---Winda Unika
[penulis tamu, seri Workshop Menulis Bebas]
Pak Marta tak pernah mengeluh dengan hidup yang dijalaninya. Usianya memang tak muda
lagi, dia pun kini hidup sendiri di sebuah rumah yang sudah tua dan usang. Istri pak Marta sudah meninggal dua tahun yang lalu karena sakit parah. Tetapi semua itu tidak membuat dia menyerah dan putus asa. Dia terus bersyukur dan tak pernah mau bergantung kepada anak-anak nya yang sudah mempunyai keluarga masing-masing. Dia lebih memilih hidup sendiri dan membuat mainan untuk anak-anak yang terbuat dari bambu untuk dijual.
Terik matahari yang membakar tubuh tak menghalangi pak Marta untuk mencari sesuap nasi demi melanjutkan hidupnya. Dia terus berjalan menyusuri gang-gang kecil dan menawarkan dagangannya kepada anak-anak. Dia berjualan mainan bambu yang dibuat sendiri dengan tangannya dengan senang dan ceria. Tak jarang dia bertingkah lucu layaknya anak kecil saat mempraktekkan mainan tersebut kepada anak-anak sehingga mereka tertawa dengan gembira. Sesekali pak marta berhenti untuk melepaskan dahaga dan meminum sebotol air yang sudah di persiapkannya dari rumah lalu melanjutkan perjalanannya menuju tempat-tempat lain yang masih sanggup ditempuhnya.
Di penghujung hari, pak Marta duduk di kursi goyang di teras rumah memandangi langit. Ia
melepaskan penat dan menikmati kesendiriannya. Secangkir kopi dan alunan lagu-lagu nostalgia menemani. Ketika langit mulai gelap, ia terlelap. Daun-daun gugur ditiup angin, dingin dan kencang.
Pengembangan cerita dengan stimulan paragraf terakhir.
ReplyDeleteTerimakasih!