(Bagian kedua)
---Rin Surtantini
Sekitar pukul 10.30, peserta saya ajak memasuki kegiatan keempat. Masih bersemangat, apalagi saya.
#4
Kegiatan keempat: Melakukan alih wahana
Alih wahana merupakan pengubahan dari satu medium ke medium lain untuk mengungkapkan gagasan, perasaan, pesan, suasana. Kreativitas dan pemikiran kritis berperan pada kegiatan ini. Kali ini ada sebuah puisi yang disajikan:
Selesailah
In memoriam: RY
Ketika sebuah Jumat pagi bulan September
mengirimkan anginnya di sela guguran bisik iba,
siapakah yang dapat menunda pastinya perjalananmu
di balik bongkahan terlanjurnya banyak peristiwa?
Semua terkubur dalam gundukan lengkung tanda tanya.
Di angkasa awan menggelantung putih menguapkan
panasnya bumi yang tak tertahan atas segala bentuk kesedihan,
kegundahan, kegelisahan, kepasrahan yang merambat.
Tubuhmu membujur sunyi dalam bayangan yang tak lagi
sempat meluapkan cerita yang berdiam dalam hatimu.
Oh betapa banyak yang harus kau rajut dalam kegaduhan.
Tahun-tahun yang berlalu, benang-benang yang kau urai.
Selesailah sudah, selesailah semua, setidaknya untukmu.
Bawalah seikat bunga doa yang kubisikkan perlahan.
Dalam diammu kini, kuharap pembebasan dapat kau genggam.
Yogyakarta, 29 September 2017
Peserta diminta untuk membaca puisi tersebut dan mencoba untuk meresapi isinya, kemudian mengalih wahanakannya ke dalam bentuk uraian (prosa) dengan menggunakan kata-katanya sendiri. Tugas ini agak sulit, itulah sebabnya saya menggunakan puisi yang sederhana, yang mudah untuk diinterpretasi.
Apa pelajaran yang diperoleh dari kegiatan alih wahana ini?
”Parafrasa menjadi salah satu kemampuan yang harus dipelajari ketika mengungkap-kan gagasan orang lain menggunakan kata-kata kita sendiri”.
#5
Puncak kegiatan: Menulis reflektif dalam konteks profesi widyaiswara
Diberikan beberapa kata yang menunjukkan perasaan yang mengandung nuansa positif (bahagia, puas, bangga, antusias, nyaman) dan nuansa negatif (sedih, marah, jengkel, kecewa, gelisah, tersinggung), peserta diminta untuk membuat kalimat yang membuat mereka berpikir tentang dirinya sendiri, yaitu apa yang membuat mereka mengalami salah satu perasaan bernuansa positif atau negatif tersebut. Pola kalimatnya adalah:
Saya merasa …… ketika/jika ……
Yang membuat saya …… adalah …….
Kalimat-kalimat peserta mengikuti pola di atas cukup menarik, karena peserta membangun kesadaran diri sendiri tentang siapa mereka dikaitkan dengan perasaan-perasaan yang pernah dialaminya. Ada yang menuliskan, “Saya merasa jengkel jika saya pulang ke rumah dan mendapati rumah saya berantakan”, “Yang membuat saya merasa bangga adalah anak-anak saya bisa sukses mencapai cita-citanya”, dan seterusnya.
Kegiatan menelisik perasaan itu dilanjutkan dengan berlatih menulis reflektif dalam konteks profesi peserta sebagai widyaiswara. Menulis reflektif merupakan respon personal terhadap pengalaman, pendapat, peristiwa, situasi, kondisi, informasi baru, pemikiran atau perasaan yang dialami. Ini merupakan salah satu cara untuk mencapai pemahaman terhadap apa yang dipelajari, didengar, diamati, disentuh, dirasakan. Menulis reflektif bersifat subyektif, tidak formal, dan dapat menggunakan kata ganti “saya”, “aku”, “kita”, akan tetapi tetap meminimalkan penggunaan istilah-istilah non-baku atau bahasa slang.
