatimu.

Oh betapa banyak yang harus kau rajut dalam kegaduhan.
Tahun-tahun yang berlalu, benang-benang yang kau urai.
Selesailah sudah, selesailah semua, setidaknya untukmu.
Bawalah seikat bunga doa yang kubisikkan perlahan.
Dalam diammu kini, kuharap pembebasan dapat kau genggam.

Yogyakarta, 29 September 2017.

SAMPAH

---Fajar Prasudi

Ketika saya dan mas Rohmat mau ke Studio musik untuk datang di workshop penulisan Vidyasana, mobil mas Rohmat yang mau digunakan tertutup truk sampah yang sedang menaikkan sampah, sehingga tidak bisa keluar. Sambil menunggu truk sampah menaikkan sampah ke dalam bak truk iseng-iseng saya menanyakan ke sopirnya:
“Sampahnya mau dibuang ke TPA mana pak?”.

“Di Piyungan mas, tapi sekarang sudah mulai penuh” jawab sopir truk itu,
“Katanya di Piyungan sudah penuh pak, “ lanjutku.

“Dipaksakan dibuang di sana mas, habis gimana lagi, belum ada tempat baru yang deal” jawab sopir truk sampah itu.

Sambil ngeloyor menjauh karena sampah yang dinaikkan ke truk menebarkan debu yang mengganggu pernafasan dan mengotori badan aku berfikir, kalau saja sampah-sampah organik itu bisa diolah sendiri menjadi pupuk tentu persoalan sampah akan sedikit teratasi untuk jadi solusi dalam bertanam di sekitar kita...

Setelah truk pergi barulah kami berangkat ke studio musik. Lagi-lagi ketika parkir kami menemukan bah sampah, tapi isi sampah organik lagi. Aku bergumam, seandainya sampah ini mampu diolah oleh pekerja landscaping, tentu lahan kita akan makin subur dan hijau dengan pupuk organik atau kompos yang bisa dibuat sendiri, toh kita punya fasilitas pengolah sampah yang sekarang digunakan tidak jelas peruntukannya...

Dari sepotong pengalaman melihat sampah ini terbersit ingatan dalam benakku tentang  sampah jalanan, sebuah vespa yang ditutup aneka sampah hingga bentuknya mengundang tanya... mengapa manusia suka menyampah? Bukankah manusia sudah menjadi produsen sampah paling agresif? Di mana-mana sampah diciptakan. Ada sampah visual yang memenuhi tiap sudut kota, ada sampah beracun yang dibuang di sungai, di laut, di daratan. Ada sampah plastik yang kini menjadi problem internasional, dan yang mengerikan mungkin makin mengunungnya sampah masyarakat. Betapa manusia menjadi tidak berarti ketika mendapatkan julukan dan perlakuan sebagai sampah... Menebar sampah sama halnya dengan menebar teror. Mari kurangi produksi sampah, dan terapkan prinsip Reduce, Reuse, Recycle...

MAKNA SEBUAH PENGALAMAN

---Digna Sjamsiar

Gelisah sekaligus bingung menggayuti pikiranku saat itu. Keraguan untuk memasuki “lingkungan baru”. Benarkah itu lingkungan itu baru bagiku?.....bukankah orang-orang yang ada di lingkungan itu adalah orang-orang yang kau kenal? …hati kecilku mulai berbisik. Susah payah kupaksa pikiran negatifku tersebut sirna, kulawan dan bukan tanpa halangan untuk mengenyahkannya. Pikiran lain memaksaku untuk memenuhi undangan itu, aku ingin membuktikan apakah perasaanku benar adanya ataukah itu hanya kebiasaanku yang sering merasa tidak percaya diri? Selamatlah aku karena pikiran “warasku” memenangkan rasa angkuh dan sok tahunya diriku ini. Dengan mantap dan riang kulangkahkan kakiku menuju ruangan itu yang telah terisi oleh orang-orang yang tidak asing bagiku. Sekejap kembali kegelisahan mewarnai pikiranku plus kekhawatiran yang mulai menyergap. Bagaimana kalau nanti mereka menertawakanku? Bagaimana kalau mereka mengatakan bahwa aku tidak berhak menyandang status yang kumiliki saat ini? Carut marut pikiranku kubiarkan berkelana, tetapi aku juga berusaha keras melawannya. Aku harus membuktikan! Itu tekadku.

Di awal aku masih ragu dengan apa yang telah kulakukan di “lingkungan” itu. Sang pembicara dengan gaya yang sangat kukenal lambat laun meruntuhkan pikiran burukku. Sesi demi sesi kuikuti dengan suka cita. Aku sangat menikmati setiap sesi yang membuatku dapat berpikir positif dan bersemangat untuk mengungkapkan apa yang kurasa dan apa yang kupikirkan tanpa ada kekhawatiran salah dan benar. Akhirnya aku menyadari bahwa pikiran-pikiran negatif itu adalah aku sendiri penciptanya. Solusinya sederhana, jika bukan aku yang “memberantasnya”, aku tak akan pernah berhasil menemukan potensi diriku sendiri.

