---Purwadi
Saat
itu aku tidak ingat berapa waktu yang digunakan untuk latihan yang pertama. Saya
merasakan teman-teman senang dan bangga bisa menulis walaupun hanya satu atau
dua kalimat. Kebanggaan teman-teman itu bisa terlihat dari keinginannya untuk
membacakan tulisan yang telah dihasilkan. Raut muka mereka ceria-ceria. Saya
melirik salah satu teman, terlihat senyum-senyum sendiri, mungkin karena
bangganya telah bisa menulis, atau mungkin juga karena tulisannya dirasakan
lucu dan aneh.
Oke
teman-teman, sekarang tugas yang kedua. Pak Eko memberikan instruksinya lagi. Silahkan
kertasnya dibalik, dan di beri angka dua. Akan saya tampilkan gambar di layar,
silahkan menulis berdasarkan gambar itu. Dan seperti tadi, jangan memperdulikan
aturan penulisan. Pokoknya apapun yang dirasakan dan dipikirkan silahkan
ditulis. Siap!!! Tanya Pak Eko, yang sebenarnya adalah memberi perintah agar
peserta siap. Pak Eko kemudian menuju laptopnya, dan uthak-uthik mencari
tayangan gambarnya. Byar... di layar tampil gambar. Tapi bagiku itu bukan
gambar, karena tidak membentuk sesuatu apapun. Yang terlihat di layar adalah
garis berbentuk kotak, di dalamnya ada uwel-uwelan warna merah. Disampingnya
ada garis berjumlah empat, berwarna biru, dan tebal-tebal. Di bawahnya lagi ada
titik-titik yang penempatannya tidak beraturan, dan coretan-coretan yang tidak aku pahami maknanya.
Oke,
silahkan tulis. Empat menit ya, kata Pak Eko. Akupun menulis. Sesuai instruksi, aku hanya
menuliskan yang kulihat di layar. Tepatnya hanya mendiskripsikan apa yang ada di
layar, dan jelas tidak semua bisa tertulis. Cukup, kata Pak Eko. siapa yang
ingin membacakan? Tanya Pak Eko kepada peserta. Hampir semua tunjuk jari. Satu
persatu teman-teman membacakan hasil tulisannya. Ada Pak Cahyo, Pak Muji, Bu
Ratmi, Bu Wiwin, Bu Tri Suerni. Semua membacakan. Pak Bambang tunjuk jari akan
membaca, tetapi tidak boleh oleh Pak Eko, karena beliau tidak menulis, tapi
mengetik.
Setelah
semua membacakan, Pak Eko memberi komentar. Kira-kira mudah mana, yang
menggunakan lagu atau yang dengan gambar? Tanya Pak Eko. Bu Ratmi menjawab
bahwa mudah yang dengan gambar, karena tinggal menulis saja apa yang
dilihatnya. Betul, jawab Pak Eko. Karena yang lagu tadi tidak tahu maknanya, dan
tidak ada gambaran apapun, sedangkan yang dengan gambar, ada sesuatu yang akan
dijelaskan, sehingga lebih mudah untuk menuliskan. Tetapi teman-teman banyak
yang terjebak di sini. Lihat ini, Pak Eko menampilkan tayangan di layar,
kemudian membacakannya. Dalam menulis, orang sering terjebak untuk menjelaskan,
menerangkan, atau memberitahukan. Kata Pak Eko sambil menunjuk tulisan di
layar. Padahal, seharusnya teman-teman tidak menjelaskan gambar ini, tetapi
menulis apa imajinasi teman-teman setelah melihat gambar ini. Dalam hati aku
berkata, ooo... itu to maksudnya. Berarti saya salah total. Karena yang saya
tulis hanya menceritakan gambar itu. Ada gambar benang uwel-uwelan, dan garis
empat tebal. Ternyata saya hanya menulis bagian kulitnya saja, atau apa yang
terlihat. Jadi malu sendiri saya.
Tahapan
yang kedua ini, yaitu menulis berdasarkan tayangan gambar, ternyata bukan lebih
mudah dari sebelumnya, yaitu dengan mendengarkan lagu. Karena sebenarnya yang
diinginkan adalah menulis dengan menguraikan imajinasi masing-masing, berdasarkan
gambar yang ditampilkan Pak Eko pada layar. Setelah aku membaca tulisan
teman-teman di Vidyasana yang di unggah Mas Rohmad, setahuku, yang menulis
dalam tahapan kedua ini adalah Pak Fajar dan Pak Cahyo. Pak Fajar berjudul
Garis dan Bidang, dan Pak Cahyo berjudul Hidup itu Penuh Warna.
Dengan
melihat gambar yang ditampilkan Pak Eko, pak Fajar berimajinasi bahwa, ternyata
warna dalam kehidupan ini, atau keaneka ragaman permasalahan hidup, hanyalah berawal dari sebuah titik. Oleh
karena itu, dalam menyelesaikan masalah tersebut, harus fokus memandang pada
satu titik yang menjadi penyebabnya. Dalam ajaran orang-orang sufi, menurut
saya, yang ditulis Pak Fajar ini sudah pada tahapan Hakikat.
Mas
Cahyo, dengan tulisannya Hidup Penuh Warna, sudah lebih
mendalam lagi. Dengan melihat gambar yang ditampilkan Pak Eko, imajinasi Mas
Cahyo langsung melambung tinggi dan mendalam. Dalam diri seseorang penuh warna,
dalam keluarga penuh warna, dalam bermasyarakat penuh warna, dan kita hidup di
dunia ini penuh warna, yaitu warna berbagai macam persoalan kehidupan, yang
setiap orang pasti berbeda-beda. Hebat. Pemikiran ini sudah termasuk tahapan
Makrifat. Sedangkan saya, karena hanya menulis apa adanya, tentang garis, warna
dan titik, berarti baru pada di tingkatan Syariat. Urutan tahapan di ajaran tassawuf adalah
syariat, tarikat, hakikat, dan yang tertinggi adalah Makrifat. Jadi saya
menulis ini baru di level pertama, yaitu syariat.
Studio
Pedalangan, 20 Pebruari 2019.
Purwadi
buah dari berpikir terhadap fenomena
ReplyDeleteBahkan yang syariat pun indah untuk dituliskan dan mampu mengaktifkan imajinasi hingga ke makrifat. Sip dan ditunggu lanjutannya.
ReplyDeleteLanjut terus mas Pur....
ReplyDeleteSip...pokoknya lanjut terus mas Purwadi....
ReplyDeleteTulisan mas Purwadi ini mencerminkan hasil dari kegiatan berpikir tentang berpikir.
ReplyDeleteLuar biasa, metakognitif!
Terimakasih Mbak. Sekedar latihan Mbak. Mrico kecut sak uni-unine. Komen mbak rin terlalu hiperbola. Hehehe...
DeleteHaha...mas Purwadi ini. Enggaklah, itu bukan komentar hiperbola, tapi natural lho...
DeleteSaya suka tulisan2 semacam ini, merekam dan bisa memotret kembali apa yang dialami sebagai kegiatan reflektif, menghubungkan dengan pengetahuan yang sudah ada, memikirkannya, trus menuliskannya sebagai wujud kesadaran diri...