Wednesday, February 6, 2019

Pak Marsono dan Pak Lazim


---Rohmat Sulistya 

Sesungguhnya saya sedang galau. Sejak saat itu saya memang sering galau dan sedih, entah apa penyebabnya. Yang jelas bukan pre menstruation syndrome. “Cobaanmu memang berat, tapi harus kuat”. Begitulah hati saya kira-kira mencoba membesarkan.

Untuk menepis rasa galau, saya menulis saja.

Sejak saat itu, rutinitas hidup jadi berubah total. Bangun setengah empat pagi, mengerjakan banyak hal dirumah sampai mengantarkan anak ke sekolah dilanjut berangkat ke kantor. Sering sekali, sebelum jam tujuh saya sudah sampai di kantor. Ini mungkin sisi baik dari perubahan rutinitas saya. Pekerjaan di rumah selesai, sampai di kantor tidak terlambat.

Pagi ini.

Karena waktu masih pagi, saya berkesempatan melakukan beberapa hal sebelum masuk ruang kerja. Pagi ini saya mampir di masjid kantor, masjid warna hijau yang cukup megah dan nyaman untuk transit di pagi hari. Tahun-tahun lalu saya sering bersua dengan beberapa senior yang sama-sama transit sambal menunggu jam delapan. Pak Marsono dan Pak Lazim (alm) adalah beberapa teman yang saat itu sering berjumpa.
Dan, posisi saat ini saya berada tepat pada posisi Pak Marsono sering sholat di pagi hari. Di barisan depan ujung kanan. Mungkin banyak yang tidak tahu, kalau beliaunya rajin transit di masjid pada tahun-tahun akhir mengabdi.

“Sebaik-baik saya, lebih baik orang lain. Seburuk-buruk orang lain, lebih buruk saya”. Demikian nasihat dari Derry Sulaiman, mantan gitaris band trashmetal yang sekarang berada di jalan dakwah. Dan dengan ungakapan inilah pasti Pak Marsono jauh lebih baik dari saya. Saya beberapa kali berkesempatan tugas dengan beliaunya di Aceh. Mungkin sekitar 3 kali, saya tugas bersama beliau. Satu kamar hotel pula. Dan tiada yang terlintas, kecuali kebaikan-kebaikan dan kesederhanaan. Dan, saat itu saya merasa beliau egaliter juga. Setiap manusia pasti punya kelebihan dan kekurangan; dan itulah uniknya. Dan kadang kita baru merasakan sesuatu kebaikan dari seseorang ketika kita dekat sekali, atau bahkan terpisah sekali.

Di Aceh, biasanya kita pengin mencoba sesuatu yang khas. Sore-sore habis Maghrib atau Isya, --saya agak lupa—kita mencari makan malam di sekitar hotel di Banda Aceh, tidak begitu jauh dari Masjid Raya. Kita jalan menyusuri jalanan yang cukup banyak menyajikan menu-menu khas Aceh. Tapi, pada akhirnya kita makan di pecel lele Lamongan, memesan ayam goreng. It’s ok. Itulah mungkin kesederhanaan, dan saya enjoy saja karena saya suka dengan ayam penyet lamongan. Di Banda Aceh kita juga lebih sering naik becak motor langganan Pak Mar. Walaupun sebentar, beliau sudah punya becak langganan dengan pengemudi berjaket lusuh berbau keringat. Dan saking setianya Pak Mar tidak berganti-ganti. Dengan tukang becak…ha..ha.. Ya mungkin itu juga wujud kesederhanaan, dan berpikir simple.

Pak Lazim, juga tidak kalah baiknya. Beliau orang yang paling ramah dan egaliter di kantor ini. Dia orang yang lebih dulu menyapa sebelum saya menyapa. Padahal beliau senior di kantor. Walaupun saya belum pernah tugas bersama dan mungkin jarang ketemu pada saat itu, tetapi keramahan dan senyuman adalah icon beliau. Insya Allah, Allah memberi tempat mulia pada beliau, sebuah tempat bagi orang-orang sholeh.

Semoga saya dan kita-kita bisa meneladani kebaikan-kebaikan teman-teman kita.  


3 comments:

  1. Ingatan dan kesan akan masa lampau menjadi salah satu inspirasi yang kuat dalam menulis.
    Keduanya berdiam dalam ruang kesadaran diri kita, yang kemudian bangkit dan hidup melalui tulisan...

    ReplyDelete
  2. Selamat dan sukses selalu Mbak Rin...

    ReplyDelete