Saturday, February 23, 2019

BERMAIN DENGAN GUGUSAN KATA, RASA, DAN PIKIRAN [1]


Dari Serial Workshop Menulis:
(Bagian pertama)

---Rin Surtantini

Menulis itu bermain-main dengan gugusan kata, rasa dan pikiran. “Bermain” berarti bersenang-senang, bersukaria, menghibur hati, mengerjakan hobi atau sesuatu yang membuat senang. Apa yang dimainkan? Gugusan kata yang tak terhitung banyaknya, rasa yang beragam, dan pikiran yang menjadi milik kita sepenuhnya. Maka, seri berikutnya dari workshop menulis dilanjutkan pada hari Kamis, 21 Februari 2019, mulai pukul 09.15 sampai dengan pukul 11.30, mengambil tempat di Studio Musik. Undangan dikirimkan sehari sebelumnya tanpa perlu memperhitungkan siapa dan berapa orang yang akan datang.

Limabelas menit sebelum pukul 09.00, saya sudah berada di salah satu ruangan di Studio Musik. Teman kami, mas Andit, telah dengan sukarela mempersiapkan tempat untuk kami “bermain”. LCD proyektor, speaker, layar, sudah siap; demikian juga kursi telah tertata, di atas setiap kursi telah disediakan beberapa lembar kertas putih kosong untuk menulis. Ternyata kertas-kertas ini disiapkan oleh mas Aristono dari Studio Teater. AC pun sudah menyala. Saya mencoba koneksi laptop ke LCD proyektor dan ke speaker, bagus. Semuanya oke. Saya putarkan lagu-lagu dari Payung Teduh, sekedar untuk memecah kesunyian sambil menunggu teman-teman yang mulai berdatangan satu persatu. Tepat pukul 09.15, workshop dimulai, dan saya catat ada sepuluh teman yang hadir: mas Fajar Prasudi, pak Marsudi, mas Rohmat Sulistya, mas Purwadi, mbak Tri Suerni, mbak Digna Sjamsiar, mbak Wiwin Suhastari, mbak Suratmi Ekakapti, mbak Sri Herlina, dan mbak Widarwati. Yang menarik, beberapa teman mempraktekkan pot luck! Ada yang membawa kue bika ambon, ada yang membawa tahu isi, apem, dan rengginang. Wah, ini sisi lain dari workshop yang menawarkan rasa senang tentunya.

#1
Kegiatan kesatu dimulai: Menginterpretasi.

Saya katakan bahwa beberapa writing prompts --pemantik, stimulus—akan diberikan untuk menuangkan gagasan. Lagu Historia de un Amor diperdengarkan sampai habis. Peserta workshop diminta untuk mendengarkan dengan cermat meski lagu itu berbahasa Spanyol dan tidak dipahami artinya. Setelah lagu berhenti, barulah masing-masing peserta diminta untuk mengangkat penanya dan menuliskan sebuah kalimat yang menurut dugaan mereka, lagu itu tentang apa. Kalimat inilah yang menjadi pokok pikiran atau kalimat utama dari paragraf yang akan dibuat. Selanjutnya, peserta diminta untuk membuat tiga atau empat kalimat yang berfungsi sebagai kalimat-kalimat pendukung terhadap kalimat utama yang telah dibuat itu. Dengan demikian, konten paragraf yang menceritakan makna dari lagu tersebut diharapkan berpadu. Satu persatu peserta kemudian dengan antusias membacakan tulisannya, juga mengemukakan alasan: apa yang membuat interpretasi mereka seperti yang mereka tuliskan itu. Ini bukan soal benar atau salah dalam menginterpretasi, tetapi mengamati bagaimana sebuah pemantik bisa memberikan gagasan yang berbeda antara satu peserta dengan peserta yang lain. Sungguh menyenangkan mendengarkan interpretasi mereka terhadap lagu yang tidak dikenal itu!