Bagaikan aliran air yang mengalir……setelah pertemuan yang kesekian yang tidak lagi membuatku merasa “asing”, aku mendapatkan pesan di WA yang memuat artikel tentang Horman Endorfin. Istilah ini baru kuketahui, dijelaskan dalam artikel tersebut bahwa ternyata ada hormone kebahagiaan yang dikeluarkan oleh tubuh kita sendiri yang membuat kita bahagia, punya daya tahan tubuh yang lebih kuat terhadap penyakit. Woooww…takjub aku membacanya, selain itu merupakan pengetahuan baru untukku, artikel itu sekaligus waktunya sangat tepat dengan “keputusanku” untuk harus berusaha selalu berpikir positif. Karena menurut artikel tersebut, hormone endorphin berproduksi manakala kita berpikir positif, berperasaan (emosi) positif, dan juga bertindak positif.

Jadi? Ingin selalu sehat dan bahagia?  Tak perlu jauh-jauh mencarinya karena itu ada di pikiran kita sendiri, cukup melihat ke dalam diri kita sendiri, maka kebahagiaan dan juga kesehatan akan didapatkan.

PERAN KETUA KELAS

---Fajar Prasudi

Suatu kali aku ditugaskan untuk menjadi fasilitator pada diklat pengawas. Pada awalnya aku merasa berat dan keder juga karena pesertanya adalah para pengawas dari provinsi Jawa Tengah yang sudah senior dan sarat pengalaman lapangan. Aku mencoba mengusir perasaan ini dengan membangun persepsi bahwa peranku nanti adalah sebagai fasilitator, bukan nara sumber. Kalau aku ditugaskan sebagai nara sumber, maka tentu aku tidak akan mampu memberikan pengalaman dan praksis bermutu yang dapat memberikan nilai tambah bagi mereka...
Ketika saat mendiklat tiba, perasaan keder itu masih menyandera ketegaran rasa yang coba kubangun dengan susah payah, apalagi ternyata pesertanya melebihi kuota yang ditentukan. Bisa dibayangkan ketika dalam kelas berjejal sebanyak 45 peserta pengawas. Untungnya ruang kelasku mampu menampung peserta sebanyak itu. Mungkin karena besarnya ruang itu pula kelasku bisa jadi tempat favorit untuk peserta tambahan...

Pada awal kegiatan aku biasa mengawali dengan perkenalan misalnya untuk mengenal nama, asal, spesialisasi, tempat tugas, pendidikan, dan sebagainya, agar bila ada yang unik segera terdeteksi. Setelah perkenalan biasanya dilanjutkan pemilihan ketua kelas dan perangkatnya, pembentukan kelompok, kesepakatan dalam diklat, skenario kegiatan, dan target yang perlu diselesaikan dalam diklat. Kebetulan ketua kelas yang dipilih merupakan pengawas senior yang membawahi beberapa pengawas di daerahnya, atau semacam koordinator pengawas, begitulah...
Setelah semua proses pendahuluan selesai, baru kami masuk ke dalam materi, biasanya ada tayangan power point yang sangat membantu untuk memberikan pemahaman materi kepada peserta, termasuk power point yang digunakan untuk  memberikan tugas, baik perorangan maupun kelompok. Dalam penjelasan awal tersebut sudah tergambar tugas-tugas yang bakal menjadi terget dalam diklat tersebut. Rupanya ini ditangkap dengan sangat baik oleh ketua kelas, oleh karena itu beliau meminta ijin untuk membagi tugas-tugas tersebut kepada kelompok-kelompok yang sudah dibentuk. Selanjutnya beliau menyampaikan urutan presentasi tugas kelompok yang harus disampaikan setelah masing-masing perwakilan kelompok setelah semua kelompok menyelesaikan tugas kelompoknya.

Proses seperti ini bagiku sebagai fasilitator merupakan pengalaman yang menyenangkan, karena disuport oleh peran ketua kelas yang menguasai medan dan materi yang dilatihkan. Ini menjadi pengalaman menyenangkan bagiku ketika posisiku berada pada titik nadir dengan segunung rasa khawatir, minder, keder, dan setumpuk perasaan negatif lainnya. Dari pengalaman ini mungkin dapat dimaknai, bahwa kekhawatiran menhadapi peserta dikaklat karena kurangnya pengalaman lapangan, dapat teratasi, atau tepatnya terselamatkan oleh peran ketua kelas yang mumpuni. Oleh karena itu dalam memilih ketua kelas hendaknya dipilih ketua yang benar-benar mampu membawa peserta dalam pengaruh perannya, sehingga ia dapat membawa peserta, ‘menaklukkan’ peserta utuk melakukan tugas dan pekerjaan dalam diklat.

Mengembangkan Imaginasi



---Rohmat Sulistya

Selama ini saya menulis pada beberapa blog pribadi dan blog publik sesuai angin berhembus sepoi-sepoi yang menerpa kepala. Dan tulisan itu mengalir begitu saja, tanpa dasar ilmu penulisan. Satu-satunya bekal adalah pelajaran Bahasa Indonesia dari SD sampai SMA. Dan itu sangat standar. Ya, sebuah mata pelajaran. Dengan bekal pendidikan ilmu pasti, science, dan keteknikan, maka keterampilan menulis tidak mengarah kepada pengembangan imaginasi. Kerja tulis saya tentu kerja tulis dengan Bahasa teknik yang jauh dari pengembangan imaginasi.

