Thursday, February 28, 2019

Dam


---Eko Santosa

Kes dan Sus bertemu di sebuah cafe pojok jalan kota. Mereka adalah kawan sejak sekolah menengah yang sekarang bekerja bersama di sebuah kantor.

“Katanya kau baru bertemu Dam, bagaimana kabarnya sekarang?”, Kes membuka percakapan.

“Dam yang dulu terkenal kurang pintar itu sekarang sukses, jauh melebihi kita.”, jawab Sus pelan.

“Wah hebat, jadi ada dia emangnya?”

“Petani.”

“Wah wah wah, kalau petani bisa lebih sukses dari pekerja kantoran seperti kita pasti ada bisnis di dalamnya. Kau tahu di mana rumahnya?”, serbu Kes tak sabar.

Sus tidak memberikan jawaban namun hanya memberikan secarik kertas berisi alamat rumah Dam. Kes langsung menyambar kertas itu.

“Minggu depan aku akan menemuinya.” gumam Kes.

Benar saja, Kes berkunjung ke rumah Dam di akhir minggu. Namun ia tak meluangkan waktu lama, hanya ngobrol sebentar dengan Dam, melihat rumah dan pekarangan sekitarnya, lalu pamitan. Begitu sampai di kota Kes menelepon Sus dan ingin segera bertemu.

Kes dan Sus bertemu lagi di cafe pojok jalan kota. Ketika Kes masuk, Sus sudah duduk di salah satu kursi dengan tatapan menerawang. Tanpa basa-basi Kes langsung mengambil kursi yang berhadapan dengan Sus.

“Kau bohong rupanya! Dam ternyata masih saja seperti dulu, bodoh dan tidak tahu apa yang mesti diperbuat dalam hidup ini. Ia hanya petani biasa, tak lebih tak kurang.”, gerutu Kes dengan keras.

“Justru di situlah letak kesuksesannya. Ia telah mencukupi yang menjadi kebutuhannya.”, timpal Sus pelan.

“Sukses apanya? Rumah hanya gubuk, pergi kemana-mana cuma naik sepeda, perabot rumah seadanya dan ia tak pernah pergi berlibur ke manapun.”, sergah Kes tak mau kalah.

“Tetapi dengan itu semua ia merasa telah cukup. Bahkan ketika panennya berhasil ia membagikannya kepada tetangga. Ia juga membagi pengetahuan mengapa panennya dapat berhasil dan hal-hal lain yang dapat meningkatkan hasil kebun dan sawah. Ia merasa bahagia dengan itu semua.”, Sus memberikan penjelasan.

“Aku tidak mau hidup seperti itu dan menurutku, itu tidak dapat dikatakan sukses.”

“Hidup itu memang pilihan.”

“Tapi aku tak mau memilih hidup seperti Dam yang kau bilang sukses itu!”

“Ya, dia memang sukses. Ia menjalani hidup dan mampu memenuhi kebutuhannya bahkan jika berlebih ia membaginya. Ia tidak seperti kita yang hidup demi mengejar kebutuhan satu untuk kemudian menciptakan kebutuhan lain yang belum tentu kita perlukan dalam hidup tetapi kita jadikan sebagai sebuah kebutuhan. Dam tidak pernah risau dengan capaian atau target berupa angka-angka yang setiap waktu jumlahnya selalu harus naik. Dam tidak pernah terganggu dengan posisi, kedudukan atau pandangan orang lain atas posisi dan kedudukan yang kita miliki. Dam tidak pernah merasa kurang dengan apa yang ia dapatkan sehari-hari. Ia telah selesai dengan dirinya sendiri dan bisa memberikan apa yang ada pada dirinya kepada orang lain, dan ia berbahagia dengan itu semua.”, Sus menjelaskan panjang lebar dengan sabar.

Kes mendengarkan dengan kepala penuh pikiran. Ia memperbaiki posisi duduknya, menatap Sus dengan serius.

“Bagaimanapun, aku tidak mau seperti itu. Kau mau Sus?”, tanya Kes.

“Aku tak tahu.”, jawab Sus dengan tatapan menerawang.


Ekoompong, 270219

6 comments:

  1. Mindset yang harus hadir dalam diri kita... sepakat banget. Bahasa lainnya kebersyukuran...

    ReplyDelete
  2. Konsep hidup seperti DAM ini, saya yakin masih banyak di dunia ini. Baik DAM sebagai petani, sebagai karyawan, sebagai pedagang, sebagai pegawai. Hanya mungkin tidak tidak dimunculkan, dan tidak perlu dilihat orang.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Minggu lalu mas pur punya utang belum ngirim tulisan he he...

      Delete
    2. Iya mas Rohmat, saya juga menunggu-nunggu tulisannya mas Pur yang minggu lalu...

      Delete
    3. Saya setuju dengan yang dikatakan mas Pur. Saya yakin orang-orang seperti Dam dalam cerita di atas ada di sekeliling kita, tetapi tidak terceritakan ...

      Delete
  3. Saya suka dengan cerita DAM di atas. Dia orang yang telah "selesai" dan di situlah ia bahagia. Tipe orang semacam ini jauh dari perhatian apalagi publikasi, karena jauh lebih banyak orang yang "belum selesai" atau "tidak akan pernah selesai" dan menilai DAM dari sudut pandang "belum selesai" ...

    ReplyDelete