Wednesday, February 20, 2019

SYARIAT, HAKIKAT, DAN MAKRIFAT


---Purwadi
Saat itu aku tidak ingat berapa waktu yang digunakan untuk latihan yang pertama. Saya merasakan teman-teman senang dan bangga bisa menulis walaupun hanya satu atau dua kalimat. Kebanggaan teman-teman itu bisa terlihat dari keinginannya untuk membacakan tulisan yang telah dihasilkan. Raut muka mereka ceria-ceria. Saya melirik salah satu teman, terlihat senyum-senyum sendiri, mungkin karena bangganya telah bisa menulis, atau mungkin juga karena tulisannya dirasakan lucu dan aneh.
Oke teman-teman, sekarang tugas yang kedua. Pak Eko memberikan instruksinya lagi. Silahkan kertasnya dibalik, dan di beri angka dua. Akan saya tampilkan gambar di layar, silahkan menulis berdasarkan gambar itu. Dan seperti tadi, jangan memperdulikan aturan penulisan. Pokoknya apapun yang dirasakan dan dipikirkan silahkan ditulis. Siap!!! Tanya Pak Eko, yang sebenarnya adalah memberi perintah agar peserta siap. Pak Eko kemudian menuju laptopnya, dan uthak-uthik mencari tayangan gambarnya. Byar... di layar tampil gambar. Tapi bagiku itu bukan gambar, karena tidak membentuk sesuatu apapun. Yang terlihat di layar adalah garis berbentuk kotak, di dalamnya ada uwel-uwelan warna merah. Disampingnya ada garis berjumlah empat, berwarna biru, dan tebal-tebal. Di bawahnya lagi ada titik-titik yang penempatannya tidak beraturan, dan coretan-coretan yang tidak  aku pahami maknanya.
Oke, silahkan tulis. Empat menit ya, kata Pak Eko. Akupun  menulis. Sesuai instruksi, aku hanya menuliskan yang kulihat di layar. Tepatnya hanya mendiskripsikan apa yang ada di layar, dan jelas tidak semua bisa tertulis. Cukup, kata Pak Eko. siapa yang ingin membacakan? Tanya Pak Eko kepada peserta. Hampir semua tunjuk jari. Satu persatu teman-teman membacakan hasil tulisannya. Ada Pak Cahyo, Pak Muji, Bu Ratmi, Bu Wiwin, Bu Tri Suerni. Semua membacakan. Pak Bambang tunjuk jari akan membaca, tetapi tidak boleh oleh Pak Eko, karena beliau tidak menulis, tapi mengetik.
Setelah semua membacakan, Pak Eko memberi komentar. Kira-kira mudah mana, yang menggunakan lagu atau yang dengan gambar? Tanya Pak Eko. Bu Ratmi menjawab bahwa mudah yang dengan gambar, karena tinggal menulis saja apa yang dilihatnya. Betul, jawab Pak Eko. Karena yang lagu tadi tidak tahu maknanya, dan tidak ada gambaran apapun, sedangkan yang dengan gambar, ada sesuatu yang akan dijelaskan, sehingga lebih mudah untuk menuliskan. Tetapi teman-teman banyak yang terjebak di sini. Lihat ini, Pak Eko menampilkan tayangan di layar, kemudian membacakannya. Dalam menulis, orang sering terjebak untuk menjelaskan, menerangkan, atau memberitahukan. Kata Pak Eko sambil menunjuk tulisan di layar. Padahal, seharusnya teman-teman tidak menjelaskan gambar ini, tetapi menulis apa imajinasi teman-teman setelah melihat gambar ini. Dalam hati aku berkata, ooo... itu to maksudnya. Berarti saya salah total. Karena yang saya tulis hanya menceritakan gambar itu. Ada gambar benang uwel-uwelan, dan garis empat tebal. Ternyata saya hanya menulis bagian kulitnya saja, atau apa yang terlihat. Jadi malu sendiri saya.
Tahapan yang kedua ini, yaitu menulis berdasarkan tayangan gambar, ternyata bukan lebih mudah dari sebelumnya, yaitu dengan mendengarkan lagu. Karena sebenarnya yang diinginkan adalah menulis dengan menguraikan imajinasi masing-masing, berdasarkan gambar yang ditampilkan Pak Eko pada layar. Setelah aku membaca tulisan teman-teman di Vidyasana yang di unggah Mas Rohmad, setahuku, yang menulis dalam tahapan kedua ini adalah Pak Fajar dan Pak Cahyo. Pak Fajar berjudul Garis dan Bidang, dan Pak Cahyo berjudul Hidup itu Penuh Warna.
Dengan melihat gambar yang ditampilkan Pak Eko, pak Fajar berimajinasi bahwa, ternyata warna dalam kehidupan ini, atau keaneka ragaman permasalahan hidup,  hanyalah berawal dari sebuah titik. Oleh karena itu, dalam menyelesaikan masalah tersebut, harus fokus memandang pada satu titik yang menjadi penyebabnya. Dalam ajaran orang-orang sufi, menurut saya, yang ditulis Pak Fajar ini sudah pada tahapan Hakikat.
Mas Cahyo, dengan tulisannya Hidup Penuh Warna, sudah lebih mendalam lagi. Dengan melihat gambar yang ditampilkan Pak Eko, imajinasi Mas Cahyo langsung melambung tinggi dan mendalam. Dalam diri seseorang penuh warna, dalam keluarga penuh warna, dalam bermasyarakat penuh warna, dan kita hidup di dunia ini penuh warna, yaitu warna berbagai macam persoalan kehidupan, yang setiap orang pasti berbeda-beda. Hebat. Pemikiran ini sudah termasuk tahapan Makrifat. Sedangkan saya, karena hanya menulis apa adanya, tentang garis, warna dan titik, berarti baru pada di tingkatan Syariat.    Urutan tahapan di ajaran tassawuf adalah syariat, tarikat, hakikat, dan yang tertinggi adalah Makrifat. Jadi saya menulis ini baru di level pertama, yaitu syariat.

Studio Pedalangan, 20 Pebruari 2019.
Purwadi

7 comments:

  1. buah dari berpikir terhadap fenomena

    ReplyDelete
  2. Bahkan yang syariat pun indah untuk dituliskan dan mampu mengaktifkan imajinasi hingga ke makrifat. Sip dan ditunggu lanjutannya.

    ReplyDelete
  3. Sip...pokoknya lanjut terus mas Purwadi....

    ReplyDelete
  4. Tulisan mas Purwadi ini mencerminkan hasil dari kegiatan berpikir tentang berpikir.
    Luar biasa, metakognitif!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih Mbak. Sekedar latihan Mbak. Mrico kecut sak uni-unine. Komen mbak rin terlalu hiperbola. Hehehe...

      Delete
    2. Haha...mas Purwadi ini. Enggaklah, itu bukan komentar hiperbola, tapi natural lho...
      Saya suka tulisan2 semacam ini, merekam dan bisa memotret kembali apa yang dialami sebagai kegiatan reflektif, menghubungkan dengan pengetahuan yang sudah ada, memikirkannya, trus menuliskannya sebagai wujud kesadaran diri...

      Delete