Tetapi saya menyadari bahwa saya punya passion untuk berkhayal. Saat kelas 1 SMA, guru Bahasa Indonesia -saya ingat Namanya Bu Sujiyati- memberi tugas kepada seluruh siswa untuk menulis cerpen dengan panjang minimal 10 halaman, 1.5 spasi. Respon saya saat itu adalah senang dan tertantang. Disaat banyak teman yang mengeluh dengan tugas itu, saya langsung mengerjakan tugas itu seusai pulang sekolah. Apalagi ada tambahan informasi 10 cerpen terbaik akan diikutkan dalam lomba menulis cerpen nasional. Maka saya makin bersemangat. Dan singkat cerita, cerpen saya selesai dalam beberapa hari, ditulis dengan mesin ketik manual, sepanjang 14 halaman. Dan Alhamdulillah cerpen saya terpilih untuk dikirim dalam lomba cerpen. Apakah juara? Tentu tidak…he he.
--
Dalam 2 minggu ini, saya beruntung dapat belajar konsep menulis dan mengembangkan imaginasi. Saya tidak tahu apakah istilah ini benar atau salah. Tetapi, saya mendapatkan pengalaman bermanfaat ketika diminta untuk menuliskan apapun dalam lintasan pikiran kita sambil diperdengarkan lagu, music, dan juga tayangan visual tertentu. Bagi saya ini merupakan ilmu baru. Saya belum pernah mendapatkan trigger ini sebelumnya, belum pernah mengikuti pelatihan tulis-menulis. Sehingga saya beranggapan imaginasi itu natural; eh ternyata ada metode pemantiknya.

Hari ini juga saya merasakan pengalaman yang bermanfaat, ketika -dengan metode yang agak berbeda- diperdengarkan sebuah lagu sampai usai kemudian kami diminta untuk menulis 1 kalimat utama yang berkoneksi dengan lagu tersebut dan dikembangkan dalam paragraph. Kita juga dilatih untuk mengasosiasi diri kita dengan kalimat “Jika saya….”. Karena saya tidak konsern pada teori, tetapi menikmati aktivitas, maka saya  juga lupa teori apa yang tadi dibelajarkan. Yang jelas saya menuliskan untuk diri saya: /Jika saya sebuah musim, saya adalah hujan gerimis. Karena hujan gerimis selalu menghadirkan suasana romantic, sejuk, dan menenangkan./ / Jika saya sebuah angka, saya adalah 9. Karena 9 adalah puncak capaian. Kesempurnan milik Tuhan, tapi manusia bisa meraih capaian maksimal walau tidak sempurna.//
--
Bagi teman-teman yang menyukai sastra dan terlebih yang tidak menyukai, ini adalah kesempatan baik untuk belajar kepenulisan dengan metode yang mungkin belum pernah kita peroleh, seperti yang saya rasakan.

Bagi teman-teman yang menguasai penulisan puisi, reportase, skenario, cerpen; bisa bergabung untuk berbagi. Walaupun nanti muaranya -mungkin- menulis jurnal; tetapi saya berpendapat dasar-dasar kepenulisan ini penting untuk membuka wawasan dan membuka benang-benang kusut yang menghalangi imaginasi positif kita.



