Thursday, February 14, 2019

Tio Ciu

--Heru Subagyo
[seri Workshop Menulis Bebas]

Tio hidup hanya dengan neneknya di pondok yang sangat sederhana. Pondok tersebut jauh dari rumah-rumah yang lain. Tanah yang ditempati pondok tersebut juga tanah adat yang digunakan untuk warga masyarakat serta pondoknya hanya bantuan dari warga masyarakat dengan cara kerja bakti. Dengan bertempat jauh dari rumah-rumah warga masyarakat yang lain, nenek tersebut menemukan keheningan lingkungan. Jauh dari polusi, baik polusi suara maupun polusi udara. Nenek tersebut juga dengan bebas menanam bermacam-macam tanaman di sekitar pondoknya.

Seperti biasa, setiap pagi nenek tersebut jalan pagi di sekitar pondoknya dengan embun pagi masih menempel di rerumputan. Ada juga bunyi air pada sungai kecil yang menampar bebatuan yang menimbulkan bunyi gemicik. Terkadang juga masih terdengar bunyi serangga yang tidak diketahui, apakah itu bunyi kakinya, atau bunyi sayapnya yang bergesekan. Hidup damai dan tenang tersebut sedikit terusik dengan ditemukan bayi yang terbungkus kain Panjang di bawah pohon mangga di pojok halaman rumah nenek tersebut.

Tanpa pikir panjang, nenek tersebut mengambil bungkusan bayi yang sudah mulai memucat tersebut dan dibawah masuk ke dalam pondok. Bungkusan bayi hanya ditaruh di atas amben terus ditinggal ke rumah kepala dukuh. Nenek berjalan sempoyongan karena takut dengan yang ditemukan. Menembus dinginnya hawa sawah serta angin yang berhembus sedikit kencang. Pikiran berkecamuk bagaimana dia melaporkan bungkusan bayi tersebut, dia takut dituduh yang tidak-tidak oleh warga masyarakat dan pak dukuh. Dia takut juga kalau nanti ditanya oleh polisi karena kasus bungkusan bayi tersebut. Dalam kegelisahan dan kecamuk pikirannya, nenek tersebut sampai di rumah pak dukuh. Dengan terbata-bata dia menceritakan kejadian yang dialamai pada pagi itu.

Pak dukuh langsung mengumpulkan warga masyarakat dan bercerita masalah yang dihadapi oleh nenek. Warga masyarakat saling bertanya-tanya, anak siapa kira-kira yang ditaruh di bawah pohon mangga di halaman pondok nenek. Suara bergemuruh karena karena suara-suara yang tidak jelas dari memulut-mulut warga. Gemuruh suara tersebut semakin kencang sampai pak dukuh menghentikan dengan berdehem. Pak dukuh bertanya, “siapa yang merasa kehilangan anggota keluarga”, kemudian tidak ada yang merespon dengan pertanyaan tersebut. Pak dukuh kemudian bertanya lagi, “bagaimana baiknya anak tersebut?”. Semua warga hanya saling melihat satu dengan yang lain, bingung, tidak juga muncul kata-kata dan terdiam bengong. Pak dukuh bertanya sekali lagi, “bagaimana baiknya anak tersebut? Dan pertanyaan itu diulang lagi dan lagi. Sampai nenek tersebut angkat bicara, “kalau boleh dan diijinkan oleh warga semua, boleh kah anak tersebut saya rawat sampai ada yang mencari anggota keluarganya?. Semua warga setuju dan bubar.

Tio, itulah nama yang diberikan oleh nenek pada bayi tersebut. Tio hidup dipinggir hutan hanya dengan neneknya. Warga masyaraat sekitar pondok sudah mengetahui bahwa Tio bukanlah cucu dari nenek tersebut, tapi bagi orang yang tidak mengetahui atau warga baru di lingkungan tersebut pasti bertanya-tanya siapakah Tio itu sebenarnya. Kalau dilihat sekilas pasti orang bertanya-tanya, siapakah sebenarnya Tio tersebut. Struktur wajah Tio dan nenek sangat berbeda, garis mata Tio dan neneknya juga sangat berbeda, dan Tio lebih banyak diam seolah tidak mengerti dengan bahasa di lingkungan tersebut. Ini adalah aneh, karena Tio sejak bayi ada di lingkungan tersebut. Kalau dipiir secara logika pastilah Tio menguasai bahasa yang digunakan oleh masyarakat sekitar tersebut.

Tio tidak senang bersosialisasi dengan teman-temannya di sekitar pondok nenek tersebut, hal ini mungkin karena pondok nenek itu jauh dari rumah-rumah yang lain. Kebiasaan Tio sehari-hari adalah hidup menyendiri serta pergi ke hutan belakang rumah. Ada satu kebiasaan Tio ketika sedang menyendiri di hutan belakang pondok nenek, yaitu memanjat pohon mangga di hutan yang berbuah asam. Dia memanjat dan tiduran pada salah satu dahan yang cukup besar. Sekali waktu dia memetik buah mangga yang asam tersebut untuk dimakan. Tapi yang palling sering adalah untuk melempar burung-burung yang menemaninya.

Ketika ditanya atau disama oleh orang -orang yang lewat pohon mangga tersebut, dia hanya bilang “Biarkan”....”Biarkan”...”bebas Saja”..atau bahkan “Silahkan”. Terkadang pertanyaan dan jawaban yang diberikan tidak nyambung. Dia hanya patuh pada neneknya.

Masyarakat semakin lama semakin bertanya-tanya, karena perbedaan warna kulit antara nenek dan Tio. Perbedaan garis wajah antara Tio dan neneknya. Perbedaan garis mata antara Tio dan neneknya. Pertanyaan-pertanyaan itu dilakukan secara terang-terangan atau sembunyi-sembbunyi oleh warga masyarakat, sementara nenek bungkam tanpa ada informasi yang jelas.

2 comments:

  1. Stimulan berupa gambar wajah seorang anak laki-laki menghasilkan cerita Tio ini.
    Terimakasih!

    ReplyDelete
  2. Ide awal dan akhir cerita mesti dipertemukan

    ReplyDelete