Monday, February 4, 2019

DAN FEBRUARI PUN MENGULURKAN TANGAN WAKTUNYA: Lalu siapa dan bagaimanakah kita?

---Rin Surtantini


Bermula pada alunan suara pesan singkat

Ternyata tahun 2019 sudah menyelesaikan bulan pertamanya ketika Februari menjulurkan tangan waktunya perlahan. Alunan suara pesan singkat, short message service, yang berasal dari telepon genggam di meja kamar mengabarkan datangnya Februari: oh, itu sebuah pesan dari bank Mandiri: sejumlah uang masuk ke rekening bank saya, yang saya terima untuk melakukan kewajiban dan tanggungjawab saya sebagai pegawai selama satu bulan ke depan. Pengingat juga bagi saya: harus segera mengisi realisasi Sasaran Kerja Pegawai (SKP) pada bulan Januari kemarin, juga log harian yang terlantarkan, masih bolong-bolong, belum semuanya terisi. Ya, ternyata Januari telah rapat-rapat menutup pintunya dan saya hanya dapat mengandalkan ingatan tentangnya melalui lembar kalender yang tergeletak di atas meja.

Seketika saya ingat, tadi malam sebelum tertidur, saya membaca artikel “Permainan Makna” yang ditulis oleh Sapardi Djoko Damono (2009) pada buku Proses Kreatif dengan editor Pamusuk Eneste. Dalam tulisannya, Sapardi menyelipkan sebuah puisi tentang waktu:


Tangan Waktu


selalu terulur ia lewat jendela


yang panjang dan menakutkan

selagi engkau bekerja, atau mimpi pun

tanpa berkata suatu apa



bila saja kautanya: mau apa

berarti terlalu jauh kau sudah terbawa

sebelum sungguh menjadi sadar

bahwa sudah terlanjur terlantar


………………………………..

……………………………….

(dan seterusnya).


Setiap orang tentu bebas untuk memberikan makna atas puisi di atas. Saya tidak mengajak siapa pun untuk berdiskusi memaknainya --yang (mungkin) bisa saja akan menarik bagi yang memiliki minat di bidang ini. Tetapi yang ingin saya katakan adalah, puisi Sapardi itu membuat saya berpikir bahwa “waktu” adalah entitas abstrak yang hidup karena dia bergerak dan meninggalkan jejak pada diri kita, setidaknya pada ingatan dan pikiran kita. Dialah yang mengajak kita, kadang berlari, kadang berjalan, kadang berhenti, dan … tiba-tiba saja ketika kita terlalu cepat dan tak bisa memintanya untuk kembali atau mengulanginya, kita tersadar bahwa kita telah “menelantarkannya”, menelantarkan waktu (seperti tertulis pada baris terakhir bait kedua puisi Sapardi di atas).


Jadi, apa yang akan saya tuliskan pada beberapa log harian bulan Januari yang masih kosong ini? Saya harus membongkar ingatan saya tentang waktu. Dan ketika ingatan itu muncul dengan bantuan lembar kalender yang diam di meja, saya menyadari bahwa dalam kurun tigapuluh satu hari lalu itu, ada jejak waktu yang mengatakan bahwa sehari dua hari, saya pernah menelantarkannya. Tetapi jejak waktu itu juga merekam bahwa ada hari di saat mana saya memeliharanya. Pada jejak ini tercatat bahwa saya berencana untuk melanjutkan apa yang saya lakukan saat itu. Ini menarik, setidaknya tangan waktu yang terulur panjang pada bulan Februari nanti semoga menjadikan saya lebih baik daripada jejak yang saya tinggalkan sebelumnya.


Berlanjut pada perkara kata “profesional”

Bagi sebagian dari kita, makna tahun baru adalah ketika Januari datang. Bagi sebagian lainnya, makna tahun baru adalah ketika surat tugas terbit kembali untuk mengajar atau pergi ke luar kota. Sebagian lagi memaknainya dengan membuat rencana dan strategi untuk melakukan kegiatan istimewa atau khusus dengan semangat baru. Sementara sebagian lainnya mungkin, dengan kesadaran bahwa pernah menelantarkan tangan waktu yang selalu terulur, berencana untuk “memelihara” waktu. Kesadaran ini dalam konteks pekerjaan di kantor, ada yang tumbuh sebagai individual awareness (kesadaran individu), tetapi juga ada yang berupa shared atau collective awareness (kesadaran kolektif atau kesadaran bersama).