Apa pelajaran yang diperoleh dari kegiatan pertama ini?
“Semua interpretasi terhadap sesuatu hal haruslah memiliki alasan, argumentasi, fakta, data, sebagai hasil pikiran dan pengolahan panca indera (senses) kita”.

***Catatan kecil dari kegiatan pertama ini: Lagu Historia de un Amor yang diperdengarkan itu sebenarnya adalah rekaman suara saya sendiri di sebuah stasiun radio di Yogya. Jadi saya agak berbangga diri dan bolehlah sedikit senang ketika beberapa peserta menyatakan alasannya tentang interpretasi yang mereka berikan terhadap makna lagu itu. Mengapa? Karena ada tiga peserta yang mengatakan bahwa interpretasi mereka dipengaruhi oleh alunan suara penyanyinya yang lembut, merdu, dan penuh perasaan. Keinginan alamiah manusia pun muncul dalam diri saya: senang jika dipuji! Saya jadi ingin mengirimkan rekaman suara itu di blog ini untuk saya share, jika memungkinkan.


#2
Kegiatan kedua dilanjutkan: Mengasosiasi (membuat koneksi).

Peserta diminta untuk memilih dua dari tujuh pengandaian yang disediakan:

Jika saya sebuah warna, saya adalah …..

• Jika saya sebuah musim, saya adalah …..

• Jika saya sebuah alat musik, saya adalah ….

• Jika saya sebuah angka, saya adalah ….

• Jika saya sebuah perasaan, saya adalah ….

• Jika saya sebuah hari, saya adalah ….

• Jika saya sebuah kota, saya adalah …
.

Asyik saja rasanya untuk saling mendengarkan bagaimana sebuah pengandaian yang sama akan menghasilkan gagasan yang berbeda-beda dari setiap peserta. Ada yang mengatakan, “Jika saya sebuah hari, saya adalah Jumat karena itu hari terakhir saya bekerja dalam minggu itu,” sementara yang lain mengatakan, “Jika saya sebuah hari, saya adalah Jumat karena saya dilahirkan pada hari Jumat”. Salah satu peserta memilih nuansa ‘musim’: “Jika saya sebuah musim, saya adalah gerimis karena gerimis menimbulkan suasana sejuk, syahdu, …..” Setiap peserta diberikan kesempatan untuk melakukan asosiasi, mengoneksikan apa yang dirasakan, dialami, dipikirkan, dengan pengandaian yang mereka pilih. Mengasosiasi ini bertujuan untuk melatih keterampilan berpikir tingkat tinggi peserta.

Apa pelajaran yang diperoleh dari kegiatan kedua ini?
”Imajinasi yang diperoleh dari proses mengasosiasi (melakukan koneksi) membantu kita dalam memproduksi gagasan atau pikiran ketika menulis”.

#3
Kegiatan ketiga: Menyatakan perasaan dari cerita di balik dinding kelas

Peserta diminta untuk secara berurutan dan bergantian melanjutkan kalimat “Aku keluar dari ruang kelas sore ini dengan perasaan gembira”. Konteksnya adalah situasi berakhirnya sebuah pelatihan yang mana peserta menjadi fasilitator atau pengajar pada pelatihan tersebut. Satu persatu peserta bergiliran melanjutkan kalimat yang diucapkan oleh teman di sebelahnya. Dengan begitu, setiap orang harus mendengarkan dengan seksama kalimat temannya, memikirkan kalimat berikutnya, dan kemudian menyambungkan kalimatnya sendiri untuk menghasilkan sebuah paragraf yang terpadu. Ini merupakan joint construction dalam merangkai kalimat.

