---Rin Surtantini
Kita sering merasa wajib atau memiliki dorongan untuk menyampaikan ungkapan atau apresiasi ikut berbahagia dan bersukacita atas keberhasilan, pencapaian, kemenangan, perolehan, keunggulan, dan berbagai kesuksesan yang berhasil diraih oleh orang lain atau seseorang. Terlebih lagi jika orang ini adalah bagian dari sebuah komunitas atau “korps” di mana kita juga menjadi bagian atau anggota di dalamnya. (Menilik kamus Merriam Webster online, kata “korps” menunjuk kepada sekelompok orang yang berasosiasi bersama atau bertindak di bawah kesamaan arah; “korps” juga merupakan sekumpulan orang yang memiliki aktivitas atau bidang pekerjaan yang sama). Mengikuti pemahaman ini, maka keberhasilan yang diraih oleh salah satu anggota dari sebuah korps, tentu menjadi keberhasilan bersama seluruh anggotanya; demikian juga kegagalan atau ketidaksuksesan yang dialami oleh salah satu anggota korps, juga akan menjadi milik seluruh anggota korps. Ada nilai kolektif (collective values) atas keberhasilan seseorang yang diraih secara personal, ketika ia berkiprah di dalam sebuah korps.
Media sosial memiliki kuasa “mewajibkan” atau mendorong anggota-anggota sebuah korps
untuk menunjukkan apresiasi, rasa atau gelombang simpati atas pencapaian yang diraih oleh anggota lainnya melalui berbagai bentuknya, baik secara visual maupun verbal di dunia maya. Dalam konteks pengelolaan relasi atau hubungan sosial, ungkapan apresiasi, rasa atau gelombang simpati ini sesungguhnya memenuhi keinginan mendasar manusia sehubungan dengan kualitas diri yang dimilikinya. Keinginan mendasar manusia itu adalah agar orang lain menilai dirinya secara positif sehubungan dengan kualitas personal yang ia miliki, misalnya kemampuannya, kompetensinya, penampilannya, prestasinya, kemenangannya, kekayaannya, dan sebagainya, yang berkaitan dengan harga dirinya secara personal.
untuk menunjukkan apresiasi, rasa atau gelombang simpati atas pencapaian yang diraih oleh anggota lainnya melalui berbagai bentuknya, baik secara visual maupun verbal di dunia maya. Dalam konteks pengelolaan relasi atau hubungan sosial, ungkapan apresiasi, rasa atau gelombang simpati ini sesungguhnya memenuhi keinginan mendasar manusia sehubungan dengan kualitas diri yang dimilikinya. Keinginan mendasar manusia itu adalah agar orang lain menilai dirinya secara positif sehubungan dengan kualitas personal yang ia miliki, misalnya kemampuannya, kompetensinya, penampilannya, prestasinya, kemenangannya, kekayaannya, dan sebagainya, yang berkaitan dengan harga dirinya secara personal.
Di sisi lain, ungkapan rasa, apresiasi, atau gelombang simpati yang dipanen oleh anggota korps yang berhasil meraih kesuksesan ini juga mengukuhkan keinginan mendasar diri manusia sehubungan dengan identitas sosialnya. Keinginan mendasar itu adalah agar orang lain mengakui dan mendukung peran sosial yang dimilikinya di dalam sebuah korps, misalnya sebagai tokoh populer di dalam korps atau kelompok tersebut, sebagai anggota korps yang unggul, sebagai teman yang disegani, sebagai sosok yang menonjol, sebagai figur yang super, yang semuanya itu berkaitan dengan harga dirinya di mata publik.
Keinginan mendasar manusia baik secara personal dan sosial ini mewarnai hubungan sosial yang dikelola oleh si empunya keberhasilan di dalam sebuah korps. Satu hal yang menarik untuk diamati adalah, apakah keberhasilan atau pencapaian seseorang di dalam sebuah korps ini memang menjadi milik publik, setidaknya apakah keberhasilan yang diraihnya itu “berimbas” kepada seluruh anggota korps, bahkan jika ingin lebih luas lagi, memberikan “manfaat” kepada mereka yang ada di luar lingkaran korps? Ataukah pencapaian itu murni hanya menjadi milik si empunya keberhasilan secara individual, dan mengukuhkan eksistensi ke”diri”annya di antara anggota korps lainnya yang hanya terpana mengaguminya? Apa efek atau pengaruh yang dirasakan oleh publik, atau anggota korps lainnya? Apakah publik atau anggota korps juga kemudian meraih keberhasilan yang sama dengan si empunya keberhasilan karena si empunya keberhasilan dengan sukacita mau “berbagi” dengan yang lainnya? Ataukah si empunya keberhasilan ini hanya melaju dan terbang menikmati keberhasilannya sendiri di angkasa, ditengah riuh rendah dan gegap gempita, tepuk sorak yang ditujukan kepadanya dari anggota kelompok lainnya sebagai penonton di daratan?
Mari periksa semuanya: apakah yang telah diberikan oleh si empunya keberhasilan kepada
korps-nya atau publik ketika ia sukses dan berhasil mencapai sesuatu? Apakah ketika seseorang berhasil meraih sesuatu yang menjadi targetnya, ia tega mempertanyakan kepada publik: mengapa ia tidak mendapat posisi yang lebih baik atas kualitas personal yang dimilikinya itu?