Wednesday, February 20, 2019

SYARIAT, HAKIKAT, DAN MAKRIFAT


---Purwadi
Saat itu aku tidak ingat berapa waktu yang digunakan untuk latihan yang pertama. Saya merasakan teman-teman senang dan bangga bisa menulis walaupun hanya satu atau dua kalimat. Kebanggaan teman-teman itu bisa terlihat dari keinginannya untuk membacakan tulisan yang telah dihasilkan. Raut muka mereka ceria-ceria. Saya melirik salah satu teman, terlihat senyum-senyum sendiri, mungkin karena bangganya telah bisa menulis, atau mungkin juga karena tulisannya dirasakan lucu dan aneh.
Oke teman-teman, sekarang tugas yang kedua. Pak Eko memberikan instruksinya lagi. Silahkan kertasnya dibalik, dan di beri angka dua. Akan saya tampilkan gambar di layar, silahkan menulis berdasarkan gambar itu. Dan seperti tadi, jangan memperdulikan aturan penulisan. Pokoknya apapun yang dirasakan dan dipikirkan silahkan ditulis. Siap!!! Tanya Pak Eko, yang sebenarnya adalah memberi perintah agar peserta siap. Pak Eko kemudian menuju laptopnya, dan uthak-uthik mencari tayangan gambarnya. Byar... di layar tampil gambar. Tapi bagiku itu bukan gambar, karena tidak membentuk sesuatu apapun. Yang terlihat di layar adalah garis berbentuk kotak, di dalamnya ada uwel-uwelan warna merah. Disampingnya ada garis berjumlah empat, berwarna biru, dan tebal-tebal. Di bawahnya lagi ada titik-titik yang penempatannya tidak beraturan, dan coretan-coretan yang tidak  aku pahami maknanya.
Oke, silahkan tulis. Empat menit ya, kata Pak Eko. Akupun  menulis. Sesuai instruksi, aku hanya menuliskan yang kulihat di layar. Tepatnya hanya mendiskripsikan apa yang ada di layar, dan jelas tidak semua bisa tertulis. Cukup, kata Pak Eko. siapa yang ingin membacakan? Tanya Pak Eko kepada peserta. Hampir semua tunjuk jari. Satu persatu teman-teman membacakan hasil tulisannya. Ada Pak Cahyo, Pak Muji, Bu Ratmi, Bu Wiwin, Bu Tri Suerni. Semua membacakan. Pak Bambang tunjuk jari akan membaca, tetapi tidak boleh oleh Pak Eko, karena beliau tidak menulis, tapi mengetik.
Setelah semua membacakan, Pak Eko memberi komentar. Kira-kira mudah mana, yang menggunakan lagu atau yang dengan gambar? Tanya Pak Eko. Bu Ratmi menjawab bahwa mudah yang dengan gambar, karena tinggal menulis saja apa yang dilihatnya. Betul, jawab Pak Eko. Karena yang lagu tadi tidak tahu maknanya, dan tidak ada gambaran apapun, sedangkan yang dengan gambar, ada sesuatu yang akan dijelaskan, sehingga lebih mudah untuk menuliskan. Tetapi teman-teman banyak yang terjebak di sini. Lihat ini, Pak Eko menampilkan tayangan di layar, kemudian membacakannya. Dalam menulis, orang sering terjebak untuk menjelaskan, menerangkan, atau memberitahukan. Kata Pak Eko sambil menunjuk tulisan di layar. Padahal, seharusnya teman-teman tidak menjelaskan gambar ini, tetapi menulis apa imajinasi teman-teman setelah melihat gambar ini. Dalam hati aku berkata, ooo... itu to maksudnya. Berarti saya salah total. Karena yang saya tulis hanya menceritakan gambar itu. Ada gambar benang uwel-uwelan, dan garis empat tebal. Ternyata saya hanya menulis bagian kulitnya saja, atau apa yang terlihat. Jadi malu sendiri saya.
Tahapan yang kedua ini, yaitu menulis berdasarkan tayangan gambar, ternyata bukan lebih mudah dari sebelumnya, yaitu dengan mendengarkan lagu. Karena sebenarnya yang diinginkan adalah menulis dengan menguraikan imajinasi masing-masing, berdasarkan gambar yang ditampilkan Pak Eko pada layar. Setelah aku membaca tulisan teman-teman di Vidyasana yang di unggah Mas Rohmad, setahuku, yang menulis dalam tahapan kedua ini adalah Pak Fajar dan Pak Cahyo. Pak Fajar berjudul Garis dan Bidang, dan Pak Cahyo berjudul Hidup itu Penuh Warna.
Dengan melihat gambar yang ditampilkan Pak Eko, pak Fajar berimajinasi bahwa, ternyata warna dalam kehidupan ini, atau keaneka ragaman permasalahan hidup,  hanyalah berawal dari sebuah titik. Oleh karena itu, dalam menyelesaikan masalah tersebut, harus fokus memandang pada satu titik yang menjadi penyebabnya. Dalam ajaran orang-orang sufi, menurut saya, yang ditulis Pak Fajar ini sudah pada tahapan Hakikat.
Mas Cahyo, dengan tulisannya Hidup Penuh Warna, sudah lebih mendalam lagi. Dengan melihat gambar yang ditampilkan Pak Eko, imajinasi Mas Cahyo langsung melambung tinggi dan mendalam. Dalam diri seseorang penuh warna, dalam keluarga penuh warna, dalam bermasyarakat penuh warna, dan kita hidup di dunia ini penuh warna, yaitu warna berbagai macam persoalan kehidupan, yang setiap orang pasti berbeda-beda. Hebat. Pemikiran ini sudah termasuk tahapan Makrifat. Sedangkan saya, karena hanya menulis apa adanya, tentang garis, warna dan titik, berarti baru pada di tingkatan Syariat.    Urutan tahapan di ajaran tassawuf adalah syariat, tarikat, hakikat, dan yang tertinggi adalah Makrifat. Jadi saya menulis ini baru di level pertama, yaitu syariat.

Studio Pedalangan, 20 Pebruari 2019.
Purwadi

Tuesday, February 19, 2019

Pokunoji


---Eko Santosa

Pokunoji begitu melegenda. Semua orang mengenalnya. Semenjak kecil ia hidup dalam ketertekanan. Keluarganya suka membandingkan dirinya dengan orang lain yang memiliki capaian lebih. Baik itu urusan sekolah ataupun aktivitas lain di kampungnya. Orang yang memiliki capaian dengan ukuran tertentu akan dipandang hebat oleh masyarakat, demikian doktrinnya. Pokunoji merasa ia harus bisa mencapai hal itu. Berawal dari ketertenanan, Pokunoji berusaha keras dengan segala cara untuk mencapi ukuran yang dikatakan membanggakan itu. Ya, segala cara ia tempuh. Ketika ujian sekolah, ia berusaha bagaimana mendapatkan bocoran soal atau jawaban, dan ketika ujian berlangsung ia berstrategi cantik untuk mencontek.

Benar saja, pada saat pengumuman kenaikan kelas dan ia berhasil mendapatkan rangking tinggi, orang tuanya bangga. Kabar itu segera menyebar di tengah warga. Pokunoji pun akhirnya merasa bangga diri juga. Ia mulai merasa nikmatnya dipuja, mulai merasa enaknya berada di atas melebihi kawan-kawannya. Ia lupa dan menganggap bahwa cara curang untuk mendapatkan ranking sebagai sesuatu yang wajar karena toh semua orang memuji hasil akhirnya, bukan menelisik bagaimana cara mencapai hasil itu.

