---Rin
Surtantini
[seri Workshop Menulis Bebas]
Seorang anak laki-laki berambut lurus
menatapku dengan pandang penuh harap ketika sepeda motor yang aku kendarai
berhenti di sebuah perempatan. Terik matahari kurasakan memperlama lampu
lalulintas yang sedang berwarna merah. Di tangan anak laki-laki itu ada
beberapa lembar koran yang belum terjual. Ia tidak menawarkan korannya
kepadaku. Mungkin ia tahu aku tak berminat sama sekali membeli koran. Dan itu
benar adanya, karena setiap pagi pak Koran selalu mengantarkan “Kompas” yang menjadi
langgananku. Jadi untuk apa aku membeli koran lain?
Hari makin siang, menjelang pukul duabelas.
Anak ini masih saja menatapku. Tiba-tiba aku disergap rasa yang tidak kupahami.
Baiklah, kuisyaratkan kepadanya bahwa aku ingin membeli korannya. Dia berjalan
mendekat. Kukatakan aku ingin membeli “Kedaulatan Rakyat” dan “Tribune Jogja”.
Selembar uang sepuluh ribuan kusodorkan kepadanya. Ia mencari kembaliannya di
antara segenggam uang kertas yang disimpan di saku celananya.
“Ambil saja,” kataku.
Sepasang matanya yang tadi penuh harap
menatapku kembali. Aku tak bertanya apa pun kepadanya. Sebelum ia sempat
mengucapkan terimakasih, lampu hijau menyala. Sempat kulihat ia melangkah
mundur menghindari lajunya kendaraan lain, dan aku pun berlalu. Laju motor
kuperlambat, karena aku disergap rasa haru yang menusuk. Anak laki-laki penjual
koran tadi seusia dengan anakku. Apakah ia bersekolah seperti anakku? Jika ia
bersekolah, apakah ia memang harus menjual koran sepulang dari sekolah? Jika ia
putus sekolah, apakah ia sesungguhnya tidak menginginkan itu terjadi? Apakah ia
bisa jajan dan membeli makanan layak seperti anakku? Oh, mengapa tadi hanya
sepuluh ribu yang aku berikan kepadanya? Mengapa aku begitu kikir padahal aku
dapat melakukan lebih dari itu untuknya?
Bayangan bajunya yang lusuh dan mata
kanak-kanaknya yang lugu mengganggu hatiku. Aku tak mengenalnya. Entah sampai
kapan ia harus selalu menatap penuh harap kepada setiap orang yang berhenti di
perempatan jalan selagi lampu lalulintas berwarna merah. Entah berapa jumlah
koran yang dapat dijualnya setiap hari. Entah berapa banyak orang yang tak
peduli seperti aku ini…
Studio
Teater
14
Februari 2019.
Ada juga penjusl koran yg renta di perempatan demangan, di bawah pohon...nasibnya tak jauh beda....
ReplyDeleteHarapan, adalah milik mereka yang dipelihara dengan penuh kesabaran.
ReplyDelete