Friday, February 15, 2019

Pada Teriknya Siang


---Rin Surtantini
[seri Workshop Menulis Bebas] 

Seorang anak laki-laki berambut lurus menatapku dengan pandang penuh harap ketika sepeda motor yang aku kendarai berhenti di sebuah perempatan. Terik matahari kurasakan memperlama lampu lalulintas yang sedang berwarna merah. Di tangan anak laki-laki itu ada beberapa lembar koran yang belum terjual. Ia tidak menawarkan korannya kepadaku. Mungkin ia tahu aku tak berminat sama sekali membeli koran. Dan itu benar adanya, karena setiap pagi pak Koran selalu mengantarkan “Kompas” yang menjadi langgananku. Jadi untuk apa aku membeli koran lain?

Hari makin siang, menjelang pukul duabelas. Anak ini masih saja menatapku. Tiba-tiba aku disergap rasa yang tidak kupahami. Baiklah, kuisyaratkan kepadanya bahwa aku ingin membeli korannya. Dia berjalan mendekat. Kukatakan aku ingin membeli “Kedaulatan Rakyat” dan “Tribune Jogja”. Selembar uang sepuluh ribuan kusodorkan kepadanya. Ia mencari kembaliannya di antara segenggam uang kertas yang disimpan di saku celananya.
“Ambil saja,” kataku.

Sepasang matanya yang tadi penuh harap menatapku kembali. Aku tak bertanya apa pun kepadanya. Sebelum ia sempat mengucapkan terimakasih, lampu hijau menyala. Sempat kulihat ia melangkah mundur menghindari lajunya kendaraan lain, dan aku pun berlalu. Laju motor kuperlambat, karena aku disergap rasa haru yang menusuk. Anak laki-laki penjual koran tadi seusia dengan anakku. Apakah ia bersekolah seperti anakku? Jika ia bersekolah, apakah ia memang harus menjual koran sepulang dari sekolah? Jika ia putus sekolah, apakah ia sesungguhnya tidak menginginkan itu terjadi? Apakah ia bisa jajan dan membeli makanan layak seperti anakku? Oh, mengapa tadi hanya sepuluh ribu yang aku berikan kepadanya? Mengapa aku begitu kikir padahal aku dapat melakukan lebih dari itu untuknya?

Bayangan bajunya yang lusuh dan mata kanak-kanaknya yang lugu mengganggu hatiku. Aku tak mengenalnya. Entah sampai kapan ia harus selalu menatap penuh harap kepada setiap orang yang berhenti di perempatan jalan selagi lampu lalulintas berwarna merah. Entah berapa jumlah koran yang dapat dijualnya setiap hari. Entah berapa banyak orang yang tak peduli seperti aku ini…


Studio Teater
14 Februari 2019.

2 comments:

  1. Ada juga penjusl koran yg renta di perempatan demangan, di bawah pohon...nasibnya tak jauh beda....

    ReplyDelete
  2. Harapan, adalah milik mereka yang dipelihara dengan penuh kesabaran.

    ReplyDelete