Apakah ia tak sungkan menuntut orang lain atau publik untuk memperlakukannya secara
istimewa karena nilai dirinya yang dirasanya lebih daripada yang lain? Apakah ia merasa orang lain tidak menghargai kehebatannya itu? Apakah ia terus mempertanyakan haknya, dan lupa bahwa ia sesungguhnya punya kewajiban sosial untuk “berbagi”? Berbagi kemampuannya, berbagi kehebatannya, berbagi kepandaiannya, berbagi apa yang telah ia raih.
Mari periksa lagi: adakah nilai-nilai dan kesadaran kolektif (shared values and awareness) yang dikonstruksikan oleh sebuah korps atas keberhasilan salah satu anggotanya dalam meraih sesuatu? Bagaimanakah kesadaran kolektif ini kemudian berkembang sehubungan dengan pengelolaan hubungan sosial di dalam korps? Apakah kita bahagia dan sangat bangga atas peraihan sesuatu secara individual, tetapi abai dan lalai terhadap realita bahwa kita adalah bagian dari sebuah korps, bahwa kita berhasil adalah juga karena fungsi korps?
Maka dari itu, kita harus maju dan berkembang secara bersama-sama, bukan sendirian. Maka dari itu pula, ungkapan rasa atau apresiasi ikut berbahagia dan bersukacita atas keberhasilan atau pencapaian seseorang menjadi layak diberikan kepadanya justru karena ada “manfaat”, “imbas”, “pengaruh baik” yang ia berikan kepada anggota korps lainnya atau publik dalam hubungan sosial, bukan dalam egoisme ke”diri”annya. Memberi, menjadi sebuah keniscayaan dalam menyulam nilai-nilai dan kesadaran kolektif.
Sarangan, Februari 2019.
Keinginan mendasar manusia baik secara personal dan sosial ini mewarnai hubungan sosial yang dikelola oleh si empunya keberhasilan di dalam sebuah korps. Satu hal yang menarik untuk diamati adalah, apakah keberhasilan atau pencapaian seseorang di dalam sebuah korps ini memang menjadi milik publik, setidaknya apakah keberhasilan yang diraihnya itu “berimbas” kepada seluruh anggota korps, bahkan jika ingin lebih luas lagi, memberikan “manfaat” kepada mereka yang ada di luar lingkaran korps? Ataukah pencapaian itu murni hanya menjadi milik si empunya keberhasilan secara individual, dan mengukuhkan eksistensi ke”diri”annya di antara anggota korps lainnya yang hanya terpana mengaguminya? Apa efek atau pengaruh yang dirasakan oleh publik, atau anggota korps lainnya? Apakah publik atau anggota korps juga kemudian meraih keberhasilan yang sama dengan si empunya keberhasilan karena si empunya keberhasilan dengan sukacita mau “berbagi” dengan yang lainnya? Ataukah si empunya keberhasilan ini hanya melaju dan terbang menikmati keberhasilannya sendiri di angkasa, ditengah riuh rendah dan gegap gempita, tepuk sorak yang ditujukan kepadanya dari anggota kelompok lainnya sebagai penonton di daratan?
Mari periksa semuanya: apakah yang telah diberikan oleh si empunya keberhasilan kepada
korps-nya atau publik ketika ia sukses dan berhasil mencapai sesuatu? Apakah ketika seseorang berhasil meraih sesuatu yang menjadi targetnya, ia tega mempertanyakan kepada publik: mengapa ia tidak mendapat posisi yang lebih baik atas kualitas personal yang dimilikinya itu?
Apakah ia tak sungkan menuntut orang lain atau publik untuk memperlakukannya secara
istimewa karena nilai dirinya yang dirasanya lebih daripada yang lain? Apakah ia merasa orang lain tidak menghargai kehebatannya itu? Apakah ia terus mempertanyakan haknya, dan lupa bahwa ia sesungguhnya punya kewajiban sosial untuk “berbagi”? Berbagi kemampuannya, berbagi kehebatannya, berbagi kepandaiannya, berbagi apa yang telah ia raih.
Mari periksa lagi: adakah nilai-nilai dan kesadaran kolektif (shared values and awareness) yang dikonstruksikan oleh sebuah korps atas keberhasilan salah satu anggotanya dalam meraih sesuatu? Bagaimanakah kesadaran kolektif ini kemudian berkembang sehubungan dengan pengelolaan hubungan sosial di dalam korps? Apakah kita bahagia dan sangat bangga atas peraihan sesuatu secara individual, tetapi abai dan lalai terhadap realita bahwa kita adalah bagian dari sebuah korps, bahwa kita berhasil adalah juga karena fungsi korps?
Maka dari itu, kita harus maju dan berkembang secara bersama-sama, bukan sendirian. Maka dari itu pula, ungkapan rasa atau apresiasi ikut berbahagia dan bersukacita atas keberhasilan atau pencapaian seseorang menjadi layak diberikan kepadanya justru karena ada “manfaat”, “imbas”, “pengaruh baik” yang ia berikan kepada anggota korps lainnya atau publik dalam hubungan sosial, bukan dalam egoisme ke”diri”annya. Memberi, menjadi sebuah keniscayaan dalam menyulam nilai-nilai dan kesadaran kolektif.
We grow through sharing ourselves!
Sarangan, Februari 2019.
Nalar kompetitif itu bukan bagian atau jauh dari kecerdasan dan kreativitas menurut Daniel H. Pink
ReplyDeleteOh really?
ReplyDeleteKita tunggu share gagasan Daniel H. Pink ini dalam kemasan tulisan dan pemahaman mas Eko ya...
Dunia maju bukan karena kompetisi (kepentingan diri) melainkan sharing (saling berbagi), itu prinsipnya.
DeleteYes, itu impian saya!
DeleteSenada dengan yang saya ceritakan pada tulisan di atas...