Kalimat utama “Aku keluar dari ruang kelas sore ini dengan perasaan gembira” harus diberikan kalimat-kalimat pendukung. Maka pikiran harus fokus untuk melogikakan rangkaian kalimat. Peserta dapat membuat kalimat pendukung terhadap kalimat pertama (kalimat pokok atau pikiran utama), tetapi bisa juga menggunakan teknik menyambungkan “old information” pada kalimat sebelumnya dengan “new information” dari kalimat yang dibuatnya. Inilah hasil kalimat yang dirangkai oleh peserta bersama-sama:


Aku keluar dari ruang kelas sore ini dengan perasaan gembira. Seluruh peserta pelatihan selalu hadir tepat waktu, dan proses pembelajaran berjalan sangat lancar. Hari ini hari terakhir setelah tujuh hari aku mengajar di kota ini. Selama tujuh hari ini, aku berkesempatan berpasangan mengajar dengan seorang guru yang cerdas. Aku dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis dari para peserta, dan aku juga mendapatkan tambahan ilmu dari pasangan mengajarku, pak guru yang cerdas itu. Yang membuatku bertambah gembira adalah semua peserta lulus dengan nilai Baik dan Sangat Baik. Bukankah ini salah satu kepuasan bagi pengajar dan peserta pelatihan? Para peserta pun tak sabar untuk segera menerima sertifikatnya. Tak disangka, salah satu peserta menghampiriku dan berkata, “Ibu, bersediakah jika ibu memberikan kembali materi ini di dinas kabupaten kami?” Sementara itu di sudut kelas, terdengar seorang peserta
berbisik, “Fasilitatornya cantik dan menyenangkan.”


Apa pelajaran yang diperoleh dari kegiatan ketiga ini?

”Di dalam tulisan harus ada kesatuan ide yang diikat oleh benang merah logika atau alur pikir, serta penggunaan kata-kata, frasa, dan klausa yang mengoneksikan ide-ide yang berserakan sehingga membentuk sebuah harmoni”.

Sedikit melangkah lebih jauh, melalui kegiatan ketiga ini, peserta mempelajari faktor teknis dan mekanis dalam menulis, selain memelihara sensitivitas dan sensibilitas, karena sumber yang kaya untuk diungkapkan dalam tulisan dapat berasal dari perasaan itu sendiri. Sebelum saya memberikan materi workshop ini, ada keraguan yang saya kuatirkan, yaitu saya akan terjebak dalam berteori. Mengapa? Latar belakang pendidikan saya sebagai mahasiswa Fakultas Sastra ketika menempuh S1 sedikit banyak akan memengaruhi materi saya. Pelajaran Writing menjadi major subject bagi mahasiswa sastra selama delapan semester. Akan tetapi, di sisi lain saya juga memiliki pengalaman dalam mengajarkan materi-materi Pragmatics (penggunaan bahasa) dan keterampilan berbahasa, yang membuat saya juga banyak belajar dan meneliti tentang pendekatan, metode, dan teknik dalam mengajarkan menulis. Maka saya pun mengemas writing prompts menjadi aktivitas-aktivitas yang digunakan dalam proses belajar menulis. Belajar harus menjadi bermakna melalui aktivitas-aktivitas tersebut. Kewajiban saya adalah mengajak peserta workshop ini bermain-main dengan gugusan kata, rasa, dan pikirannya. Mereka tidak perlu menghapalkan teori-teorinya, tetapi menikmati aktivitas menulis dengan berbagai writing prompts tersebut!

(to be continued)

Yogyakarta, 22 Februari 2019.

6 comments:

  1. Ada beberapa kata yang naskah aslinya sudah dicetak miring karena berbahasa Inggris, tetapi tidak tercetak miring dalam teks di blog ini....
    Ada technical problem ya dalam meng-upload?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya Bu, technical issue. Sdh sy perbaiki pagi ini. Mhn dicek lagi. Trims koreksinya.

      Delete
    2. Terimakasih, mas untuk perbaikannya. Kalo diperbaiki satu persatu, jadi tambahan kerjaan ya mas? Jadi mungkin next time lebih baik saya kasih tanda petik saja untuk kata-kata asing, supaya gak jadi kerjaan tambahannya mas Rohmat untuk memiringkan.
      Sekedar tambahan aja, kalau sudah dikasih tanda petik karena itu bahasa asing, gak perlu dimiringkan lagi, karena jadi double-standard.

      Delete