Keberhasilan pertama ini menjadi awal legenda Pokunoji. Hampir dalam setiap perkembangan hidupnya ia berlaku persis semacam itu. Baginya tak ada kawan sejati. Kawan yang memliki capaian lebih adalah musuh dan yang lebih rendah adalah patut untuk diremehkan. Ia akan mendekati siapa saja yang berkemampuan di atasnya, berbaik diri sambil mencari celah untuk menelikung pada saat tertentu. Ia akan berusaha akrab dengan siapa saja untuk mencari segala kemungkinan dalam rangka mengungguli yang lainnya. Pokunoji sangat lihai dalam soal ini. Ia tidak perduli risiko moral dari segala yang dilakukannya. Capaian tertinggi yang berdampak pada anggapan hebat inilah yang ia cari. Capaian puncak yang membuatnya dikagumi itulah yang diingini. Pokunoji tidak pernah mau mengakui kelemahannya bahkan ketika kelemahan itu tampak nyata. Ia akan mencari cara agar orang lain dipersalahkan atas kelemahannya sekaligus bersiasat agar orang yang menganggapnya lemah itu akan takluk padanya dalam ukuran-ukuran tertentu.

Pokunoji sangat piawai membawa dirinya. Ia pura-pura melebur secara sosial untuk kemudian berdiri di atas semuanya. Ia menganggap semua orang tidak akan pernah tahu kelicikannya. Kalaupun ada yang curiga atas kelicikan tersebut ia tak kurang akal untuk membuat alasan dan menelikung orang itu dikemudian hari. Pokunoji tidak pernah berbagi untuk hal apapun yang dapat membuatnya kalah di kemudian hari. Pokunoji akan selalu curiga kepada setiap orang dan menganggapnya saingan. Pokunoji hanya tahu kemenangan, tidak yang lain. Padahal banyak orang mengerti – meski hanya berdiam diri - bahwa kemenangannya adalah semu karena kenyataan berkata lain. Mengenai hal ini, Pokunoji tidaklah perduli karena capaian angka-angka dan segala kemungkinan yang membuatnya berada di atas orang lain itulah tujuan utamanya. Pokunoji harus melebihi yang lain, bagaimanapun caranya, apapun keadaannya.

Pokunoji begitu melegenda. Pokunoji sejatinya bukanlah manusia. Pokunoji adalah sindrom psikologi yang dapat menimpa siapa saja. Termasuk kita.