Sebagai akhir kegiatan, peserta diminta untuk melakukan refleksi terhadap pengalamannya dari balik dinding kelas selama ini, berkaitan dengan profesinya sebagai widyaiswara (tenaga pengajar). Mengapa suara-suara pengajar (guru) atau teachers’ voices dari balik dinding kelas menjadi penting? Freeman (1996) mengatakan bahwa para guru (pengajar) sangat tahu cerita-cerita yang terjadi di dalam kelas-kelas mereka, tetapi mereka biasanya tidak tahu bagaimana menceritakannya karena mereka tidak pernah diminta untuk melakukannya, atau tidak pernah punya kesempatan untuk menceritakannya. Dengan demikian, menulis reflektif dapat menjadi media untuk menyediakan ruang bercerita bagi suara-suara yang tak terdengar atau tak terpublikasikan.
Apa saja yang dapat direfleksikan dan diceritakan melalui tulisan? Para pengajar dapat merefleksikan hal-hal terbaik yang pernah dialami di dalam kelas, persepsi, pengalaman-pengalaman bermakna, hal-hal yang tidak mengenakkan, memalukan, membuat sedih, puas, marah, gelisah, jengkel, gembira, membingungkan, menyulitkan, dan berbagai perasaan lain yang pernah dialami dalam konteks belajar mengajar.
Pada kegiatan puncak ini, semua peserta tetap menulis bebas atas hasil refleksinya, tetapi kali ini ada sedikit ‘panduan sederhana’ –kalau boleh dikatakan berteori, mengenai kerangka atau formatnya. Format ini bukan harga mati, tentu saja, karena jika bicara format sepertinya jadi mengikat. Menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan reflektif memiliki kerangka yang bervariasi. Menulis reflektif itu sesungguhnya mudah, paling menyenangkan, dan menyediakan ruang untuk orang belajar dari apa yang dialaminya tanpa disadarinya. Meskipun demikian, saya tetap memberikan clues sebagai bantuan kepada peserta dalam berproses memproduksi tulisan reflektif. Setidaknya, peserta dapat menuliskan aspek deskriptif, aspek interpretasi (analisis), dan aspek aksi atau outcome dari pengalaman reflektif di dalam tulisan mereka.
Pada kegiatan terakhir ini peserta boleh membuka laptopnya masing-masing, dan mulai mengetik, menuliskan salah satu pengalamannya di dalam kelas. Sampai di sini, ada yang spontan menghasilkan tulisan pada siang itu juga, ada yang membutuhkan waktu lebih untuk itu. Apa pun hasilnya, sebuah proses telah dijalani dengan tekun. Bermain dengan gugusan kata yang tak terhitung banyaknya, dengan rasa yang beragam, dan dengan pikiran yang menjadi milik setiap manusia sepenuhnya.
Gracias!
(untuk semua peserta, untuk Vidyasana, dan untuk siapa pun yang telah mendukung).
Dengan senang hati saya mau untuk berbagi dari serial menulis, jika dirasa ada manfaat yang diperoleh.
Yogyakarta, 22 Februari 2019.
Harus dilanjut.
ReplyDeleteTergantung kesepakatan atau kebutuhan, hehehe...
ReplyDeleteMas Rohmat, ini tulisan bagian kedua. Sama dengan tulisan bagian pertama, ada beberapa kata yang naskah aslinya sudah dicetak miring karena berbahasa Inggris, tapi ketika di-upload di blog ini menjadi tidak miring ya...
ReplyDeleteBsk senin sy perbaiki lagi, kmrn sabtu copy paste dan bubarlah format yg sdh bagus. Hrs diteliti satu2 lagi he he
DeleteThat's ok, mas Rohmat. Gak apa2 kok.
DeleteSeperti pesan Eko "menulis itu belajar"...jadi kegiatan tiap Kamis harus tetap berlanjut mbk Rin,supaya kita bisa belajar terus..👍
ReplyDeleteDengan senang hati pasti mas Eko dan aku mau melanjutkan, jika dirasa ada manfaat untuk proses belajar bersama kita, dan selama ada "passion" dari kita ...
Delete