Thursday, February 14, 2019
MENEMBUS BATAS
---Fajar Prasudi
Penawaran workshop menulis di Blok vidyasana bagi Widyaiswara Seni Budaya dapat mengundang berbagai respon yang baik. Informasi yang disampaikan mbak Rin dapat menuai beberapa respon positif bagi yang membacanya. Ada yang mengucapkan terima kasih untuk infonya, ada yang menyatakan kesiapannya, ada yang berharap bisa hadir, ada yang cukup membacanya saja. Mungkin ada yang mempunyai keinginan, tapi tidak merasa berdaya, mungkin ada yang berminat tapi terbentur aktivitas/kepentingan lain, mungkin ada yang tidak berminat, dan banyak kemungkinan-kemungkinan lain yang tidak mampu kita baca karena keterbatasan kita...
Kemungkinan-kemungkinan yang ada dapat saja dikatakan mempunyai keterbatasan, tetapi dapat juga dikatakan tidak terbatas, artinya keterbatasan itu sejalan dengan keterbatasan pemikiran. Bisa saja pemikiran itu berkembang entah sampai ke mana, dan bahkan dapat menjadi liar... kemungkinan-kemungkinan adalah pemikiran-pemikiran kita, artinya semua yang ada sebagai gejala yang kita tangkap, adalah pemikiran kita. “Semua berawal dari pikiran”, begitulah kira-kira rumusan singkat yang mendasar.
Jagat raya ini sangatlah luas, tidak terbatas, asumsi saya seluas itu jugalah pemikiran kita... ada istilah "Beyond the limit", "Break the limit", yang intinya mengajak kita untuk berpikir melampaui batas. Dalam konteks ini batas yang ada adalah batas khusus dalam diri kita. Bukan batas umum yang dimiliki semua manusia. ada orang difabel memiliki keterbatasan fisik, tapi mereka mampu memecahkan batas tersebut untuk bisa berlari, berenang, berkarya sebagaimana orang normal dan bahkan mungkin bisa mengalahkan orang normal. Maka secara khusus penyandang difabel tersebut sudah mampu memecahkan, mengatasi batas khusus yang mereka miliki. Para penemu juga menerapkan prinsip "break the limit" ketika menciptakan temuannya. Edison telah berpikir untuk menggantikan penerangan lilin dengan lampu listrik, Wright bersaudara membuka batas pemikirian manusia untuk bisa terbang.
Dari berbagai kemungkinan itu dapat kita tarik simpulan, bahwa batas kita sebagai manusia dan letak batas jagat raya ini hampir sama, yaitu di pikiran kita. Manusia hanya akan bertahan sebagai peradaban kompleks selama masih berpikir, dan pikiran itu juga menjadi batas kita untuk memikirkan sesuatu yang tak terbatas. Tuhan memberikan kepada kita anugerah gratis dan terbesar bagi manusia yaitu kemampuan berpikir untuk kebaikan, sebagaimana kebaikan Tuhan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia tanpa mengusik dan menganggu makhluk hidup lainnya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Terimakasih, mas Fajar, untuk tulisan ini.
ReplyDeleteTahukah, saya tidak menduga yang datang tadi pagi dengan sukarela ke workshop ini sungguh di luar perkiraan saya, cukup banyak! Berarti kemarin pikiran saya dibatasi oleh dugaan yang belum tentu benar ya...
Mengapa? Karena saya berpikir,"biasanya" tidak begitu...
OK. Saya belajar dari hal ini: sesuatu yang "biasanya" itu belum tentu terus menjadi "biasanya" selamanya.
"Respon" terhadap undangan workshop yang saya posting sehari sebelumnya juga tidak istimewa bagi saya. Saya sudah terbiasa dan harus menerima kondisi seperti ini, tak perlu gelisah seperti kegelisahan yang saya tuliskan pada tulisan perdana saya yang menyentil di blog ini...
Tak perlu juga "baper" karena keinginan berbagi dan belajar bersama tidak populer bagi banyak orang.
So, I was happy this morning, mas Fajar, because pieces of writing were produced just in 2.5 hours, and one of them is yours! Thank you.
Teruslah menstimulasi dan berbuat mbak Rin, karena itu sangat dibutuhkan...
ReplyDelete