Selesai mengisi log harian dan realisasi “kerja” pegawai, terbersit dalam pikiran saya, ada yang tak pernah dapat dituliskan dalam log dan format realisasi kerja pegawai itu. Sesuatu yang real, yang nyata dilakukan, tetapi tidak dapat dikategorikan secara deksriptif sebagai “pekerjaan” dalam format SKP yang terstandar. Mengapa? Karena “sesuatu” yang saya maksudkan ini abstrak sifatnya, yaitu kata “profesional”. Kata ini merupakan kata benda dan juga kata sifat. Sebagai kata benda, kata “profesional” menunjuk kepada orang yang memiliki “kualifikasi” dan “pengalaman tertentu” sesuai dengan bidangnya; sedangkan sebagai kata sifat, kata “profesional” menunjuk kepada “kualitas” yang dimiliki dan diperlihatkan oleh orang tersebut sesuai dengan profesi yang ditekuninya. Ini yang saya pahami dari Oxford Advanced Learner’s Dictionary terbitan tahun 1989.

Merujuk kepada kedua makna dan kelas kata “profesional” di atas, kata “profesional” bagi tenaga fungsional (dalam konteks ini, widyaiswara) menunjuk kepada pegawai yang memiliki kualifikasi dan pengalaman tertentu sesuai dengan bidangnya, dan pegawai yang memiliki dan memperlihatkan kualitas sesuai dengan profesi yang ditekuninya. Pertanyaan yang dapat kita ajukan kepada diri sendiri kemudian adalah: (1) apakah widyaiswara itu seorang profesional, dan (2) apakah kita adalah widyaiswara yang profesional? Pertanyaan ini mengingatkan saya akan beberapa istilah yang diajukan oleh Penny Ur melalui tulisannya pada tahun 2002. Ia membandingkan makna dari kata “profesional” dengan makna dari kata “orang awam”, “amatir”, dan “teknisi”. Saya akan mengaitkannya dengan kedua pertanyaan di atas sesuai dengan konteks widyaiswara, sebagai bahan refleksi diri.

Profesional vs. orang awam
Sebagai seorang profesional, widyaiswara berbeda dengan “orang awam” dalam arti widyaiswara memiliki keterampilan, pengetahuan, dan konvensi tertentu yang dimiliki oleh kelompok atau komunitas profesi ini. Komunitas profesional widyaiswara ini melakukan atau menyelenggarakan pendidikan, pengajaran, pelatihan dan pertemuan ilmiah, serta tukar menukar ide dan pengalaman, di samping melakukan publikasi ilmiah mengenai temuan-temuannya dalam bidangnya masing-masing.

Profesional vs. amatir
Sebagai seorang profesional, widyaiswara juga berbeda dengan seorang “amatir”. Seorang amatir melakukan sesuatu lebih banyak untuk kesenangan, tanpa perlu pelatihan atau komitmen tertentu, sehingga ia akan melakukan sesuatu dengan kemungkinan bahwa hasilnya bisa baik, tetapi bisa juga kurang baik. Hasil itu tidak penting baginya. Sementara itu seorang profesional akan menjaga kualitasnya dalam hal misalnya kompetensi keahliannya, persiapan mengajarnya, belajarnya yang terus menerus, nilai-nilai yang dianutnya, standar-standar yang dipegangnya, serta komitmennya. Dengan demikian, tenaga fungsional yang profesional tidak akan membiarkan dirinya bekerja asal-asalan atau melakukan tugasnya di bidang pembelajaran dengan cara asal berjalan saja. Profesionalisme dalam konteks ini diperoleh melalui proses belajar, bukan instan, misalnya melalui pelatihan, refleksi terhadap pengalamannya, membaca, menulis, melakukan observasi, berdiskusi, meneliti, dsb. Profesional semacam ini sangat menjaga standar dirinya yang meliputi pengetahuan tentang materi yang diajarkannya dan metodologinya, dedikasi dan kerja kerasnya, perilaku dan hubungannya dengan klien (guru-guru) dan dengan tenaga profesional lainnya. Banyak tenaga fungsional yang hebat memulai kehebatannya justru dari menjadi seorang amatir, yang seiring dengan berjalannya waktu, mengembangkan dirinya menjadi seorang profesional.