ekoompong

Adisucipto, 190219

Monday, February 18, 2019

Tentang Tuhan


---Purwadi
Di masyarakat sering terjadi membanding-bandingkan antara manusia dengan Tuhan. Contoh, mengapa kamu sholat hanya memakai kaos?, sedangkan kamu menghadap Pak Lurah, atau Pak camat saja kamu pasti mengenakan baju yang bagus. Kalimat ini menurut saya tidak benar, karena membandingkan Pak Lurah dengan Tuhan. Contoh lain, mengapa kamu tidak memaafkannya? Sedangkan Tuhan saja maha Pemaaf. Kalimat ini juga membandingkan antara Tuhan dan manusia, yang sudah jelas tidak akan sebanding.
Dalam dunia wayang, Bathara Gurulah yang berkuasa di alam semesta. Ia menguasai Tribawana, atau tiga dunia, yaitu Mayapada (dunia Dewa), Madyapada (dunia manusia), dan Marcapada (dunia Raksasa/Setan). Saat itu Bathara Guru adalah tempat meminta dan tempat berlindung bagi segenap makluk yang berada di tiga dunia itu. Bathara Guru yang menciptakan alam semesta, dan kehidupan di dalamnya. Bathara Guru, atau dalam ajaran agama Hindu disebut Syiwa, sebenarnya adalah Dewa Penghancur Alam semesta. Dewa, Manusia, dan raksasa taat menyembahnya, karena jika tidak disembah, Bathara Guru akan marah dan menghancurkan dunia seisinya. Oleh karena itu, Bathara guru dianggap sebagai Tuhan Yang Mahaesa.
Setelah dunia wayang terpengaruh agama Islam, maka dibuatlah silsilah sesuai dengan Islam, yaitu bahwa manusia pertama di dunia adalah Nabi Adam Alaihis Salam. Sehingga Bathara Guru bukanlah pencipta dan penghancur alam semesta, tetapi ia hanyalah makhluk biasa. Bathara Guru adalah putra dari Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Tunggal putra dari Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Wenang putra dari Sang Hyang Nurrasa, Sang Hyang Nurrasa putra dari Sang Hyang Nurcahyo, Sang Hyang Nurcahyo putra dari Sang Hyang Sis, dan Sang Hyang Sis adalah putra dari Nabi Adam Alaihis Salam. Jadi, setelah Islam mempengaruhi dunia wayang, maka Bathara guru yang semula adalah Tuhan, berubah menjadi makluk biasa, yang beranak dan diperanakkan.
Wayang dapat berjalan, berlari, bergerak, terbang, berbicara, berbuat sesuatu, karena dimainkan oleh dalang. Wayang hanyalah sak derma hanglakoni apa yang dilakukan  dalang terhadapnya. Gathutkaca bisa terbang, karena dalang, Werkudara bisa melompat jauh, karena dalang, buta Cakil selalu mati dalam perang kembang, karena dalang. Dari pandangan ini, banyak orang berpendapat  bahwa, dalang itu seperti Tuhan, atau Tuhan itu adalah Dalang.
Seiring berkembangnya jaman, dalam dunia pedalangan, munculah Wayang Sandosa atau wayang berbahasa Indonesia. Dalam pementasannya, dilakukan oleh lebih  dari lima dalang, kadang-kadang bisa sampai sepuluh, bahkan lima belas dalang, karena setiap satu tokoh wayang, dimainkan oleh satu orang dalang atau peraga wayang. Muncul lagi bentuk pementasan wayang yang disebut pakeliran layar panjang, yaitu pentas tiga dalang dalam satu layar. Dengan demikian yang berpendapat bahwa Tuhan itu seperti dalang, adalah tidak benar, karena Tuhan itu harus satu, tetapi dalang bisa banyak dalam satu pementasan.
Berkembang lagi pendapat bahwa Tuhan itu seperti penanggap wayang. Pementasan wayang itu terjadi dan bisa berjalan karena diciptakan oleh penanggap. Tanpa penanggap, tidak akan ada kehidupan dalam dunia wayang, sehingga sang penanggap wayang itulah Tuhannya Wayang. Namun pada kenyataannya sekarang, penanggap wayang itu tidak hanya satu. Bisa banyak orang, misalnya satu desa menanggap wayang untuk Rasulan, instansi yang terdiri banyak pegawainya menanggap wayang, atau suatu keluarga besar yang terdiri dari banyak anggota keluarga menanggap wayang. Maka, tidak benarlah pendapat yang mengatakan bahwa Tuhan itu seperti penanggap wayang. Karena Tuhan itu harus satu, sedangkan penanggap bisa terdiri dari banyak anggota.
Lalu siapa sebenarnya Tuhan itu? Tuhan itu hanya dapat diyakini melalui ajaran agama. Tuhan tidak bisa dibandingkan, Tuhan tidak bisa diibaratkan, Tuhan tidak bisa disamakan dengan makhluk. Tuhan tidak bisa diibaratkan dengan Bathara Guru, Tuhan tidak bisa diibaratkan seperti dalang, dan Tuhan juga tidak bisa diibaratkan seperti penanggap wayang. Maka, janganlah sekali-kali membandingkan Tuhan dengan sesuatu yang lain.

Studio Pedalangan, 18 Februari 2019
Purwadi.

Sunday, February 17, 2019

Ketika Valentine Day


----Purwadi

Di undangan melalui WA, tertulis bahwa pertemuan dimulai pukul 09.00 WIB.  Aku berniat akan berangkat pukul 08.45, agar lebih dahulu dari pada teman-teman. Namun aku baru bisa beranjak dari kursiku pukul 08.50. Ternyata  di ruang teater sudah banyak teman-teman yang hadir. Ini  menandakan bahwa teman-teman sangat antusias untuk mengikuti acara tersebut. Aku mengira bahwa acara sudah dimulai, alias aku terlambat. Ternyata  belum. Waktu masih menunjukkan 08.58 menit, jadi masih kurang 2 menit. Di layar, dengan backround putih bersih tertulis judul “menulis bebas”. Sebenarnya layar itu, yang benar tanpa background.

Aku mengeluarkan laptopku dan menghidupkannya. Kita tunggu dua menit ya, karena masih ada teman yang akan datang, kata Pak Eko yang saat itu sebagai narasumber. Tanpa aku tahu siapa yang datang, atau siapa yang ditunggu Pak Eko, acarapun dimulai, karena jam sudah menunjukkan pukul 09.00 WIB. Setelah dibuka oleh Pak Eko dengan berdoa menurut keyakinan masing-masing, Pak Eko bilang “karena ini acaranya menulis bebas, maka tidak boleh menggunakan laptop, harus menulis dengan ballpoint di kertas”. Kontan saja semuanya hahahaha. Termasuk aku. Ternyata kertas sudah disediakan di tempat duduk masing-masing peserta. Apa boleh buat, laptopku kumatikan, dan aku mengambil bolpoint.

