---Rin
Surtantini
[seri Workshop Menulis Bebas]
Selalu terbangun menjelang adzan subuh
berkumandang dari masjid di ujung gang, ia selalu mengucapkan terimakasih
kepada Dia yang telah memberinya selembar hari lagi pada setiap pagi yang membangunkannya.
Ia lalu berjalan ke tepi sumur, mengambil air wudlu, mengenakan sarung dan
kopiah, untuk kemudian berjalan kaki menuju masjid dalam gelap dan sunyi yang
masih menggantung. Angin pagi menyentuh kuduknya, mengalirkan sejuk pada
sekujur tubuh.
Sepulang dari masjid, dimasaknya air di
tungku dan dibuatnya secangkir kopi kegemarannya untuk dihirup menemani sekerat
roti bakar atau dua butir telur mata sapi. Diberinya makan seekor ayam jago sebagai
satu-satunya peliharaan di halaman belakang rumah. Dihidupkannya televisi di
ruang tengah sambil dibersihkannya rumah. Disapunya juga halaman depan rumah
yang dipenuhi guguran kamboja Bali, sambil menunggu pak Koran yang setia sejak
jaman dahulu mengantarkan Kompas ke rumahnya bersamaan dengan saat naiknya
matahari.
Sendiri dan sepi? Semua orang mengatakan
begitu, tetapi tidak baginya. Pada usianya yang menjelang empat puluh lima
tahun ini, ia merasa hidupnya semakin ramai dengan banyak hal yang membuatnya
sibuk sepanjang hari, bahkan kadang-kadang ia merasa semua hal itu tidak bisa
diselesaikannya hanya dalam waktu duapuluh empat jam saja. Ia perlu banyak
waktu untuk membaca apa-apa yang menjadi minatnya, menuliskan banyak hal yang
dipikirkan dan dirasakannya, berbagi ilmu dan apa yang diketahuinya sebagai
tenaga pengajar, menyanyikan lagu yang disukainya dan mendengarkan musik,
menggambar, berkebun, memasak … ah, alangkah menyenangkan melakukan semuanya
itu sepanjang dan setiap hari!
Di penghujung hari, lelaki itu duduk di
kursi goyang di teras rumah memandangi langit. Ia melepaskan penat dan
menikmati kesendiriannya. Secangkir kopi dan alunan lagu-lagu nostalgia
menemani. Ketika langit mulai gelap, ia terlelap. Daun-daun gugur ditiup angin,
dingin dan kering.
Studio
Teater
14
Februari 2019.
Tambah 2 paragraf lagi, mgkn bisa menghidupkan gambaran si dia...
ReplyDelete...coba lanjutkan, mas.
DeleteJika ada beberapa orang yang mau melanjutkan, kita akan dapat sekian versi yang berbeda. Kita akan rasakan kuatnya peran imajinasi manusia yang diwujudkan dalam bahasa... verbal...
Bisa jadi "dia" itu juga bukan laki-laki dalam realitas
ReplyDeleteBanyak kemungkinan...sebanyak kekuatan imajinasi yang kita hidupkan dan mainkan.
Delete