Profesional vs. teknisi
Seorang “teknisi” melakukan kegiatan tertentu dengan keterampilan yang dimilikinya dan ia akan menjadi lebih dan semakin terampil sejalan dengan waktu yang berlalu melalui praktik. Sebagai bandingannya dengan tenaga profesional, widyaiswara yang profesional tidak hanya memeroleh keterampilan tertentu, tetapi juga mampu melakukan serangkaian kegiatan yang didasarkan pada pengetahuan dan pemikirannya, yang akan membedakannya dengan sekedar menjalankan sebuah rutinitas secara mekanis saja. Dia harus memahami prinsip-prinsip yang menjadi latar dari tindakannya, mampu mengartikulasikannya, menghubungkannya dengan hal lain, melakukan koneksi antardata, dan melakukan inovasi. Apabila tenaga fungsional hanya melakukan tugas rutin secara mekanis dan hapalan saja, ia tidak lebih dari seorang teknisi, atau sebuah robot. Seorang tenaga fungsional yang profesional dapat menjelaskan mengapa suatu hal dilakukan olehnya, atau mengapa hal itu terjadi (why something works the way it does). Seorang profesional tidak hanya melaksanakan tugas atau instruksi dari para ahli atau atasan dan seniornya saja, lalu mengadopsinya tanpa berpikir. Seorang profesional adalah seorang ahli di bidangnya, meskipun dia tetap harus mau mendengarkan pendapat orang lain.

Profesional vs. akademisi
Sampai di sini, Ur kemudian memunculkan istilah lainnya, yaitu “akademisi”. Seorang ‘akademisi’ dapat didefinisikan sebagai seorang peneliti, pengajar, penulis, yang biasanya ada di universitas atau di lembaga penelitian. Akademisi tentu saja juga seorang profesional. Tetapi adakah perbedaan antara akademisi dan profesional? Seorang profesional memprioritaskan tindakan yang nyata, ia adalah pembawa perubahan langsung (an immediate agent of real-world change). Meskipun demikian, seorang profesional tetap “berpikir” untuk memperbaiki tindakan-tindakannya. Sementara itu, akademisi memprioritaskan pemikiran dan penelitian, ia bukan merupakan agen perubahan langsung. Meskipun demikian, seorang akademisi pun tetap bertindak untuk mengembangkan pemikiran dan temuannya. Jadi perbedaan antara profesional dan akademisi hanya terletak pada penekanan dan prioritas, bukan pada substansi. Persamaan antara keduanya adalah bahwa mereka dapat dievaluasi (dalam jangka panjang) berdasarkan pengaruh mereka terhadap pemikiran dan tindakan para akademisi dan profesional serta masyarakat lainnya. Apapun yang dilakukan oleh keduanya dapat dinilai dari bagaimana mereka memberikan kontribusi di dalam bidang mereka terhadap generasi berikutnya. Meskipun akademisi dan profesional berbeda dalam prioritasnya, keduanya saling memberikan manfaat dan kontribusi, sehingga keduanya harus dihargai secara seimbang.

Catatan REFLEKTIF bagi widyaiswara: siapa dan bagaimanakah kita?
Ketika mulai mengisi log harian pada hari pertama bulan Februari, pikiran saya masih dipenuhi oleh tulisan Ur tentang kata “profesional” yang dibandingkan dengan makna “orang biasa”, “amatir”, “teknisi”, dan “akademisi”, dengan keinginan bulat saya untuk meminimalkan tindakan menelantarkan waktu seperti yang diungkap pada kutipan baris puisi Sapardi di bagian awal di atas. Tapi pikiran dan keinginan saya ini tak mungkin terekam dalam log harian, juga tidak dalam realisasi kerja sebagai pegawai pada akhir Februari nanti: Ia akan terekam dalam tangan waktu. Tidak apa-apa.

Maka kutitipkan pada waktu, pertanyaan-pertanyaan berikut ini, agar ia mau selalu mengingatkanku, selagi bekerja dan bermimpi, untuk selalu menjadi sadar: tidak menelantarkannya:

· Apakah saya menjadi bagian dari komunitas profesional yang saling berinteraksi dan bertukar ide dan pemikiran?

· Apakah saya merupakan komunitas belajar yang selalu tertarik untuk memeroleh pengetahuan baru dan bereksperimen dengan ide-ide baru?

· Apakah saya memiliki komitmen untuk mencapai standar tertentu di dalam profesi saya?

· Apakah saya memiliki kebebasan untuk merancang standar profesionalisme sehingga saya akan mendorong adanya komitmen, bahwa hanya mereka yang memenuhi standar tersebutlah yang dapat berpartisipasi dalam melakukan pemberdayaan bagi guru-guru?

Mari lakukan refleksi!



Yogyakarta, 3 Februari 2019.

***

7 comments:

  1. Replies
    1. Terimakasih. Sebagai bahan refleksi saja bagi kita untuk berbuat pada tahun ini.

      Delete
  2. Sudahkah kita memaknai setiap kegiatan dalam pekerjaan sebagai ibadah?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pertanyaan reflektif yang menarik untuk didiksusikan lebih lanjut.

      Delete
    2. memulai dengan bismillah....sip.

      Delete
  3. Refleksi yg baik dari mbak Rin,diperdalam oleh mas Eko...jos.

    ReplyDelete