Pada kesempatan pertama ini, kita menulis dengan bolpen, bukan mengetik. Nanti di sesi terakhir kita mengetik, kata Pak Eko. Akupun mempersiapkan diri untuk menulis. Setelah Pak Eko memberikan sedikit penjelasan tentang bagaimana menulis itu, kemudian langsung mempraktikkannya. Baiklah teman-teman, nanti akan ada beberapa tugas yang harus kita lakukan. Kata Pak Eko. Yang pertama, tolong tuliskan angka satu di kertas, boleh di kanan atas, ataupun kiri atas, bebas. Yang penting ditulis angka satu. Akupun menulis angka satu di pojok kanan atas. Dan saya lingkari, walaupun tidak diperintah. Pak Eko melanjutkan instruksinya. Akan saya putarkan lagu, dan teman-teman silahkan menulis. Menulis apapun yang dirasakan sampai lagu ini berhenti. Apapun perasaan anda, harus ditulis. Jangan memperdulikan kalimatnya, tanda bacanya, ataupun apapun. Pokoknya menulis, jangan sampai berhenti menulis walaupun sedetik, sebelum lagu selesai. Sebab, jika nanti berhenti, walaupun sedetik, pasti anda akan menikmati keberhentian itu, sehingga malah tidak jadi menulis. Apapun yang ada dalam pikiran teman-teman, silahkan ditulis.  Abang, ijo, ah, ih, uh, atau apapun jangan peduli, silahkan ditulis. Yang penting menulis, dan jangan sampai berhenti. Kalau dipikiran anda tidak tau, tulis tidak tau, cuthel, tulis cuthel,  Kata Pak Eko. Instruksinya jelas dan semua paham. Benar yang dikatakan Pak Eko, jika sedang menulis jangan sampai berhenti walau sedetik, karena dimulai dari sedetik itu, jika merasa nyaman akhirnya bisa menjadi berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan bertahun-tahun berhenti menulis. Aku telah mengalami sendiri dalam kasus skripsi dan tesisku. Karena terlena berhenti menulis, maka skripsi terbengkalai.

Sambil memberi aba-aba, satu... dua... tiga... Pak Eko memutarkan lagu. Ayo silahkan tulis apa yang ada dipikiran anda dengan mendengar lagu ini, kata Pak Eko. Aku mendengarkan sebentar kemudian menulis. Aku bingung. Lagu apa ini, bahasa mana ini, apa maksudnya ini,  Aku tidak tahu. Tapi yah... aku harus menulis. Kutulis saja sesuai instruksi, apapun perasaan, pikiran, dan angan-angan, aku tuangkan dalam tulisan.  Dan aku tak perduli apakah tulisanku bisa berbunyi apa tidak, bisa dibaca apa tidak, ada artinya apa tidak, tak kuhiraukan. Saat itu, yang kurasakan hanyalah alunan musiknya yang lembut, namun bahasanya aku tidak tahu, syairnya aku tidak tahu, maknanya apalagi, jelas aku tidak tahu. Setelah kira-kira empat menit, akhirnya selesai juga lagu itu, dan akupun telah merampungkan tulisanku sepertiga halaman.

Oke. Terdengar Pak Eko mulai menjelaskan lagi. Sekarang siapa yang mau membacakan tulisannya. Tanya Pak Eko. Teman-teman mengacungkan jari, termasuk aku. Pak Eko sengaja tidak menunjuk seseorang untuk membacakan hasil tulisannya, tetapi memberi tawaran siapa yang mau membacakan pekerjaannya. Pak Eko paham betul bahwa pesertanya semua orang dewasa yang tidak harus ditunjuk, walaupun kadang-kadang ada yang bertingkah seperti anak-anak.

Satu persatu membacakan hasil tulisannya. Semua berbeda, sesuai dengan perasaannya masing-masing. Namun kebanyakan mengatakan bahwa lagunya enak, musiknya lembut, suaranya merdu, tetapi tidak tahu maksudnya. Ada satu teman yang tulisannya aneh menurutku. Abang, ijo, kuning, ah, ih, halo, lampu merah, padam, dan sebagainya yang aku tidak ingat semua. Pokoknya bagiku aneh. Hebatnya lagi pada sesi ini, semua teman-teman yang membacakan tulisannya, intonasinya seperti membaca puisi, atau seperti seorang penyiar membacakan  sebuah renungan yang diiringi dengan alunan musik. Padahal tidak ada musiknya. Ternyata suasananya saat itu bisa membuat semua teman-teman menjadi seorang penyair yang sedang membaca puisi.

Tepuk tangan untuk semuanya. Kata Pak Eko memberi semangat dan penghargaan. Tugas pertama selesai. Pak Eko memberi komentar bahwa, setelah mendengarkan tulisan dari teman-teman, ada dua hasil, pertama ada yang sudah urut dan terstruktur namun isinya tidak nyambung. Kedua, ada yang strukturnya loncat-loncat, tetapi isinya melampaui keadaan yang sebenarnya. Semua ini ditulis teman-teman sesuai dengan apa yang dirasakan, dan mungkin ada juga yang mengada-ada. Karena memang musik yang diputarkan tidak paham maksudnya. Kalau saja mengetahui artinya, pasti tulisannya bisa sama. Ada yang menulis senang, kagum, gembira,... siapa tahu ternyata syairnya adalah punya hutang yang tidak bisa menyaur, atau mungkin sebenarnya sedih sedang tertimpa musibah. Tidak ada yang tahu. Dari tulisan yang telah dibuat teman-teman tersebut, Pak Eko menginstruksikan lagi agar dibuat yang terstruktur, yang masih meloncat-loncat agar ditata rapi, dibenahi, agar mempunyai arti. Boleh menjadi satu paragraf, boleh menjadi satu kalimat, pokoknya bebas, namun dirangkum dari tulisan yang pertama tadi. Itulah tugas pertama dari Pak Eko.  Dalam  workshop ini ada tujuh tugas dari Pak Eko,  yang semuanya sangat menarik, sampai teman-teman bisa menghasilkan tulisan yang bagus-bagus. Maka tulisan ini mestinya bersambung....

Pokoh, Sabtu malam, 16 Februari 2019

Purwadi

Friday, February 15, 2019

Sajak-sajak



---Rin Surtantini

(1)
Menerbangkan Daun-Daun

telah tiba saatnya aku menerbangkan daun-daun itu
ke langit luas yang kutanamkan sebagai masa depan

dulu kupelihara setiap helainya sejak berwarna hijau
sebab di setiap garis tulangnya terbaca mantra-mantra
yang tanpa lelah kau guratkan tajam menjelang terang
juga pada sederetan malam yang selalu kita hidupkan
hingga pohon-pohon makin subur tumbuh dan rindang

daun-daun itu memang lamban terbang ke angkasa
semua mantra yang ada perlahan mengeras tak terbaca
patah pada tulang-tulang daun yang menguning kering

maka hidup adalah cara memandang yang kita miliki
jika itu tumpukan kenangan, langit bukanlah tujuan

telah tiba saatnya kulepaskan rajah yang pernah tertulis
seiring ikhlasmu menyaput ingatan menjaring bintang

(Yogyakarta, 2018)



(2)
Pertaruhan

Rin Surtantini

di atas pentas kulepaskan segenap baris-baris kata
berselubung nukilan ujaran, mantra dan tulisan
mengukuhkan kebenaran dalam alam pahamku

basah tubuhku seirama rintik hujan bulan Februari
mestikah aku berpayung pada yang tak diyakininya
ratusan pandang adalah rahasia tak dapat kukira

di atas panggung kupertaruhkan kehendak abadi
atas kata yang tak berdusta pada segenap makna
atas kata yang tak berlindung di lembar selubung

(Bandung, 2018)



(3)
Perempuan Pembakar Seteru

aku tahu kau sangat ingin sekali melipat lidahku
di hadapan mereka kaulah yang harus dapat tereja

seorang perempuan kau rasakan membakar seteru
tak beri kau waktu untuk melumat dan mencerna

secangkir teh tak bergula kuhirup tanpa rasa kelu
memerdekakanku dari yang tiada pernah kau rela

(Yogyakarta, 2018)

BAYANGAN ZAMAN


---Purwadi
[seri Workshop Menulis Bebas]

Anak kecil itu bernama Fadli. Usianya sekitar sepuluh tahun. Kepalanya gundul, tetapi sudah tumbuh tipis rambutnya. Matanya menatap tajam, bibirnya sedikit tersenyum. Raut wajahnya memancarkan kejenuhan, kebingungan, dan kebimbangan di dalam hatinya. Sepertinya ia tidak mempunyai gairah hidup, ia tidak mempunyai semangat untuk bermain, bercanda, dan bergembira dengan teman sebayanya. Yah .... ia kehilangan keinginan untuk sekedar bermain dengan teman-temannya.

Aku jadi teringat masa kecil seusia dia. Kala itu, belum ada listrik, belum ada televisi, belum ada hp, belum banyak motor, apalagi mobil. Namun anak-anak merasa senang. Anak-anak belum mempunyai beban hidup. Dalam hatinya hanya ada kesenangan, keceriaan, dan kebahagiaan. Bermain bersama teman, dengan berkelompok-kelompok. Apalagi saat bulan purnama. Bermain di halaman yang luas di malam hari adalah sangat menyenangkan. Permainan anak waktu itu bermacam-macam. Ada jamuran, jethungan, gobag sodor, engklek, cublak-cublak suweng, gajah-gajah, ngundha layangan, dan masih banyak lagi macamnya. Ada dakon, benthik, sunda-manda, nekeran, umbul gambar, lumpatan, kubuk kecik sawo, bekelan, dan lain sebagainya. Permainan-permainan itu sebenarnya banyak mengajarkan tentang nasihat-nasihat untuk membentuk budi pekerti yang luhur, mengajarkan kekompakan, kegotong-royongan, bantu membantu, kejujuran, dan hal-hal lain yang penuh makna. Sungguh membahagiakan bayangan zaman pada saat itu.

Berbeda dengan anak kecil itu. Anak kecil jaman sekarang. Ia kesulitan mencari teman. Walaupun hidup di lingkungan perumahan yang sangat padat penduduknya, namun ia merasa sebatang kara. Lingkungan yang padat itu ternyata sepi, karena semuanya melakukan kegiatannya masing-masing. Tetangga kanan kiri tidak saling kenal, jika kenal, bukan persahabatan yang diperoleh, namun saingan gaya hidup yang terjadi. Lalu... di manakah anak-anak seusianya?, mengapa mereka tidak bermain bersama?. Mereka tidak saling kenal, tidak berkelompok, karena memang tempatnya sudah tidak ada. Tidak ada halaman luas, tidak ada tempat yang nyaman untuk bermain. Mau bermain di jalanan, jelas tidak bisa, sebab jalanan kampung telah menjadi tempat parkir mobil, karena yang mempunyai mobil tidak mempunyai garasi.

Berkembangnya zaman, sebuah desa menjadi perkotaan, sudah tidak bisa dibendung lagi. Tanah pekarangan yang luas telah menjadi tempat kos-kosan, lapangan-lapangan telah menjadi hotel, hingga tidak ada lagi tempat untuk bermain bagi anak-anak. Fadli hanya menyendiri. Menyendiri dalam kerumunan orang. Hidupnya serasa sunyi. Sunyi dalam keramaian.